• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upah Penabuh Gambelan

Dalam dokumen Bab Enam MENJADI DESA WISATA (Halaman 32-35)

Bapak Kadek We Putra mengatakan bahwa: ”biasanya, satu kali pertunjukan seni gambelan dan jegog ini, oleh tamu dibayar Rp.600.000 atau bahkan kadang -kadang tamu membayar Rp.300.000, ada juga yang tidak membayar”. Namun, khusus untuk kebaktian/ ibadah di gereja, sekaa gong ini tidak dibayar, tetapi sebagai bentuk pelayanan untuk Tuhan.

Mereka mempunyai organisasi yang mengatur perkumpulan ”demen megambel” ini. Sehingga dari uang yang masuk/diterima ini lantas dipakai untuk membeli seragam, kas kelompok, dan terkadang dibagikan kepada anggota sehingga pada akhirnya mereka mampu meningkatkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhannya.

Para pengibing atau tamu yang terlibat menari bersama penari biasanya sangat senang karena mendapat kegembiraan, merasa mendapat perlakuan yang sangat khusus (spesial). Itulah yang menjadikan komunitas Desa Blimbingsari hidup.

Kamben Bali dan Udeng : Sebuah Kontekstual

Sebagai orang Bali yang telah menjadi Kristen, bukan berarti mereka meninggalkan budaya Bali sama sekali. Justru harus menambah dan memperkaya kasanah budaya Bali di Blimbingsari, walaupun telah percaya Kristus sebagai orang Kristen. Berdasarkan hal itu, di Desa Blimbingsari dikembangkan budaya dengan memakai pakaian adat Bali dan Udeng dalam ibadah kontekstual pada tahun 2004 sampai sekarang. Tidak hanya pada hari-hari raya besar dan perjamuan kudus saja warga Desa Blimbingsari memakai pakaian adat dan udeng, seperti sakramen baptisan kudus, pernikahan, sidi dewasa, perayaan Paskah dan Natal (kelahiran Tuhan Yesus yang dirayakan setiap 25 Desember) serta kesekaratan/penguburan (kedukaan). Tetapi di samping itu warga di Blimbingsari juga konsisten dan komitmen menjalankan Ibadah Kontekstual setiap bulan di minggu pertama. Ini yang membedakan bahwa di Blimbingsari setiap bulan di minggu pertama, jemaat

menggunakan gambelan Bali, tarian Bali, lagu berbahasa Bali. Sebagai tanda kontekstual, maka lagu-lagu pun menggunakan tata ibadah berbahasa Bali (lihat lampiran 3, lagu berbahasa Bali terjemahan bebas).

Ibadah Kontekstual ini juga sekarang disukai oleh rombongan tamu-wisatawan sebagai hiburan, di samping mereka beribadah, mereka memberi sumbangan ke gereja. Dengan adanya tamu wisatawan dan kunjungan wisata rohani ini berarti membawa/ memberi pemasukan dan penghasilan bagi masyarakat Desa Blimbingsari, khususnya yang bersama-sama ikut berpartisipasi melayani pengujung dan yang dikunjungi juga merasakan sukacita (wawancara dengan Kepala Desa Made John Rony). Mereka menceritakan kepada teman-temannya atau handai taulan, saudara-saudaranya dan lain-lainnya bahwa Desa Blimbingsari ini sangat unik dan menarik. Tidak dipungkiri bahwa dengan persembahan-persembahan yang diperoleh Desa Blimbingsari sebagai pemasukan desa untuk peningkatan ekonomi warga, karena para tamu atau wisatawan yang melakukan ”kunjungan” ke desa ini memberi persembahan, baik buat gereja maupun untuk desa termasuk d idalamnya tim komite pariwisata.

Ibadah Kontekstual yang dimulai tahun 2004 ini juga melibatkan guru seni tari dari luar (agama Hindu) dan didampingi satu orang dari Blimbingsari beragama Kristen untuk mengajarkan kepada anak-anak dan pemuda, kelompok Ibu-Ibu (Dian Kristawati GKPB Pniel), Kaum Bapak (Kristya Winangun GKPB Pniel) dan Panti Asuhan untuk belajar kesenian tari ini, seni gamelan (bagaimana mengiring musik gamelan di gereja pada saat beribadah) yang dinikmati oleh jemaat, warga Blimbingsari dan rombongan tamu pengunjung sebagai hiburan.

Tamu pengunjung (wisnus dan wisman) melakukan berbagai acara dan aktivitas. Acara-acara dan aktivitas yang dilakukan oleh tamu tersebut adalah sebagai berikut. Melakukan ibadat bersama di gereja, melakukan doa dan kebaktian kebangunan rohani (KKR), kunjungan perayaan pelantikan dan pentahbisan. Tidak hanya itu saja,

ceramah tentang sejarah, budaya dan kontekstualisasi yang dilakukan oleh pemimpin rohani. Memberi sumbangan (baik dana dan tenaga) terhadap pembangunan ekonomi jemaat. Melakukan pentas seni (malam kesenian), baik melakukan seni tari, seni gamelan dan jegog. Melakukan kunjungan terhadap orang sakit, panti Jompo, panti asuhan Widya Asih. Melakukan kunjungan ke sawah dan pertanian serta peternakan. Melakukan outbound di Grojogan, hiking (lihat lampira 5) dan perkemahan serta renang. Melakukan rekreasi, permaianan atau piknik, sehingga komunitas ini menjadi komunitas desa wisata yang bermakna, bermanfaat baik bagi komunitas itu sendiri maupun di luar komunitas Blimbingsari.

Kesimpulan

Untuk menjelaskan topik menjadi Desa Wisata, maka penulis menjelaskan mengenai terbentuknya Blimbingsari sebagai Desa Wisata. Yang di dalamnya berisi tentang desa “sekarat’ (Dying Village) karena anak-anak mereka tidak pulang ke desa setelah mengenyam pendidikan. Namun demikian, untuk mengubah desa tersebut menjadi desa hidup (A Living Village) muncullah pembangunan infrastruktur yang ada.

Dari pertanian menjadi desa “sepi dan sunyi”, sebelum desa ini menjadi desa wisata. Di dalam bab ini dinyatakan dengan ironis sekali bahwa tanah pertanian yang tadinya subur dan dialiri oleh Irigasi Bukitsari menjadi tanah yang gersang, tanah tandus dan tidak subur lagi. Perintis pertama yang makin lama menjadi generasi tua, tidak bisa mengelola lagi lahan yang luas ini karena ditinggal oleh para angkatan muda dan melakukan migrasi ke luar desa Blimbingsari.

Tidak selamanya Desa Blimbingsari memiliki kisah “sukses atau berhasil”, seperti di tahun 1990-an terjadi kisah dimana Desa Blimbingsari menjadi desa sepi, dari pertanian yang subur menjadi desa yang “sekarat”. Ini disebabkan oleh dua faktor besar yaitu: Pertama, adanya migrasi keluar dari desa ke kota untuk belajar dan mengenyam pendidikan di kota-kota besar dan mencari nafkah; Kedua,

adanya daya tarik industri pariwisata sehingga tidak kembali ke desa Blimbingsari.

Disinilah peran kepemimpinan (baik pemimpin rohani dan pemimpin desa) memegang peranan yang sangat penting untuk mendorong peningkatan ekonomi Blimbingsari dengan menggalang nilai kewirausahaan (entrepreneurship) sehingga Blimbingsari terbentuk menjadi Desa Wisata. Penulis menjelaskan pembangunan infrastruktur yang dibangun dan akhirnya desa itu menjadi “desa hidup” (A Living Village) yang ditunjukkan melalui gereja yang

unique, ada home stay, tarian dan gamelan serta kunjungan turis yang

meningkat dari tahun ke tahun, yang berintegrasi dengan perkebunan, pertanian dan peternakan, karena tidak dapat dipisahkan.

Masyarakat Blimbingsari yang mayoritas Kristen dan yang sudah melakukan pembangunan infrastruktur mencoba mencari cara untuk membuat desa yang ditempatinya menjadi desa “hidup”, sehingga bisa bertahan dari keterpurukannya. Bahkan sekarang Pemerintah Bali telah memilih Desa Blimbingsari sebagai satu-satunya desa wisata di Kabupaten Jembrana dan mendapat bantuan dari Pemda setempat.

Adapun cara/hal-hal yang dibangun agar menjadi daya tarik tamu/turis di antaranya menonjolkan Identitas Bali Krsiten yang walau sudah menjadi Kristen tetap menggunakan budaya Bali dalam kegiatan imannya/ibadahnya serta memiliki gereja yang unik seperti pura (temple) dan di sekeliling tembok gereja berisi pahatan sejarah. Inilah maknanya bab ini “menjadi desa wisata”, dimana tadinya adalah desa yang ‘sekarat’ menjadi desa yang ‘maju dan makmur’ dengan ekonomi kreatif sampai desa ini terbentuk menjadi satu-satunya desa wisata di Kabupaten Jembrana yang digerakan oleh peran kepemimpinan dengan nilai kewirausahaan tersebut.

Dalam dokumen Bab Enam MENJADI DESA WISATA (Halaman 32-35)

Dokumen terkait