• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Penegakan Hukum terhadap Video Porno Menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi

BAB IV : Aspek Hukum Pidana Video Porno Di Dalam Uu No.44 Tahun 2008

ASPEK HUKUM PIDANA VIDEO PORNO DI DALAM UU NO.44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

B. Upaya Penegakan Hukum terhadap Video Porno Menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Ariel dan problematika UU Pornografi. Diperlukan dasar yang lebih kuat, dari sekedar menggunakan jeratan pornografi. Semenjak video adegan mesum mirip Ariel, Luna dan Cut Tari merebak didunia maya, berbagai komentarpun bermunculan, bahkan dari sudut pandang yang berbeda. Ada yang menghujat, mencaci maki, turut prihatin, bahkan tidak sedikit pula yang main hakim sendiri. Begitupun dengan saya pribadi, kasus ini ikut menggelitik pikiran saya untuk berkomentar meski dengan

pikiran yang begitu sangat terbatas. Penulis tidak ingin membela siapa-siapa, kecuali untuk mencoba membangun pola pikir objektif dalam upaya memaknai hukum yang tidak sekedar teks semata.84

Setelah melakukan pemeriksaan fisik terhadap Ariel dan Cut Tari, hari ini polisi juga memeriksa fisik Luna Maya. “Luna Maya dicek fisik hari ini. Lebar bahunya diukur,” kata Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Polisi Dikdik Mulyana di Mabes Polri. Akan tetapi, Dikdik tidak bisa mengungkapkan hasil dari pemeriksaan fisik tersebut pasalnya Luna Maya masih diperiksa. “Ya, masih diperiksa lebih lanjut nanti,” ujarnya. Sebelumnya Kabid Penum Mabes Polri Kombes Polisi Marwoto mengungkapkan pihaknya telah melakukan pemeriksaan fisik terhadap Ariel dan Cut Tari.85

Pemeriksaan fisik meliputi kecocokan badan dan bentuk tubuh dengan orang yang ada di dalam video tersebut. “Dari suara dan tanda fisik lain yang bisa diidentitikasi, gak tahu kalau sudah dihilangkan seperti tato,” jelasnya. Hingga kini, polisi baru menetapkan Ariel sebagai tersangka dan menahannya di tahanan Bareskrim Mabes Polri. Sedangkan Luna Maya dan Cut Tari masih berstatus saksi dalam pemeriksaan fisik, polisi memastikan kecocokan badan dan bentuk tubuh dengan video tersebut. “Dari suara dan tanda fisik lain yang bisa diidentitikasi, gak tahu kalau sudah dihilangkan seperti tato,” jelasnya. Akan tetapi dia mengaku belum tahu hasil dari pemeriksaan fisik dua selebriti tersebut. Dalam kesempatan itu, Marwoto mengaku tidak bisa memastikan tahun berapa video tersebut dibuat. Akan tetapi, dia memastikan bahwa video tersebut dibuat setelah undang-undang pornografi dilahirkan. “Penyidik berani menerapkan UU-nya karena kejadiannya setelah UU itu

84

http://entertainment.kompas.com/read/2010/06/22/10133543/Ariel.Tersangka 85

lahir,” terangnya. Dalam kesempatan itu, Marwoto mengungkapkan pemeriksaan fisik terhadap kedua selebriti tersebut tidak dilakukan di Bareskrim Mabes Polri, melainkan di RS Polri di Kramat Jati.86

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. Kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:

1. Crininal Law Aplication;

2. Prevention Without Punishment;

3. Influencing Views of society on crime and punishment.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.

86

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law.

Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.

Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif

mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.

Nilai-nilai normatif yang dijadikan dasar acuan untuk penanggulangan pornografi merupakan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk kebijakan penal penanggulangan pornografi di ndonesia didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum UU pornografi maupun undang-undang pornografi itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum lahirnya undang-undang pornografi yang memungkinkan dijadikan dasar acuan penanggulangan pornografi adalah:

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terutama yang berkaitan dengan ketentuan mengenai delik kesusilaan sebagaimana terdapat dalam pasal 281, 282, 283, 532, 533, 534 dan pasal 535.

b. UU No. 40/1999 tentang Pers terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “pers nasional berkewajiban memberitakan eristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Dan ketentuan pasal 13 huruf a yang menegaskan: “pers nasional dilarang memuat pemberitaan atau iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.

c. Kode etik jurnalistik terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 2 angka 2 huruf c yang menegaskan bahwa wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama, kepercayaan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.

d. UU No. 27 Tahun 2002 Tentang Penyiaran terutama yang berkait dengan ketentuan pasal 36 yang antara lain pada ayat (1) menegaskan bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hibuan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan seta mengamalkan.

Nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Sedangkan pada ayat (5 huruf b) melarang tegas isi siaran yang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, pejudian, penyelahgunaan narkotika dan obat terlarang. Berkaitan dengan efektifitas dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih belum dapat berlaku efektif karena hal tersebut terbukti dengan masih maraknya tindakan pornografi dan penyebaran pornografi di Indonesia, melihat kenyataan masih maraknya pornografi di masyarakat mengharuskan Negara mengambil kebijakan penanggulangan pornografi dalam bentuk kebijakan penal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.

Undang-undang tersebut merupakan acuan normative dalam melakukan penanggulangan terhadap pornografi di Indonesia. Memang dalam prakteknya belum dapat dilihat ekektifitasnya namun dasar yang paling tepat dalam melakukan penanggulangan adalah Undang-unddang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.87

Ramai-ramai pasca peredaran video porno artis tidak bisa lepas dari “kesalahan” Polri. Semua orang, termasuk media massa, menuding bahwa

87

penyelidikan yang dilakukan polisi lamban sekali. Atau sengaja dilambankan untuk mengalihkan skandal heboh Gayus Tambunan? Aneh, Polri berkutet mencari siapa yang pengedar video tsb. Kenapa tidak konsentrasi pada pelakunya? Bukankah Pasal 281 dan 282 KUHP dengan jelas mengatakan “Barangsiapa. ..”?! Dengan rangkaian logika yang kami paparkan di atas, mestinya polisi dalam tempo 2-3 hari sudah bisa mengidentifisir para pelaku video cabul. Kecuali KUHP, Polri juga sudah dibentengi UU No 44/2008 tentang Pornografi dan UU tentang ITE.88

Rupanya, polisi masih ragu apakah pornografi atau pornoaksi bahaya bagi masyarakat. Untuk keraguan ini, saya tegaskan di sini bahwa pornografi mempunyai sisi positif dan negatif. Namun, aspek mudaratnya jauh lebih besar daripada kegunaan. Jahatnya tontonan porno adalah membakar libido penonton/pembaca sedemikian rupa sehingga ia melakukan tindakan seksual tidak pada tempatnya, tidak pada waktunya, dan tidak dengan orang yang sah. Selalu saja generasi muda yang menjadi korban materi cabul.89

Sesuai dengan pasal 29 UU Pornografi, setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar.

88

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php keyword : pornografi, 2 September 2010 89

Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Zainuri Lubis mengungkapkan, Ariel menyerahkan diri Selasa dini hari kemarin, sekitar pukul 03.00 WIB, dengan diantar pengacaranya. 90

Hingga berita inidibuat, Ariel masih menjalani pemeriksaan.” Walaupun dia menyerahkan diri, tetap dibuatkan surat penangkapan,” jelasnya. Dia menambahkan, untuk mengungkap kasus ini penyidik juga melibatkan para pakar dan ahli termasuk proses identifikasi fisik, seperti ciri-ciri fisik,darah, DNA, dan sebagainya. Kepala Bidang Penerangan Umum Kombes Pol Marwoto Soeto menjelaskan, ada beberapa pasal yang dapat dikenakan kepada Ariel di antaranya Pasal 4 jo 29 UU No 44 Tahun 2008.91 Dalam Pasal 4 disebutkan, setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat, persanggamaan. Sedangkan dalam Pasal 29 UU tersebut dicantumkan bahwa setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta atau maksimal Rp6 miliar. Selain UU Pornografi, kata dia, Ariel bisa dikenai Pasal 27 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE.Dalam pasal itu disebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

90

Ibid 91

Lebih jauh diungkapkan, Ariel juga bisa dijerat Pasal 282 KUHP tentang Asusila. Dalam pasal itu dinyatakan,barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan di muka umum tulisan, gambar, dan benda yang telah diketahui isinya dan yang melanggar kesusilaan dapat diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Sedangkan untuk Cut Tari dapat dikenakan pasal berlapis. ”Kalau Cut Tari sebenarnya banyak.KUHPjuga bisa kena, kalau suaminya mengadukan.92

Ketentuan pasal ini, lebih dekat pada kasus orang mirip Ariel. Meskipun terdapat kesulitan dalam hal pembuktiannya. Hukum pembuktian yang ada di dalam KUHAP berikut sedikit yang ada di dalam UU ITE tidak cukup mudah untuk membuktikan bahwa Ariel yang mendistribusikan atau yang turut mendistribusikan. Lebih-lebih apabila orang mirip Ariel tidak mengaku dan orang lain yang mendistribusikan atau ikut serta mendistribusikan tidak ditemukan. Beban pembuktian perkara ini ada pada jaksa, bukan pada Ariel. Pasal 65 KUHAP sangat tegas menyatakan bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.93

Dalam hal perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya gambar bergerak persenggamaan bersuara - orang mirip Ariel – Luna dan Cut tari tersebut, sehingga diketahui umum seperti keadaan sekarang ini, bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan, ialah94:

a) Kemungkinan pertama, orang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari atau mereka berdua atau bertiga sama-sama mendistribusikan dll (penyertaan) tanpa melibatkan orang lain.

92 http://www.rollingstone.co.id/read/2010/07/27/792/8/2/Ariel-Video-Hukum-Pidana 93 Ibid 94 Ibid

b) Kemungkinan kedua, bisa jadi orang yang mirip Ariel atau Luna atau Cut Tari tidak mendistribusikan dll dengan cara apapun, melainkan perbuatan itu dilakukan sepenuhnya oleh orang lain tanpa sepengetahuan Ariel, Luna maupun Cut Tari. c) Kemungkinan ketiga, bisa jadi orang lain yang mendistribusikan dll., dan orang

yang mirip Ariel dan atau Luna dan atau Cut Tari terlibat dalam perbuatan itu. Disini terjadi penyertaan. Hukum penyertaan harus diterapkan. Tanpa menerapkan hukum penyertaan, orang yang mirip Ariel, Luna maupun Cut Tari tidak mungkin dipidana.

Kemungkinan ketigalah yang bisa diterapkan pada orang mirip Ariel, sementara yang kedua tidak akan menyangkut Ariel, karena ia sebagai korban. Sementara yang pertama, sangat sulit – apo iso polisi menyangkutkan Ariel, meskipun penyidik dapat mengungkap dan menemuka si pembuat yang mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya gambar bergerak bersuara persenggamaan tersebut, bila orang mirip Ariel, Luna, Cut Tari dan siapapun juga termasuk teman Ariel tidak menerangkan tentang keterlibatan Ariel dalam hal orang lain yang mentransmisikan dan lain-lain tersebut.95