• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA -MALAYSIA

D. Upaya yang ditempuh dalam penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Gosong Niger merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.

Sengketa Gosong Niger disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara

pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Gosong Niger, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Gosong Niger.

Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Gosong Niger merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip OKUPASI, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Gosong Niger.

Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Indonesia yang sesungguhnya. Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia, di mana Gosong Niger berada, memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Gosong Niger maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja

menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Gosong Niger. Cara terbaik adalah jika para pembuat kebijakan, baik di Jakarta dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok masyarakat di kedua negara, bersedia menggunakan kerangka pemikiran holistik untuk mengelola sengketa itu.

Mengacu kepada pokok persoalan, upaya yang ditempuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian masalah garis batas landas kontinen, maka:

a. Kebijaksanaan: tersedianya data geospasial wilayah NKRI dan wilayah jurisdiksinya yang andal terintegrasi dalam sistem informasi geografis nasional dalam kerangka dengan sistem informasi manajemen nasional (SIMNAS) guna pemanfaatkan potensi sumberdaya alam secara berkelanjutan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat; menjamin kepastian dan penegakan hukum di wilayah perbatasan dalam rangka keutuhan wilayah negara kesatuan RI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa, serta menciptakan stabilitas wilayah. Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perbatasan antar negara diharapkan dapat memberikan prinsip-prinsip pengembangan kawasan perbatasan antar negara sesuai dengan karakteristik fungsionalnya untuk mengejar ketertinggalan dari kawasan di sekitarnya yang lebih berkembang ataupun untuk mensinergikan dengan perkembangan kawasan yang berbatasan dengan negara tetangga. Selain itu, kebijakan dan strategi ini nantinya juga

ditujukan untuk menjaga atau mengamankan wilayah perbatasan negara dari upaya-upaya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang dilakukan dengan dorongan kepentingan negara tetangga, sehingga kegiatan ekonomi dapat dilakukan secara lebih selektif dan optimal.

b. Strategi: (i) inventarisasi data geospasial perbatasan, (ii) survei dan pemetaan wilayah perbatasan darat dan pulau-pulau kecil terluar, (iii) delimitasi dan demarkasi, (iv) pengkajian dan sosialisasi.

Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi.

Namun pihak Mahkamah Internasional, yang menggunakan argumen pendudukan efektif (effective occupation) akhirnya memutuskan Malaysia yang berhak atas kedua pulau. Malaysia “beruntung” karena pernah dijajah Inggris, yang lebih aktif melakukan tindakan kedaulatan hukum terhadap kedua pulau itu, daripada Belanda, yang pernah menguasai Indonesia.

Penyelesaian damai akan terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing negara atas klaimnya di Gosong Niger.

Indonesia akan mengklaim bahwa ia memiliki dasar yang kuat, sementara klaim Malaysia tidaklah kuat, bahkan tidak ada (groundless atau baseless). Inilah hasil akhir yang diharapkan oleh publik Indonesia. Namun, sudah tentu Malaysia akan berargumentasi sebaliknya.

Dari saling argumentasi ini, Indonesia tentu berharap Malaysia menyadari ketidakabsahannya mengklaim Gosong Niger. Bila ini terjadi, berarti perundingan akan bisa segera terselesaikan tanpa memasuki fase berikutnya.

Namun, ternyata Malaysia tetap bersikukuh bahwa ia memiliki dasar yang sama kuatnya dengan Indonesia. Karena ini yang terjadi, maka perundingan akan memasuki fase kedua. Fase kedua dalam penyelesaian damai adalah bagaimana kedua negara bisa menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih (overlapping claims) atas Gosong Niger. Dalam menyepakati jalan keluar dapat dirujuk pengalaman beberapa negara sebagai alternatif bagi solusi sengketa Indonesia-Malaysia.

Alternatif pertama adalah negara yang bersengketa tidak menyepakati solusi dan membiarkan permasalahan ini tidak terselesaikan (baca: mengambang) dengan catatan negara yang bersengketa menyepakati suatu status quo. Alternatif ini ditempuh, misalnya, oleh negara-negara yang mengklaim Kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Bila alternatif ini yang disepakati oleh Indonesia dan Malaysia, setiap negara yang melanggar status quo akan mendapat perlawanan

dari negara lainnya untuk mengembalikan status quo. Keunggulan alternatif ini adalah sengketa tidak akan menghindari negara yang bersengketa untuk memperoleh keuntungan sumber daya alam dari wilayah yang dipersengketakan.

Alternatif ketiga adalah negara yang bersengketa sepakat untuk membawa sengketa mereka ke forum penyelesaian sengketa. Forum penyelesaian sengketa bisa dipilih, seperti MI, lembaga yang dibentuk oleh para pihak, bahkan forum yang disediakan oleh organisasi regional. Alternatif inilah yang juga pernah ditempuh oleh Indonesia pada saat bersengketa dengan Malaysia atas Gosong Niger.

Dalam memilih alternatif yang terbaik, para perunding harus memerhatikan lima hal mendasar. Pertama, bagi Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar sengketa untuk mendapatkan sumber daya alam, seperti halnya Malaysia. Gosong Niger merupakan wujud dari wilayah kedaulatan Indonesia. Kehilangan Gosong Niger berarti kehilangan sebagian wilayah kedaulatan. Bahkan Gosong Niger bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia mempertahankan kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara lain.

Bila Indonesia terkesan lemah, tentunya negara-negara yang memiliki sengketa batas wilayah dengan Indonesia akan menempuh cara yang dilakukan oleh Malaysia. Sebaliknya bila Indonesia tough, tentu negara tetangga tidak akan main-main atau coba-coba.

Kedua, tim perunding Indonesia harus memerhatikan betul suara rakyat. Jangan sampai tim perunding ataupun pengambil kebijakan tertinggi di negeri ini

mengambil keputusan berdasarkan intuisi pribadi, bahkan popularitas belaka. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber daya alam.

Tim perunding ataupun pengambil kebijakan tertinggi di negeri ini jangan sampai mengambil keputusan yang didasarkan pada pertimbangan ingin memelihara hubungan baik kedua negara. Tim perunding ataupun pengambil keputusan harus menahan diri untuk bertindak ramah pada Malaysia, padahal tindakan tersebut merupakan tindakan bodoh.

Di samping itu, harus juga diperhatikan suara rakyat yang tidak menginginkan penyelesaian melalui pihak ketiga. Penyelesaian Gosong Niger masih menyisakan trauma bagi bangsa ini. Lebih lanjut, perlu diperhatikan suara rakyat yang menghendaki adanya transparansi atas setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Bahkan, bila perlu setiap kebijakan perlu disosialisasikan ke publik sehingga tidak ada keputusan yang membuat rakyat terkejut. Rakyat Indonesia jelas tidak menghendaki penyelesaian Timor Timur terulang kembali.

Hal ketiga yang perlu diperhatikan oleh tim perunding adalah masalah koordinasi antarinstansi. Koordinasi perlu untuk diperkuat. Lemahnya koordinasi antarinstansi berpotensi menjadi penyebab kegagalan Indonesia dalam berunding dengan Malaysia. Bisa jadi setiap instansi yang terlibat dalam Gosong Niger ingin mengedepankan perspektifnya. Lebih parah lagi bila kelemahan ini dimanfaatkan oleh Malaysia. Malaysia, jelas, akan memanfaatkan perbedaan kepentingan antar

instansi Indonesia. Bahkan, Malaysia akan mendekati satu instansi untuk menyuarakan kepentingannya.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah anggota tim perunding harus memiliki keterampilan (skills) bernegosiasi. Keterampilan tidaklah cukup dengan kepiawaian berbahasa Inggris ataupun memahami terminologi hukum dalam bahasa Inggris. Keterampilan lain yang harus dimiliki adalah keterampilan untuk meyakinkan lawan. Argumentasi, dasar hukum, dan bukti kadang bisa dikalahkan oleh keterampilan untuk meyakinkan. Selanjutnya, para perunding harus memiliki keterampilan untuk menelusuri berbagai instrumen hukum internasional, kasus-kasus yang pernah diputus terkait dengan penyelesaian sengketa wilayah dan keterampilan untuk menelusuri berbagai bukti.

Dokumen terkait