• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi dan Dasar Hukum Perlindungan Korban Penggusuran Paksa

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN PENGGUSURAN PAKSA

B. Urgensi dan Dasar Hukum Perlindungan Korban Penggusuran Paksa

ditengarai sebagai tindak pidana ternyata tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Padahal tidak terselesainya kasus-kasus yang besar ini justru menimbulkan spekulasi dalam masyarakat akan efektifitas dan efisiensi hukum beserta penerapannya.

Para penerap hukum yang mengklaim adanya kesulitas untuk menangani kasus-kasus pidana adalah karena langkanya alat bukti untuk membawanya ke hadapan pengadilan. Tertuang dalam pasal 183 KUHP, bahwa:

“....hakim tidak boleh mejatuhkan pidana ke pada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi, dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya…, ”

Yang dimaksud dengan alat bukti yang sah diterangkan pada pasal selanjutnya (184) ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.3 Sehingga hakim memperoleh keyakinan untuk memutuskan terdakwa bersalah ataupun tidak. karena tidak jarang juga dengan 2 alat bukti yang sah sekalipun hakim tetap belum yakin untuk memutuskan tersangka. Sekalipun tidak ada yang didapatkan hakim ketika salah memutus.

Karena keterangan saksi menjadi salah satu alat bukti yang sah di pengadilan, maka posisinya dalam membuktikan seorang terdakwa bersalah atau tidak sangat krusial. Tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan karena

3Hukum Online, “Urgensi Pengaturan dan Perlindungan Saksi dan Korban,” Hukum Online.com. https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4932/urgensi-pengaturan-perlindungan-bagi-korban-dan-saksi?page=2 (21 Juli 2020).

ketiadaan saksi menopang jaksa. Ditambah lagi keengganan untuk terlibat dalam suatu proses peradilan karena takut atau telah diancam oleh pelaku. Lalu, di tahun 2006 dibuatlah regulasi mengenai Perlindungan Saksi dan Korban.

Urgensi korban dalam mendapatkan perlindungan hukum tidak kalah pentingnya mengingat korban telah menderita kerugian dari sebuah tindak pidana, sudah sewajarnya negara memberikan hak-hak korban tersebut. Hak-hak saksi dan korban tertuang dalam perundang-undangan salah satunya undang-undang nomor 13 tahun 2006 pasal 5 undang-undang tersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi, yaitu sebagai berikut:

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta Bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan datang, sedang, atau telah diberikan-nya;

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentu perlindungan dan dukungan keamanan;

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

4. Mendapat penerjemahan;

5. Bebas dari pertanyaan menjerat;

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

9. Mendapatkan identitas baru;

10. Mendapatkan tempat kediaman baru;

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

12. Mendapat nasihat hukum;

13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.”4

Sesuai ketentuan dalam undang-undang nomor 13 tahun 2006 dalam pasal 30 bila korban menginginkan perlindungan, maka yang bersangkutan harus mengajukan permohonan tertulis kepada LPSK.

Sasaran yang hendak dicapai hukum adalah tercapainya tatanan masyarakat yang tertib dan seimbang sehingga kepentingan manusia terlindungi. Hal ini di dasari karena hukum hadir untuk menyelaraskan kepentingan setiap warganya yang

Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan perlindungan hukum Hakikatnya nya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak itu. penegakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.5

Menurut Soerjono Soekanto bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan “social engineering”, memelihara dan mempertahankan sebagai “social control”

kadamaian pergaulan hidup.6 Penegakan dibuat agar nilai hukum tentang keadilan, kebenaran, Kemanfaatan sosial, dan sebagainya dapat-dapat ditaati sebagaimana mestinya regulasi tersebut dibuat.

4Republik Indonesia, "Undang-undang R.I Nomor 13 tahun 2006, pasal 5.

5Satjipto Rahardjo, “Masalah Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis”, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara.

6Soerjono Soekanto, “Penegakan Hukum”, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara.

Lebih lanjut Soerjono menyebutkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu;

1. Faktor dari hukumnya sendiri. Kemungkinan dari tidak tegaknya hukum di wilayah tersebut adalah karena tidak ada kecocokan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan adat/kebiasaan masyarakat di wilayah tersebut.

2. Faktor penegak hukum. Secara istilah penegak hukum terdapat dalam:

a. Pasal 5 (1) UU No. 18/2003 tentang Advokat,

b. Pasal 2 UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

c. Pasal 101 (6) UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal yang dimaksud adalah Bapepam (Badan Pengawas Pasar modal), dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan aparat penegak hukum yang lain, yaitu;

Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman dan Kejaksaan Agung,

d. Pasal 49 (2) huruf i UU No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan aparat penegak hukum lainnya yang disebutkan diantaranya Kejaksaan, Kepolisian Dan Pengadilan,

e. Pasal 2 UU No. 8/2011 tentang Perubahan atas UU No. 24/2003 Mahkamah Konstitusi,

f. Pasal 1 angka 8 PP No. 6 tahun 2010 tentang satuan polisi pamong praja.

Aparat Penegak Hukum tidak mempunyai pengertian tertulis dalam peraturan perundang-undangan manapun. Namun, menurut pasal 10 UU No.12/2011 lembaga penegak hukum diciptakan dan diatur dalam undang undang salah satu alasannya adalah karena pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dalam artian luas, beberapa lembaga lainnya adalah:

a. Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal bea dan cukai pasal 92 UU No 17 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 30 Tahun 1995 tentang kepabeanan, juga di dalam pasal 33 sampai pasal 40 UU No 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No.

11/1995 tentang Cukai.

b. Komisi Pengawas Persaingan Usaha pasal, 35 - 47 UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

c. Badan Pertanahan Nasional, pasal 31 UU No. 3/2006 tentang organisasi dan tata kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia badan pertanahan Republik.

Dari penjelasan mengenai kelompok-kelompok penegak hukum, dapat ditarik kesimpulan bahwa, penegak hukum ialah yang membuat/membentuk hukum ataupun yang yang menerapkan hukum. dan sebagai orang yang ditunjuk untuk mengawasi tertegaknya hukum dengan sebagaimana mestinya mental yang dimiliki oleh para aparat penegak hukum harus lebih dulu memberikan contoh/menjadi panutan yang baik kepada yang diberikan arahan untuk mematuhi aturan-aturan yang ada.

3. Faktor masyarakat, hukum diciptakan untuk mengatur masyarakat maka akan mudah ditegakkan jika masyarakat mempunyai kesadaran untuk mematuhi peraturan yang diterbitkan.

4. Faktor sarana dan prasarana, penegakan hukum bisa ditegakkan juga karena faktor sarana dan prasarana yang mumpuni. Percuma terbit peraturan perundang-undangan jika di jalan tidak di dapati lampu lalu lintas, rambu-rambu lalu lintas dan sebagainya. Masyarakat akan bingung mengenai apa yang harus di patuhi.

Faktor-faktor tersebut berkaitan satu sama lain. Tidak ada yang prioritas, semuanya harus dijalankan. Makadari itu, negara dan masyarakat memiliki perannya masing-masing agar dapat terwujud hidup rukun aman dan tentram.

Lalu, apakah perlindungan hukum yang telah tertera pada UU dan regulasi lainnya yang mengatur tentang hak dan kewajiban sebagai warga terdampak penggusuran paksa telah berjalan dengan baik? Dalam kasus penggusuran yang terjadi di Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan putusan pengadilan memenangkan penggugat yaitu warga terdampak penggusuran karena Pemprov DKI terbukti karena tidak melaksanakan musyawarah kepada warga terdampak penggusuran.

Jika dilihat dari putusan hakim dapat disimpulkan bahwa penduduk di tanah/lahan tersebut dapat membuktikan tanah/lahan tersebut miliknya. Namun, dibatalkan dengan putusan kasasi. Dengan alasan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi keliru menerapkan hukum dalam menangani gugatan class action karena tidak berpedoman dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Kompensasi diberikan hanya kepada warga

yang dapat membuktikan kepemilikan lahan. Kasasi diajukan agar warga yang tinggal di bantaran kali namun tidak memiliki bukti kepemilikan tanah tidak dapat meminta ganti rugi.7 Ini menunjukkan bahwa warga yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah tidak mendapatkan perlindungan hukum apapun bahkan dari penegak hukum. Ini bisa membuktikan bahwa perlindungan hukum dalam UU No.

13 tahun 2006 tentang perlindungan korban dan saksi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Karena dalam pasal 7 korban dari pelanggaran ham berat berhak mengajukan kompensasi dan restitusi kepada pengadilan. Namun dalam regulasi lain yaitu UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang diatur bahwa yang mendapatkan kompensasi adalah warga yang memiliki akta kepemilikan tanah.

Sebagaimana hak sebagai warga negara mereka pun berhak atas perlindungan hukum di negara ini.

Di lain sisi Penegakan perlindungan hukum dilakukan oleh pemerintah kota Solo saat ingin menormalisasi kali Pepe Gondang di Manahan, Solo. Saat ingin menormalisasi kali pemerintah kota mengadakan musyawarah terkaitd engan yang telah diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, seperti mengadakan pertemuan dengan warga terdampak dan berdiskusi agar mendapatkan win-win solution. Sehingga warga terdampak penggusuran yang memiliki bukti kepemilikan tanah dan yang tidak memiliki bukti mendapatkan solusi terbaik. Dan itulah cita-cita dari pendiri bangsa ini terkait dengan diciptakannya perlindungan hukum. Lebih mengedepankan permusyawaratan perwakilan sebelum pengadilan.

7Ganggar Parikesit, “Gugatan Class Action Warga bukti Duri tumbang di Mahkamah Agung,” Tempo, 18 Februari 2020.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Sebagai muslim, terdapat aturan-aturan mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan ini dinamakan syari’at, karena ditetapkan langsung oleh Allah swt dalam Al-Qur’an.

Walaupun berbeda dengan siyasah syar’iyyah namun syari’at serta hadits-hadits Rasulullah saw adalah akar dari terciptanya fiqh yang lahir karena kebutuhan perkembangan zaman seiring dengan permasalahan manusia.

Faktanya, ijma’ pertama yang terjadi dalam sejarah ilmu fiqh adalah fiqh siyasah dibanding fiqh ibadah atau lainnya. Para khulafaur rasyidin dan sahabat menyadari pentingnya arti kepemimpinan dan pemerintahan dalam Islam sepeninggal Rasulullah saw. walau begitu, penafsiran untuk menciptakan hukum tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, yang boleh menciptakan hukum.

Dalam buku Al-Siyasah Al-syar’iyyah makna siyasah menurut ulama mempunya arti umum dan khusus. Secara umum berarti pengaturan berbagai urusan manusia dengan syai’at agama Islam dan secara khusus siyasah bermakna kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh penguasa guna mengatasi suatu mafsadat yang timbul atau sebagai solusis bagi keadaan tertentu.1

1Mutiara Fahmi, “Prinsip Dasar Hukum Politik Islam dalam Perspektif Al-Qur’an,” Petita.

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/download/1814/1352 (4 September 2020)

A. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum Korban Penggusuran Paksa Terdapat prinsip-prinsip perlindungan hukum yang didahulukan karena dengan prinsip, barulah dapat dibentuk sarananya, karena tanpa dilandaskan pada prinsip, pembentukan sarana menjadi tanpa arah, prinsip perlindungan hukum di Indonesia dilandaskan pada Pancasila sebagai falsafah negara.

Menurut Hadjon, Indonesia mempunyai konsep politik sendiri yang diambil dari kebiasaan rakyat Indonesia, yaitu gotong royong. Kebiasaan ini dipilih/dijadikan sebagai kosep politik sehingga lebih kekeluargaan dan erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia sehingga menciptakan asas kerukunan yang tidak hanya tercipta sesama masyarakat, tapi juga dengan pemerintah. Dengan pertimbangan tersebut, sedapat mungkin dapat meminimalisir terjadinya sengketa, kalaupun terjadi lebih diutamakan diselesaikan dengan cara musyawarah. Untuk meminimalisir terjadinya persengketaan adalah dengan mengutamakan sarana perlindungan hukum preventif dibandingkan represif.

Sebab itu, Indonesia sebagai negara yang bedaulat tidak bisa serta merta dikatakan sebagai negara hukum karena konsep dasar yang di anut adalah Pancasila yang menjadikan gotong-royong sebagai asas, namun tidak berarti pula Indonesia menjadi negara penjaga malam yang hanya bertanggung-jawab atas keamanan dari warga negara juga melindungi hak-hak yang melekat pada dirinya, seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 tertera bahwa cita-cita bangsa Indonesia adalah melindungi segenap abngsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

ikut melaksanakan ketertiba dunia yang berdasar kepada perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Ciri-ciri negara hukum Pancasila adalah:

1. Keserasian hubunga antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;

2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;

3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupaakn sarana terakhir;

4. Keseibangan anatara hak dan kewajiban.1

Perlindungan hukum berfungsi untuk menciptakan rasa keadilan, aman, dan kepercayaan terhadap pemerintah yang memiliki kekuasaan. Baik dengan cara preventif, represif, tertulis maupun tidak tertulis selama dijalankan untuk menegakkan peraturan demi kehidupan bernegara yang aman, nyaman dan tentram.

Menurut Hadjon perlindungan hukum terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Perlindungan Hukum Preventif, pengajuan keberatan (inspraak) yang dilakukan oleh subyek hukum sebelum keputusan tersebut berubah menjadi bentuk definitif dengan tujuan mencegah terjadinya persengketaan.

Perlindungan Hukum Preventif dirasa perlu berkaitan dengan berlakunya asas freies ermessen, namun untuk pengertian Perlindungan Hukum preventif yang dikemukakan oleh Hadjon adalah adanya musyawarah selama perancangan suatu regulasi demi menghindari persengketaan, karena menurutnya, perlindungan hukum diciptakan bukan untuk “memukul” pemerintah tapi untuk memperbaiki

1Philpus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, h. 90.

hubungan. Dan diimplementasikan dengan cara memilih wakil rakyat dari setiap provinsi untuk bermusyawarah. Maka dari itu, produk legislatif haruslah mampu menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat. Mengingat rakyat dan pemerintah adalah partner dalam mewujudkan cita-cita hidup bernegara. Salah satu bentuk perlindungan preventif untuk korban penggusuran paksa dapat berupa pemberian pendidikan yang layak, kesehatan yang layak, pekerjaan yang layak sehingga dapat membangun hunian yang layak bagi keluarganya, kalaupun dengan kesemua itu belum bisa membangun hunian yang layak, negara tetap harus memberikannya.

Perlindungan hukum terhadap korban terkhusus korban penggusuran paksa dibutuhkan sebagai upaya melindungi hak-hak rakyat dari kesewenangan pemerintah. Karena yang rentan terdampak penggusuran adalah warga dengan ekonomi lemah, dalam penggusuran posisi pemerintah pemerintah lebih di atas daripada rakyat karena secara legal tanah/lahan tersebut milik negara yang dikelola oleh pemerintah.

Penggusuran kerap terjadi dengan alasan penataan tata ruang, pembangunan fasilitas publik, dan sengketa kepemilikan hak atas tanah. Untuk penggusuran yang dilakukan karena alasan penataan ruang telah di atur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang sebagai bentuk perlindungan hukum preventif pada pasal 60 diterangkan bahwa, semua orang, tertuju pada masyarakat yang menempati wilayah tersebut unutk mengetahui rencana penataan ruang, dan mendapatkan ganti rugi

yang layak akibat pembangunan penataan ruang tersebut.2 Sedangkan regulasi yang mengatur penggusuran yang dilakukan dengan alasan pembangunan fasilitas publik terdapat dalam UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang diterangkan bahwa pelaksanaan proyeknya berpacu kepada PP No. 17 tahun 2012. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut menyebutkan bahwa penggantian rugi dapat diberikan jika warga terdampak penggusuran dapat membuktikan bahwa tanah yang ditempati adalah miliknya. Lalu, bagaimana dengan warga terdampak penggusuran yang tidak dapat membuktikan tanah jika yang ditempati adalah bukan miliknya? Tidak perlindungan preventif yang menjamin.

2. Perlindungan Hukum Represif, perlindungan hukum yang diajukan untuk menyelesaikan sengketa.3

Perlindungan represif yang diberikan negara kepada korban tidak hanya berupa perlindungan hukum selain itu juga pelaku diharuskan menggantikan kerugian yang diderita oleh korban. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian restitusi dan kompensasi diatur dalam PP No. 7/2018 pasal 2, berbunyi:

“(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh kompensasi;

(2) Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya.”4.

Dalam regulasi ini, pemberian ganti rugi dapat diproses jika korban, keluarga korban maupun kuasa hukumnya mengajukan ke pengadilan dan

2Republik Indonesia, Undang-undang R.I nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, pasal 60.

3Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, h. 2 4Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah R.I Nomor 7 tahun 2018, pasal 2.

diterangkan di pasal selanjutnya bahwa jika tidak melengkapi permohonan sampai 30 hari sejak diterimanya pemberitahuan dari LPSK, maka pemohon dianggap mencabut permohonannya. Berbeda dengan kasus terorisme, dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang bahkan jika tidak diajukan oleh korban akan difasilitasi oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Terorisme dan penggusuran paksa termasuk ke dalam tindakan pelanggaran HAM karena mengesampingkan hak-hak manusia lainnya untuk mencapai tujuan pribadi. Ada baiknya korban penggusuran paksa yang notabenenya berdampak kepada kalangan masyarakat menengah ke bawah untuk dibuatkan regulasi serupa karena tidak banyak dari mereka yang sadar akan hukum, hak dan kewajibannya, akan sangat membantu jikalau, LPSK memfasilitasi korban penggusuran paksa untuk mendapatkan kompensasi jika luput dari pengajuan.

B. Langkah-langkah Perlindungan Hukum terhadap Korban Penggusuran Paksa

Dalam UU No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan perlindungan kepad korban yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Berbeda sebelum mengalami perubahan, UU No. 13 tahun 2006 berfokus kepada saksi dan keterangan saksi dalam persidangan.

Setelah perubahan juga mempertimbangkan kerugian-kerugian yang didierita korban.

Untuk mendapatkan perlindungan hukum yang tertera pada pasal 5 juga berhak atas kompensasi, diterangkan dalam pasal 7 (2) yang berbunyi:

“(2) Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada pegadilan hak asasi manusia melalui LPSK”5

Mengenai perlindungan hukum berupa penggantian rugi, dijelaskan secara jelas dalam PP No. 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, berbunyi:

“(3) Pengajuan permohonan kompensasi dapat dilakukan pada saat dilakukan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau sebeleum dibacakan tuntutan oleh penuntut umum.

(4) ayat (1) Permohonan kompensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 memuat paling sedikit:

b. Identitas pemohon;

c. Uraian tentang peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

d. Idntitas pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

e. Uraian tentang kerugian yang nyata-nyata diderita; dan f. Bentuk kompensasi yang diminta.

(2) Permohonan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:

a. Fotokopi identitas korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

d. Fotokopi surat kematian, jika korban meninggal dunia;

e. Surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menunjukkan pemohon sebagai Korban atau keluarga korban planggaran hak asasi manusia yang berat;

f. Surat keterangan hubungan keluarga, jika permohonana diajukan oleh keluarga; dan

5Republik Indonesia, Undang-undang R.I Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Sakisi dan Korban, pasal 7.

g. Surat kuasa khusus, apabila permohonan kompensasi diajukan oleh kuasa korban atau kuasa korban”.6

C. Konsep Ketatanegaraan Islam terhadap Perlindungan Hukum Korban Penggusuran Paksa

Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya mengatur tentang hubungan antar manusia dan Tuhannya, tetapi juga antar manusia dengan manusia.

Selama 23 tahun karier kenabian Muhammad saw, kedua hal ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada 13 tahun pertama, Nabi Muhammad saw menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekkah dengan penekanan pada aspek akidah. Namun bukan berarti bahwa aspek sosial diabaikan sama sekali.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada periode ini justru banyak berbicara tentang kecaman terhadap ketidakadilan, pratik-praktik bisnis yang curang, penindasan oleh kelompok elite ekonomi dan politik terhadap kelompok yang lemah dan berbagai ketimpangan sosial lainnya serta ancaman siksaan atas perilaku demikian.7 Karena ayat-ayat tersebutlah membuat masyarakat kecil Mekkah saat itu menjadi tertarik dengan ajaran Islam.

Dan itu atas dasar nilai HAM yang diajarkan Allah swt kepada Rasulullah saw. Hak asasi manusia dalam Islam adalah suatu hak yang mutlak, karena diberikan langsung oleh Allah swt, sehingga yang mengambil/memindahkannya

6Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah R.I Nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, pasal 3 dan 4.

7Fazlur Rahman, “Major Themes of the Qur’an”, dalam Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah:

Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2014), h. 35.

akan mendapatkan sanksi. Hak dan kewajiban umat manusia telah tercantum

“Dan (ingatlah) ketika kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepad manusia, laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari) kecuali sebagian kecil dari kamu dan kamu (masih jadi) pembangkang”

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”8

Salah dua dari perintah ayat di atas memang tidak memerintahkan kepada kita untuk menegakkan HAM tapi, dengan malaksanakan sholat dan menunaikan zakat, bertutur kata yang baik kepada sesama manusia terkhusus kepada orang tua adalah salah satu perintah yang memuliakan sesama manusia sebagai aplikasi dari

8Kurniati, HAM dalam Perspektif Syari’ah dan Deklarasi PBB: Studi Komparatif dengan

8Kurniati, HAM dalam Perspektif Syari’ah dan Deklarasi PBB: Studi Komparatif dengan