• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-

B. Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa

2. Urgensi Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Dalam

kegentingan yang memaksa sebagai dasar politis dan sosiologis bagi pembentukan Perpu. Seiring berlangsungnya zaman, seringkali muncul pameo di masyarakat bahwa Perpu umumnya dibentuk bukan karena adanya kegentingan yang memaksa, melainkan karena adanya kepentingan yang memaksa.

Perpu hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabila persyaratan “kegentingan yang memaksa” terpenuhi sebagaimana mestinya. Keadaan “kegentingan yang memaksa” yang dimaksud disini berbeda dan tidak boleh dicampuradukan dengan pengertian “keadaan bahaya”61 sebagaimana ditentukan oleh Pasal 12 UUD 1945. Pasal 12 menyatakan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Kedua ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 tersebut sama-sama berasal dari ketentuan asli UUD 1945, yang tidak mengalami perubahan dalam perubahan pertama sampai perubahan keempat. Artinya norma dasar yang terkandung didalamnya tetap tidak mengalami perubahan.

61

Menurut I.C Van der Viles dalam bukunya yang berjudul Handboek wetgeving, asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan dalam hal ini termasuk Perpu, dibagi menjadi dua bagian, yaitu62:

a. Asas Formil

Asas Tujuan, yakni tujuan yang jelas (beginsel van duidelijk) perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan mafaat yang jelas untuk apa dibuat. Asas Organ/Lembaga (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Asas Kedesakan Pembuatan Pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel). Asas Kedapatlaksanakan atau dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya akan berlaku secara efektif di masyarakat karena mendapat dukungan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Asas zkonsensus (het beginsel van de consensus).

62

A. Hamid SA, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, (Jakarta: Disertasi, 1990),h.321-331

b. Asas Materil

Asas terminologi dan sistematika yang benar. Asas dapat dikenali. Asas perlakuan yang sama dalam hukum. Asas kepastian hukum. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

Kriteria dikeluarkanya Perpu oleh Presiden yaitu dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, tidak mengatur mengenai hal-hal yang diatur dalam UUD 1945. Tidak mengatur mengenai keberadaan dan tugas wewenang lembaga negara, dan tidak boleh ada Perpu yang dapat menunda dan menghapuskan kewenangan lembaga negara, hanya boleh mengatur ketentuan Undang-Undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.63

Urgensi hal ihwal kegentingan yang memaksa bukan hanya karena ada keadaan bahaya, ancaman, dan berbagai kegentingan lain yang langsung berkenaan dengan negara atau rakyat banyak. Dalam sejarahnya ada Perpu yang ditetapkan untuk menangguhkan berlakunya Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-Undang No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perpu yang dimaksud adalah Perpu No. 1 Tahun 1984 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Pajak Pertambahan

63

Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), h. 151

Nilai 1984. Menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 8 Tahun 1983, Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1984. Menjelang tanggal tersebut ternyata belum siap sehingga perlu ditangguhkan. Demikian juga Undang-Undang Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menurut ketentuan Pasal 74 Undang-Undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 September 1994. Namun menjelang tanggal tersebut ternyata belum siap. Keadaan “Belum Siap” menjadi dasar membuat Perpu penangguhan. Maka dari itu, urgensi kegentingan yang memaksa tidak semata-mata dikarenakan adanya keadaan mendesak.64

64

Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana, 2009) h. 102

BAB IV

ANALISIS PERPU NO 1 TAHUN 2014 TERKAIT DENGAN HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA

A. Proses Pembentukan Perpu No.1 Tahun 2014

Perjalanan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubenur, Bupati, dan Walikota tidak lepas dari permasalahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang membuat rakyat menjadi resah. Alasan ini secara logis dapat diterima rakyat karena regulasi yang diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota ini mengenai pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh rakyat, tetapi dipilih secara proses politik oleh anggota DPRD. Hal ini dianggap mencederai rasa demokrasi yang dijunjung bangsa Indonesia, meskipun banyak pakar hukum menganggap dengan pemilihan dilakukan oleh DPRD masuk kedalam demokrasi juga yakni demokrasi perwakilan, karena demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang dilaksanakan secara langsung maupun perwakilan.

Implikasi dari permasalahan tersebut menimbulkan banyak kelemahan dalam RUU Pilkada. Oleh karena itu Susilo Bambang Yudhoyono memberi opsi dengan 10 perbaikan yakni:65

1. Ada uji publik calon kepala daerah. Dengan uji publik dapat mencegah calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah, karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup, atau hanya karena yang bersangkutan merupakan keluarga dekat dari incumbent. Uji publik semacam ini diperlukan, meskipun tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai calon Gubernur, Bupati ataupun Walikota.

2. Penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan, karena dirasakan selama ini biayanya terlalu besar.

3. Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya bisa lebih dihemat dan untuk mencegah benturan antar massa.

4. Akuntabilitas penggunaan dana kampanye, termasuk dana sosial yang sering disalahgunakan. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya indikasi korupsi.

5. Melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung. Banyak kepala daerah yang akhirnya melakukan korupsi, karena harus menutupi biaya pengeluaran seperti ini.

65

6. Melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bisa menyesatkan publik dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi keadilan para pelaku fitnah perlu diberikan sanki hukum.

7. Melarang pelibatan aparat birokrasi. Ditengarai banyak calon yang menggunakan aparat birokrasi, sehingga sangat merusak netralitas dari pemilihan kepala daerah.

8. Melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada, karena pada saat Pilkada calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi tersebut.

9. Menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel, pasti, dan tidak berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar tidak terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme serta penyuapan.

10.Mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya. Tidak sedikit terjadinya kasus perusakan dan aksi-aksi destruktif karena tidak puas atas hasil Pilkada.

Dengan usulan 10 perbaikan yang dijelaskan di atas maka, Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan dirinya dan Partai Demokrat mendukung RUU tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan 10 perbaikan, agar tidak dipaksakan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD atau pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Hal ini

menimbulkan besarnya desakan dari berbagai kalangan rakyat Indonesia yang menginginkan Pilkada secara langsung.

Pada tanggal 25 September 2014 DPR menggelar rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada yang berakhir dengan disahkannya RUU Pilkada dengan opsi pemilihan melalui DPRD berdasarkan suara 226 anggota. RUU Pilkada dimungkinkan tidak akan disahkan oleh DPR apabila Partai mayoritas di parlemen yakni Partai Demokrat tidak melakukan walkout. Keputusan walkout Partai Demokrat bukan tanpa alasan, melainkan tidak disetujuinya usulan 10 perbaikan untuk RUU Pilkada oleh Parlemen. Akibat dari keputusan walkout membuat tidak kuatnya suara di parlemen untuk mendukung RUU Pilkada secara langsung, dan secara langsung disahkan atas perolehan suara terbanyak.

Kemudian pada tanggal 2 Oktober 2014 Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden menyerahkan dua Perpu kepada DPR atas pengesahan Undang-Undang Pilkada yang disahkan pada tanggal 26 September 2014. Salah satunya Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubenur/Bupati/Walikota sekaligus mencabut UU No 22 tahun 2014 yang mengatakan pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota yang mengacu pada pemilihan kepala daerah tak langsung oleh DPRD.

Keputusan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan Perpu di sinyalir akan mendapat penolakan terutama dari Koalisi Merah Putih, yang untuk saat itu menguasai Parlemen. Masalah lain adalah Perpu harus mendapat persetujuan DPR. Jika dihitung-hitung secara matematika, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:66

Dugaan ditolakanya Perpu No. 1 Tahun 2014 oleh DPR akhirnya terbantahkan. Babak baru perjalanan Perpu No.1 Tahun 2014 berakhir dengan disahkannya Perpu No.1 Tahun 2014 tentang Pilkada dan Perpu No. 2 Tahun 2014 tentang Pemda menjadi Undang-Undang. Dengan disahkanya oleh DPR maka rakyat kembali bisa memilih Gubernur-Wakil Gubernur, Wali Kota-Wakil Wali Kota, Bupati-Kota-Wakil Bupati secara langsung. Presiden Susilo

66

www.masshar2000.com diakses pada tanggal 28 Mei 2015

NO SETUJU PERPU TIDAK SETUJU 1 PDI-P (109 Kursi) Golkar (91 kursi) 2 Demokrat (61 kursi) Gerindra (71 kursi) 3 PKB (47 kursi) PAN ( 49 Kursi) 4 Nasdem (35 kursi) PKS (40 kursi) 5 Hanura (16 kursi) PPP (39 kursi)

Bambang Yudhoyono pada saat itu harus melakukan pendekatan politik kepada sejumlah pimpinan partai agar Perpu bisa mendapat persetujuan oleh DPR. Langkah yang diambil menurut Sacipto Rahardjo adalah pengertian politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu didalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar.67

B. Perbedaan Pendapat Dalam Memahami Perpu No 1 Tahun 2014 Terkait Dengan Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa

Pada pembahasan sebelumnya unsur politik menjadi kekuatan yang besar pengaruhnya terhadap perjalanan Perpu No.1 Tahun 2014, seperti yang dijelaskan Prof. Moh. Mahfud MD, hukum dipandang sebagai dependent variable (Variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (Variabel berpengaruh)68. Terlepas dari unsur politik di parlemen pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Penulis lebih menekankan alur permasalahan hukumnya. Aturan UUD 1945 menjelaskan keberadaan Perpu adalah hak Presiden yang diakomodir dalam Pasal 22 UUD 1945 Amandemen ke empat, menyatakan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai

67

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h.352 68

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, cet-4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 10

pengganti Undang-Undang”. Seperti halnya penerbitan Perpu No.1 Tahun 2014 dianggap sebagai langkah terbaik bagi negara dalam keadaan genting dan memaksa atas dasar desakan dan kehendak rakyat Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah yang berhak menafsirkan Perpu No 1 Tahun 2014 itu dalam keadaan genting yang memaksa dan apa yang menjadi tolak ukurnya? Prof. Jimly menyatakan yang menilai suatu keadaan yang genting dan mendesak tersebut adalah subjektifitas dari Presiden. Meski begitu tentu diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang matang agar subjektifitas itu tidak disalahgunakan, dalam arti ketika diterbitkan hanya semata-mata ditujukan untuk kepentingan bangsa dan negara.69

Permasalahan mengenai tolak ukur hal ihwal kegentingan yang memaksa dari Perpu No. 1 Tahun 2014 menimbulkan banyak perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi ketika suatu Perpu dikeluarkan oleh seorang Presiden. Berikut beberapa pernyataan mengenai tolak ukur hal ihwal kegentingan yang memaksa Perpu No. 1 Tahun 2014, yakni:

1. Menurut Prof. Dr. Saldi Isra, terlepas dari perbedaan sikap dalam memandang Perpu No. 1 Tahun 2014, pilihan politik untuk menyetujui

69

produk hukum yang lahir dari hak subjektif presiden ini jelas merupakan upaya untuk memulihkan kedaulatan rakyat dalam memilih kepala daerah. Kemudian jika dibaca risalah pembahasan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,70 maksud frase “dipilih secara demokratis” sama dengan model pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam hal tindak lanjut Perpu, Pasal 52 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu. Jika DPR setuju, Perpu ditetapkan menjadi Undang-Undang. Artinya, secara konstitusional, tindak lanjut Perpu untuk memenuhi Pasal 22 UUD 1945 tidak memungkinkan dilakukan perubahan substansi.

Mengenai Perpu No 1 Tahun 2014, yang harus diperdebatkan dalam proses pembahasannya adalah alasan-alasan Presiden sebagaimana tertuang dalam konsideran menimbang. Dalam hal ini, apakah alasan menghormati daulat rakyat, perbaikan mendasar atas berbagai masalah pemilihan langsung, dan penolakan luas rakyat benar-benar telah menimbulkan kegentingan yang memaksa? Secara hukum, untuk menilai kondisi kegentingan yang memaksa tersebut DPR dapat menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/ PUU-VII/2009. Merujuk pada putusan ini, Perpu diperlukan apabila adanya keadaan kebutuhan

70Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”

mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai untuk menyelesaikan masalah, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan membuat Undang-Undang secara prosedur karena memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu dengan segera untuk mendapatkan penyelesaian. Berdasarkan pada putusan MK tersebut, sangat terbuka kemungkinan memperdebatkan alasan subjektif presiden dalam menerbitkan Perpu No 1 Tahun 2014. Namun jika dilacak dan ditelusuri semua Perpu yang pernah ada dan kemudian disetujui menjadi Undang-Undang, sebagian besar dapat dinilai tidak memenuhi alasan objektif ditetapkannya Perpu. Artinya pengalaman selama ini proses persetujuan Perpu lebih banyak ditentukan oleh “komunikasi” presiden dan kekuatan politik di DPR.71

2. Menurut H. M. Helmi Faisal Zaini (Pimpinan Fraksi PKB di DPR Periode 2009-2014) menyatakan bahwa sikap yang jelas, tegas dan terang, yaitu mendukung penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Demokrasi yang berprinsip pada kedaulatan rakyat hanya bisa ditegakkan jika pemimpin daerah dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditentukan oleh wakil-wakil rakyat. Pilkada secara langsung lebih memberikan jaminan

71

http://www.rumahpemilu.org Persetujuan Perpu Pilkada oleh Saldi Isra diakses pada tanggal 13 Juni 2015

pada peningkatan dan perluasan partisipasi politik rakyat, pembentukan kultur politik yang lebih matang, pembelajaran kompetisi politik yang sehat, fair, dan terbuka serta memberikan peluang yang lebih besar bagi individu-individu berkualitas untuk naik ke tangga puncak kepemimpinan daerah.

Secara historis harus diingat bahwa pemilukada secara langsung pada mulanya muncul sebagai antitesa atas pemilihan kepala daerah yang sebelumnya berlangsung tertutup, terbatas, elitis dan sarat dengan kolusi. Ketika jarum sejarah yang sudah bergerak maju itu hendak diputar kembali ke belakang melalui UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilukada dikembalikan lagi lewat DPRD, maka wajar jika kemudian muncul penolakan dan protes meluas di masyarakat. Pemilukada oleh DPRD dianggap sebagai keputusan anti demokrasi, maka Perpu No. 1 Tahun 2014 adalah pilihan yang terbaik bagi masa depan demokrasi di Indonesia.72

Pernyataan tersebut memberikan pandangan bahwa Perpu No. 1 Tahun 2014 sebagai langkah tepat untuk mempertahankan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya. Maka ketika banyak penolakan dan desakan dari rakyat atas pemilihan secara tidak langsung dianggap menjadi suatu alasan sebagai keadaan yang mendesak dan kegentingan yang harus diselesaikan

72

dengan cepat. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau dengan perwakilan DPRD dinilai sebagai langkah mundur dari apa yang sudah dilakukan bangsa ini yang sudah menjadikan demokrasi langsung sebagai suatu langkah maju. Kesimpulanya Perpu lebih banyak ditentukan oleh “komunikasi” presiden dan kekuatan politik di DPR dilihat dari pengalaman beberapa Perpu yang disahkan oleh DPR. Hukum dipandang sebagai dependent variable (Variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (Variabel berpengaruh)73.

Pernyataan kontra terhadap dikeluarkanya Perpu No. 1 Tahun 2014 membuat para pakar hukum tata negara memberikan argumentasinya, yakni sebagai berikut:

1. Menurut Irman Putra Sidin sebaik apapun materi sebuah Perpu, perdebatan pertama dan utamanya adalah apakah Perpu tersebut telah memenuhi syarat hal ihwal kegentingan memaksa menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak. Hal ini yang menjadi acuan pertama dan utama baik DPR dan Mahkamah Konstitusi guna menilai Perpu tersebut. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota inkonstitusional, bahkan bisa dikategorikan penyalahgunaan kewenangan. Hal tersebut karena perpu tidak memenuhi syarat formil yang menjadi syarat mutlak pembentukan

73

Perpu, yakni hal ihwal kegentingan memaksa. Jika Perpu tidak memenuhi syarat tersebut, maka semulia apapun materinya, Perpu itu tidak dapat disetujui menjadi undang-undang oleh DPR dan harus dinyatakan inkonstitusional oleh MK. MK sudah memiliki kerangka konstitusional tentang syarat formil perpu, yaitu pada putusan MK Perkara Nomor 03/PUU-III/2005 hingga Perkara Nomor 1 dan 2/PUU-XII/2014. Berdasarkan syarat formil tersebut, Perpu sesungguhnya memiliki syarat umum dan syarat khusus yang harus terpenuhi oleh Presiden untuk dapat mengeluarkan Perpu.74

2. Menurut Andi Muhammad Asrun mengatakan sejumlah norma dalam Perpu Pilkada tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa. Sebagai contoh Pasal 167 atau bab 23 pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota, ini tidak ada kegentingan memaksa untuk mengatur hal ini, hal ini bisa diatur dengan sebuah undang-undang yang biasa. Selain itu, dengan tidak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 digantikan dengan UU No. 22 Tahun 2014. Kemudian datang Perpu menyatakan UU No. 22 Tahun 2014 tidak berlaku. Maka akan dipakai yang mana? Ini tidak ada rujukannya dan tidak jelas. Dengan demikian, Perpu Pilkada telah menimbulkan ketidakpastian dan tidak mengandung unsur kegentingan yang memaksa.75

74

3. Menurut Prof Moh. Mahfud MD mengatakan yang harus wajib diingat adalah syarat disahkannya suatu Undang-Undang adalah dengan persetujuan bersama dari DPR dan Presiden dalam suatu rapat paripurna yang dijelaskan dalam Pasal 69 UU No. 12 Tahun 2011. Ini berarti bahwa segala hak veto Presiden sudah diatur pada saat rapat paripurna yang menyetujui Undang-Undang tersebut. Pasal 69 Ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 bahkan sudah jelas menegaskan bahwa apabila RUU tidak disetujui bersama antara Presiden dan DPR, maka RUU tersebut tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan DPR pada masa itu. Dengan kata lain, satu-satunya alasan mengapa Undang-Undang Pilkada bisa lolos di pertengahan tahun 2014 adalah karena Undang-Undang tersebut sudah disetujui secara bersama-sama oleh DPR dan Presiden. Maka jangan dilupakan, Undang-Undang tersebut tidak bisa dikeluarkan jika Presiden dan DPR tidak menyepakati isinya. Dengan demikian menjadi tidak masuk akal ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian seenaknya tanpa ada kegentingan yang memaksa mengeluarkan Perpu Pilkada yang mencabut Undang-Undang yang sudah disetujuinya sendiri.76

Pernyataan tersebut memberikan pandangan bahwa Perpu No. 1 Tahun 2014 inkonstitusional, bahkan bisa dikategorikan penyalahgunaan

76

kewenangan. Hal tersebut karena Perpu tidak memenuhi syarat formil yang menjadi syarat mutlak pembentukan Perpu, yakni hal ihwal kegentingan memaksa. Sebagai contoh Pasal 167 atau bab 23 pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota, ini tidak ada kegentingan memaksa untuk mengatur hal ini, hal ini bisa diatur dengan sebuah undang-undang yang biasa.

C. Analisis Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Lahirnya suatu peraturan adalah berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai yang dikristalisasikan didalam tujuan negara, dasar negara dan cita-cita hukum.77 Alasan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2014 adanya desakan dari masyarakat Indonesia untuk tetap melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai telah cermat menggunakan hak konstitusional untuk menerbitkan Perpu ini. Beliau merumuskan kegentingan yang memaksa melalui pertimbangan yang matang dan mendengarkan dengan seksama aspirasi rakyat yang sangat kuat untuk menolak Pilkada tidak langsung. Beliau berpandangan setiap Rancangan Undang-Undang yang disusun haruslah mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia. Penolakan luas yang ditunjukkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia harus disikapi dengan

77

Moh.Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), h.20

tindakan yang cepat, dan salah satunya dengan menerbitkan Perpu ini. Sebuah Undang-Undang yang mendapatkan penolakan yang kuat dari masyarakat, akan menghadapi tantangan dan permasalahan dalam implementasinya.

Kekuasaan atau kewenangan Presiden untuk menetapkan Perpu itu juga harus memenuhi persyaratan yang bersifat materil yaitu apabila negara dalam situasi keadaan kegentingan yang memaksa. Memang dalam UUD 45 dan UU No 12 Tahun 2011 tidak memberikan rumusan atau tafsir yuridis tentang kategori hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dimaksud. Namun secara akademik dapat dirumuskan kegentingan yang memaksa diharuskan ada situasi bahaya atau situasi genting, kemudian adanya situasi bahaya atau genting mengancam keselamatan negara jika pemerintah tidak cepat mengambil tindakan hukum konkrit, dan adanya situasi yang sangat mendesak sehingga diperlukan tindakan pembentukan hukum pemerintah tanpa menunggu mekanisme DPR.

Perpu sebagai solusi yuridis atas penolakan sebagian warga negara terhadap Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan DPR dan belum masuk lembaran negara. Analisis dari hal tersebut yakni, Undang-Undang Pilkada adalah produk hukum yang merupakan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, jika persetujuan bersama maka presiden dalam hal ini pemerintah tidak memperhatikan azas-azas pembentukan peraturan perudang-undangan.

Akibat hal itu Presiden mempermalukan lembaganya sendiri dan kurang cermatnya dalam pembahasan dan persetujuan bersama. Kemudian Undang-Undang yang ditetapkan tanpa persetujuan bersama adalah produk hukum

Dokumen terkait