• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan hakim merupakan dalih atau argumentasi yang digunakan oleh para hakim untuk pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus. Dalam prakteknya putusan hakim sebelum hal tersebut dibuktikan, maka hakim akan mencari fakta-fakta yang timbul dalam persidangan. Dan merupakan kesimpulan komulatif dari keterangan yang disampaikan para saksi,

serta barang bukti lainnya.61 Pertimbangan hakim ini adalah salah satu aspek

yang sangat penting untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dari suatu putusan hakim, di samping itu terdapat juga manfaat bagi para pihak yang berkaitan

sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan cermat dan hati-hati.62

Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Hakim merupakan bagian utama di dalam pengadilan. Bahkan Hakim “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman acap kali diserupakan dengan kebebasan hakim. Begitu halnya, keputusan pengadilan diserupakan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan

keputusan yang mencerminkan keadilan.63

Hakim merupakan pejabat fungsional lembaga peradilan, mengemban amanah yang tidak mudah. Dalam membuat keputusan hakim bukan saja dituntut memiliki kemampuan intelektual, melainkan juga diharapkan memiliki

61Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer (Bandung: PT Citra Aditya bakri, 2007). hlm. 212.

62Mukti Aro, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet. 5 (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1996). hlm. 140.

63Nur Iftitah Isnantiana, “Legal Reasoning Hakim dalam Pengambilan Putusan Perkara

baik, serta dapat menjaga peran, kewibawaan dan statusnya di hadapan masyarakat, sehingga hasil-hasil putusannya dapat menggambarkan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang didapatkan selama proses persidangan, baik dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang diucapkan dalam persidangan (Lihat Pasal 164 HIR). Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif. Pada Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap di dalam persidangan. Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.64

Untuk menggali hukum, hakim dapat juga merujuk pada yurisprudensi dan pendapat ahli terkenal (doktrin). Mengenai yurisprudensi, hakim bukan berarti terikat kepada keputusan-keputusan hakim-hakim lain dan juga tidak kepada hakim yang lebih tinggi kedudukannya. Apabila suatu peraturan dalam putusan hakim diterima secara tetap dan nyata menjadi keyakinan hukum umum, atau dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk suatu yurisprudensi tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan berdasarkan garis tingkah laku hakim-hakim terciptalah keyakinan hukum

umum.65

64Nur Iftitah Isnantiana, “Legal Reasoning Hakim dalam Pengambilan Putusan Perkara di Pengadilan..., hlm. 44.

65Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet 3 (jakarta: Sinar Grafika, 2004). hlm. 100.

dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd. Argumen yang dijadikan pertimbangan dapat berupa pasal-pasal

tertentu peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau doktrin hukum.66

Hal tersebut terdapat dalam Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa Putusan pengadilan tidak hanya memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 UU Kekuasan Kehakiman memerintahkan hakim untuk menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Bertolak dari pasal yang dipaparkan di atas, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis, akibatnya putusan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Begitu pula pertimbangan yang mengandung kontradiksi, putusan demikian tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam menemukan hukum, ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada, tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian diciptakan. Scholten mengatakan bahwa di dalam perilaku manusia itu

66Nur Iftitah Isnantiana, “Legal Reasoning Hakim dalam Pengambilan Putusan Perkara di Pengadilan..., hlm. 46.

mencari atau menemukannya. Menurut Bernad Arif Sidharta, proses-proses pembuatan putusan tidak dapat dilepaskan dari kegiatan bernalar hakim. Kegiatan bernalar dari hakim ini mampu berkembang menurut logikanya sendiri, dan eksis sebagai sebuah model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-tugas profesionalnya. Hakim dalam memutus sebuah perkara selain berdasarkan proses seperti tersebut di atas harus berdasarkan argumentasi atau alasan.67

Tugas hakim pada dasarnya adalah mengkonstatir yang artinya melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim harus pasti akan konstateringnya, sehingga ia harus pasti akan kebenarannya itu, tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah tentang adanya peristiwa yang bersangkutan. Selanjutnya hakim harus melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang

diajukannya.68

Kemudian hakim setelah berhasil mengkonstatir peristiwanya tersebut, lalu “mengkualifisir” nya atau menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi. Hakim setelah mengkonstatir peristiwa atau kejadian berarti hakim tersebut mempunyai “legal problems solving” dan ia wajib mencari solusinya atau jawabannya, memang sebenarnya tidak mudah untuk mendapat jawabanya. Hal ini karena dalam kehidupan di masyarakat terdapat masalah-masalah kehidupan, baik yang berkaitan agama, sosial, moral, kesopanan, kesusilaan dan lain sebagainya. Tetapi hakim sebagai seorang yang mempunyai kompentensi memberikan jawabannya harus dapat menemukan hukumnya. Oleh karena itu

67Nur Iftitah Isnantiana, “Legal Reasoning Hakim dalam Pengambilan Putusan Perkara di Pengadilan,” jurnal Pemikiran Islam Islamadina, Nomor 2, Vol 18 (Juni 2017). hlm. 48.

menemukan hukum dari peristiwa/kejadian itu seorang hakim harus melakukan

pemecahan hukum (legal problems solving).69

B. Putusan dan Pertimbangan Hukum Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

Dokumen terkait