• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lima Variabel Utama yang Digunakan untuk Mengukur Kapasitas Aktor dalam Memajukan dan Memanfaatkan

tentang Konsep dan Metode

Boks 2.2. Lima Variabel Utama yang Digunakan untuk Mengukur Kapasitas Aktor dalam Memajukan dan Memanfaatkan

Instrumen-instrumen Demokrasi.

Masyarakat memiliki kebutuhan untuk:

1. Berada di lanskap politik (misalnya bisnis, kelompok kepentingan, partai, birokrasi dan parlemen), bukannya dieksklusi dari sana. 2. Dapat mengubah sumberdaya mereka menjadi otoritas dan

legitimasi.

3. Dapat mengalihkan persoalan non-privat menjadi persoalan publik yang politis (misalnya politisasi masalah-masalah tertentu pada isu-isu spesifi k; atau dengan mengkombinasikan berbagai isu-isu dan atau mengaitkannya dengan ide-ide dan konsep-konsep umum.

4. Dapat memobilisasi dan mengorganisir dukungan (misalnya melalui pemimpin popular, klientelisme, patronase alternatif, jaringan atau pengorganisiran komprehensif dari bawah; dengan menghubungkan rakyat melalui identitas, jaringan personal dan atau kepentingan dan gagasan; dan dengan membangun dan membiayai berbagai aliansi). 5. Dapat mendekati berbagai institusi pemerintahan (misalnya

langsung ke eksekutif atau dengan perangkat representasi melalui para pemimpin informal atau partai atau LSM).

Sumber dan Ukuran

Mendesain kerangka alternatif yang terbaik untuk mengukur demokrasi adalah hal yang harus dibedakan dari membuat kerangka itu memungkinkan untuk mengukur berbagai indikator dan mengumpulkan sumber-sumber. Audit demokrasi membutuhkan hasil-hasil dari riset sebelumnya dan bank data. Adalah hal biasa dalam audit demokrasi untuk membuat sejumlah studi yang mencakup masalah-masalah yang tidak tereksplorasi dan menjalankan survei-survei dasar tentang sikap warga negara dan cara-cara untuk menghubungkannya dengan demokrasi. Biasanya dimungkinkan untuk membuat penilaian tentang seluruh informasi ini oleh sejumlah kecil ahli. Survei terkait serupa tetapi dengan cara inovatif yang dilakukan di Asia Selatan lebih dekat dengan cara-cara audit demokrasi di negara-negara Utara. Hal ini dapat dilihat dalam riset-riset yang tersedia, sejumlah studi kasus yang dilakukan dan dengan lebih memementingkan survei besar tentang perilaku rakyat, opini dan hubungannya dengan institusi demokratis.

Meskipun terdapat berbagai kemiripan, kerangka penilaian alternatif kami kembangkan berbeda dengan pola-pola tersebut dalam berbagai hal penting. Pertama, di Indonesia, sebagaimana juga di berbagai negara-negara Selatan lainnya, riset-riset yang ada tidak cukup baik dan tidak cukup kritis untuk menilai masalah-masalah demokrasi, apalagi jika dibandingkan dengan apa yang bisa dilihat di negara-negara Utara atau di negara-negara ‘demokrasi lama di Selatan’ seperti di India. Terlebih lagi, kita sulit menemukan sumber-sumber tertulis tentang institusi dan praktik berbagai para aktor di tingkat lokal, terutama yang berhubungan dengan masyarakat yang rentan dan atau kelompok yang kuat. Berbagai sumber dari internet yang seringkali dirujuk (termasuk oleh IDEA International) tidak benar-benar menawarkan jalan keluar dari dilema ini tetapi justru mencerminkan kecenderungan di antara para peneliti dan berbagai organisasi dalam mengumpulkan data di kalangan para ahli yang tidak begitu mengikuti kenyataan di lapangan. Ini bukanlah untuk mengatakan bahwa kita tidak boleh mengoleksi data dan bersandar pada riset-riset apa pun yang telah tersedia atau dengan membuat riset baru; kita akan mendiskusikan ini nanti. Tetapi problem yang paling krusial adalah untuk menemukan kemungkinan pengganti yang terbaik atas kelemahan studi-studi dan bank data sebelumnya.

Secara prinsip terdapat tiga alternatif utama. Yang paling umum adalah dengan mengambil penilaian dari para elit di kalangan para sarjana, ahli dan pemimpin ekonomi dan politik. Dapat diduga bahwa hal ini akan cenderung mengeksklusi informasi dan pengalaman di lapisan bawah di pedesaan, terutama di kalangan orang biasa dan pro-demokrat yang memiliki komitmen untuk selalu berada di luar dinamika ekonomi dan politik.

Alternatif kedua adalah dengan membuat survei ekstensif di kalangan rakyat pada umumnya, sebagaimana dilakukan pada survei-survei di Asia Selatan. Namun, cukup sulit untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan penting dan untuk memperoleh jawaban yang terus-terang, khususnya di daerah di mana banyak orang masih sulit untuk mengungkapkan opini mereka menyangkut isu-isu sensitif. Terlebih lagi, jika kita menganggap pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan institusi dan nilai-nilai demokratis adalah hal yang penting, maka cara ini bukanlah merupakan pengganti yang memadai untuk kelemahan riset tentang sejumlah problem krusial tersebut. ‘Bertanya kepada masyarakat’ adalah hal yang baik, tetapi tidak ada jalan pintas populis untuk sebuah penilaian dan analisis yang bermutu terhadap berbagai masalah yang kompleks. Untuk melakukan itu, kita membutuhkan pengetahuan akademis tentang berbagai konsep, argumen serta perspektif komparatif, dan lain-lain. Karena itu, kerangka penilaian alternatif kami memberikan prioritas untuk menemukan kelompok terbaik yang berpengalaman di lapangan, yaitu para aktivis pro-demokrasi yang menonjol dan berpengalaman di garis depan demokrasi di seluruh provinsi; aktivis yang memiliki reputasi untuk dapat merefl eksikan persoalan secara kritis.

Sebagai tambahan, survei-ahli ini juga memungkinkan kita untuk menanyakan berbagai permasalahan ke depan yang kompleks. Yang terakhir dan yang terpenting: survei-ahli seperti ini jika dilakukan di seluruh daerah akan bisa membuka jalan untuk riset partisipatoris dengan sejumlah kolega. Buktinya, sangat sedikit dari informan survei Demos yang mengundurkan diri. Banyak dari mereka yang malah membantu untuk mendapatkan informasi-informasi terbaik dan mencoba untuk membuat kuesioner terbaik meskipun lebih kompleks. Para partisipan ini juga belajar tentang demokrasi ketika mereka mengerjakan kuesioner ekstensif dengan asisten-asisten lapangan kita dan banyak orang yang terlibat tertarik untuk memahami hasilnya, kemudian memberikan umpan balik, dan akhirnya sangat menolong untuk mengembangkan rekomendasi serta upaya-upaya untuk mengimplementasikannya.

Sekali lagi, hal ini bukan berarti bahwa kita tidak harus membutuhkan informasi tambahan dari riset-riset sebelumnya, atau mengadakan studi kasus tambahan dan melibatkan berbagai ahli ‘elit’, mahasiswa, sarjana di dalam kerja itu. Tetapi pertama-tama, yang kami butuhkan adalah untuk mengatasi sejumlah kekurangan dengan melakukan survei partisipatoris dengan orang berpengalaman bekerja di lapangan.

Salah satu opini yang seringkali disuarakan adalah bahwa informan-ahli Demos di tingkat lokal tidaklah representatif, tidak imparsial dan tidak cukup kritis dan refl ektif. Kritik ini biasanya dikemukakan dalam dua versi. Pertama, para informan itu bukanlah orang yang cukup ahli. Namun, orang yang setidaknya telah membaca ringkasan laporan hasil dari survei nasional pertama Demos akan memahami bahwa anggapan itu terbukti tidak benar. Pernyataan yang dibuat oleh informan tentang situasi aktual jelas lebih detil, lebih lokal, serta lebih seimbang daripada yang diekspresikan oleh para ahli-ahli papan atas yang biasa menulis dan mengungkapkan pendapatnya melalui artikel-artikel di media massa dan seminar.

Kritik yang menyerupai itu menyoroti bahwa para informan itu tidak representatif. Hal ini perlu didiskusikan secara lebih detil. Salah satu versi dari pandangan ini adalah bahwa Demos tidak melakukan sampling yang valid secara statistik untuk menjaring responden dari kalangan aktivis pro-demokrasi, dan mementingkan sejumlah kriteria dasar seperti umur, jenis kelamin, fokus tematik dan lokasi geografi s. Jawaban untuk kritik ini sederhana. Karena hal yang penting untuk diletakkan dalam urutan pertama dalam pemilihan statistik semacam itu adalah dengan mengidentifi kasi populasi total dari kelompok pro-demokrasi, maka Demos tentu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang konteks-konteks lokal untuk memformulasi pertanyaan yang memadai yang cukup sederhana dan valid untuk mendapatkan jawaban yang memungkinkan. Namun, ada kebutuhan untuk memperoleh responden yang mampu memahami pertanyaan yang agak kompleks dan bahkan seringkali abstrak. Demos telah menyatakan bahwa survei ini merupakan pengganti dari kurangnya bank data, dokumentasi tertulis dan analisa-analisa sebelumnya – dan tidak dimaksudkan untuk mengumpulkan opini-opini. Karena itulah Demos memilih untuk melakukan survei-ahli. Hal ini berarti bahwa tantangannya adalah untuk menemukan ahli dan informan yang sebaik mungkin untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu, dan bukannya sampel statistik untuk menilai opini dan pengalaman.

Versi kedua dari kritik tentang lemahnya pemilihan informan ini agaknya lebih lunak, tetapi penting. Mereka yang melontarkan kritik ini sesungguhnya dapat menerima prinsip-prinsip survei-ahli, tetapi mempermasalahkan apakah ahli-ahli itu telah diseleksi dengan baik. Ini adalah kritik yang paling penting dan sahih dalam diskusi ini. Untuk mengapresiasi kritik ini, seseorang harus mencermati bagaimana Demos telah bertindak sejauh ini dalam mengidentifi kasi para ahli yang terbaik