• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.2 Variabel yang Tidak Memengaruhi Penggunaan Alat Kontrasepsi

Hasil uji statistik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang tidak memengaruhi Pasangan Usia Subur (PUS) terhadap penggunaan alat kontrasepsi di Desa Secanggang yaitu variabel pengetahuan dan pengalaman.

5.2.1 Variabel Pengetahuan

Hasil uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel pengetahuan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan alat

kontrasepsi (ρ=0,608>0,05).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Gerungan (2004), yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan tidak adanya pengaruh variabel pengetahuan dalam penelitian ini disebabkan oleh karena ibu-ibu yang memiliki pengetahuan yang baik mempunyai perbuatan yang relatif sama dengan ibu-ibu yang memiliki pengetahuan yang buruk dan sedang.

Ibu-ibu yang berpengetahuan baik tidak memengaruhinya dalam menggunakan alat kontrasepsi disebabkan karena berbagai faktor, yakni adanya keinginan untuk tambah anak lagi (26,5 %), tidak adanya dukungan oleh suaminya (39,1 %), dan takut terhadap efek samping yang ditimbulkan (15,6 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Imroni (2009), bahwa pengetahuan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap penggunaan alat kontrasepsi implan dalam program KB. Menurut BkkbN sebagaimana yang dikutip oleh Imroni (2009), pengetahuan seseorang individu tentang keluarga berencana dan alat kontrasepsi yang

tersedia sangat menentukan proses penerimaan dan penggunaan seseorang terhadap kontrasepsi. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan tetapi juga dipengaruhi oleh ketersediaan alat kontrasepsi.

Menurut Ancok (1986), pengetahuan merupakan salah satu aspek motivasi bagi suami-isteri dalam perilaku pemakaian kontrasepsi selain sikap dan niat. Dengan dimilikinya pengetahuan tentang pemakaian kontrasepsi yang berakibat pasangan suami-isteri akan bersikap positif atau negatif dan akan memengaruhi penerimaan kontrasepsi.

Kegiatan yang rutin dilakukan di Desa Secanggang seperti pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak dan pekan jumat dapat digunakan sebagai wadah penyebarluasan informasi tentang pentingnya penggunaan alat kontrasepsi. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk merubah paradigma masyarakat tentang penggunaan alat kontrasepsi yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma agama serta budaya. Dalam hal ini dapat dipertimbangkan bahwa sarana penyampaian pesan yang efektif mengingat bahwa kondisi tingkat pendidikan di desa Secanggang masih rendah.

5.2.2 Variabel Pengalaman

Hasil uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel pengalaman tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan alat

kontrasepsi (ρ=0,102>0,05).

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan tidak adanya pengaruh variabel pengalaman dalam penelitian ini diduga oleh karena ibu-ibu yang memiliki

pengalaman yang buruk di masa lalunya tentang penggunaan alat kontrasepsi tetap menggunakan alat kontrasepsi tersebut. Pengalaman yang buruk yang dirasakan responden berkaitan dengan efek samping yang dirasakan, misalnya responden pernah mengalami haid yang tidak teratur akibat penggunaan alat kotrasepsi, namun responden tetap menggunakan alat kontrasepsi tersebut karena takut memiliki anak lagi (13,8 %) dan ingin menjarangkan kehamilan (48,2 %). Tidak semua responden mampu bertahan menggunakan alat kontrasepsi dengan merasakan efek samping sehingga ada sebagian responden yang memberhentikan penggunaan alat kontrasepsi akibat efek samping yang telah dirasakannya (43,6 %).

Responden yang memiliki pengalaman yang baik lebih sedikit yang menggunakan alat kontrasepsi diduga oleh karena adanya rumor yang pernah didengar ibu-ibu bahwa apabila menggunakan alat kontrasepsi bisa tidak mendapat anak lagi, bisa menderita kanker, tidak tahan terhadap efek samping alat kontrasepsi dan adanya larangan dari suami untuk menggunakan alat kontrasepsi. Walaupun informasi dan penyuluhan telah didapatkan oleh ibu-ibu, tetapi tidak memengaruhi ibu-ibu secara langsung menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini disebabkan oleh karena kurangnya dukungan suami dan perlunya penghilangan penafsiran yang salah tentang efek samping penggunaan alat kontrasepsi.

Diharapkan adanya pemberian informasi oleh tenaga kesehatan dan kader posyandu secara terus menerus dan berkesinambungan untuk mengubah cara pandang yang salah oleh masyarakat terhadap penggunaan alat kontrasepsi.

Pengalaman merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengalaman juga sangat berharga dan pengalaman juga dapat diberikan

kepada siapa saja untuk digunakan dan menjadi pedoman serta pembelajaran manusia. Pengalaman ibu dalam menggunakan alat kontrasepsi merupakan hal yang tidak terlupakan dan sering dibagikan kepada ibu-ibu lain tentang keefektifannya bahkan efek sampingnya yang dapat memengaruhi ibu-ibu untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi atau menggunakan alat kontrasepsi.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, pengalaman menggunakan KB pernah dijalani oleh 59,1 % responden dan ibu yang pernah memberhentikan penggunaan KB sebanyak 38,7 % bagi ibu yang tidak ber-KB saat ini. Alasan memberhentikan penggunaan alat kontrasepsi dikarenakan efek samping yang dirasakan oleh ibu-ibu, di antaranya gemuk, flek-flek hitam di wajah, haid yang tidak teratur dan banyak serta adanya keputusan dari suami untuk memberhentikan menggunakan alat kontrasepsi.

Informasi yang didapatkan ibu-ibu tentang KB didapatkan dari bidan swasta yang membuka praktik, bidan desa, bidan di Puskesmas serta informasi dari TV. Penyuluhan yang didapatkan ibu-ibu berasal dari bidan di Puskesmas saat diadakannya Posyandu. Keuntungan yang didengar ibu tentang KB adalah KB dapat menjarangkan kehamilan dan dengan ber-KB, anak akan sedikit, sedangkan kerugian yang didengar ibu tentang KB adalah KB dapat membuat gemuk, tidak bisa punya anak lagi, dan haid lama. Ibu-ibu pernah dianjurkan untuk ber-KB oleh bidan, suami dan keluarga.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dari hasil penelitian mengenai pengaruh pengetahuan, pengalaman, nilai anak dan dukungan suami terhadap penggunaan alat kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Secanggang Kabupaten Langkat Tahun 2013, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari 93 responden, sebanyak 64 responden (68,8%) diketahui tidak menggunakan alat kontrasepsi dan 29 (31,2 %) responden menggunakan alat kontrasepsi.

2. Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel nilai ekonomis anak dan dukungan suami terhadap penggunaan alat kontrasepsi pada PUS.

3. Tidak ada pengaruh secara signifikan antara variabel pengetahuan dan pengalaman terhadap penggunaan alat kontrasepsi pada PUS.

6.2 Saran

1. Disarankan adanya penyuluhan bagi suami karena dukungan suami besar pengaruhnya terhadap penggunaan alat kontrasepsi melalui kegiatan rutin yang dilakukan seperti pengajian bapak-bapak setiap hari jumat yang dapat mengubah paradigma suami terhadap efek samping dari alat kontrasepsi. 2. Perlunya mengubah pola pikir masyarakat melalui pemberdayaan tokoh

pengajian ibu dan bapak serta pekan jumat dengan tujuan untuk memperbaiki pandangan masyarakat yang salah tentang nilai ekonomis anak, karena sebagian besar responden di Desa Secanggang masih memiliki anggapan bahwa anak adalah sumber utama pendapatan bagi keluarga sehingga setiap keluarga berusaha untuk memiliki anak yang banyak.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang penggunaan alat kontrasepsi di Desa Secanggang dengan variabel yang belum diteliti pada penelitian ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Program KB

2.1.1 Sejarah Program KB di Indonesia

Sesungguhnya keluarga berencana bukanlah hal baru, karena menurut catatan-catatan dan tulisan-tulisan yang berasal dari Mesir Kuno, Yunani Kuno, Tiongkok Kuno dan India, hal ini telah mulai dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu, tetapi pada waktu itu cara-cara yang dipakai masih kuno dan primitif. Di Indonesia sejak zaman dahulu telah dipakai obat dan jamu yang dimaksudkan untuk mencegah kehamilan. Di Irian Jaya telah lama dikenal ramuan dari daunan yang khasiatnya dapat mencegah kehamilan. Dalam masyarakat hindu Bali sejak dahulu hanya ada nama untuk empat orang anak, kemungkinan suatu cara ini untuk menganjurkan supaya pasangan suami istri mengatur kelahiran anaknya hanya sampai empat saja (Arum, 2008).

Di Indonesia keluarga berencana modern mulai dikenal pada tahun 1953. Pada waktu itu sekelompok ahli kesehatan, kebidanan, dan tokoh masyarakat telah mulai membantu masyarakat. Pada tanggal 23 Desember 1957 mereka mendirikan wadah dengan nama Perkumpulan Keluarga Berencana Nasional (PKBI) yang bergerak secara silent operation membantu masyarakat yang memerlukan bantuan secara sukarela, jadi di Indonesia PKBI adalah pelopor gerakan Keluarga Berencana Nasional. Untuk menunjang dalam rangka mencapai tujuan berdasarkan hasil penandatanganan Deklarasi Kependudukan PBB 1967 oleh beberapa Kepala Negara

Indonesia, maka dibentuklah suatu lembaga program keluarga berencana dan di masukkan dalam program pemerintah berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1968 yang dinamai Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) sebagai lembaga semi pemerintah.

Pada tahun 1970, LKBN ditingkatkan menjadi badan pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 8 tahun 1970 dan diberi nama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang bertanggung jawab kepada presiden dan bertugas mengkoordinasikan perencanaan dan pengawasan serta penilaian pelaksanaan program keluarga berencana (Arum, 2008).

BKKBN yang semula memiliki kepanjangan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional telah berubah namanya menjadi BkkbN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) sesuai revisi Undang-Undang KB nomor 10 tahun 1992 menjadi Undang-Undang KB nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan keluarga. BkkbN di tingkat provinsi bernama BkkB provinsi dan di kabupaten/kota bernama BkkbN daerah yang antara lain memiliki tugas dan wewenang dalam pengendalian penduduk, peningkatan kualitas dan mobilitas penduduk (BkkbN, 2011).

2.1.2 Pengertian Program KB

Pengertian Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah keluarga berencana merupakan upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan dan mengatur kehamilan melalui

promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.

2.1.3 Visi Program KB

Visi program KB Nasional adalah penduduk tumbuh seimbang tahun 2015. Visi tersebut mengacu kepada fokus pembangungan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 serta visi dan misi presiden yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014 (BkkbN, 2011).

2.1.4 Misi Program KB

Berdasarkan visi tersebut di atas, misi pembangunan kependudukan dan keluarga berencana diarahkan untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera (BkkbN, 2011).

2.1.5 Tujuan Program KB

Ada 2 tujuan dalam Program KB Nasional, yaitu :

1. Mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan kebijakan kependudukan guna mendorong terlaksananya pembangunan nasional dan daerah yang berwawasan kependudukan.

2. Mewujudkan penduduk tumbuh seimbang melalui pelembagaan keluarga kecil bahagia sejahtera (BkkbN, 2011).

2.1.6 Sasaran KB Nasional

Adapun yang menjadi sasaran gerakan KB adalah Pasangan usia subur (PUS)

yaitu pasangan suami istri yang hidup bersama dimana istrinya berusia 15-44 tahun yang harus dimotivasi terus-menerus, Non PUS (anak sekolah, orang yang belum menikah, pasangan di atas 44 tahun, dan tokoh masyarakat), Institusional (berbagai organisasi, lembaga masyarakat, pemerintah dan swasta). Dalam operasionalnya program Keluarga Berencana Nasional dapat dirumuskan dalam strategi yaitu : a. Mendorong pasangan usia subur (PUS) yaitu istri yang belum berusia 30 tahun

dan anaknya baru satu orang agar merasa cukup memiliki 2 orang anak saja. b. Membantu PUS yang berusia lebih dari 30 tahun dan anaknya lebih dari tiga

orang agar tidak menambah anak lagi (Ritonga, 2003).

2.2 Kontrasepsi

Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah dan melawan, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan (Erlysa, 2007). Kehamilan terjadi sebagai akibat persatuan sel telur dengan sel sperma (Depkes, 1980). Maksud dari kontrasepsi adalah menghindarkan dan mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut (Erlysa, 2007).

Menurut Nancy di dalam Erlyssa (2007), Kontrasepsi yang ideal harus dapat bekerja dalam waktu yang tahan lama, mempunyai efektifitas yang tinggi, aman, mudah dalam menggunakan dan melepaskannya dan memiliki beberapa atau tidak sama sekali efek samping.

2.2.1 Prinsip Kerja Kontrasepsi

Prinsip kerja dari kontrasepsi adalah meniadakan pertemuan sel telur dan sel sperma. Dalam mencapai prinsip kerja ini, terdapat berbagai cara kerja dari masing-masing alat kontrasepsi yang ada (Siswosudarmo, 2001).

Efektifitas metode dalam penggunaan kontrasepsi sangat tergatung dari mekanisme kerjanya untuk mencegah terjadinya kehamilan, ketepatan dalam cara penggunaannya, konsistensi dalam menggunakannya, dan tingkat ketergatungan klien terhadap kepatuhannya dalam menggunakan secara benar (BkkbN, 2012). Pada dasarnya metode teknis keluarga berencana adalah menjarangkan, mencegah dan menghilangkan kehamilan (Hidayati, 2009).

2.2.2 Jenis dan Metode Kontrasepsi

Menurut BkkbN (2012), metode kontrasepsi pada umumnya dapat di bagi menjadi:

1. Metode sederhana

Kontrasepsi sederhana tanpa alat antara lain teknik pantang berkala, metode kalender, dan Metode Amenore Laktasi (MAL) sedangkan kontrasepsi sederhana dengan alat antara lain kondom, diafragma, dan spermisida (BkkbN, 2012).

2. Metode kontrasepsi Efektif

Kontrasepsi efektif terdiri dari pil, suntikan, AKDR dan implan (susuk). a. Pil

Cara kerja dari pil adalah menekan ovulasi, mengubah motilitas tuba sehingga transportasi sperma terganggu, mengganggu pertumbuhan endometrium sehingga menyulitkan proses implantasi dan memperkental lendir serviks. Efektivitas pil tergantung dari pengguna, artinya pil cukup efektif jika tidak lupa menggunakannya 1 hari saja dan dengan penggunaan secara teratur.

Keuntungan dari penggunaan pil adalah mudah didapatkan dan digunakan, mengurangi nyeri haid, dan pemulihan kesuburan hampir 100 %. Kerugian menggunakan pil adalah harus digunakan setiap saat dan pada waktu yang sama dan tidak dianjurkan bagi wanita diatas usia 40 tahun. Efek samping dari pil adalah pada sebagian wanita dapat menimbulkan efek samping, antara lain mual, berat badan bertambah, sakit kepala dan efek samping ini dapat timbul berbulan-bulan (BkkbN, 2012).

b. Suntikan

Kontrasepsi suntikan merupakan salah satu jenis metode kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi suntikan adalah hormon yang diberikan secara suntikan untuk mencegah terjadinya kehamilan. KB suntik sesuai untuk wanita pada semua usia reproduksi yang menginginkan kontrasepsi yang efektif, reversibel, dan belum bersedia untuk sterilisasi. Mekanisme kerja dari suntikan meliputi menekan ovulasi, mengurangi transportasi sperma di saluran telur, mengganggu pertumbuhan endometrium sehingga mencegah penetrasi sperma (BkkbN, 2012).

c. Implan (susuk)

Implan adalah kontrasepsi yang disusupkan di bawah kulit. Efektivitas dari implan yakni sangat efektif (0,2 – 1,1 kehamilan per 100 perempuan pada tahun

pertama). Cara kerja dari implan yakni menghalangi ovulasi, mengurangi pergerakan tuba, mengubah endometrium dan menebalkan mukus serviks.

Keuntungan dari penggunaan implan adalah tidak mengganggu hubungan seksual, tidak memengaruhi ASI dan memberikan perlindungan jangka panjang (3 tahun). Keterbatasan dari penggunaan implan adalah mengubah pola pengeluaran haid (tidak teratur pada banyak wanita), memerlukan petugas terlatih khusus dalam pemasangan dan pencabutan, tidak melindungi diri dari terjadinya Penyakit Menular Seksual (PMS), dan terjadinya kehamilan ektopik cukup tinggi.

Efek samping dari penggunaan implan adalah perubahan pola haid, ekspulsi (keluarnya kapsul susuk dari tempat insersi), nyeri kepala, peningkatan atau penurunan berat badan, nyeri payudara, perasaan mual, pusing kepala, dan perubahan perasaan atau kegelisahan (BkkbN, 2012).

d. Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR)

Mekanisme kerja dari AKDR tembaga adalah menurunkan motilitas sperma, mengentalkan lendir serviks, mengubah garis endometrium, dan mengganggu proses reproduksi sebelum sel telur mencapai kavum uteri. Keuntungan AKDR adalah efektivitas yang tinggi bagi penggunanya, segera efektif digunakan tanpa memiliki banyak efek samping, memberikan perlindungan jangka panjang (10 tahun), tidak mengganggu proses senggama dan kesuburan cepat pulih setelah AKDR dilepas.

Keterbatasan AKDR adalah perlu pemeriksaan PMS sebelum dipakai, insersi dan pencabutan dilakukan petugas terlatih, perlu deteksi benang AKDR, meningkatkan jumlah perdarahan dan kram menstruasi dalam beberapa bulan pertama

(terutama CuT), kemungkinan terjadi ekspulsi spontan, tidak mencegah kehamilan ektopik dan tidak melindungi dari PMS.

Efek samping pemakaian AKDR dengan tembaga meliputi darah menstruasi yang lebih banyak, perdarahan tidak teratur dan hebat, dan kram haid yang berlebihan dari biasanya (BkkbN, 2012).

e. Metode Kontrasepsi Mantap (Kontap)

Metode mantap terdiri atas tubektomi dan vasektomi atau juga dapat disebut dengan sterilisasi. Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas atau kesuburan perempuan dengan mengokulasi tuba fallopi (mengikat dan memotong atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum. Vasektomi adalah metode KB permanen bagi pria yang sudah memutuskan untuk tidak ingin memiliki anak lagi. (BkkbN, 2012).

2.3 Pasangan Usia Subur (PUS)

Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, yang istrinya berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun, dan secara operasional termasuk pula pasangan suami istri yang istrinya berumur kurang dari 15 tahun dan telah memasuki masa menstruasi atau istri berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih mengalami masa menstruasi (BkkbN, 2010).

Program Keluarga Berencana menyatakan bahwa mereka yang berada pada kelompok 45-49 tahun bukan merupakan sasaran keluarga berencana lagi. Hal ini di latar belakangi oleh pemikiran bahwa mereka yang berada pada kelompok umur 45-49 tahun, kemungkinan untuk melahirkan lagi sudah sangat kecil sekali. Batasan

umur yang digunakan disini adalah 15 sampai 44 tahun, dan bukan 15-49 tahun (Wirosuhardjo, 2004).

2.4 Penggunaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), penggunaan adalah suatu proses, cara, perbuatan menggunakan sesuatu dan pemakaian sesuatu yang bermanfaat sehingga dapat mendatangkan kebaikan (keuntungan) bagi yang menggunakannya. Penggunaan ini erat kaitannya dengan perilaku manusia yang nyata dilakukan oleh seseorang dalam bentuk perbuatan.

2.5 Konsep Perilaku

Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku manusia tidak pernah berhenti pada suatu saat, perbuatan yang dulu merupakan persiapan perbuatan yang kemudian dan perbuatan yang kemudian merupakan kelanjutan perbuatan sebelumnya (Purwanto, 1998). Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Teori yang pernah diujicobakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku kesehatan adalah teori kesehatan dari Lawrence Green (1980). Green (1980) telah mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan yang dikenal sebagai kerangka PRECEDE. PRECEDE ini merupakan singkatan dari Predisposing, Reinforcing, dan

perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yakni :

a. Faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

b. Faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.

c. Faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

(Sumber : Lawrence W. Green et al, Health Education Planning, A Diagnostic Aprroach, 1980)

Gambar 2.1 Model PRECEDE dari Green (1980)

2.6 Faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan alat kontrasepsi 2.6.1 Pengetahuan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan

Predisposing Factor Pengetahuan Kepercayaan Nilai Sikap (beberapa variabel demografi terpilih) Enabling Factor Ketersediaan fasilitas Keterjangkauan fasilitas Keterampilan petugas Komitmen pemerintah Reinforcing Factor

Sikap dan perilaku petugas, keluarga, guru, tokoh masyarakat dan sebagainya

terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sariyono (2007), menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pria yang berpengetahuan tinggi dan sikapnya baik terhadap KB dengan partisipasi pria dalam pemakaian metode kontrasepsi KB di Kabupaten Barito Kuala. Semakin tinggi pengetahuan dan semakin baik sikap pria terhadap KB maka semakin baik pula partisipasinya dalam pemakaian metode kontrasepsi KB.

2.6.2 Pengalaman

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pengalaman diartikan sebagai segala sesuatu yang dirasakan atau dialami seseorang pada masa lalu terhadap suatu hal/objek. Dasar pembentukan sikap salah satunya adalah pengalaman pribadi (Rahayuningsih, 2008). Orang yang menerima informasi yang baru akan menjadi suatu pengalaman bagi orang tersebut, meskipun bukan dirinya sendiri yang mengalaminya, melainkan hanya melalui pengalaman orang lain yang disebarkan dari mulut ke mulut (Assael, 2001).

Anggota keluarga, sanak saudara, tetangga dan teman sering memberikan pengaruh yang bermakna dalam pemakaian metode kontrasepsi kepada pasangan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi sebelumnya. Tidak sedikit dari pasangan yang memilih metode kontrasepsi dengan cara bertanya terlebih dahulu pada orang yang terdekat tentang pengalamannya dalam menggunakan kontrasepsi. Seseorang yang kecewa dengan pemakaian suatu metode akan memengaruhi orang lain untuk

tidak menggunakannya. Sebagai contoh dalam penggunaan alat kontrasepsi kondom, seseorang yang kecewa dengan pemakaian kondom akan menghindari penggunaan kondom pada kontrasepsi selanjutnya dan mungkin akan memengaruhi seseorang untuk tidak menggunakan kondom (Ratih, 2011).

2.6.3 Nilai Anak

Nilai adalah gabungan semua unsur kebudayaan yang dianggap baik atau buruk dalam suatu masyarakat, karena itu pula masyarakat mendorong dan mengharuskan warganya untuk menghayati dan mengamalkan nilai yang dianggap ideal tersebut (Ranjabar, 2006). Nilai anak adalah bagian perwujudan dari nilai budaya suatu masyarakat. Nilai anak dalam keluarga adalah merupakan perwujudan

Dokumen terkait