• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Dinamika Interaksi Muson, DM dan ENSO

4.2.2 Variabilitas Mode ke-2 EOF

Dekomposisi spasial data deret waktu SPL dari data asimilasi GFDL hasil analisis fase positif Mode ke-2 EOF dengan keragaman sebesar 22.7% memperlihatkan bahwa terjadi pola osilasi dengan nilai positif yang tinggi berada di perairan Teluk Bengal, sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, perairan dalam Indonesia, Laut Cina Selatan, sebelah barat dan barat laut Samudera Pasifik dan hampir keseluruhan dari cakupan lokasi penelitian memiliki nilai osilasi positif, kecuali di perairan sebelah timur laut dan sebelah timur ekuatorial Indonesia dengan nilai negatif yang kecil (Gambar 40a). Pola osilasi SPL pada fase positif ini menunjukkan bahwa kandungan bahang di laut sangat tinggi, siap didistribusikan ke perairan lain melalui proses adveksi dan dispersi dan dilepas ke atmosfer berupa bahang melalui evaporasi (latent heat/QL) atau kemungkinan lain sebagian akan tetap tersimpan dan sebagian lainnya dilepaskan.

Gambar 40 Pola spasial Mode ke-2 (keragaman terbesar kedua dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 22.7% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun 1979-1993 (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan skala koefisien ekspansi.

Data deret waktu koefisien ekspansi hasil dekomposisi temporal Mode ke-2 EOF yang telah ditapis sinyal frekuensi rendah dengan periode dibawah 6 bulan memperlihatkan bahwa sinyal koefisien ekspansi Mode ke-2 ini masih selaras dengan MSI dimana koefisien ekspansi mendahului MSI sekitar 3.1 bulan sebelumnya dengan fase searah (Gambar 40b dan c). Puncak fase positif dari Mode ke-2 ini terjadi pada bulan Mei dan fase negatif pada bulan November.

Ketika sinyal deret waktu koesfisien ekspansi mendekati nilai DMI atau SOI dengan amplitudo yang besar (positif atau negatif), amplitudo koefisien ekspansi turut pula meningkat pada 3-4 bulan sebelumnya. Amplitudo koefisien ekspansi, DMI dan SOI akan mencapai puncak positif atau negatif secara bersamaan jika koefisien ekspansi, DMI dan SOI mencapai amplitudo yang besar secara bersamaan pula seperti pada akhir tahun 1982 dan 1997. Koefisien ekspansi pada Mode ke-2 EOF ini dapat menjadi penduga awal kedatangan DM atau SOI pada 3-4 bulan sebelumnya jika amplitudo koefisien ekspansi meningkat dengan kuat dimana DM atau ENSO tidak terjadi bersamaan.

Gambar 41 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/KE (tanpa satuan) dari tahun 1979-2007 pada Mode ke-2 (keragaman terbesar kedua dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman sebesar 22.7%.

Hasil analisis densitas spektral koefisien ekspansi pada Mode ke-2 EOF memperkuat bahwa sinyal ini masih didominasi oleh pengaruh Muson yaitu siklus satu tahunan (12.2 bulanan) dengan energi sebesar 36400 (satuan)2/siklus per bulan (Gambar 41) dan hasil analisis CWT pada periode satu tahunan dengan energi sebesar 16 (energi) yang dominan terjadi sepanjang tahun (Gambar 42a). Korelasi antara koefisien ekspansi dan MSI dari hasil analisis XWT terlihat dengan jelas sinyal koefisien ekspansi mendahului MSI kurang lebih 3.1 bulan sebelumnya dengan fase searah pada periode 12.2 bulanan dengan energi sebesar 16 (energi) yang terjadi sepanjang tahun (Gambar 42b). Sinyal dari koefisien

ekspansi Mode ke-2 EOF ini, kemungkinan besar berkaitan erat dengan pergeseran awal musim dan panjang musim dari hasil interaksi antara DM dan ENSO setelah melewati dua kali siklus satu tahunan Muson dan sinyal ini kemungkinan berkaitan dengan proses terbentunya TBO. Pendapat ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara TBO dengan DM dan ENSO di perairan Indonesia dengan karakteristiknya yang dikelilingi oleh ribuan pulau dengan siklus dominannya Muson (Wu dan Kirtman, 2004; Li et al., 2006; Meehl dan Arblaster, 2011).

Gambar 42 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-2 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 27.

Pada Gambar 42c memperlihatkan korelasi antara koefisien ekspansi dan DMI terdeteksi kuat dengan siklus 1.5 tahunan pada waktu yang bersamaan dengan amplitudo yang besar dari sinyal SOI yaitu tahun 1997, sedangkan pada siklus 3.0-3.5 tahunan dengan fase yang berlawanan setelah 5.0-5.5 bulan dari puncak DMI dimana masing-masing memiliki energi sebesar 16 (energi). Hasil ini diperkuat dengan analisis densitas spektral koefisien ekspansi dimana energi terbesar ketiga setelah siklus 10.7 tahunan, terdapat siklus sekitar 18.2 bulanan atau siklus dua tahunan (biennial) dengan energi sebesar 3800 (satuan)2/siklus per bulan (Gambar 41). Hasil ini memperkuat bahwa sinyal ini berkaitan erat dengan TBO dimana aktifitas Muson pada Mode ke-1 EOF dari data SPL, setelah melewati dua kali siklus satu tahunannya akan terbentuk sinyal siklus TBO yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyimpanan bahang di laut dan pelepasan bahang ke atmosfer di sekitar perairan dalam Indonesia, Laut Cina Selatan dan Teluk Bengal. Oleh karena itu, siklus TBO tidak tepat berada pada siklus dua tahunan yaitu 18.2 bulanan karena sebelum mencapai siklus Muson yang kedua kalinya, kandungan bahang di laut telah dilepaskan ke atmosfer yang diduga dipicu oleh menumpuknya massa air hangat, meningkatnya proses tidal mixing dan proses interaksi darat-laut-atmosfer pada skala lokal dan regional sehingga memicu terjadinya zona divergen dan konvergen.

Pendapat yang senada telah disampaikan sebelumnya bahwa Teluk Bengal memiliki siklus dominan dua tahunan semu (quasi biennial) dimana siklus ini tidak tepat berada pada periode dua tahunan dan berfungsi sebagai kapasitor bahang di laut (Montegut et al., 2007) dan Xie et al. (2009a) yang menyatakan bahwa perairan di sebelah timur Samudera Pasifik dan perairan Indonesia berfungsi sebagai kapasitor bahang dan memiliki siklus dua tahunan. Selain itu, Qu et al. (2005) menyatakan bahwa Laut Cina Selatan berfungsi sebagai kapasitor bahang dan pembawa bahang dari Samudera Pasifik melalui jalur SCSTF (Qu et al., 2006). Bahang yang dilepas ke atmosfer dipicu oleh meningkatnya proses tidal mixing di Laut Cina Selatan, Laut Jawa sampai Laut Banda (Jochum dan Potemra, 2008; Koch et al., 2010; Brierley dan Fedorov, 2011), sedangkan menurut Qinyan et al. (2011) dipicu oleh proses adveksi yang terlihat dari variabilitas tinggi muka laut.

Penelitian sebelumnya telah banyak yang menyatakan terdapat keterkaitan yang erat antara TBO dengan DM dan ENSO (Wu dan Kirtman, 2004; Li et al., 2006; Meehl dan Arblaster, 2011). Selain itu, penelitian sebelumnya menyatakan bahwa interaksi darat-laut-atmosfer berkaitan erat dengan mekanisme proses terjadinya DM dan ENSO yang memicu pergeseran siklus TBO menjadi satu tahunan atau lebih (Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001; Guan dan Yamagata, 2003; Yuan et al., 2008), sedangkan Loschnigg et al. (2003) menyatakan bahwa interaksi antara Muson dan DM mengatur aktifitas TBO yang memicu terjadinya fase positif DM. Hasil dari analisis yang dilakukan pada penelitian ini berpendapat bahwa TBO dengan siklus 18.2 bulan terbentuk dari aktifitas Muson dengan siklus satu tahunan pada Mode ke-1 EOF dimana terjadi selisih bahang yang didistribusikan dan disimpan melalui mekanisme proses adveksi horizontal dan vertikal dilaut sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan massa air hangat atau dilepas ke atmosfer melalui proses feedback (umpan balik) atmosfer berupa terbentuknya zona konveksi yang dipicu oleh interaksi darat-laut-atmosfer pada skala lokal dan regional dan menguatnya tidal mixing di perairan Laut Cina Selatan, Laut Jawa sampai Banda (perairan dalam Indonesia) dan Teluk Bengal.

Korelasi antara koefisien ekspansi dengan SOI lebih lemah dibandingkan dengan DMI, sekitar setengah energi dari korelasi dengan DMI yang terjadi pada akhir tahun 1982 dan 1997 pada periode 2.0-2.5 tahun dengan energi sekitar 8 (energi) dimana koefisien ekspansi mendahului sekitar 3.0-4.0 bulan dari sinyal SOI dengan fase searah (Gambar 42d). Meskipun hasil korelasi memiliki energi yang lemah tetapi koefisien ekspansi pada Mode ke-2 EOF ini berpotensi sebagai penduga awal terjadinya ENSO. Korelasi ini diduga memiliki keterkaitan yang erat dengan aktifitas TBO dan senada dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Meehl dan Arblaster, 2011). Hasil analisis densitas spektral memperkuat pula bahwa sinyal ini berkaitan dengan TBO dimana ditemukan energi densitas spektral terbesar ketiga pada siklus 18.2 bulanan (Gambar 41). Selisih waktu berkisar antara 3.0-4.0 bulan dari siklus 18.2 bulanan TBO adalah waktu proses yang dibutuhkan sehingga terbentuk fase puncak ENSO jika puncak fase ENSO didefinisikan oleh SOI.

Analisis densitas spektral koefisien ekspansi pada Mode ke-2 EOF ditemukan pula energi kedua terbesar yaitu sebesar 10000 (satuan)2/siklus per bulan, lebih besar dua kali energi sinyal TBO yang ditemukan ketiga terbesar dengan energi sebesar 3800 (satuan)2/siklus per bulan (Gambar 41). Siklus ini terjadi pada siklus dekadal dengan periode sebesar 128 bulanan atau 10.7 tahunan. Siklus dekadal ini kemungkinan merupakan hasil interaksi dari modulasi sistem PDO pada periode transisi yang berasosiasi dengan fase El Nino dimana massa air hangat di tengah Samudera Pasifik lebih menyebar ke arah utara dan selatan ekuatorial. Kemungkinan ini semakin besar karena sebelumnya telah dilakukan penelitian keterkaitan PDO dengan ENSO dari dinamika bahang laut-atmosfer baik dengan menggunakan data observasi (Chang et al., 2007) maupun dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer (Alexander et al., 2010).

Gambar 43 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali SPL (°C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku negatifnya (b).

Hasil analisis komposit rata-rata anomali SPL pada saat koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF sebesar satu kali diatas simpangan baku positif atau untuk selanjutnya disebut fase positif Mode ke-2 EOF (Gambar 43a) dan fase negatif sebesar satu kali dibawah simpangan baku negatif (Gambar 43b), memperlihatkan bahwa pada fase positif hampir seluruh paparan di Samudera Hindia memiliki anomali positif SPL dengan nilai maksimum berada di perairan sebelah utara Samudera Hindia sebesar 1.0-1.5°C. Sementara itu di Samudera Pasifik, anomali positif SPL berada di BBS, perairan sebelah barat laut dan timur laut dan negatif berada di BBU pada daerah lintang tinggi. Nilai simpangan baku koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF adalah sebesar ±25.5 (tanpa satuan) dengan nilai minimum sebesar -56.5 dan maksimum sebesar 68.5. Nilai maksimum anomali SPL berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 1.0-1.5°C dan nilai minimum berada di BBU pada daerah lintang tinggi sebesar 1.0-1.5°C. Pada fase negatif kondisi sebaliknya terjadi dimana perbedaannya adalah di Samudera Hindia nilai minimum anomali SPL berada di sebelah timur berkisar -1 dan di Samudera Pasifik anomali positif SPL di BBU menyebar ke arah selatan sampai memasuki daerah ekuator.

Kondisi ini memperlihatkan baik pada fase positif di Samudera Hindia dominan kuat dipengaruhi oleh Angin Muson dan Sirkulasi Walker melemah, sedangkan pada fase negatif Angin Muson melemah dan Sirkulasi Walker sedikit menguat. Hal ini diperkuat dari hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5°LS-5°LU dimana pada fase positif angin baratan di Samudera Hindia melemah menjadi anomali angin timuran sebesar 0.5 m/s di perairan sebelah barat Sumatera (Gambar 44a), sehingga kedalaman lapisan tercampur di perairan barat ekuatorial Samudera Pasifik sedikit meningkat sebesar 4.0 m (Gambar 44c) dan anomali SPL di sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia relatif sama sebesar 0.6°C (Gambar 44b). Pada fase negatif, angin baratan sedikit menguat sebesar 0.25 m/s di tengah ekuatorial Samudera Hindia, sehingga kedalaman lapisan tercampur meningkat sebesar 3.0 m di tengah dan menurun di sebelah barat sebesar -6.0 m tetapi kondisi ini tidak diikuti dengan meningkatnya anomali SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 44b). Pada Lampiran 4

dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bahang melalui evaporasi, sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer pada Mode ke-2 EOF.

Gambar 44 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5°LS-5°LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL (°C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari 0-360.

Di perairan Samudera Pasifik pada fase positif maupun negatif, pengaruh angin meridional maupun Sirkulasi Walker berperan sama kuat dimana terjadi osilasi SPL arah meridional dan arah zonal (Gambar 43a dan b). Selain itu pada fase positif, diketahui pula bahwa meningkatnya anomali SPL di seluruh paparan Samudera Hindia akan meningkatkan anomali SPL di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 43a), sedangkan menurunnya anomali SPL di paparan Samudera Hindia pada fase negatif akan menurunkan anomali SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dan meningkatkan anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 43b). Kondisi diduga berkaitan erat dengan aktifitas TBO dengan siklus 18.2 bulanan dimana pada fase positif, bahang di perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan perairan dalam Indonesia siap dilepaskan tetapi belum dilepaskan ke atmosfer sehingga suhu udara di atas perairan ini relatif sama dengan SPL. Pendapat senada disampaikan sebelumnya bahwa TBO berperan dalam mengatur kondisi simetris dan asimetris antara Samudera Hindia dan Pasifik (Kawamura et al., 2003) dan Yang et al. (2010) yang berpendapat bahwa meningkatnya atau menurunya SPL di paparan Samudera Hindia berinteraksi dengan ENSO di Samudera Pasifik dimana perairan Teluk Bengal dan barat Sumatera berperan penting mengatur dinamikanya.

Hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5°LS-5°LU dimana pada fase positif (negatif) angin baratan terjadi di sebelah timur (barat) dan angin timuran di sebelah barat (timur) Samudera Pasifik (Gambar 44a) sehingga anomali SPL di sebelah timur menjadi meningkat (menurun) sesuai dengan umpan balik dari atmosfer (Gambar 44b). Pada fase positif, kedalaman lapisan tercampur di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik meningkat dengan penurunan tertinggi berada di tengah ekuatorial, sedangkan kondisi asimetris terjadi pada fase negatif dimana peningkatan kedalaman lapisan tercampur terjadi di sebelah timur dan penurunan terjadi di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 44c). Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bersih bahang melalui evaporasi sehingga lebih mempertegas

keterkaitan antar parameter dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer pada Mode ke-2 EOF.

Hasil dari analisis EOF pada Mode ke-2 data SPL dari data asimilasi GFDL pada cakupan lokasi penelitian di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya telah dapat menangkap sinyal-sinyal secara spasial dan temporal variabilitas dari parameter laut-atmosfer di Samudera Hindia dan Pasifik yang dipengaruhi oleh pergeseran awal Muson dengan siklus satu tahunan, siklus dekadal dan siklus dua tahunan. Siklus dengan periode 3-5 tahunan DM dan ENSO pada Mode ke-2 EOF tidak ditemukan, sehingga pada Mode ini diduga mengindikasikan awal proses pembentukan DM dan ENSO yang dipicu oleh ketidakseimbangan kandungan bahang antara laut dan atmosfer di Asia Tenggara dan sekitarnya. Posisi simetris dan asimetris anomali SPL pada fase positif dengan puncaknya pada bulan Mei maupun negatif dengan puncaknya pada bulan November antara BBU dan BBS di perairan Samudera Hindia, perairan Asia Tenggara dan Samudera Pasifik dan pada arah zonal antara sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik sangat dominan menentukan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer yang akan mengontrol pergeseran sinyal Muson, DM dan ENSO pada Mode berikutnya dari analisis EOF. Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di Asia Tenggara dan sekitarnya pada Mode ke-2 hasil analisis EOF data SPL dari data asimilasi GFDL ini untuk selanjutnya akan diberi nama fase “Penyimpanan/Pelepasan Bahang perairan Asia Tenggara (PBAT)”.

4.2.2.1 Dinamika Laut-Atmosfer Fase Positif

Puncak fase positif Mode ke-2 EOF terjadi pada bulan Mei, sedangkan fase negatif terjadi pada bulan November. Pada fase positif Mode ke-2 EOF siklus dengan periode satu tahunan masih ditemukan menandakan pengaruh Muson masih kuat, tetapi tidak sedominan pada Mode ke-1 EOF karena diikuti dengan siklus dekadal dengan periode 128 bulanan (10.7 tahunan) dengan energi spektral densitasnya sebesar 0.25 kali dari siklus Muson. Muson yang dimaksud pada Mode ke-2 EOF ini adalah Muson dengan siklus yang telah bergeser 3.1 bulan sebelumnya pada periode yang sama yaitu satu tahunan dengan beda fase yang searah dengan Muson pada Mode ke-1 EOF. Artinya bahwa Muson pada Mode

ke-2 merupakan Muson pada Mode ke-1 yang kedatangannya 3.1 bulan lebih awal dari awal kedatangan Muson pada Mode ke-1 dimana panjang musim antara Muson pada Mode ke-2 menjadi lebih panjang 3.1 bulan dari Muson pada Mode ke-1, sehingga panjang satu kali siklus Muson pada Mode ke-2 sebenarnya adalah 12.2 bulan ditambahkan dengan 3.1 bulan menjadi sebesar 15.3 bulan.

Interaksi antara siklus dekadal dengan sistem Muson pada Mode ke-2 diduga akan memperkuat siklus dengan periode 18.2 bulanan (dua tahunan) yang telah terdeteksi sebelumnya pada Mode ke-1 EOF dengan energi spektral densitasnya sebesar setengah kali energi siklus periode dekadal. Sisa kandungan bahang di laut yang tersimpan di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi pada puncak fase positif Mode ke-1 EOF di bulan Juli yang tidak dilepaskan ke atmosfer pada puncak fase negatif Mode ke-1 di bulan Januari, memicu pergeseran awal dan panjang musim yang ditandai oleh kemunculan siklus dengan periode 19.7 bulanan pada Mode ke-1 EOF dengan energi spektral densitas terbesar kedua setelah Muson. Pada Mode ke-2 EOF, masuknya siklus dengan periode 10.7 tahunan yang berinteraksi dengan siklus satu tahunan Muson diduga memperkuat siklus 18.2 bulanan. Siklus dengan periode 10.7 tahunan diduga berasal dari gangguan frekuensi tinggi sinyal siklus dekadal dari PDO di daerah subtropis di BBU Samudera Pasifik.

Pada fase positif Mode ke-2 EOF pola anomali angin permukaan laut hampir sama dengan fase positif Mode ke-1 EOF dimana Muson masih berperan mendominasi pola sirkulasi angin permukaan laut. Perbedaannya adalah kecepatan angin maksimum pada Mode ke-2 EOF sebesar 5.0 m/s (Gambar 45a) lebih lemah daripada kecepatan angin maksimum pada Mode ke-1 EOF sebesar 8.0 m/s (Gambar 30a). Selain itu, kecepatan angin di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan di sebelah barat laut Samudera Pasifik jauh lebih lemah daripada kecepatan angin yang tinggi di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan di atas perairan utara Australia (Gambar 45a).

Pola anomali arus permukaan laut di perairan Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Laut Banda umumnya mengikuti pola angin di atas permukaan laut. Kecepatan arus yang tinggi terjadi di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berupa anomali arus timuran yang diduga merupakan

bagian dari Arus Sakal Ekuatorial dengan kecepatan mencapai 0.2 m/s, sedangkan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terjadi di perairan utara Papua dan Papua New Guinea yaitu Arus Pantai New Guinea dan Arus Ekuatorial Selatan dengan kecepatan mencapai 0.3 m/s (Gambar 45b).

Gambar 45 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase positif Mode ke-2 EOF.

Anomali angin melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5°LS-5°LU terdapat anomali angin vertikal yang bergerak ke lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 46a). Kecepatan angin di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sebesar 2.0 m/s lebih besar

daripada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 1.5 m/s. Kondisi ini diduga terjadi zona konveksi yang lebih besar di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia daripada di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali angin zonal timuran terbentuk di lapisan bawah troposfer dan anomali angin zonal baratan terbentuk di lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, angin baratan terbentuk di bawah dan angin timuran terbentuk di atas lapisan troposfer (Gambar 46b). Kondisi ini memperlihatkan bahwa baik di Samudera Pasifik maupun di Samudera Hindia Sirkulasi Walker bekerja dengan normal dimana Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik lebih kuat daripada di Samudera Hindia. Kecepatan anomali angin zonal maksimum sebesar 3.0 m/s terjadi di lapisan atas troposfer dan minimum sebesar -2 m/s terjadi di lapisan bawah troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik.

Pola anomali suhu udara melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5°LS-5°LU, terdapat anomali positif suhu udara pada semua lapisan troposfer dengan kisaran sebesar 0.10-0.75°C dengan nilai anomali positif terkecil berada di lapisan bawah di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan tertinggi berada di lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 46c). Anomali positif suhu udara pada semua lapisan troposfer ini mengakibatkan kecil sekali terjadi proses kondensasi pada lapisan troposfer kecuali jika naiknya paket massa udara yang membawa kandungan uap air yang tinggi terjadi dengan cepat sehingga paket massa udara tersebut mengalami pendinginan secara adiabatik. Oleh karena itu, meskipun terdapat kemungkinan terbentuk zona konveksi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial