• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Verifikasi Peta SPBK-WRF

Perbandingan peta SPBK (indeks FFMC dan FWI) luaran WRF dilakukan dengan menggunakan pendekatan korelasi dan RMSE terhadap peta SPBK observasi milik BMKG. Perbandingan indeks FFMC dan FWI dilakukan dengan membandingkan nilai point to point (titik per titik) pada delapan lokasi yang tersebar di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Lokasi pengambilan nilai ditunjukkan pada Gambar 20.

Gambar 20. Lokasi pengambilan nilai indeks FFMC dan FWI SPBK observasi dan WRF

Lokasi pengambilan nilai yang digunakan untuk membandingkan indeks FFMC dan FWI didasarkan pada wilayah rawan kebakaran hutan/lahan khususnya pada wilayah hutan/lahan gambut. Gambar 21 menunjukkan hasil perbandingan nilai indeks FFMC dan FWI periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Gambar 21. Perbandingan nilai indeks FFMC dan FWI data observasi dan WRF wilayah Sumatera dan Kalimantan

Gambar 21. (Lanjutan)

Gambar 21 menunjukkan hasil perbandingan pola indeks FFMC dan FWI data observasi dan WRF. Keduanya menunjukkan pola fluktuatif sepanjang periode Juni-Juli-Agustus 2013. Hasil korelasi, persentase error, RMSE, dan akurasi nilai FFMC dan FWI ditunjukkan Tabel 7.

Tabel 7. Hasil korelasi, persentase kesalahan, dan RMSE

Nilai KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM

FFMC FWI FFMC FWI FFMC FWI FFMC FWI

Korelasi 0.62 0.78 0.66 0.72 0.78 0.88 0.56 0.77

Percent error -0.02 -0.07 -0.50 0.23 -0.01 0.47 -0.06 -0.14

RMSE 11.53 1.192 12.85 0.94 13.53 2.35 19.77 0.65

Tabel 7 menunjukkan korelasi nilai observasi dengan data FFMC-WRF mempunyai nilai antara 0.56 – 0.78 yang mempunyai tingkat hubungan kuat – sangat kuat. Nilai FWI mempunyai korelasi antara 0.62 – 0.87 dan mempunyai kategori korelasi kuat – sangat kuat. Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa peta SPBK yang dibangun menggunakan data cuaca model WRF mempunyai hasil prediksi yang mendekati dengan SPBK hasil observasi.

Berdasarkan nilai persentase kesalahan di wilayah Riau, Jambi, dan seluruh propinsi di Kalimantan terdapat over forecasting pada nilai FFMC maupun FWI, sedangkan rentang nilai RMSE antara 0.65 – 19.77. Nilai RMSE semakin besar

Nilai SUMUT RIAU JAMBI SUMSEL

FFMC FWI FFMC FWI FFMC FWI FFMC FWI

Korelasi 0.71 0.85 0.70 0.62 0.65 0.69 0.69 0.87

Percent error 0.04 0.35 -0.01 0.57 -0.02 0.44 0.10 0.42

menunjukkan bahwa selisih nilai antara FFMC/FWI observasi dan model WRF juga besar, walaupun mempunyai hubungan yang sangat kuat bisa saja mempunyai RMSE besar, seperti yang terjadi di wilayah Riau, Jambi, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

4.5. Analisis Hubungan Hotspot dan SPBK

Titik panas (hotspot) merupakan salah satu indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan disuatu wilayah. Data sebaran hotspot diambil dari FIRMS (Fire Information for Resources Managements Systems) menggunakan data Aqua/Terra MODIS periode JJA-2013 di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Data hotspot yang digunakan mempunyai tingkat kepercayaan antara 20% – 100%. Distibusi titik panas (hotspot) yang terpantau oleh satelit Aqua/Terra MODIS pada periode Juni-Juli-Agustus 2013 ditunjukkan Gambar 22.

Gambar 22. Pola distribusi hotspot periode JJA – 2013 wilayah Sumatera dan Kalimantan 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 H o ts po t Tanggal

Pola Distribusi Hotspot Periode JJA 2013 - Sumatera

Juni Juli Agustus 0 100 200 300 400 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 H o ts po t Tanggal

Pola Distribusi Hotspot Periode JJA 2013 - Kalimantan

Juni Juli Agustus

Gambar 22 menunjukkan puncak hotspot periode JJA-2013 tertinggi terjadi dibulan Juni diwilayah Sumatera, dan puncak hotspot pada bulan Agustus terdapat di wilayah Kalimantan. Distribusi hotspot untuk masing-masing provinsi di Sumatera dan Kalimantan dijelaskan pada Gambar 23.

Gambar 23. Distribusi hotspot periode JJA-2013 Propinsi Wilayah Sumatera dan Kalimantan

Gambar 23 menunjukkan presentase distribusi hotspot tertinggi di Sumatera terdapat di Propinsi Riau sebesar 81%, sedangkan di wilayah Kalimantan presentase hotspot tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dengan persentase sebesar 74%.

Untuk mengetahui keterkaitan antara sistem peringkat bahaya kebakaran hutan/lahan dengan kejadian hotspot diambil sampel nilai SPBK khususnya peta indeks tingkat kemudahan terjadinya kebakaran hutan/lahan pada periode puncak hotspot pada tanggal 19 dan 21 Juni, 21 dan 23 Juli di wilayah Riau, serta tanggal 19 dan 26 Agustus di wilayah Kalimantan Barat dengan kejadian titik hotspot pada periode waktu yang sama. Gambar 24 adalah nilai indeks potensi kemudahan terjadinya kebakaran hutan/lahan (FFMC) dioverlay dengan distribusi hotspot tanggal 19 dan 21 Juni, tanggal 21 dan 23 Juli, serta tanggal 19 dan 26 Agustus 2013.

0 20 40 60 80

kalbar kaltim kalsel kalteng

p er sen ta se ( %)

Distribusi Hotspot Periode JJA 2013 Wilayah Kalimantan Hotspot 0 20 40 60 80 100 p er sen ta se ( %)

Distribusi Hotspot Periode JJA 2013 Wilayah Sumatera

Gambar 24. Indeks peta FFMC model WRF dioverlay dengan hotspot di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi hotspot (lingkaran warna hitam) tanggal 19 Juni, 21 Juni, dan 21 Juli di wilayah Riau dominan tersebar pada area yang mempunyai kategori mudah dan sangat mudah terbakar, artinya jika area tersebut terdapat hotspot dan mempunyai kategori mudah sampai sangat mudah terbakar maka potensi terjadi kebakaran tinggi. Tanggal 23 Juli di wilayah Riau dan 19 Agustus di wilayah Kalbar sebaran hotspot terkonsentrasi di wilayah dengan kategori tidak mudah dan mudah terbakar, sedangkan indeks peta FFMC tanggal 26 Agustus di wilayah Kalbar sebaran hotspot dominan terdapat diwilayah kategori mudah terbakar.

Hasil overlay indeks peta FFMC dan distribusi hotspot mengindikasikan bahwa sebaran hotspot dominan terjadi pada wilayah yang mempunyai kategori mudah dan sangat mudah terbakar, dengan indeks nilai di atas 69.

4.6. Analisis dan Verifikasi Simulasi Dispersi Asap

Simulasi dispersi asap dilakukan untuk melihat arah dan dispersi konsentrasi CO (karbon monoksida) pada kejadian kebakaran hutan/lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan pada periode Juni-Juli-Agustus 2013. Kebakaran gambut didominasi oleh proses smoldering yang menghasilkan emisi partikel tinggi dan karbon monoksida.

Senyawa CO umumnya dihasilkan melalui pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar lembab/basah dan termasuk polutan udara, jumlah CO yang diemisikan dalam kebakaran adalah fungsi dari efisiensi pembakaran (Syaufina. 2008). Menurut EPA (2007) kebakaran hutan merupakan salah satu sumber polusi CO terbesar selain dari emisi kendaraan bermotor dan sektor industri.

Simulasi dispersi asap dibuat menggunakan model WRF-Chem resolusi 27 km. Data inisial meteorologi berasal dari GFS sedangkan data emisi global menggunakan data EDGAR (Emissions Database for Global Atmospheric Research). Hasil simulasi dispersi asap WRF-Chem diwilayah Sumatera dan Kalimantan dibandingkan dengan data hotspot, Aqua/Terra MODIS dan Atmospheric Infrared Sounder (AIRS).

Gambar 25 menunjukkan pola dispersi asap model dan AIRS secara global mempunyai kemiripan. Pola dispersi asap tanggal 19 Juni 2013 dari AIRS terkonsentrasi di atas wilayah Pekanbaru-Riau, Sumatera Barat, Selat Malaka, dan sebelah timur wilayah Malaysia. Pola sebaran asap (CO maks) model sebagian terdistibusi diatas wilayah Pekanbaru, Jambi, Malaysia, dan sebelah timur wilayah Malaysia. Arah angin model menunjukkan bahwa dispersi asap dominan menuju timur laut. Dispersi asap pada tanggal 22 Juni 2013, antara AIRS dan model menunjukkan arah dispersi dominan kearah sebelah timur Pulau Sumatera, hal ini sesuai dengan arah angin model yang bergerak kerah timur dan timur laut.

Gambar 25. Perbandingan simulasi dispersi asap (CO) WRF-Chem dengan Aqua/Terra MODIS dioverlay dengan data AIRS tanggal 19 Juni 2013 (a) tanggal 22 Juni 2013 (b).

Gambar 26 menjelaskan bahwa pola dispersi asap tanggal 23 Juli 2013 dari AIRS terkonsentrasi di atas wilayah Pekanbaru-Riau, dan sebelah timur wilayah Malaysia bagian utara, sedangkan pola dispersi asap (CO maks) model sebagian terdistibusi diatas wilayah Pekanbaru, Selat Malaka, dan diatas wilayah Malaysia. Arah angin model menunjukkan bahwa dispersi asap dominan menuju utara. Dispersi asap pada tanggal 24 Juli 2013, antara AIRS dan model menunjukkan posisi konsentrasi asap dominan diatas Selat Malaka, namun data AIRS juga mengindikasikan dispersi asap disebelah barat Sumatera bagian selatan. Arah angin model dominan bergerak kearah utara.

(a)

Gambar 26. Perbandingan simulasi dispersi asap (CO) WRF-Chem dengan Aqua/TerraMODIS dioverlay dengan data AIRS tanggal 23 Juli 2013 (a) tanggal 24 Juli 2013 (b).

Gambar 27 menunjukkan pola dispersi asap model dan AIRS secara global mempunyai kemiripan. Pola dispersi asap tanggal 22 Agustus 2013 dari AIRS terkonsentrasi di atas wilayah daratan pulau Sumatera dan sebagian Malaysia, sedangkan pola dispersi asap (CO maks) model juga terkonsentrasi diwilayah yang sama. Arah angin model menunjukkan bahwa dispersi asap dominan menuju utara.

Angin menentukan arah penyebaran asap dan mempunyai korelasi positif dengan kecepatan menjalarnya api (Suratmo. 1985). Sirkulasi angin tanggal 14 Agustus 2013 mengalami pusaran disebelah utara wilayah Malaysia yang menyebabkan dispersi terkonsentrasi diwilayah Kalbar dan menyebar tidak jauh dari sumbernya. Arah angin bergerak menuju arah barat, kemudian kearah utara dan berbalik memutar kearah selatan sehingga dispersi asap tidak meluas.

(a)

Gambar 27. Perbandingan simulasi dispersi asap (CO) WRF-Chem dengan Aqua/Terra MODIS dioverlay dengan data AIRS tanggal 22 Agustus 2013 (a) tanggal 14 Agustus 2013 (b)

Metode kuantifikasi dilakukan dengan membandingkan nilai konsentrasi CO maksimum simulasi WRF-Chem dengan data Total Column CO AIRS pada lokasi dan rentang waktu yang sama. Simulasi dispersi asap telah dilakukan pada tanggal 19 Juni, 22 Juni, 25 Juni, 21 Juli , 23 Juli, 24 Juli, 22 Agustus dan 24 Agustus 2013 untuk wilayah Sumatera, tanggal 14 Agustus dan 23 Agustus 2013 untuk wilayah Kalimantan. Pembuatan simulasi prediksi dispersi asap didasarkan pada distribusi titik panas dari FIRMS. Titik panas dalam jumlah besar dan berlangsung secara terus menerus adalah indikator penting untuk kebakaran. Titik panas dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya (Giatika, 2008).

Kuantifikasi nilai CO maksimum hasil model dan data satelit AIRS dilakukan dengan mengambil nilai (point to point) pada lokasi yang terkena paparan dispersi asap kebakaran. Verifikasi luaran model dilakukan pada wilayah Sumatera dan Kalimantan yaitu wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Jambi serta wilayah Pontianak, Palangkaraya dan Banjarmasin. Tidak semua hasil simulasi dispersi asap dapat dikuantifikasi karena tidak semua wilayah terkena paparan

(a)

dispersi asap khususnya konsentrasi CO maksimum. Dibawah ini adalah nilai antara dispersi asap (CO maks) model WRF-Chem dengan data AIRS untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Tabel 8. Perbandingan nilai CO maksimum model WRF-Chem dan AIRS

Hasil korelasi, RMSE, dan bias antara simulasi model WRF-Chem dengan data satelit AIRS ditunjukkan pada Gambar 28.

Gambar 28. Hasil verifikasi CO maksimum model WRF-Chem dengan AIRS Hasil verifikasi menunjukkan nilai CO maksimum hasil model dan data satelit mempunyai korelasi antara 0.61 – 0.98 yang menandakan bahwa korelasi antara model dan data satelit mempunyai hubungan yang kuat – sangat kuat (Sarwono. 2006), dan memperoleh nilai RMSE sebesar 1.39 – 1.67. Nilai bias (error) diperoleh dari pengurangan nilai data model terhadap data satelit sebesar -1.11 sampai -1.66. Pada semua tanggal simulasi mempunyai nilai bias negatif yang mengindikasikan

No Lokasi 19 Juni 25 Juni 21 Juli 22 Agustus 24 Agustus WRF-Chem AIRS WRF-Chem AIRS WRF-Chem AIRS WRF-Chem AIRS WRF-Chem AIRS 1 Sumut 0.08 1.78 0.079 1.68 0.079 1.48 0.079 1.87 0.08 1.85 2 Riau 0.08 1.73 0.079 1.67 0.08 1.83 0.08 1.94 0.079 1.81 3 Jambi 0.078 1.69 0.008 1.81 0.079 1.49 0.079 1.65 0.079 1.81 4 Sumsel 0.079 1.49 0.079 1.67 0.079 1.51 0.079 1.5 0.079 1.51 No Lokasi 14 Agustus 23 Agustus

WRF-Chem AIRS WRF-Chem AIRS 1 Pontianak 0.08 1.62 0.08 1.59 2 Palangkaraya 0.079 1.38 0.079 1.57 3 Banjarmasin 0.079 1.39 0.079 1.53

bahwa hasil model mempunyai nilai yang lebih rendah (underforecasting) terhadap data observasi satelit.

4.7. Analisis Aktivitas Masyarakat Lokal dalam Penyiapan Lahan Pertanian

Dokumen terkait