• Tidak ada hasil yang ditemukan

virescens sebagai vektor RTV

Dalam dokumen PENGARUH CENDAWAN ENTOMOPATOGEN (Halaman 25-36)

Wereng hijau ini merupakan vektor utama virus penyebab penyakit tungro yang ditularkan secara semipersisten. Vektor N. virescens memperoleh virus tungro dari tanaman padi sakit dan selanjutnya bila N. virescens yang telah mengandung virus tungro mengisap tanaman padi sehat maka akan terjadi penularan virus tungro.

Beberapa spesies wereng hijau yang dapat menjadi vektor virus tungro antara lain : N. virescens, N. nigropictus, N. malayanus dan wereng loreng, R. dorsalis. Di antara spesies wereng hijau dan wereng loreng terdapat perbedaan efisiensi dalam menularkan virus. Rentang efisiensi penularan virus oleh wereng daun adalah N. virescens berkisar antara 35-83% (Rivera & Ou 1965), N. nigropictus berkisar 0-27%, N. malayanus dan N. parvus memiliki kemampuan menularkan virus berturut-turut 40% dan 7%, sedangkan wereng loreng Recilia dorsalis 4-8% (Ling 1979).

Interaksi Virus Tungro dan N. virescens sebagai Vektor

Interaksi antara N. virescens dengan virus tungro relatif spesifik dalam hal periode makan akuisisi, periode makan inokulasi, periode retensi (Gray & Banerjee 1999). Hal tersebut yang melatarbelakangi penempatan virus tungro masuk dalam kelompok yang berbeda-beda, misalnya persisten, non-persisten, atau semipersisten (Hibino 1987). Dalam tubuh serangga, virus tungro berada di bagian luar lapisan kutikula alat mulut (stylet) dan atau di dalam saluran makanan depan (foregut), sehingga termasuk dalam golongan virus stylet borne atau foregut borne. Masa retensi virus tungro dalam tubuh serangga vektor yang relatif panjang dari virus stylet borne lainnya, memunculkan istilah semipersisten (Pirone & Blanc 1996; Gray & Banerjee 1999).

Beberapa karakter khusus menyangkut interaksi antara N. virescens dengan virus tungro adalah : (1) virus tidak memerlukan periode inkubasi dalam tubuh vektor. Periode inkubasi adalah waktu antara saat akuisisi virus sampai vektor menjadi infektif; (2) infektifitas vektor akan menurun secara bertahap; (3) periode retensi maksimum kurang dari satu minggu. Periode retensi adalah lama waktu vektor mampu mempertahankan keberadaan virus dalam tubuh untuk ditularkan; (4) vektor akan kehilangan infektifitasnya sesaat setelah ganti kulit (moulting) antar stadium pertumbuhannya; (5) vektor akan infektif kembali apabila makan reakuisisi (reaquisition feeding); (6) infektivitas vektor akan meningkat dengan makan akuisisi yang lebih panjang, dan (7) pola penularan virus harian terjadi secara berturutan (Ling 1979).

Azzam & Chancellor (2002) melaporkan bahwa wereng hijau dapat menularkan RTSV dari tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi tidak mampu menularkan RTBV dari tanaman yang hanya terinfeksi RTBV. RTBV dapat ditularkan oleh wereng hijau yang sebelumnya telah memperoleh RTSV. Dengan demikian RTBV merupakan virus dependent sedangkan RTSV berfungsi sebagai pembantu (helper). Kedua partikel virus tersebut tidak bersirkulasi dalam tubuh vektor. Virus ini juga tidak dapat ditularkan dari imago ke telur maupun stadia perkembangan imago.

11

Virus tungro tidak dapat berkembang pada tubuh vektor N. virescens. Vektor N. virescens efektif menularkan virus paling lama 7 hari, setelah itu bila tidak lagi menghisap pada tanaman sakit vektor N. virescens menjadi serangga bebas virus tungro. Bila N. virescens dapat menghisap pada tanaman terinfeksi akan menjadi vektor aktif lagi. Keefektifan penularan virus akan hilang setelah ganti kulit. Periode makan akuisisi wereng hijau untuk mendapatkan virus dari tanaman sakit antara 5-30 menit (Rivera & Ou 1965), sedangkan periode makan inokulasi untuk menularkan virus yang didapat antara 7-30 menit (Ling 1968). Rentang waktu saat tanaman tertular dan munculnya gejala antara 6-15 hari (Rivera & Ou 1965).

Vektor yang makan akuisisi pada tanaman terinfeksi RTBV dan RTSV sekaligus, memiliki peluang menularkan RTBV dan RTSV antara 90-99%, menularkan RTBV 1-5%, dan peluang menularkan RTSV 1-10%. Apabila vektor makan akuisisi pada tanaman terinfeksi RTSV, peluang menulakan RTSV sebesar 90-99%. Namun, apabila vektor hanya makan akuisisi pada tanaman terinfeksi RTBV, peluang menularkan RTBV ke tanaman sehat 0% (Azzam & Chancellor 2002).

Biologi N. virescens

Perkembangan wereng hijau dari telur sampai dewasa melalui tiga tingkatan yaitu :

Telur. Telur berbentuk silinder dan meruncing pada kedua ujungnya. Telur yang baru diletakkan berwarna bening, kemudian berubah menjadi putih kekuning-kuningan. Pada umur dua atau tiga hari, mulai tampak dua buah bintik merah pada salah satu ujungnya dan ini merupakan mata faset embrio (Fachrudin 1980).

Telur diletakkan berkelompok dan tersusun berjajar pada sisi dalam jaringan pelepah daun. Serangga betina dengan alat peletak telurnya meletakkan telur-telur itu ke dalam jaringan parenkim, sedang operkulum telur menonjol pada permukaan pelepah daun. Telur terdapat paling banyak pada pelepah bagian bawah pelepah daun terluar. Peletakan telur terjadi sepanjang hari tetapi lebih banyak selama pagi hari. Serangga betina sangat menyukai tanaman berumur 30 – 40 hari sebagai tempat peletakan telurnya (Misra & Israel 1968).

Masa inkubasi telur wereng hijau ini tergantung pada keadaan fisik lingkungan terutama suhu. Di Indonesia masa inkubasi telur sekitar 6 – 7 hari. Suhu optimum untuk perkembangan telur antara 29 - 35 oC. Pada suhu yang lebih rendah masa inkubasi telur bertambah lama.

Nimfa. Nimfa instar pertama N. virescens yang baru keluar dari telur berwarna putih kemudian berubah menjadi putih kekuningan. Beberapa saat setelah pergantian kulit warnanya menjadi kuning atau hijau kekuningan. Dalam perkembangannya ninfa berganti kulit sebanyak lima kali. Stadia nimfa 16 - 17 hari. Pada suhu lingkungan 29 - 35 oC, rata-rata stadia nimfa 16 hari (Fachrudin 1980).

Imago. Pada awalnya sayap imago wereng hijau berwarna kekuning-kuningan. Warna tersebut secara bertahap menjadi hijau kekuning-kuningan dan akhirnya menjadi hijau. Sepertiga bagian ujung sayap tersebut berwarna hitam. N. virescens betina berwarna sama dengan N. virescens jantan tetapi tanpa bercak hitam pada sayapnya (Fachrudin 1980). Lama hidup imago N. virescens dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Pada suhu 20 oC, lama hidup imago N. virescens berkisar 20 – 25 hari, dan pada suhu 35 oC lama hidup imago N. virescens berkisar 12 - 13 hari. Masa prapeneluran rata-rata 4,5 hari pada suhu 29 – 35 oC. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan. Imago N. virescens dilaporkan dapat hidup sampai 4 minggu dan seekor betina meletakkan telur rata-rata 100 – 200 butir dalam satu minggu (Kalshoven 1981).

13 Imago Kelompok telur Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 6 - 9 hari 16 - 18 hari

Gambar 4 Siklus Hidup Wereng Hijau Nephotettix virescens (Catindig & Heong 2003).

Cendawan Entomopatogen

Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis agens hayati yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Beberapa kelebihan pemanfaatan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan hama antara lain mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan kemungkinan sangat kecil menyebabkan resistensi pada serangga target (Hall 1973).

Pada umumnya cendawan entomopatogen termasuk dalam kelas Hyphomycetes, famili Moniliaceae. Di antara cendawan Hyphomycetes yang

banyak digunakan untuk pengendalian hama adalah Beauveria bassiana, Metharizium anisopliae, Verticillium lecanii.

Boucias & Pendland (1998) mengemukakan cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang, dan dapat tumbuh ke bagian internal inang (haemocoel) dan mengkonsumsinya sehingga nutrisi dalam haemolimfa habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan toksin yang mengganggu perkembangan inang secara normal.

Menurut Inglis et al. (2001), mekanisme cendawan entomopatogen dalam menyebabkan kematian inang diawali dengan penempelan dan perkecambahan. penempelan konidia biasanya terjadi secara pasif dengan bantuan angin atau air, sehingga terjadi kontak antara konidia dengan permukaan integumen serangga dalam waktu yang cukup lama untuk bisa berkecambah dan menginfeksi. Perkecambahan konidia tergantung kelembaban, suhu, cahaya dan nutrisi. Konidia yang telah berkecambah membentuk tabung kecambah selanjutnya menembus integumen serangga untuk terus masuk ke dalam haemosel. Proses penetrasi integumen oleh hifa merupakan proses mekanis dan kimiawi dengan mengeluarkan enzim seperti protease, lipase, kitinase, esterase, yang membantu menghancurkan kutikula serangga. Setelah masuk ke dalam haemosel, cendawan membentuk tubuh hifa yang kemudian ikut beredar dalam haemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lain seperti jaringan lemak, trakea, dan saluran pencernaan. Namun sebelum cendawan membentuk hifa (proliferasi) dalam haemosel, serangga sendiri mengembangkan sistem pertahanan diri, misalnya dengan mekanisme fagositosis (biasanya dilakukan oleh plasmatosit) atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Adanya perubahan biokimia dalam haemolimfa terutama kandungan protein, defisiensi nutrisi, adanya toksin yang dikeluarkan oleh cendawan, dan terjadinya kerusakan jaringan dalam tubuh serangga akan menyebabkan paralisis dan kematian pada serangga. Pada kondisi yang sesuai cendawan tumbuh terus dan akhirnya miselia cendawan kembali menembus kutikula ke arah luar tubuh serangga untuk kemudian membentuk konidia. Santoso (1993) menyatakan bahwa apabila keadaan kurang

15

mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung dalam jasad serangga tanpa keluar menyeberangi integumen.

Cendawan entomopatogen B. bassiana dan Metharizium anispliae menekan penyakit tungro melalui penekanan kemampuan pemencaran wereng, secara langsung dapat mematikan dan secara tidak langsung dengan mengurangi keperidian betina (Widiarta & Kusdiaman 2007).

Verticillium lecanii (Zimmermann) Viegas

Verticillium lecanii (Zimm.) Viegas yang dikenal dengan sebutan “white-halo” termasuk dalam divisi Ascomycota, kelas Sordariomycetes, dan ordo Hypocreales, famili Clavicipitaceae. Koloni yang berumur 10 hari pada media beras, media oatmeal atau PDA berwarna putih atau krem, menyerupai kapas tipis seperti tak berwarna, pucat atau kuning tua (deep yellow). V. lecanii mempunyai konidiofor yang berbentuk fialid (whorls) seperti huruf V, yang merupakan ciri khasnya. fialid lembut, ukuran bervariasi tergantung pada strain dan umur biakan, dari 8.5-16 x 0.8-1.2 μm sampai 30-40 x 2-2.2 μm. Setiap konidiofor mendukung 5 – 10 konidia yang terbungkus dalam kantung lendir. Konidia tunggal , berkembang pada ujung fialid, berbentuk silinder hingga elips dengan ukuran 2.3-3.4 x 1-1.3 μm to 7.2-10 x 2.1-2.6 μm, tidak berwarna (hyalin). Suhu optimum berkisar 15 – 30 oC, dengan kelembaban lebih dari 90% (Alexopoulus & Mims 1979). Beberapa toxin yang diproduksi oleh V. lecanii yaitu Cyclosporin A, Dipcolonic acid, dan Hydroxycarboxylic acid (Vey et al. 2001).

Cendawan V. lecanii banyak digunakan untuk mengendalikan hama rumah kaca di negeri beriklim sedang. Di Indonesia, penelitian tentang cendawan ini masih sangat sedikit.

Gambar 5 Cendawan Verticillium lecanii. Koloni Verticillium lecanii pada media PDA (A), tanda panah menunjukkan konidiofor yang berbentuk fialid (whorls), (B), bentuk konidia V. lecanii (C)

Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

B. bassiana termasuk dalam divisi Ascomycota, kelas Sordariomycetes, dan ordo Hypocreales, famili Clavicipitaceae mempunyai hifa yang bersekat-sekat, tetapi ada juga yang berbentuk sel tunggal dan sering membentuk pseudomiselium jika lingkungan menguntungkan. Cendawan ini berkembang secara aseksual dan seksual yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, cahaya serta nutrisi (Alexopoulus & Mims 1979).

A B C

A B C

Gambar 6 Cendawan Beauveria bassiana. Cendawan Beauveria bassiana pada media PDA (A), tanda panah menunjukan konidifor B. bassiana bercabang-cabang dan berbentuk zig-zag (B), bentuk konidia B. bassiana (C)

Secara morfologis cendawan B. bassiana berwarna putih sehingga dikenal dengan sebutan White Muscardine (Steinhaus 1963). Cendawan ini mempunyai konidia yang bersel satu dan bentuknya oval agak bulat, tidak berwarna (hyaline). Pada substrat yang sesuai spora akan tumbuh dan berkecambah membentuk

17

tabung kecambah, kemudian tabung kecambah ini membentuk hifa berupa filamen yang panjang dan bercabang. Selanjutnya akan membentuk suatu massa hifa yang disebut miselium. Konidifornya fertil, bercabang-cabang dan berbentuk zig-zag sebagai ciri khas B. bassiana, sedang miselium di bawahnya menggelembung. Konidia akan tumbuh dan berkembang setelah 3 – 7 hari dalam media. Cendawan ini dapat tumbuh pada pH 3,3 – 8,5 sedangkan pH optimumnya adalah 6,7 (Steinhaus 1963; Alexopaulus & Mims 1979). Beberapa toxin yang diproduksi oleh B. bassiana yaitu Beauvericin, Bassianolidae, Cyclosporin A, dan Oosporein (Vey et al. 2001).

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida DNA dengan cara in vitro. Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi molekul mRNA (Yuwono 2006).

Konsep asli teknologi PCR mensyaratkan bahwa bagian tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut dilakukan. Sekuen yang diketahui tersebut penting untuk menyediakan primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi untuk mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerase (Yuwono 2006).

Metode PCR tersebut sangat sensitif, sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah yang sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg, oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM dan reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50 – 100 µl (Yuwono 2006; Gumilar 2006).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA template (cetakan), yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dTCP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintetis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa bufer (Yuwono 2006).

Secara umum proses PCR dibagi menjadi tiga tahap. Pertama yaitu proses denaturasi yang bertujuan untuk membuka ikatan rangkap DNA. DNA mempunyai struktur double helix sehingga untuk memungkinkan terjadinya penempelan primer, ikatan rangkap (ikatan hidrogen) yang membangun struktur tersebut harus diputuskan. Pemutusan ikatan dapat dilakukan pada suhu tinggi (biasanya di atas 90 oC). Kedua, annealing yaitu penempelan primer kepada untai DNA yang telah terdenaturasi. Proses ini dilakukan pada kisaran suhu 36 – 56 oC. Ketiga, extension yaitu proses perpanjangan primer yang menempel pada DNA template dengan melibatkan DNA polimerase sebagai katalis. Ketiga tahapan tersebut dapat diulangi terus sesuai dengan jumlah siklus yang kita inginkan. Penentuan jumlah siklus PCR bergantung kepada target jumlah copy molekul DNA yang ingin dihasilkan. Sebagai gambaran, jika merancang 20-30 siklus, dan dengan menggunakan enzim Taq polymerase sebagai katalis, lebih dari satu juta copy molekul DNA dapat diperoleh dalam waktu 1,5-2,5 jam (Gumilar 2006).

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua, yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA cetakan lain. Proses annealing biasanya dilakukan selama 1 – 2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 oC selama 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polimerasi akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru beredasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya

19

akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 oC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006).

Reaksi-reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulangi lagi sampai 25 – 30 kali (siklus) sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi. Paling tidak, diperlukan 25 siklus untuk melipatgandakan satu kopi sekuen DNA target di dalam DNA genom mamalia agar hasilnya dapt dilihat secara langsung, misalnya dengan elektroforesis gel agarose. Akan tetapi, pada umumnya konsentrasi DNA polimerase Taq menjadi terbatas setelah 25 - 30 siklus amplifikasi (Sambrook et al. 1989).

Dalam dokumen PENGARUH CENDAWAN ENTOMOPATOGEN (Halaman 25-36)

Dokumen terkait