• Tidak ada hasil yang ditemukan

Barbara Bramanti, seorang arkeogenetik dari Universitas Johannes Gutenberg, Mainz, Jerman menyatakan bahwa wabah Pes (Plaque) kemungkinan berperan dalam runtuhnya kekaisaran Romawi. Pernyataan tersebut didasarkan pada penyelidikan dengan metode molekuler modern melalui pemeriksaan DNA purba dari gigi 19 kerangka

abad ke-6 dari beberapa kuburan abad pertengahan yang berbeda di Bavaria, Jerman dan ditemukan jejak bakteri Yersinia pestis pada semua kerangka tersebut. Jika temuan tersebut benar, maka diduga itulah perang dengan senjata biologis pertama dalam sejarah setelah bangsa Mongol menyebarkan wabah tersebut (Johannes Gutenberg University, 2010).

Wabah pes terkait setidaknya pada 2 epidemi paling dahsyat dalam sejarah, yaitu

Great Plaque atau Black Death pada abad ke 14 –17 yang menyebabkan kematian 2/3

penduduk Eropa pada pertengahan tahun 1300-an dan Modern Plaque yang melanda seluruh dunia pada abad ke 19 dan 20 dimulai dari China pada pertengahan tahun 1800-an d1800-an menyebar ke Afrika, Amerika, Australia, Eropa d1800-an Asia (Hough, 2008). Wabah besar lainnya yang tercatat menyebabkan kematian melebihi kematian akibat perang antara lain (UU No 4 tahun 1984 tentang Wabah):

1. Influenza yang terjadi pada akhir abad ke 19 sampai saat ini, menyebabkan kematian 21.64 juta penduduk, termasuk varian influenza yang terus bermutasi sampai saat ini 2. HIV/AIDS sejak kasus pertama ditemukan sampai saat ini telah menelan korban jiwa

26 juta orang

3. Thypus di Eropa pada tahun 1914-1915 menyebabkan kematian 3 juta orang

4. Ebola di Afrika Barat telah menewaskan lebih dari 10.000 penduduk dalam waktu kurang dari 6 bulan

5. H5N1 di Indonesia memiliki Case Fatality Rate lebih dari 75%

Perkembangan wabah di Indonesia juga sejalan dengan kejadian wabah dunia, ditambah lagi sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kekayaan hayati berupa flora dan fauna sebagai sumber daya alam dalam bentuk jasad renik dan berguna untuk kesehatan, tetapi sebagian juga menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat karena menjadi agen penyakit yang dapat timbul dalam kondisi kejadian luar biasa (KLB), bahkan menyebabkan wabah. Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga dikenal sebagai daerah endemis penyakit menular potensial wabah, seperti malaria, DBD, diare, leptospirosis, dan sebagainya.

Sejalan dengan perkembangan perdagangan dunia mulai abad pertengahan, beberapa penyakit menular potensial wabah yang biasanya berjangkit di Benua Eropa, Afrika, dan Amerika, serta daratan Asia, menyebar ke kawasan Indonesia, seperti pes, kolera, demam berdarah dengue, hepatitis, thypus, dan disentri. Pada era tahun 2000 dan memasuki abad ke-21, seiring dengan kemajuan sarana transportasi dan informasi, Indonesia mengalami transisi epidemiologi sekaligus menjadi beban ganda akibat terjadinya penyakit menular baru dan penyakit menular lama yang timbul kembali, karena penyakit menular lama (endemis) belum mampu ditekan prevalensi/insidensinya namun timbul ancaman penyakit menular baru, seperti SARS, flu burung (H5N1), H1N1, MERS CoV, Ebola, dan mungkin penyakit penyakit zoonosis lainnya. Dinamika kependudukan dan perubahan lingkungan strategis serta perubahan iklim juga berdampak terhadap pola penyebaran penyakit menular, termasuk penyakit menular potensial wabah, yang diperkirakan semakin meningkat intensitasnya.Selain itu dengan semakin majunya teknologi kesehatan, maka dimungkinkan dilakukan rekayasa genetika

dari agen penyakit untuk tujuan tertentu, seperti penggunaan agen penyakit sebagai senjata biologi pemusnah massal.

Wabah saat ini memiliki variabilitas dan severitas yang tinggi serta daya jangkau sangat luas.Mobilitas yang tinggi dan kemudahan komunikasi dan transportasi membuat banyak penyakit berpotensi wabah tersebar dan menjadi sulit dideteksi naturalitasnya. Variabilitas wabah terkait dengan penyakit-penyakit lama yang muncul kembali

(re-emerging diseases) seperti difteri, demam berdarah dengue (DHF) dan polio, atau

merupakan penyakit baru (new-emerging diseases) atas hasil mutasi varian virus tertentu dan menimbulkan severitas yang tinggi seperti Ebola, Mers CoV dan SARS, juga penyakit-penyakit yang dalam pengamatan memiliki prevalensi dan insidensi yang tinggi (emerging

diseases) seperti HIV/AIDS, tuberkulosis dan malaria.

Mencermati perkembangan penyebaran dan pola penyakit yang dipengaruhi oleh berbagai aspek sebagaimana diuraikan di atas, Indonesia wajib melakukan upaya untuk mencegah, mengendalikan, memberantas, dan menanggulangi penyebaran penyakit menular, baik yang endemis maupun yang menyebar dari negara lain. Sesuai dengan konvensi internasional, sebagai anggota badan kesehatan dunia (WHO), Indonesia telah menyepakati penerapan regulasi kesehatan internasional (IHR) secara penuh. Dengan demikian, apabila terjadi wabah di wilayah Indonesia atau kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia, pemerintah Indonesia, baik sendiri maupun bekerja sama dengan negara lain, wajib melakukan upaya penanggulangan secara komprehensif agar tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk pada masyarakat.

Berdasarkan pengalaman selama ini, kejadian wabah yang pernah terjadi menunjukkan bahwa wabah merupakan ancaman bagi kehidupan manusia dan keamanan negara.Di beberapa negara, kondisi wabah dimanfaatkan secara politis, ekonomi dan sosial untuk kepentingan tertentu. Misalnya, wabah ebola di Sierra Leone, Afrika Barat digiring ke arah politik menjelang pemilihan presiden pada akhir 2015, wabah Mers CoV di Saudi Arabia menyebabkan diberhentikannya wakil menteri kesehatan KSA, termasuk juga menteri kesehatan Korea Selatan ketika Mers CoV berjangkit di Korea Selatan.

Terhadap hubungan internasional, setiap negara berhak menetapkan travel

warning bagi warganegaranya untuk tidak berkunjung di daerah terjangkit (alert area)

selama beberapa waktu dan dihentikannya akses masuk dan keluar dari negara terjangkit yang berakibat pada berhentinya perekonomian negara tersebut seperti kasus SARS di Singapura pada tahun 2003. Saudi Arabia juga melarang 5 negara yang terjangkit ebola untuk mengirimkan jemaah hajinya sampai dinyatakan bebas dari ebola pada tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2009 ketika terjadi pandemi influenza H1N1, 5 negara memutuskan tidak mengirimkan jemaah hajinya pada tahun tersebut dan pemerintah Arab Saudi mewajibkan seluruh jemaah haji yang berangkat pada tahun 2009 untuk diberikan 3 jenis vaksin mandatory yaitu Meningitis meningococcus, seasonal influenza dan influenza H1N1

Wabah dan Pertahanan Negara

Menurut UU TNI tahun 2004, Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Beberapa kejadian wabah di era modernisasi dan diindikasikan memiliki pengaruh terhadap pertahanan negara antara lain :

1. Pada Desember 2008, lebih dari 10.000 orang terinfeksi dan wabah kolera telah menyebar ke Botswana dan Afrika Selatan.Wabah yang disebarkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri ini menyebar begitu cepat sehingga dalam beberapa bulan saja, kolera menjadi epidemi yang menewaskan hampir 3500 warga.Bahkan World Health Organization (WHO) mencatat wabah kolera di negeri yang dipimpin diktator Robert Mugabe ini, telah menginfeksi 67.945 orang. WHO menggambarkan situasi epidemi kolera di Zimbabwe sebagai “tidak terkontrol”. Beberapa pandangan menyatakan bahwa wabah ini “sengaja”dibuat oleh Amerika dan Inggris untuk menjatuhkan rezim Robert Mugabe yang haluan politiknya tidak sejalan dengan haluan politik Amerika dan Inggris. Tetapi tidak terbukti sampai kini.

2. Tahun 2001 kantor senat Amerika pernah mendapat serangan antraks melalui media surat, 5 meninggal dan 17 terinfeksi.

3. Wabah tularemia di Kosovo yang berlangsung sejak Oktober 1999 –Mei 2000, dan diduga merupakan biological warfare. Data dikumpulkan berdasarkan hasil surveilans epidemiologi rutin dan pemeriksaan mikrobiologi terhadap Francisella tularensis sebagai agen dari tularemia. Beberapa kriteria wabah buatan dibuat sebagai indikator untuk membedakan apakah agen merupakan penular alamiah atau buatan. Model yang dibuat cukup fleksibel dan memperhitungkan peran politis, militer dan analisis sosial dari wilayah terjangkit termasuk analisis kritis berbasis wilayah. Bentuk spesifik dari kuman patogen, karakteristik epidemiologi dan kriteria klinis. Berdasarkan kriteria yang ada hanya 37% memenuhi kriteria sebagai wabah buatan, sehingga tidak dapat dibuktikan bahwa wabah tularemia ini sebagai wabah buatan. Penjelasan ilmiah tentang naturalitas wabah ini disebabkan karena meningkatnya tikus sebagai vektor tularemia pada musim semi tahun 1999 yang menyebabkan banyaknya kontaminan yang dihasilkan dari feses dan urin tikus sehingga menginfeksi hewan dan manusia untuk terjadinya tularemia (Grunow & Finke, 2002; Bradley & Sustaita, 2013) .

4. Tahun 1941, Uni Soviet melaporkan 10.000 kasus tularemia, dan jumlahnya melonjak menjadi 100.000 selama pengepungan Jerman Stalingrad pada tahun berikutnya (Grunow & Finke, 2002).

5. Wabah The Black Death (wabah Pes) abad keempat belas diklaim memakan korban tewas lebih banyak dibandingkan dari setiap konflik militer/perang sebelum atau sesudahnya. Epidemi influenza besar 1918-1920 terjadi setelah perang dunia I, membunuh jauh lebih banyak daripada beberapa perang besar sebelum dan setelahnya (Haensch et al.,2010) .

Penggunaan senjata biologis untuk pertahanan negara secara etik tidak perlu diperdebatkan, upaya tersebut sebenarnya sama saja dengan pengembangan riset tentang senjata dan nuklir (Balmer, 2002). Riset senjata biologis juga memiliki pengembangan yang sama dengan riset medis dan kesehatan lainnya, rambu-rambu riset yang jelas akan menjadi petunjuk melakukan riset yang baik. Sejarah perkembangan riset senjata biologis di Inggris dijelaskan dimulai sejak perang dunia pertama dan dilanjutkan hingga kini.Penggunaan senjata biologis dalam perang harus diatur sesuai dengan etika perang internasional, dengan tidak mengorbankan masyarakat umum dan tidak menimbulkan terror bagi kehidupan manusia.

Perspektif baru tentang keamanan nasional sebagai kebijakan pemerintah untuk menjamin kelangsungan hidup (survival) dari penduduknya dan keamanan negara bangsanya (nation-state), karena itu Indonesia harus mengambil sikap dalam menghadapi kemungkinan ancaman nir-militer seperti wabah, terkait dengan wabah sebagai salah satu bentuk ancaman negara, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk membuat kebijakan yang komprehensif dan sistematis dalam menghadapi ancaman wabah. Saat ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, masih beranggapan bahwa wabah yang terjadi bersifat natural dan diatasi sesuai dengan natural history of diseases dan memutus mode of transmission sesuai jenis wabahnya, belum terlihat pandangan dan perspektif pertahanan negara dalam setiap kejadian wabah, padahal dalam investigasi wabah faktor pertahanan negara dapat dimasukkan sebagai salah satu variabel yang patut dipertimbangkan.

Kasus H5N1 yang dianggap sebagai konspirasi oleh Menteri Kesehatan Dr. Fadilah Supari dalam bukunya “Saatnya Dunia Berubah”sampai saat ini belum dapat dibuktikan baik secara akademis maupun secara teknis.Informasi intelijen yang diberikan tidak melalui operasi intelijen standar dan tidak dapat dibuka secara akademis. Oleh karena itu sudah seharusnya mulai saat ini para epidemiolog mulai mempertimbangkan “sense”dan “naluri”pertahanan dan keamanan negara dalam setiap proses investigasi.

Daftar Pustaka

Balmer B. 2002. Killing “Without The Distressing Preliminaries”; Scientific Defence of The British Biological Warfare Programme. Minerva 40(1): 57–75.

Bradley M and Sustaita G. 2013. Applying Scientific Evidence to Prosecuting Perpetrators of Well Contamination as Bio-Warfare Strategy.Journal of Biosecurity, Biosafety and Biodefense

Law 4(1): 5–18.

Grunow R and Finke EJ. 2002. A procedure for differentiating between the intentional release of biological warfare agents and natural outbreaks of disease: its use in analyzing the tularemia outbreak in Kosovo in 1999 and 2000. The European Society of Clinical

Microbiology and Infectious Diseases, CMI, 8, 510–521.

Haensch S, Bianucci R, Signoli M, Rajerison M, Schultz M, Kacki S, Vermunt M, Weston DA, Hurst D, Achtman M, Carniel E, Bramanti B. 2010. Distinct Clones of Yersinia Pestis Caused the Black Death. PLoS Pathog 10(6):e1001134.

Johannes Gutenberg University. 2010.Cause of the big plague epidemic of Middle Ages identified. http://phys.org/ news/2010-10-big-plague-epidemic-middle-ages.html [diakses 1

September 2015].

UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah