• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana Umum Konsep Pluralisme di Indonesia

BAB IV : TEOLOGI KONTEKSTUAL ABDURRAHMAN WAHID

B. Teologi Kontekstual Abdurrahman Wahid

1) Wacana Umum Konsep Pluralisme di Indonesia

Kenyataan pluralisme merupakan sunnatullah yang tidak dapat dinafikan dalam kehidupan manusia. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan “Likullin ja’alna minkum syir’atan wa minh{a>ja” (untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang). Artinya, dalam setiap agama terdapat syari’atnya sendiri dan memiliki kebenaran masing. Tanpa memahami kebenaran mutlak di masing-masing agama, akan sulit menemukan perdamaian diantara agama-agama itu sendiri. Namun, pandangan perbedaan yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an kerap kali berubah ketika keyakinan akan kebenaran diyakini sebagai kebenaran mutlak, kerap kali membawa pada pandangan yang mengarah kepada konflik, kesenjangan antar sesama pemeluk agama, dan bahkan antara sesama muslim yang memiliki perbedaan pemahaman dan penafsiran ajaran. Disinilah kekurangan umat Islam ketika

menunjuk pada makna realitas keragaman sosial sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Ramundo Panikar, melihat pluralisme sebagai bentuk pemahaman moderasi yang bertujuan menciptakan komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal-balik antara budaya dunia yang berbeda dan membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasanya sendiri.18

Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku/etnik, bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda, tapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Meminjam pengertian yang diberikan oleh Asghar Ali Engginer pada dasarnya tujuan Pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (sosial justice).19 Pluralitas dalam kenyataannya merupakan keanekaragaman dalam berbagai bentuk, baik kedaerahan, kebudayaan, keagamaan, kesukuan, dan adat istiadat. Menurut Kuntowijoyo, kebudayaan dalam masyarakat majemuk ada tiga,

16

Ahmad Baso, dkk., Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realiatas (Cet. I; Jakarta: Air Langga, 2003), h. 73-74.

17

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 691.

18

Sudiarjo, Dialog Intra Religious (Cet. I; Yogyakarta: Kanisus, 1994), h. 33-34. 19

Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 33.

Islam pun memiliki pandangan tentang bagaimana menyikapi pluralisme. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam Q.S Hud (11): 118-119.























































Terjemahnya:

“Jikalau TuhanMu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rakhmat oleh Tuhan-Mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhan-Mu (keputusannya telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.21

Ayat di atas mengisyaratkan akan pentingnya memahami keragaman sebagai ketetapan atau fitrah dari Allah swt., yang harus disikapi secara dewasa. Penciptaan manusia dengan segala perbedaan-perbedaan yang melingkupinya merupakan keniscayaan dan sekaligus menjadi ujian manusia dalam menyikapi keragamanya.

Kemajemukan bangsa Indonesia baik suku, ras, agama maupun perbedaan pandangan dan pendapat dalam melihat realitas merupakan kekayaan dan kebanggaan tersendiri yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun dengan keragaman akan perbedaan itu sering membawa kepada disintegrasi bangsa, karena truth claim

20

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Cet. II; Bandung: Mizan, 1997), h. 155. 21

bahwa kehadiran Islam di Indonesia yang semakin menunjukkan kekuatannya tidak terlepas dari tantangan yang tentu saja bersumber dari pemikiran, khususnya bersumber dari paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya.22 Dalam catatan sejarah, keberadaan isu pluralisme agama tidak dapat dipungkiri. Hal ini tergambar dalam sejarah tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Al-Qur’an dalam berbagai kesempatan banyak berbicara tentang pluralisme, bahkan Al-Qur’an mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan S}a>bi’i>n, seperti halnya keberadaan manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Sikap pengakuan Al-Qur’an terhadap pluralisme telah mencapai puncaknya ketika menegaskan sikap penerimaan Al-Qur’an terhadap agama-agama selain Islam, untuk hidup bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen, dan agama-agama lainnya eksistensinya diakui oleh agama Islam. Ini adalah suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di dalam agama lain.

Dalam kaitannya dengan Islam, Pluralisme menekankan dua aspek dasar, yaitu: 1) Kesatuan manusia (unity of mankind), dan 2) Keadilan di semua aspek kehidupan.23 Kata keadilan dalam sikap ini harus diikuti dengan pembebasan golongan masyarakat lemah, minoritas dan marjinal, dan tidak menutup ruang-ruang

22

Adian Husaini, Plurlisme Agama Haram (Cet. I; Jakarta: Perspektif, 2005), h. 2. 23

pelibatan antitesis dan objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan (unity) dan merangkum seluruh dimensinya. Pluralisme dalam artian ini tidak bisa disematkan pada situasi cerai-berai dan permusuhan yang tidak memiliki ikatan persatuan dan persaudaraan yang mengikat semua pihak dari berbagai perbedaan. Keanggotaan dalam lingkup keluarga merupakan contoh kecil yang dapat dijadikan acuan dalam kerangka kesatuan keluarga antitesis darinya tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi, maka tidak dapat dibayangkan adanya kemajemukan, keunikan dan pluralisme. Sisi pertengahan (keadilan) serta keseimbangannyalah yang dapat memelihara hubungan antara “kemajemukan, perbedaan, dan pluralitas” dan “faktor kesamaan, pengkat, dan kesatuan”. Sementara itu, disintegrasi dan kacau-balau ditimbulkan oleh “sikap ekstrem memusuhi dan menyempal” yang tidak mengakui dan tidak memiliki faktor pemersatu. Juga oleh sikap “penyeragaman” (yang mengingkari kekhasan dan perbedaan), yaitu “sikap ekstrem represif dan otoriter” yang menafikan perbedaan masing-masing pihak dan keunikannya.24

Gambaran pluralisme juga diberikan oleh Alwi Shihab, yaitu:

1. Pluralisme tidaklah semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun keterlibatan secara aktif terhadap realitas majemuk tersebut.

24

Muhammad Imarah, Al-Islam wa-Ta’addudiyah: Al-Ikhtilaf wat-Tanawwu fi

3. Pluralisme tidak sama dengan relativisme, karena konsekuensi dari relativisme agama adalah munculnya doktrin bahwa semua agama adalah sama, hanya didasari pada kebenaran agama walaupun berbeda-beda satu sama lain tetapi harus diterima. Seorang relativis tidak mengenal adanya kebenaran universal yang ada pada agama.

4. Pluralisme agama bukan sinkretisme, yakni untuk menciptakan agama baru dengan menggabungkan unsur-unsur tertentu dari beberapa agama menjadi satu integral dalam agama baru.25

Berdasarkan pandangan Alwi Shibah mengenai pluralisme, penulis menganggap bahwa pluralisme merupakan sikap kemajemukan tidak hanya dalam konteks agama, melainkan juga pada aspek sosial, budaya, dan politik. Umat beragama, khususnya umat Islam di Indonesia sebagai agama mayoritas seyogyanya mendorong saling menghargai perbedaan keyakinan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja dikarenakan pluralitas memiliki nilai kompetensi dan motivasi di antara individu dan masyarakat secara umum untuk berkompetisi secara sehat dalam mewujudkan tujuan kekhalifaan di bumi, walaupun tidak dapat dipungkiri pluralisme di Indonesia, baik beragama dan berbudaya mampu berpotensi konflik horizontal di tengah-tengah interaksi masyarakat. Dalam mengantisipasi

25

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), h. 41-42.

Islam secara inklusif akan sulit mewujudkan penegakan civil society, terlebih truth claim masih menjadi pemahaman keagamaan. Artinya, selama umat beragama masih menganggap bahwa hanya agama, suku, dan budayanyalah yang paling benar maka potensi konflik akan mudah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beragama di Indonesia. Dalam pemahaman lain, teologi ekslusif diganti dengan teologi inklusif untuk dapat menghargai keragaman di Indonesia.

Dokumen terkait