B. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Gusti Haji Abdul Muis
2. Wajib bagi jiwa
Menurut Miskawaih, pendidikan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap jiwa. Hal tersebut menunjukkan dengan adanya pendidikan maka akan melahirkan ketenangan dalam hidupnya, sebagai contoh: adanya materi tentang pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesarannya, serta motivasi untuk senang terhadap ilmu.
3. Wajib bagi hubungannya dengan sesama
Menurut Miskawaih, manusia sebagai makhluk sosial haruslah mampu menjalani kehidupan dengan baik, yaitu menciptakan hubungan baik dengan sesama. Adapun implementasinya yaitu dengan memelajari materi ilmu tentang muammalat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, maupun peperangan.
Ketiga pokok materi di atas tentu dapat diperoleh melalui pembelajaran yang serius pada setiap jenjang pendidikan, misalnya dengan menggali ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-‘ulum al-fikriyyah) dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera (al-‘ulum al-hissiyyat). Kemudian materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah, maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu asalkan semuanya tidak terlepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih memberikan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mencapai akhlak yang baik, melalui metode berikut:53 Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan
53Ibn Miskawaih, Tahzib Al-Akhlaq. ed. Syekh. Hasan Tamir, e-book, (Beirut : Manssyuurat Dar Maktabat al Hayat, 1398 H.), h. 4.
diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa.
Kedua, menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai
cermin bagi dirinya. Maksudnya adalah pengetahuan mengenai hukum-hukum akhlak yang berlaku menjadi penyebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara seperti ini, maka seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang salah karena bercermin kepada perbuatan buruk yang dialami orang lain. Manakala untuk mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, tentu harus terlebih dahulu mencurigai dirinya sendiri, dalam arti pada dirinya banyak terdapat kekurangan melebihi orang lain, dengan harapan setiap perbuatan yang dilakukan tersebut menjadi pengalaman yang tidak luput dari perhatian-Nya.
Setelah mendefinisikan akhlak dan pendidikan akhlak di atas maka dalam ini, Muis lebih menekankan pada pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), melalui pembersihan hati. Hal ini sejalan dengan inti pendidikan Islam yaitu pendidikan hati (akhlak). Sebelum masuk membahas pembersihan hati tersebut, penulis mengetengahkan dulu apa itu hati. Sebagian dari persoalan yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa kalimat qalb disebut dalam Alqur’an—baik dalam bentuk tunggal, bermakna dua, maupun jamak—lebih dari 130 kali. Hanya saja, penyebutan itu tidak secara mutlak menunjukkan bahwa kata qalb diartikan dalam konteks anatomi kedokteran (yaitu, hati yang melekat dalam badan), melainkan dimaksudkan sebagai “instrument persepsi ma’rifah yang sangat komplek” yang memiliki beberapa fungsi bercabang, beragam, dan saling terkait pada kadar paling banyak. Namun kadang qalb juga memiliki beberapa ciri tersendiri yang tidak
dimiliki oleh instrument pengetahuan lainnya.54 Hal tersebut sejalan dengan firman-Nya dalam Q.S. Al-Hajj 22: 46.
ىَمْعَ ت لا اََّنِْإَف اَِبِ َنوُعَمْسَي ٌناَذآ ْوَأ اَِبِ َنوُلِقْعَ ي ٌبوُلُ ق ْمَُلَ َنوُكَتَ ف ِضْرلأا ِفِ اوُيرِسَي ْمَلَ فَأ ِروُدُّصلا ِفِ ِتَِّلا ُبوُلُقْلا ىَمْعَ ت ْنِكَلَو ُراَصْبلأا ٤٦
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa hati mengandung makna idrakiyyah ma’rifiyyah (persepsi inuitif), hati harus kontemplatif, dan fungsi hati
yang menggunakan ilmu.
Secara bahasa, hati dalam bahasa Arab disebut al-qalb. Dia terambil dari akar kata ‘qaf’, ‘lam’, ‘ba’. Tiga huruf tersebut menunjukkan dua arti, pertama menunjukkan sesuatu yang murni lagi mulia, dan kedua bolak-balik, berubah-ubah, berganti dari satu bentuk kebentuk yang lain.55
Berangkar dari sinilah mengapa Rasul menyuruh kita untuk berdoa:
َكِنيِد ىَلَع ِبِْلَ ق ْتِِّبَ ث ِبوُلُقْلا َبِِّلَقُم َيَ
56
Juga bisa berarti membalikkan ataupun menjadikan sesuatu yang tinggi menjadi rendah.57Qalb bisa bermakna58 hati, lubuk hati, jantung, inti, esensi, bagian
54Muhammad Abdullah asy-Syarqawi,Sufisme dan Akal, Diterjemahkan oleh Halid Alkaf dari ash-Shufiyyah wa al-‘Aql: Dirasah Tahliliyah Muqaranah li al-Ghazali wa Ibn Rusyd wa Ibn
‘Arabi,(Jakarta: Pustaka Hidayah, 2003), h. 72.
55Abul-Husein Ahmad B. Faris B. Zakariya, Mu’jam…. , h. 857.
56H. R. At-Tirmidzi dari Anas B. Malik.
57Shubhi Hamawi (editor), al-Munjid al-Wasith fil-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah,(Beirut:
Darul-Masyriq), h. 865.
58Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor,Kamus Krapyak Al-‘Ashri, Cet VIII,(Yogyakarta: Multi Karya Grafika), h. 1467.
dalam. Berdasarkan hal tersebut maka, definisi hati dapat terklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu hati dalam arti “daging” dan hati dalam arti “sesuatu yang halus”, bersifat rabbaniyah (ketuhanan).
Hati dalam arti daging adalah sebuah organ tubuh kita yang tersimpan dan terlindungi oleh tulang belulang. Tempatnya didada sebelah kiri. Bentuknya seperti buah shanaubar, sehingga sering orang mengatakan hati sanubari. Pada daging itu terdapat lubang atau rongga terdapat pula darah hitam yang menjadi sumber ruh.
Sedangkan makna hati berikutnya ialah merupakan sesuatu yang halus, rabbaniyah (ketuhanan), ruhaniyah (kerohanian) dan mempunyai keterkaitan dengan hati yang jasmaniah (ditubuh kita ini). Hati yang halus itulah hakikat manusia. Dialah yang mengetahui, yang mengerti dan yang mengenal diri sendiri. Dialah yang diajak bicara, disiksa, dicela dan dituntut oleh Tuhannya. Hati dalam pengertian ini, mempunyai kaitan dengan jasmaniah, yaitu keterkaitan dengan akhlak terpuji yang direalisasikan oleh gerak tubuh. Hati juga menentukan sifat serta watak manusia yang tampak secara lahiriah.59 Sabda Nabi:
ٍمْيَعُ ن وُبَأ اَنَ ثَّدَح
59Imam Al-Ghazali,Membangkitkan Energi Qolbu, Disunting oleh Muhammad Nuh, (Tanpa Nama Kota Penerbit: Mitra Press, 2008), h. 14.
60H. R. Muttafaqun ‘Alaihi.
Dengan demikian hati merupakan sumber perbuatan kita. Ia sangat mempengaruhi perilaku kita. Baik atau jahat tergantung kondisi hati, dan untuk mendidiknya Nabi memberikan cara, salah satunya yaitu dengan cara mengingat mati.
َتْوَمْلا ِنِْعَ ي ِتاَّذَّللا ِمِذاَه َرْكِذ اوُرِثْكَأ
61
Pada dasarnya hati memiliki banyak nama.62 (1) As-Shadr yang ditempati perasaan waswas dan Islam. (2) al-Qalb yang merupakan tempat iman. (3) as-Syaghaf yang merupakan tempat cinta kepada pekerti yang baik. (4) al-Fuad yang
dapat melihat kebenaran. (5) Habatul-Qalb yang merupakan tempat cinta kepada kebenaran. (6) as-Suwaida yang merupakan tempat ilmu-ilmu agama. (7) Mahajatul-Qalb yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah atau mengkufurinya.
Nama lainnya ad-Dhamir yang merupakan tempat merasa dan daya rekoleksi (al-qawwat al-hafizhat dan as-sirr sebagai bagian kalbu yang paling halus dan rahasia.
Perihal di atas tentunya sejalan dengan pendidikan tasawuf yakni tasawuf akhlaqi. Tasawuf akhlaqi yaitu berusaha untuk mendidik dan melatih hati manusia
agar memiliki ketajamaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia selalu mengutamakan pertimbangan-pertimbangan kemanusian pada setiap masalah yang ia hadapi.
61H. R. Imam Empat, kecuali Abu Daud.
62Abdul Mujib, Fitrah…. , h. 60-61.
Dengan cara demikian ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.63
Kata tazkiyah berasal dari kata zakkâ-yuzakkî memiliki arti yang banyak di antaranya adalah berkembang, tumbuh, bertambah. Juga bisa berarti menyucikan, membersihkan dan memperbaki.64 Konsep pendidikan juga diperoleh dalam Alquran melalui penafsiran terhadap kata tazkiyah tersebut. Yakni, berarti proses penyucian melalui bimbingan ilahi. Kata tazkiyah dengan berbagai derivasinya berarti tumbuh dan berkembang berdasarkan barakat dari Allah. Makna ini dapat digunakan dalam konteks duniawi maupun ukhrawi. Sehingga kata zakat dalam ajaran Islam berarti sesuatu yang dikeluarkan oleh manusia yang diambil dari hak Allah, diberikan kepada golongan fakir miskin, baik diniati untuk mengharap barakat untuk membersihkan jiwa, untuk melapangkan dada maupun untuk
mendapatkan keberkahan dalam melakukan kebajikan.
Manusia sebenarnya diberi Allah Swt. potensi untuk menyucikan jiwanya.
Artinya potensi tersebut adalah fitrah yang Allah Swt. berikan kepada setiap orang yang mau mengembangkan potensi dirinya menjadi bersih dan jiwanya menjadi lebih suci. Allah swt. berfirman dalam Q.S. Al-A’la 87: 14,
ىَّكَزَ ت ْنَم َحَلْ فَأ ْدَق ١٤
Berdasarkan ayat di atas menunjukkan makna tazkiyah dikontekskan dengan pendidikan, sehingga kata pendidikan yang diambil dari makna tazkiyah
63 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h. 297.
64Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir…., h. 577.
tersebut lebih diarahkan pada tujuan penyucian jiwa, karena dengan jiwa yang bersih, maka akan menghasilkan akhlakul karimah dan amal-amal yang baik.
Sebaliknya apabila jiwa kotor, akan menghasilakn perbuatan yang buruk.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis sebelumnya tersebut menjelaskan urgensi pembersihan jiwa lebih diutamakan karena bersumber dari jiwa yang baik akan melahirkan semua aktifitas menjadi baik dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Dari makna inilah kata tazkiyah digunakan dalam pendidikan Islam. Secara eksklusif Muis65menyatakan dalam kerangka dasar yang dilakukan dalam memperbaiki hati dan menuju kepada kesempurnaan akhlak budi pekerti adalah harus menempuh tiga maqamat atau tahapan.
Tahapan pertama, takhalli “bersihkan dirimu dari sifat-sifat tercela”. Diri
sendiri harus dibersihkan dahulu dari sifat-sifat tercela atau akhlak madzmumah, yakni sifat yang tidak disukai Allah. Bersihkan dirimu dari sifat zalim, hasad, dengki, bakhil, nifaq, dusta, kufur ni’mah, sifat sombong, sifat takabur, sifat ria, sifat ujub, dan sebagainya dari segala sifat-sifat yang tercela di sisi Allah. Bila sudah terlanjur dahulunya ada sifat-sifat itu dalam diri, segeralah menyesalinya, lalu bertaubat kepada Allah. Allah berfirman dalam Q. S. Al-Hasyr 59: 18.
ِبَخ ََّللَّا َّنِإ ََّللَّا اوُقَّ تاَو ٍدَغِل ْتَمَّدَق اَم ٌسْفَ ن ْرُظْنَ تْلَو ََّللَّا اوُقَّ تا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ َيَ
اَِبِ ٌير
َنوُلَمْعَ ت ١٨
Setelah melalui proses takhalli tersebut lahirlah apa yang disebut dengan muhasabatun nafs yakni menghitung diri sendiri dan memeriksanya dengan teliti.
65 Gusti Haji Abdul Muis, Mengenal Jalan Ke Tasawuf, (Banjarmasin : Ar Rahman, tt), 11-14.
Apakah diri ini sudah beramal dan berapa banyak dosa yang sudah terlanjur dibuat, apakah hati sudah bersih atau ditutupi oleh sifat-sifat tercela atau akhlak madzmumah.
Tahap kedua, Apabila proses takhalli sudah dilakukan maka masuklah pada
proses berikutnya yaitu tahalli, “isilah dirimu dengan sifat-sifat yang terpuji atau akhlak mahmudah”. Artinya hidup ini harus dihiasi dengan akhlak karimah (budi pekerti yang mulia) yang tertancap dengan kuat dalam batin. Lalu jalanilah hidup ini dengan istiqamah konsisten dalam beribadah dan berprilaku dengan sifat-sifat utama, seperti amanah, siddiq, pemurah, pemaaf, bijaksana, tawadhu, syukur dan sebagainya dari sifat-sifat terpuji. Maka bertemulah dia dengan kehidupan yang dilukiskan Allah dalam Q.S. Al-Imran 3: 191.
َّ بَر ِضْرلأاَو ِتاَواَمَّسلا ِقْلَخ ِفِ َنوُرَّكَفَ تَ يَو ْمِِبِوُنُج ىَلَعَو اًدوُعُ قَو اًماَيِق ََّللَّا َنوُرُكْذَي َنيِذَّلا
اَن ١٩١ ِراَّنلا َباَذَع اَنِقَف َكَناَحْبُس لاِطَبَ اَذَه َتْقَلَخ اَم
Apabila tahapan atau maqamat kedua ini telah dilalui, maka ia akan masuk pada proses, tahapan ketiga, yaitu tajalli maka tersingkaplah tabir, jadilah ia seorang pribadi muslim yang berakhlak mahmudah dan istiqamah dalam agamanya.
Muis menyatakan keburukan atau kenistaan akhlak seorang muslim itu disebabkan karena penumpukan dosa yang tidak ditobati sehingga menjadi dinding antara ia dan Tuhannya. Maka setelah ia melalui proses takhalli, tahalli dan kulminasi akhirnya pada maqamat tajalli. Maka nur hidayah Allah bersinar terang benderang
dalam diri, selalu terasa terang benderang di dalam hati, walaupun dalam keadaan berada di malam hari yang gelap gulita.66
Metode atau cara pembersihan hati menurut Muis ini untuk menuju pribadi muslim sesuai dengan beberapa metode atau cara yang diajarkan oleh beberapa ulama dahulu, di antaranya Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali67 bahwa pada dasarnya manusia cenderung kepada hawa nafsunya. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan syahwat. Bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu yang diperturutkan inilah yang akan membawa kepada kemerosotan bahkan kehancuran akhlak. Hal ini disitir Allah dalam Q.S. Yusuf 12: 53.
َّنِإ يِسْفَ ن ُئِِّرَبُأ اَمَو ٌميِحَر ٌروُفَغ ِِّبَِر َّنِإ ِِّبَِر َمِحَر اَم لاِإ ِءوُّسلِبَ ٌةَراَّملأ َسْفَّ نلا
٥٣
Salah satu sifat dari nafsu amarah adalah bahwa kenikmatan hidup di dunia ini adalah menjadi tujuan atau target pencapaian. Falsafat hidup hedonism menurut al Ghazali akan membawa manusia kepada kehancuran moral. Sebab, sadar atau tidak sadar, lambat laun akan membawa manusia kepada pemujaan dunia.
Kenikmatan dunia ini menjadi tujuan, bukan lagi menjadi jembatan emas untuk menuju kebahagian yang hakiki dan kekal abadi. Efek dari pandangan hidup seperti ini menjurus kepada pertentangan antar manusia dengan manusia lainnya, menghalalkan segala cara. Inilah dekadensi moral atau akhlak yang paling merusak, merusak hubungan dengan Tuhannya (hablum minallah) serta merusak hubungan sesamanya (hablum minannas).
66Gusti Haji Abdul Muis, … … … Mengenal . h. 14.
67 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan : IAIN SUMUT, 1981), h. 98.
Maka, untuk merehabilitasi kondisi dekadensi akhlak yang demikian Muis menyampaikan konsep tazkiyatun nafs. Konsep tazkiyatun nafs Muis tersebut merupakan elaborasi dari metode atau manhaj sufistik yang juga sebelumnya dikembangkan oleh al Ghazali.
Menurut al Ghazali,68 agar individu muslim dapat mencapai kesempurnaan akhlak atau menjadi manusia yang bertaqwa dan dekat dengan Allah sang Rabb, maka ia harus melakukan sebuah sistem pembinaan akhlak dengan tahapan atau maqamat takhalli, tahalli, dan tajalli.
Bertitik tolak dari tazkiyatun nafs yang disarankan oleh Muis dan ia merupakan elaborasi dari konsep sufistik dalam manhaj tasawuf akhlaqi di atas memberikan keyakinan bahwa kesempurnaan rohani akan membawa kepada kebaikan akhlak atau budi pekerti. Karena dengan pembersihan jiwa akan membawa kepada kemurnian ibadah, sehingga bagi mereka setiap nafas yang dihembuskan, setiap kerdipan mata, setiap langkah kaki yang diayunkan , seluruhnya dihadapkan kepada norma yang bernilai ibadah. Dari ibadah yang terpelihara, murni dan ikhlas kepada Rabb, dipastikan akan memanisfestasikan dirinya menjadi individu yang berakhlak karimah (mahmudah).
Selanjutnya terkait dengan hati ini Muis menegaskan bahwa hati adalah benteng pertahanan. Dengan mengikuti tahapan-tahapan dari tazkiyatun nafs, maka jelaslah hati adalah objek utama dan merupakan motorik dari setiap aktifitas jiwa dan raga.69
68Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama islam Negeri Sumatera Utara, … … … Pengantar), h. 98.
69 Gusti Haji Abdul Muis, … … … Mengenal, h. 28.
Menjaga hati dari sifat-sifat buruk atau akhlak madzmumah adalah fardhu ain bagi setiap mukallaf. Sifat-sifat buruk atau akhlak madzmumah merupakan pintu-pintu masuk dari syaitan. Jadi, jalan masuknya syaitan kedalam hati adalah melalui sifat-sifat atau akhlak kita sendiri.
Akhlak madzmumah itu jumlahnya banyak sekali, tetapi menurut Muis70 yang paling berbahaya dan menjadi pintu yang paling lebar adalah sifat amarah dan memperturutkan syahwat. Bila kedua sifat ini ada dan subur di dalam hati setiap individu, maka pada gilirannya ia akan memunculkan sifat-sifat buruk lainnya sebagai turunannya.
Amarah adalah akibat dari kekacauan pikiran dan keguncangan hati. Maka pada saat itu pasukan pengawal akal menjadi lemah tidak berdaya. Ketika itu datanglah serbuan syaitan untuk menghancurkan iman dan amal, serta akhlak kepribadiannya. Pada waktu marah, mudah sekali syaitan mempermain manusia, seperti anak-anak mempermainkan sebuah bola.
Selanjutnya menurut Muis71 syahwat yang diperturutkan akan melahirkan akhlak atau sifat-sifat buruk berupa sifat dengki, hasad, loba dan tamak. Akibat dari sifat tersebut akan tertutuplah penglihatan akan segala kebaikan. Ia akan melihat segala sesuatu keberhasilan atau tujuan hanya dengan parameter syahwatnya , meskipun perbuatannya itu munkar atau perbuatan-perbuatan yang sangat tercela.
70 Gusti Haji Abdul Muis, … … … Mengenal, h. 28.
71 Gusti Haji Abdul Muis, … … … Mengenal, h. 28
Kemudian memperkuat statemen Muis tentang tadzkiyyatun nafs ini, Sa’id hawa72 menegaskan bahwa sudah selayaknya hati sebagai sasaran pertama pendidikan Islam. Titik awal dari pendidikan Islam adalah masalah keimanan.
Sedangkan keimanan tersebut terutama berkaitan dengan hati, kalau hati sudah mengimani suatu kebenaran, maka ia akan termanisfestasi dalam setiap prilakunya.
Karena itulah, Allah menjelaskan dalam Q.S. 124-125,
ةَروُس ۡتَلِزنُأ ٓاَم اَذِإَو
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa bagi mereka yang di hatinya ada penyakit, yang semestinya ayat tersebut akan menambah keimanan mereka tapi justru memperparah penyakit hati mereka. Dengan demikian jika individu ingin bersentuhan dengan Alquran secara benar dan mendapat hikmah atau pelajaran darinya, maka ia harus mengobati hatinya terlebih dahulu dengan membersihkan segala sifat-sifat buruk di dalam hati, sehingga ia dapat beriman secara tulus.
Seiring dengan pendapat di atas, menurut penulis titik tekan terpenting dalam pendidikan Islam yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik adalah memusatkan perhatiannya kepada upaya memperbaiki hati tersebut sebagai sasaran utama pendidikannya. Kegagalan dalam langkah awal ini akan membuat terisolasinya nilai-nilai akhlak karimah dalam dunia pendidikan.
72 Sa’id Hawwa, Pendidikan Spritual, Judul asli, Tarbiyatuna al Ruhiyah, penerjemah, Abdul Munip, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2006), h. 149-151.
Titik tekan pertama dalam pendidikan Islam adalah memusatkan perhatian kepada usaha penyehatan hati sehingga menjadi sehat, karena dengan cara ini perjalanan berikutnya bisa ditempuh dengan mudah, di samping bisa menjaga hati dari godaan setan, tipu dayanya, baik setan yang berupa manusia ataupun yang berupa jin.
Sudah seharusnya diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari dari setiap individu muslim agar memiliki hati yang sehat. Harus ada gerakan upaya yang sungguh-sungguh dari setiap individu dan komponen umat Islam untuk memperoleh hati yang sehat ini. Sejak langkah awal, kita harus memusatkan perhatian pada semua upaya untuk melatih, mendidik, membersihkan hati agar ia menjadi hati yang sehat dan memmunculkan akhlak yang karimah.73
Maka dalam kaitan dengan masalah pendidikan hati dalam kerangka menuju kepada pendidikan akhlak, metode dan materi yang disarankan Muis dan ia merupakan elaborasi dari kalangan sufi (tasauf akhlaqi) bisa dijadikan sebuah alternative atau solusi.
Sesuai dengan keharusan di atas, dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya ada dua ranah kegiatan yang menjadi fokus dari pendidikan akhlak. Pertama, membimbing hati nurani anak agar berkembang menuju kepada kesempurnaan akhlak Islami secara bertahap dan terus menerus berkesinambungan. Hasil yang diinginkan adalah terjadinya perubahan kepribadian anak didik dari yang semula
73Sa’id Hawwa, … … …Pendidikan , h. 161.
egosentris74 menjadi altruis. 75 Kedua, memupuk, menumbuh kembangkan dan menanamkan nilai-nilai serta sifat-sifat positif berakhlak karimah (takhalli) ke dalam pribadi peserta didik, dan bersama dengan upaya pemupukan nilai-nilai positif ini, pendidikan akhlak berupaya mengikis dan membersihkan atau menjauhkan peserta didik dari sifat-sifat akhlak madzmumah (tahalli).
Maka, titik tekan atau fokus pendidikan akhlak adalah untuk mengembangkan potensi-potensi kreatif yang positif dari peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak karimah. Baik dari sudut pandangan manusia dan terlebih menurut pandangan Allah. Permasalahan manusia “baik” merupakan persoalan nilai karena ia terkait dengan penghayatan dan pemaknaan yang lebih bersifat afektif ketimbang kognitif, karena “nilai” inilah yang akan membentuk tabiat atau sifat serta tingkah laku dan pada akhirnya menjadi karakter manusia.
Selanjutnya Muis76 juga menerangkan ada beberapa hal yang membuat hati terhalang dari kebenaran atau hati menjadi kosong dari hakikat kebenaran, yaitu:
1. Kekurangan pada hati itu sendiri, seperti hati kana-kanak yang belum dewasa.
Ia masih berkembang menuju arah kesempurnaannya. Di sinilah peran utama para guru agama, ustadz untuk membina dan mencetak kegenerasi muslim yang berhati mulia.
74 Egosentris, yaitu meanganggap atau menjadikan diri sendiri sebagai pusat pemikiran;
menilai segala sesuatu dari sudut diri sendiri.
75 Altruis, yaitu orang yang selalu mengutamakan kepentingan orang lain dan tidak mementingkan dirinya sendiri.
76 Gusti Haji Abdul Muis, … … … Mengenal, h. 30.
2. Karena bertumpuknya dosa dipermukaan hati manusia., seperti halnya cermin yang kotor tidak akan dapat menangkap gambaran yang dipantulkan sebenarnya, karena semuanya serba suram dan kabur. Perbuatan dosa itu sangat berpengaruh pada kebeningan dan kebersihan cahaya hati.
3. Keadaan hati telah teralihkan dari hakikat dan tujuan penciptaannya. Hati tidak lagi digunakan untuk merasakan dan menghayati kehadhiran Tuhan di dalam dirinya.
4. Karena terdinding oleh I’tikadnya sendiri yakni kepercayaan-kepercayaan yang sejak dahulu karena ikut-ikutan saja. Kepercayaan seperti itu melindungi hati dari hakikat kebenaran karena ta’ashub (fanatic buta), lalu makin lama makin keras membatu dalam hatinya.
5. Karena tidak mengerti arah yang dituju sehingga terombang – ambing perjalanan hati dalam mencari kebenaran.
Dari statemen Muis di atas terlihat betapa pentingnya ilmu untuk mengatasi kelima hal di atas. Ilmu haruslah benar-benar berdasarkan kepada syari’ah demikian pula ilmu tambahannya untuk mengatasi hal tersebut yang nantinya akan melahirkan lagi suatu ilmu agama yang sesuai dengan syari’ah Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya sejalan dengan Muis, terkait dengan menjaga hati atau kebersihan hati tersebut Hamka 77 menyatakan ada lima perkara yang harus diperhatikan agar tercapai maksud tersebut, yaitu :
77 Hamka, Tasawuf Moderen,Edisi Revisi, (Jakarta : Republika Penerbit, 2015), h. 161-165
1. Bergaul dengan orang-orang salih. Pergaulan mempengaruhi didikan otak.
Pergaulan membentuk kepercayaan dan keyakinan. Oleh karena itu maka, untuk kebersihan jiwa, hendaklah bergaul dengan orang-orang berbudi, orang yang dapat kita ambil hikmah daripadanya. Jangan bergaul dengan pendosa yang membanggakan kejahatannya. Namun, jika terpaksa bergaul dengan golongan itu bercampur, maka hendaklah membuat isyarat bahwa kita tidak setuju dengan kelakuan dan tabiat mereka. Karena biasanya kotoran budi/akhlak mereka yang kita saksikan itu bisa melekat kepada kita, amat susah buat membasuhnya sekaligus. Bahkan kadang-kadang orang yang utama atau berakhlak karimah bisa tertarik oleh orang yang tidak utama atau berakhlak buruk, apalagi kalau keutamaannya baru saduran, belum tertanam kuat sampai ke dalam hati sanubari.
2. Membiasakan pekerjaan berfikir. Untuk menjaga kesehatan, jiwa, hati dan pikiran. Tiap-tiap hari otak mesti diperbaharui dengan melatihnya berfikir.
Karena otak kalau dibiarkan menganggur, bisa pula ditimpa sakit, menjadi dungu dan bingung. Haruslah diajarkan kekuatan berpikir sejak kecil, karena
Karena otak kalau dibiarkan menganggur, bisa pula ditimpa sakit, menjadi dungu dan bingung. Haruslah diajarkan kekuatan berpikir sejak kecil, karena