• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII POTENSI PENGELOLAAN DAN PERAN

A. Wakaf Produktif untuk Keadilan Sosial

Islam sangat menekankan pentingnya keadilan sosial dalam kehidupan kaum muslim. Keadilan dibahasakan al-Qur’an dengan kata ‘adl, qis}t} dan miza>n. Begitu pentingnya keadilan ini, sehingga kata ‘adl dalam al-Qur’an diulang sebanyak 28 kali. Keadilan dalam al-Qur’an melalui penggunaan tiga istilah tersebut, melahirkan berbagai makna: pertama, artinya sama atau menegakkan persamaan hak. Dalam QS. an-Nisa>’: 58 misalnya,

menganjurkan hakim menempatkan orang yang bersengketa pada posisi yang sama dalam proses pengadilannya. Kedua, artinya keseimbangan sebagaimana dalam QS. an-Nah}l: 3 dan QS. al- Infit}a>r: 6-7 yang menjelaskan penciptaan langit, bumi dan manusia secara seimbang. Ketiga, tidak berlaku z}alim atau proporsional dan memberikan hak kepada pemiliknya seperti dalam QS. an-Nisa>’: 135 dan QS. al-Mumtah}anah: 8. Keempat, artinya adalah keadilan Tuhan seperti dalam QS. ali Imra>n: 18 dan QS. Fus}ilat: 46.

Dalam beberapa ayat, Allah SWT. selalu menekankan betapa pentingnya keadilan, karena keadilan akan membimbing pada ketakwaan (QS. al-Ma>idah: 8), ketakwaan akan membawa pada kesejahteraan (QS. al-A‘ra>f: 96). Sebaliknya, ketidakadilan akan membawa kesesatan (QS. al-Qas}as}: 50) dan akan menjauhkan manusia dari rahmat Tuhan.139 Intisari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an mengibarkan panji-panji amanah, egaliter, prinsip emansipatoris dan keadilan sosial.

Istilah keadilan juga menjadi objek kajian hampir semua disiplin ilmu keislaman. Dalam Ulumul Hadis\ misalnya, dijelaskan bahwa seorang rawi hadis\ adalah seorang yang adil. Dalam ilmu Fiqih disebutkan bahwa syarat seorang saksi haruslah orang yang memiliki sifat adil, demikian juga dalam Ilmu Kalam (teologi Islam) yang banyak membahas keadilan Tuhan.

Konsep keadilan sosial dalam Islam mempunyai ciri khas, di antaranya: pertama, keadilan sosial dilandasi prinsip keimanan, yaitu bahwa semua orang yang ada di alam semesta adalah milik Allah (QS. Yunus: 55). Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini dan sesuai dengan fitrahnya dianugerahi oleh Allah segala sesuatu yang ada di bumi ini yang ditundukkan untuk mereka (QS. al-H{ajj: 65). Manusia memiliki segala

sesuatu yang ada di bumi ini bukanlah tidak terbatas, karena manusia memilikinya hanya sebagai pemegang amanah bukan sebagai pemilik mutlak. Selaras dengan hal itu, ajaran Islam tidak membenarkan seseorang melakukan penimbunan kekayaan (ih}tikar) demi kepentingan diri sendiri, karena manusia hanyalah dititipi dan harta itu merupakan amanah dari Allah.

Kedua, menggalakkan sistem pendistribusian kembali pendapatan yang bersifat built in, yang lebih diefektifkan lagi dengan mengaitkannya pada rid}a Allah. Memang terjadinya perbedaan pendapatan dikarenakan adanya kesempatan yang tidak sama, dan ini sering terjadi terutama bersumber dari pranata dan sistem ekonomi yang diterapkan di masyarakat. Meskipun kepemilikan harta kekayaan diperoleh dari hasil usaha sendiri dengan susah payah, tetapi tidak boleh dipergunakan secara bebas tanpa batas. Menggunakan harta tersebut harus mempertimbangkan aspek-aspek keadilan sosial dan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Ketiga, keadilan sosial dalam Islam berakar pada moral. Implikasinya secara otomatis mendorong seseorang untuk berbuat adil dan saling membantu. Al-Qur’an menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan adalah keadilan yang didefinisikan sebagai kerjasama dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik. Jika di antara kaum Muslimin ada yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, mereka yang berlebihan harus merasa terpanggil untuk membantu mereka yang serba kekurangan, agar dapat bersama menikmati kehidupan yang sejahtera secara adil.140

Dalam konteks tatanan masyarakat, berbagai persoalan bangsa seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran,

140 Achmad Djunaidi dkk., Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, op.cit, hlm. 91-92.

kesehatan, gizi buruk, dan pendidikan yang rendah, masih menjadi persoalan yang rumit untuk diselesaikan. Mayoritas setuju dengan upaya melakukan penanganan ketidakadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan melalui perubahan sistem sosial, ekonomi dan politik yang semakin baik. Dengan mengatasi berbagai persoalan sosial sampai ke akarnya, perubahan sistem dan struktur sosial yang tidak adil, menjadi harapan baru untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang dicita-citakan. Namun, hal ini tentu saja tidak mudah mengingat penyelesaian ketidakadilan sosial juga membutuhkan kerjasama dari berbagai elemen masyarakat.

Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera, ini menjadi kepedulian para pengelola lembaga wakaf. Lembaga wakaf, utamanya yang berbasis organisasi dan badan hukum, bisa menjadi salah satu lembaga masyarakat sipil alternatif yang bergandengan tangan dengan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Harapan ini amat wajar dialamatkan kepada lembaga wakaf, mengingat ia merupakan lembaga filantropi masyarakat muslim yang telah mengakar dalam kehidupan umat.

Wakaf merupakan pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki keterkaitan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah−masalah sosial dan kemanusiaan, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia dan pemberdayaan ekonomi umat. Demikian ini karena wakaf sesungguhnya memiliki elan besar dalam mewujudkan tata sosial yang berkeadilan. Sayyid Quthub (1964), seorang pemikir Islam dari Mesir dalam bukunya al-‘Ada>lah al-Ijtima>’iyyah fi al-Isla>m, dengan pendekatan yang komprehensif berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya, termasuk wakaf.

Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial antara kelompok yang kaya dengan yang miskin, antara individu dengan masyarakat, dan antara pemerintah dengan rakyat, Quthub menjelaskan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan sejarah generasi terbaik Islam. Di antara implementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan Islam telah dibuktikan oleh Abu Bakar, Umar, Thalhah, Us\man, Ali dan sahabat lainnya sebagai sahabat sederhana yang secara ikhlas atas petunjuk Rasulullah untuk mewakafkan aset berharga yang mereka miliki untuk kemaslahatan umat.

Al-Qur’an telah memberikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial dan menempatkan nilai-nilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni sebagaimana diatur dalam sistem ajarannya, seperti perwakafan. Fungsi sosial ini akan berjalan manakala kepemilikan seseorang memberikan manfaat kepada masyarakat, karena di dalam harta benda seseorang ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut, sebagaimana firman Allah:

ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮗ

Dan di dalam harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS. Az\-Żariyat: 19).

Ayat ini menjelaskan bahwa di dalam harta benda seseorang terdapat hak orang lain. Ini berarti bahwa sebagai satu kesatuan dalam kehidupan sosial, kehadiran yang satu terkait, tergantung dan berkepentingan dengan kehadiran yang lain. Pelaksanaan wakaf akan memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial yang positif dan dinamis, penuh tanggung jawab sosial, terhindar dari pengaruh

paham kapitalisme yang membawa pada sikap individualistis dan egoistis. Oleh karena itu, prinsip dasar wakaf yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial merupakan implementasi dari sistem ekonomi yang mendorong dan mengakui hak milik individu dan masyarakat secara seimbang.

Dengan demikian, peran sosial dari pelaksanaan ibadah wakaf tampak dari dua sisi, yaitu: pertama, dari sisi orang yang mendermakan hartanya (wa>kif). Dengan menunaikan ibadah sosial berupa wakaf, maka otomatis akan membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat negatif, seperti bakhil, kikir, egoistis, rakus, serta mendorong mereka bersikap sosial, suka berkorban untuk kepentingan umum dan menolong orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi.

Kedua, dari pihak penerima wakaf. Dengan keberadaan harta wakaf yang bisa diambil manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, akan meghilangkan sifat buruk yang mungkin terpendam dalam hati seperti dengki, iri, benci, dan rencana jahat terhadap pihak-pihak yang dianggap mampu secara ekonomi, tapi tidak memperhatikan nasib mereka. Jika antara wa>kif dan pihak penerima wakaf tercipta saling mendukung dan memahami posisi masing-masing, maka stabilitas sosial dan keamanan yang sangat didambakan oleh semua pihak terealisir.

Wakaf sebagai kekuatan penopang produktifitas umat Islam dapat dilihat dari akumulasi potensi besar dari aset wakaf. Data yang dirilis oleh Depag menunjukkan bahwa jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.719.854.759,72 meter persegi atau sekitar 271.985.47 hektar (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.141 Selain itu, aset nasional ekonomi wakaf sangat besar, mencapai 590 Triliun jika dilihat dari angka rata-rata aset lembaga wakaf dikalikan dengan jumlah lokasi wakaf. Dengan

aset sebesar ini, idealnya, wakaf bisa diberdayakan untuk membiayai pembangunan masyarakat melalui berbagai kegiatan produktif yang dikembangkannya.

Mewujudkan keadilan sosial melalui pemberdayaan wakaf produktif amat mungkin dilakukan, baik dalam level yang paling sederhana seperti memenuhi kebutuhan dasar maupun upaya lain seperti membiayai pendidikan, perbaikan kehidupan masyarakat miskin, peningkatan partisipasi publik, dan pembuatan kebijakan yang memihak golongan lemah. Pada tingkat persepsi, masyarakat pengelola wakaf optimis inisiatif-inisiatif keadilan tersebut bisa dilakukan. Persepsi ini harus didukung dalam tingkatan praktiknya, sehingga harta wakaf bisa untuk membiayai persoalan peningkatan partisipasi publik dan pembuatan kebijakan, serta pemanfaatan untuk keadilan sosial lainnya.