BAB 4 IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN SISTEM
4.2.4 Waktu enkripsi
Pada gambar 4.10, terdapat hasil waktu enkripsi dengan algoritma Trithemius 0 ms, untuk mengetahui lebih jelasnya, penulis mencoba melakukan uji coba dengan memasukkan sejumlah karakter mulai dari 20 karakter sampai 1000. Hasilnya seperti pada gambar 4.18 dan tabel 4.2.
Gambar 4.18 Pengujian Waktu Enkripsi dengan Berbagai Jumlah Karakter
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Waktu Enkripsi dengan Sejumlah Karakter
Panjang Plaintext (Karakter) Waktu Enkripsi (ms) 1 10 0 ms 2 30 0 ms 3 50 0 ms 4 100 0 ms 5 200 1 ms 6 300 2 ms 7 400 4 ms 8 500 6 ms 9 600 7 ms 10 700 9 ms 11 800 11 ms 12 900 13 ms 13 1000 15 ms
Dari tabel 4.2, maka dapat disimpulkan bahwa waktu enkripsi tergantung dari panjang
plaintext, dimana θ(n) dari waktu enkripsi Trithemius tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3 Tabel θ(n) Enkripsi Trithemius
Kode Program C # C . # 1 char[]arraykey C1 1 C1 2 char[]arrayplaintext C1 1 C1 3 char[]arrayciphertext C1 1 C1 4 int p,k,c; C2 1 C2 5 for(int i=0;i<arrayplaintext.length;i++) { C3 n C3n 6 if(arraylaintext[i]==’j’...) { C4 n C4n 7 arrayciphertext[i] = arrayplaintext[i]; C5 n C5n 8 continue; C6 n C6n 9 if(getindex(arrayplaintext[i]==-1) { C4 n C4n 10 arrayciphertext[i] = arrayplaintext[i]; C5 n C5n 11 continue; C6 n C6n 12 p= getindex(arrayplaintext[i]); C5 n C5n 13 k= getindex(arraykey[i]); C5 n C5n 14 c= (p+k) % index.Length; C5 n C5n 15 arrayciphertext[i]=getcharacter(c); C5 n C5n 16 string hasil C7 1 C7 17 return hasil C8 1 C8 Maka : T(n) = (3c1 + C2 + C7 + C8) n0 + (C3 + 2C4 + 6C5 + 2C6) n1= θ(n)
BAB 5 KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah penulis rangkum dalam tahap analisis dan perancangan serta tahap implementasi sistem, dapat disimpulkan bahwa :
1. Sistem yang telah dirancang mampu mengubah plaintext menjadi ciphertext dan begitu juga sebaliknya dengan menggunakan algoritma Trithemius.
2. Sistem yang telah dirancang mampu mengkompresi ciphertext dan mendekompresi hasil kompresi tersebut dengan algoritma Rice.
3. Dapat dilihat dari running time pada saat enkripsi (pada Bab 4), untuk
plaintext yang digunakan,running time algoritma Trithemius tergantung dari
panjang karakter pada plaintext. Secara teoritis dengan θ(n) dimana n adalah
panjang plaintext.
4. Dari hasil uji coba terhadap nilai k (pada Bab 4), bahwa nilai k yang efesien untuk mengkompresi dengan algoritma Rice yaitu k = 4, dengan hasil space
5.2 Saran
Setelah menyelesaikan penelitian ini, maka saran-saran yang dapat penulis berikan untuk pengembangan dan perbaikan sistem ini adalah sebagai berikut :
1. Sistem yang akan dibangun sebaiknya dapat di implementasikan pada semua jenis fileteks lainnya, agar dapat mengetahui filejenis apa yang paling cocok digunakan untuk melakukan kompresi dengan algoritma Rice dan mengamankan file dengan algoritma Trithemius.
2. Sistem yang akan dibangun sebaiknya dapat di implementasikan pada jenis file lain, misalnya pada file audio ataupun gambar, agar menjadi perbandingan dengan tipe file teks.
3. Dalam pengujian penulis, apabila k = 1, hasil space savings menjadi minus, untuk penelitian selanjutnya bisa dikembangkan dan mengetahui lebih lanjut mengapa hal tersebut bisa terjadi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kriptografi
Krpitografi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata kryptos yang berarti tersembunyi dan graphein yang berarti menulis. Kriptografi merupakan pembelajaran teknik matematika yang berhubungan dengan aspek keamanan informasi seperti kerahasiaan, integritas data, otentikasi entitas dan otentikasi data asal. Kriptografi bukan hanya membahas soal keamanan informasi, tetapi juga lebih dari satu kesatuan teknik (Menezes, van Oorschot&Vanstone, 1996).
Kriptografi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara mengirim pesan rahasia (yaitu yang terenkripsi atau disamarkan) sehingga hanya penerima yang dimaksud saja yang dapat menghilangkan pesan yang disamarkan tersebut dan membacanya atau yang dapat mendekripsi pesan tersebut.
Pesan asli dalam pesan rahasia tersebut disebut plaintext sedangkan pesan yang disamarkan disebut ciphertext. Pesan yang dikirim disebut tulisan rahasia (crypthogram) dan proses mengubah dari plaintext menjadi ciphertext disebut proses enkrpsi, sedangkan proses membalikkan dari ciphertext menjadi plaintext yang hanya dapat dilakukan oleh penerima yang dimaksud disebut proses dekripsi (Mollin, 2007).
Kriptografi mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sejak zaman Romawi, Yulius Caesar telah menggunakan teknik kriptografi yang sekarang dianggap kuno dan sangat mudah dibobol untuk keperluan militernya. Pada perang dunia kedua, Jepang dan Jerman menggunakan kriptografi untuk keperluan komunikasi militernya. Namun sekutu dapat menembus Enigma, kriptografi produk Jerman dan Purple, kriptografi produk Jepang. Dengan terpecahkannya kedua kriptografi tersebut, sekutu pun akhirnya memenangkan perang dunia tersebut.
Untuk 30 tahun terakhir, penelitian akademik dalam bidang kriptografi meledak dengan begitu dahsyatnya. Kemajuan teknologi komputer menambah
cepatnya perkembangan kriptografi. Bukan hanya untuk keperluan militer, namun setiap individu berhak untuk mengamankan komunikasinya agar tidak dimata-matai pihak yang tidak diinginkan (Kurniawan, 2004).
Kriptografi pada awalnya dijabarkan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana meyembunyikan pesan. Kriptografi modern adalah ilmu yang bersandarkan pada teknik matematika untuk berurusan dengan keamanan informasi seperti kerahasiaan, keutuhan data dan otentikasi entitas. Jadi pengertian kriptografi modern tidak saja berurusan hanya dengan penyembunyian pesan namun lebih pada sekumpulan teknik yang menyediakan keamanan informasi (Sadikin, 2012).
2.2 Tujuan Dasar Kriptografi dalam Aspek Keamanan
Kriptografi tidak hanya memberikan kerahasiaan dalam berkomunikasi, namun juga melibatkan sejumlah aspek yang dikenal dengan aspek keamanan, yaitu sebagai berikut (Menezes, van Oorschot&Vanstone, 1996):
1. Privacy of Confidentiality : Menjaga kerahasiaan informasi yang hanya dapat
diketahui oleh pihak yang berhak untuk melihatnya.
2. Data Integrity : Memastikan informasi yang akan disampaikan, apakah pesan
telah dimodifikasi atau tidak dari orang-orang yang tidak berwenang dalam hal tersebut.
3. Entity Authentication or Identification : Pembuktian identitas dari entitas
(misal : seseorang, terminal komputer, kartu kredit, dll) agar lebih autentik. 4. Message Authentication : Memastikan sumber informasi yang diperoleh.
5. Signature : Sarana untuk mengikat informasi terhadap entitas.
6. Authorization : Pernyataan yang menandakan adanya sanksi secara resmi
apabila ada suatu hal yang melanggar hak cipta.
7. Validation : Sarana untuk menyediakan otorisasi/hak cipta yang aktual untuk
digunakan atau memanipulasi sumber informasi.
8. Access Control : Membatasi akses hanya untuk entitas yang diutamakan saja.
9. Certification : Dukungan informasi dari entitas yang terpercaya.
10. Timestamping : Merekam waktu pembuatan dari adanya informasi.
11. Witnessing: Verifikasi bahwa pembuatan dari adanya informasi tersebut
berasal dari sebuah entitas atau pembuat yang lain. 12. Reciept : Pernyataan bahwa informasi telah diterima.
13. Confirmation : Pernyataan bahwa layanan telah tersedia.
14. Ownership : Sarana untuk menyediakan entitas dengan hak yang sah untuk
menggunakan atau mengirim sumber informasi.
15. Anonymity : Menyembunyikan informasi dari entitas yang terlibat dalam
beberapa proses.
16. Non-repudiation : Pengirim seharusnya tidak dapat mengelak bahwa dialah
pengirim pesan yang sesungguhnya. Tanpa kriptografi, seseorang dapat mengelak bahwa dia yang mengirim email yang sesungguhnya.
17. Revocation : Pencabutan sertifikasi.
Suatu algoritma dapat dikatakan aman, apabila tidak ada cara ditemukan
plaintext-nya, namun selalu ada saja kemungkinan ditemukannya cara baru untuk
menembus algoritma kriptografi. Oleh karena itu, algoritma kriptografi dapat dikatakan “cukup” atau “mungkin” aman, jika memiliki keadaan sebagai berikut (Kurniawan, 2004):
1. Bila harga untuk menjebol algoritma lebih besar daripada nilai informasi yang dibuka, maka algoritma itu cukup aman.
2. Bila waktu yang digunakan untuk membobol algoritma tersebut lebih lama daripada lamanya waktu yang diperlukan oleh informasi tersebut harus tetap aman, maka algoritma tersebut mungkin aman.
3. Bila jumlah data yang dienkripsi dengan kunci dan algoritma yang sama lebih sedikit dari jumlah data yang diperlukan untuk menembus algoritma tersebut, maka algoritma itu aman.
2.3 Perkembangan Kriptografi
Perkembangan algoritma kriptografi terbagi menjadi dua, yaitu kriptografi klasik dan kriptografi modern.
2.3.1 Kriptografi Klasik
Kriptografi klasik telah dipakai sebelum era komputer. Kriptografi klasik umumnya merupakan teknik penyandian dengan kunci simetrik dan menyembunyikan pesan yang memiliki arti ke sebuah pesan yang nampaknya tidak memiliki arti (Sadikin, 2012).
C Saluran Publik
Saluran Aman
Gambar 2.1 Sistem Kriptografi Klasik
Berdasarkan Gambar 2.1, sistem kriptografi terbagi atas 5 bagian (Stinson, 2002): 1. Plaintext: pesan atau data dalam bentuk aslinya, yaitu masukan bagi algoritma
enkripsi.
2. Secret Key: masukan bagi algoritma enkripsi yang merupakan nilai yang bebas
terhadap teks asli dan menentukan hasil keluaran algoritma enkripsi.
3. Ciphertext: merupakan keluaran algoritma enkripsi. Dianggap sebagai pesan
dalam bentuk tersembunyi.Algoritma enkripsi yang baik akan menghasilkan
ciphertext yang terlihat acak.
4. Algoritma Enkripsi: Memiliki dua masukan teks asli dan kunci rahasia. Algoritma enkripsi melakukan transformasi terhadap teks asli sehingga menghasilkan teks sandi.
5. Algoritma Dekripsi: Memiliki dua masukan yaitu teks sandi dan kunci rahasia. Algoritma dekripsi memulihkan kembali teks sandi menjadi teks asli bila kunci rahasia yang dipakai algoritma dekripsi sama dengan kunci rahasia yang dipakai algoritma enkripsi.
Alice M K Bob M K Algoritma Dekripsi Algoritma Enkripsi Sumber Kunci Eve
Kriptografi klasik memiliki beberapa ciri sebagai berikut (Ariyus, 2008) : 1. Berbasis karakter.
2. Menggunakan cara manual saja, belum ada komputer. 3. Termasuk dalam kriptografi kunci simetri.
Adapun alasan mempelajari kriptografi klasik adalah (Ariyus, 2008) : 1. Memahami konsep dasar kriptografi.
2. Dasar algoritma kriptografi modern. 3. Memahami kelemahan sistem kode.
2.3.1.1 Teknik Subtitusi dan Transposisi
Pada kriptografi klasik, teknik cipher yang digunakan adalah teknik substitusi dan teknik transposisi. Teknik substitusi adalah penggantian setiap karakter plaintext dengan karakter lain, sedangkan teknik transposisi adalah teknik yang menggunakan permutasi karakter (Kurniawan, 2004).
Dalam teknik substitusi, elemen pada pesan (karakter byte atau bit) ditukar dengan elemen lain dari ruang pesan. Misalnya A ditukar menjadi B, B menjadi D, dan C menjadi Z, maka “BACA” akan menjadi “DBZB” (Sadikin, 2012). Subtitusi
cipher dikelompokkan kedalam empat jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Cipher Alfabet-Tunggal (Monoalphabetic): Disebut juga cipher subtitusi
sederhana, dimana satu huruf di plaintext diganti dengan tepat satu huruf
ciphertext, yang disebut juga fungsi satu-ke-satu (Munir, 2006). Untuk proses
dekripsi dari cipher ini juga sama namun kebalikannya, misalnya pada enkripsi diganti dengan satu huruf pada ciphertext setelahnya, maka pada dekripsinya pada satu huruf sebelumnya. Cipher yang paling terkenal dari jenis ini adalah cipher milik Julius Caesar, yaitu Caesar Cipher.
2. Cipher Alfabet-Majemuk (Polyalphabetic): Merupakan cipher subtitusi ganda
yang melibatkan penggunaan kunci berbeda (Munir, 2006). Cipher
Polyalphabetic pertama kali diperkenalkan oleh Leon Battista Alberti pada
tahun 1467, dimana Alberti hanya menggunakan 20 huruf yang digambarkan dalam Alberti Disk (Mollin, 2005). Dari penemuan Alberti inilah awal mulanya algoritma Trithemius.
3. Cipher Substitusi Homofonik(homophonic substitution cipher): Yang
membedakan antara Homophonic dengan Monoalphabetic hanya setiap huruf dalam plaintext yang dapat dipetakan kedalam salah satu dari unit ciphertext yang mungkin, dimana setiap huruf plaintext dapat memiliki lebih dari satu kemungkinan unit ciphertext. Huruf yang paling sering muncul dalam teks mempunyai lebih banyak pilihan unit ciphertext, jadi fungsi ciphering-nya memetakan satu-ke-banyak (one-to-many) (Munir, 2006).
4. Cipher Substitusi Poligram(polygram substitution cipher): dimana setiap unit
huruf disubstitusi dengan unit huruf ciphertext (Munir, 2006).
Dalam teknik transposisi, teknik ini menggunakan permutasi karakter, yang mana dengan menggunakan teknik ini pesan yang asli tidak dapat dibaca kecuali orang yang memiliki kunci untuk mengembalikan pesan tersebut ke bentuk semula. (Ariyus, 2008).
2.3.1.2 Contoh Kriptografi Klasik
Yang termasuk dalam kriptografi klasik adalah sebagai berikut (Ariyus, 2008).
1. Caesar Cipher, merupakan subtitusi kode pertama yang ditemukan oleh Yulius
Caesar, dengan metode mengganti posisi huruf awal dari alfabet, atau disebut juga sebagai algoritma ROT3. Metode ini menggeser huruf dilakukan sebanyak tiga kali. Misalnya, huruf A menjadi D, B menjadi E, dan seterusnya.
Caesar Cipher dipecahkan dengan cara brute force attack, atau serangan
dengan mencoba-coba berbagai kemungkinan untuk menemukan kunci. Selain itu bisa juga dengan melihat frekuensi kemunculan huruf.
2. Shift Cipher, merupakan teknik subtitusi kode geser (shift) dengan modulus 26,
dengan memberi angka pada setiap alfabet, yang dimulai dengan huruf A sama dengan 0, B sama dengan 1 sampai Z sama dengan 25.Untuk mendapatkan
ciphertext, menggunakan kunci 11. Misalnya A=0, ditambahkan dengan kunci
yaitu 11, maka hasil ciphertext dari A adalah 11. Apabila lebih dari 25, maka dikurangi dengan 26, misalnya huruf W = 22 + 11 = 33 – 26 = 7.
3. Hill Cipher, yang ditemukan pada tahun 1929 oleh Lester S.Hill, yang
4. Vigenere Cipher, yang dipublikasikan oleh Blaise de Vigenere pada tahun
1586, yang juga termasuk dalam kripto polialfabetik. Teknik subtitusi Vigenere ini menggunakan dua metode, yaitu angka dan huruf. Vigenere
Chiperberhasil dipecahkan oleh Babbage dan Kasiski pada pertengahan abad
19. Vigenere Cipher ini cukup mirip dengan pendahulunya yaitu Kode Trithemius (yang penulis bahas dalam penulisan ini).
5. Playfair Cipher, ditemukan oleh Sir Charles Wheatstone dan Baron Lyon
Playfair pada tahun 1854 dan digunakan pertama kali oleh tentara inggris pada Perang Boer (Perang Dunia I). Adapun kuncinya menggunakan matriks 5x5 dengan masukan yang terdiri dari 25 huruf (menghilangkan huruf j).
6. One Time Pad, yang dikenal dengan algoritma kriptografi klasik yang cukup
aman dan lebih baik dari algoritma sebelumnya. One Time Pad ditemukan oleh Mayor J. Maugborne dan G. Vernam pada tahun 1917, yang mana berisi deretan karakter kunci yang dibangkitkan secara acak.
2.3.2 Kriptografi Modern
Enkripsi modern berbeda dengan enkripsi konvensional. Enkripsi modern sudah menggunakan komputer untuk pengoperasiannya, berfungsi untuk mengamankan data baik yang ditransfer melalui jaringan komputer maupun yang bukan. Hal ini sangat berguna untuk melindungi privacy, data integrity, authentication dan non-repudiation. Algoritma modern lebih fokus kepada tingkat kesulitan algoritma juga pada kunci yang digunakan, sehingga butuh dasar pengetahuan terhadap matematika. Macam-macam algoritma menurut kuncinya adalah algoritma simetris dan algoritma asimetris.
2.3.2.1 Algoritma Simetris
Algoritma simetris disebut juga sebagai algoritma konvensional, yaitu algoritma yang menggunakan kunci yang sama untuk proses enkripsi dan dekripsinya. Keamanan algoritma simetris tergantung pada kuncinya.
Algoritma simetris sering juga disebut algoritma kunci rahasia, algoritma kunci tunggal atau algoritma satu kunci. Algoritma yang termasuk pada algoritma simetris ini adalah algoritma block cipher dan stream cipher.
Algoritma block cipher adalahalgoritma yang masukan dan keluarannya berupa satu block dan setiap block-nya terdiri dari banyak bit, sedangkan algoritma
stream cipher adalah cipher yang berasal dari hasil XOR antara bit plaintext dengan
setiap bit kuncinya (Prayudi, 2005).
Adapun beberapa contoh penggunaan dari algoritma simetris adalah sebagi berikut (Ariyus, 2008).
1. Algoritma DES (Data Encryption Standard), merupakan algoritma yang paling banyak dipakai di dunia yang diadopsi oleh NIST (Nasional Institute of
Standards and Technology) sebagai standar pengolahan informasi Federal AS.
DES merupakan riset dari IBM untuk proyek dari Lucifer, yang dipimpin oleh Horst Feistel, yang dimulai dari akhir tahun 1960 dan berakhir pada tahun 1971, yang kemudian proyek Lucifer disebut dengan DES yang dipimpin oleh Walter Tuchman. DES termasuk sistem kriptografi simetri dan tergolong jenis blok kode yang beroperasi pada ukuran blok 64 bit.
2. Advanced Encryption Standard (AES), yang merupakan blok kode simetris
untuk menggantikan DES, yang dipublikasikan oleh NIST pada tahun 2001. AES mempunyai kunci 128, 192 dan 256 bit.
3. International Data Encryption Standard (IDEA), yang merupakan revisi dari Propose Encryption Standard (PES) pada tahun 1992. IDEA menggunakan confusion (konfusi) dan diffusion (difusi), berbeda dengan DES dari kunci
yang mempunyai panjang 128 bit dibangkitkan 52 upa-kunci. Algoritma IDEA menggunakan 52 upa-kunci dan 16 bit kunci per blok. IDEA menggunakan aljabar yang tidak kompatibel seperti XOR, penambahan modulo 216 perkalian modulo 216 + 1 (operasi ini menggantikan kotak-S).
4. A5. 5. RC4.
2.3.2.2 Algoritma Asimetris
Algoritma asimetris atau biasa disebut algoritma kunci publik dirancang sedemikian sehingga kunci yang digunakan untuk mengenkripsi dan mendekripsi berbeda.Kunci dekripsi tidak dapat dihitung dari kunci enkripsi, karena kunci enkripsi dapat dibuat secara public yang dapat diakses semua orang, namun hanya orang tertentu dengan kunci dekripsi yang sama dapat mendekripsi pesan tersebut, yang disebut sebagai
public key sedangkan kunci dekripsi sering disebut sebagai private key (Prayudi,
2005).
Contoh dari algoritma asimetris adalah algoritma RSA, yang dibuat oleh tiga orang peneliti dari MIT (Massachussets Institute of Technology) pada tahun 1976 yaitu Ron (R)iverst, Adi (S)hamir dan Leonard (A)dleman. Algoritma ini melakukan pemfaktoran bilangan yang sangat besar. Oleh karena alasan tersebut RSA dianggap aman. Untuk membangkitkan dua kunci, dipilih dua bilangan prima acak yang besar.
2.4 Trithemius
Algoritma Trithemius adalah kelanjutan dari cipher polyalphabetic oleh Alberti, dimana Johannes Trithemiusmenggunakan sebuah tabel alfabet untuk membantu dalam enkripsi dan dekripsi cipher polyalphabetic, yang mana hal tersebut dijelaskan dalam bukunya Polygraphia (yang merupakan judul official dari buku karya Trithemius, yang diterbitkan pada 15 Desember 1516), dimana Polygraphia merupakan buku kriptografi pertama kalinya pada masa itu (Mollin, 2005).
Tabel 2.1. Trithemius (Mollin, 2005) a b c d e f g h i k l m n o p q r s t u w x y z a A B C D E F G H I K L M N O P Q R S T U W X Y Z b B C D E F G H I K L M N O P Q R S T U W X Y Z A c C D E F G H I K L M N O P Q R S T U W X Y Z A B d D E F G H I K L M N O P Q R S T U W X Y Z A B C e E F G H I K L M N O P Q R S T U W X Y Z A B C D f F G H I K L M N O P Q R S T U W X Y Z A B C D E g G H I K L M N O P Q R S T U W X Y Z A B C D E F h H I K L M N O P Q R S T U W X Y Z A B C D E F G i I K L M N O P Q R S T U W X Y Z A B C D E F G H k K L M N O P Q R S T U W X Y Z A B C D E F G H I l L M N O P Q R S T U W X Y Z A B C D E F G H I K m M N O P Q R S T U W X Y Z A B C D E F G H I K L n N O P Q R S T U W X Y Z A B C D E F G H I K L M o O P Q R S T U W X Y Z A B C D E F G H I K L M N p P Q R S T U W X Y Z A B C D E F G H I K L M N O q Q R S T U W X Y Z A B C D E F G H I K L M N O P r R S T U W X Y Z A B C D E F G H I K L M N O P Q s S T U W X Y Z A B C D E F G H I K L M N O P Q R t T U W X Y Z A B C D E F G H I K L M N O P Q R S u U W X Y Z A B C D E F G H I K L M N O P Q R S T w W X Y Z A B C D E F G H I K L M N O P Q R S T U x X Y Z A B C D E F G H I K L M N O P Q R S T U W y Y Z A B C D E F G H I K L M N O P Q R S T U W X z Z A B C D E F G H I K L M N O P Q R S T U W X Y
Pada Alberti Disc dalam cipher polyalphabetic menggunakan 20 huruf, maka dalam Tabel Trithemius menggunakan 24 huruf, menghilangkan huruf j dan v (Seperti pada tabel 2.1).
Untuk gambaran dari penggunaan tabel 2.1, misalkan plaintext nya adalah
maximilian. Untuk huruf pertama yaitu m, lihat baris pertama tepat dibawah huruf m,
huruf tersebut adalah M. Untuk huruf a, lihat baris kedua pada kolom huruf a, huruf tersebut adalah B. Untuk huruf x, lihat baris ketiga pada kolom huruf x, maka huruf yang didapat adalah huruf Z, dan begitu juga seterusnya, sehingga akan dihasilkan
ciphertext MBZMQORQIX (Mollin, 2005).
Apabila memiliki panjang plaintext yang lebih dari 24 huruf, maka dapat menggunakan modulo 24. Setelah penemuan dari Trithemius inilah muncul yang disebut sebagai tabel Vigenere yang ditemukan oleh Blaise de Vigenere, dimana terinspirasi dari tabel yang dibuat oleh Trithemius. Bedanya pada tabel Vigenere, menggunakan tabel 26 x 26, yang dikenal dengan Tabula Recta.
Sebagai contoh, misalkan terdapat plaintext “golombrice” dengan kunci “kripto”, maka proses enkripsi dari pesan “golombrice” dengan kunci “kripto” menggunakan tabel trithemius adalah sebagai berikut (Mollin, 2005):
1. Buatlah plaintext dalam satu baris.
2. Kemudian letakkan kunci tepat diatas baris plaintext.
3. Lalu lihat pada tabel trithemius pertemuan huruf antara plaintext dan kunci, maka huruf tersebut adalah ciphertext-nya.
Maka hasilnya sebagai berikut.
k r i p t o k r i p
g o l o m b r i c e
Q F T D F P B A L T
Hasil enkripsinya dihasilkan ciphertext QFTDFPBALT. Untuk dekrpisnya sama seperti langkah di atas, namun letakkan ciphertext nya berada ditengah, sehingga:
k r i p t o k r i p
Q F T D F P B A L T
Untuk memudahkan dalam mengimplementasikan algoritma Trithemius ke dalam bahasa pemrograman yang penulis gunakan, maka tabel 2.1 diubah ke dalam bentuk
array seperti pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Tabel Trithemius dalam bentuk array
a b c d e f g h i k l 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 m n o p q r s t u w x 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 y z 22 23
Dalam tabel 2.2, Trithemius hanya menggunakan 24 huruf saja dan tidak memperdulikan huruf besar atau kecil, ataupun angka-angka maupun simbol-simbol. Oleh karena itu, penulis memodifikasi tabel Trithemius dengan tetap menggunakan 24 huruf yang sama, namun di tambah dengan huruf kecil dan huruf besar, kemudian disertai dengan angka 0-9 dan juga simbol seperti “spasi”, “.”, “,” dan “!”. Pada tabel 2.3 adalah tabel array untuk Trithemius yang telah penulis modifikasi.
Tabel 2.3 Modifikasi Tabel Trithemius dalam bentuk array
a b c d e f g h i k l
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
m n o p q r s t u w x
y z A B C D E F G H I 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 K L M N O P Q R S T U 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 W X Y Z 0 1 2 3 4 5 6 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 7 8 9 sp . , ! 55 56 57 58 59 60 61 2.5 Kompresi Data
Kompresi adalah proses mengkonversikan sebuah aliran input data (sumber aliran data, atau asli) menjadi aliran data lainnya (aliran data dalam bentuk bit, atau output data yang telah dipadatkan) yang memiliki ukuran lebih kecil (Salomon, 2007).
Sedangkan kompresi data adalah cara untuk mengurangi jumlah bit pada data dalam penyimpanan, sehingga membuat lebih efisien dalam penyimpanan ataupun dalam pertukaran data tersebut (Nelson & Gailly 1996). Dalam kompresi data terdapat metode yang dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu metode lossless dan metode
lossy.
2.5.1 Metode Lossless
Kompresi data lossless adalah metode yang tidak menyebabkan kehilangan informasi pada data yng telah dikompresi. Data asli dapat kembali didapatkan tepat seperti sebelum dilakukan proses kompresi (Sayood, 2006).
Metode lossless digunakan dalam berbagai aplikasi seperti format ZIP dan GZIP. Lossless juga sering digunakan sebagai komponen dalam teknologi kompresi data lossy, yang digunakan ketika sesuatu yang penting pada kondisi aslinya. Beberapa format gambar sperti PNG atau GIF hanya menggunakan kompresi lossless,
sedangkan yang lainnya sperti TIFF dan MNG dapat menggunakan metode lossy atau juga lossless.
Metode lossless menghasilkan data yang identik dengan data aslinya, hal ini dibutuhkan untuk banyak tipe data, seperti executable code, word processing files,
tabulated numbers dan sebagainya. Kompresi lossless diperlukan untuk data teks dan file, seperti catatan bank, artikel teks dll.
Misalkan pada suatu citra atau gambar, dimana metode ini akan menghasilkan hasil yang sama persis dengan citra semula, pixel per pixel sehingga tidak ada informasi yang hilang akibat kompresi, namun untuk rasio kompresi (yaitu, ukuran
file yang dikompresi dibanding ukuran file sebelum dikompresi) dengan metode ini
sangat rendah. Metode kompresi ini cocok untuk kompresi citra yang mengandung informasi penting yang tidak boleh rusak/hilang akibat kompresi, misalnya gambar hasil diagnosa medis (Nelson, 1996).
Beberapa contoh algoritma kompresi lossless adalah sebagai berikut (Sayood, 2006).
1. Algoritma Huffman, yang ditemukan oleh David Huffman, dapat digunakan untuk kompresi gambar dan suara lossless serta kompresi teks.
2. Algoritma Arithmetic Code, dapat digunakan untuk metode lossless maupun
lossy.
3. Golomb Code dan Rice Code.
2.5.2 Metode Lossy
Metode kompresi lossy yaitu metode yang menyebabkan kehilangan beberapa informasi dan data yang telah dikompresi dengan menggunakan metode ini, namun akan mendapatkan rasio kompresi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode
lossless (Sayood, 2006).
Metode lossy adalah suatu metode untuk mengkompresi data dan men-dekompresinya, dimana data yang diperoleh mungkin berbeda dari yang aslinya tetapi cukup dekat perbedaaanya. Lossy kompresi ini paling sering digunakan untuk mengkompresi data multimedia (audio ataupun gambar). Format kompresi lossy mengalami generation loss yaitu jika melakukan berulang kali kompresi dan dekompresi file akan menyebabkan kehilangan kualitas secara progresif.
Ada terdapat dua skema dasar dalam kompresi lossy, yaitu : lossy transform codec dan
lossy predictive codec.
1. Lossy transform codec, yaitu kompresi dimana sampel suara atau gambar yang
diambil, di potong kesegmen kecil, diubah menjadi ruang basis yang baru dan hasil nilai kuantisasinya menjadi entropy coded.
2. Lossy predictive codec, yaitu kompresi dimana sebelum atau sesudahnya data yang didecode digunakan untuk memprediksi sampel suara dan frame picture saat ini. Kesalahan antara data prediksi dan data yang nyata, bersamaan dengan informasi lain digunakan untuk mereproduksi prediksi, dan kemudian dikuantisasi. Dalam beberapa system, kedua teknik digabungkan, dengan mengubah codec yang digunakan untuk mengkompresi kesalahan sinyal yang