• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu Kelud

Dalam dokumen Kemilau Pagi di Tengger (Halaman 49-52)

Menyeru

Foto: SR. Wittiri.

Dalam kepercayaan tradisional masyarakat Jawa Timur, khususnya Kediri dan Blitar, letusan Kelud dimaknai sebagai pertanda akan terjadi peristiwa besar di negeri ini, misalnya pergantian pimpinan atau huru-hara besar. Kepercayaan ini erat kaitannya dengan legenda dari Kerajaan Kediri di masa silam. Itulah sebabnya mereka menganggap bahwa letusan Kelud adalah sabda alam yang patut dicermati. Pada kenyataannya tidak demikian. Contohnya, letusan dahsyat Kelud pada 1966 yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 260 orang meninggal dunia justru terjadi setelah huru-hara besar peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Oleh:

Seismograf yang memantau aktivitas Kelud merespon sabda alam itu dengan merekam gempa vulkanik menjelang letusan berlangsung. Data Pos Pengamatan Gunung Kelud beberapa hari sebelum letusan 13 Februari 2014. Foto: SR. Wittiri

Danau Kawah Gunung Kelud dalam kondisi sebelum letusan 1990. Foto: Suratman

Kubah lava yang terbentuk pada November 2007. Volumenya dipekirakan sebesar empat juta meter kubik. Foto: Kushendratmo.

Letusan freatik purna letusan utama. Letusan ini dipicu oleh steam yang terperangkap di bawah endapan letusan yang panas. Foto: Nizar.

Berbagai fasilitas dibangun oleh Pemda Kebupaten Kediri untuk menarik pelancong berkunjung ke kawasan puncak/kawah Kelud.

Foto: SR. Wittiri

T

adinya Kelud adalah gunung api yang

berdanau, danau kawah disebutnya. Volume air danau itu sebanyak 38 juta meter kubik. Air yang demikian banyak ini menjadi biang keladi jatuhnya korban jiwa setiap kali Kelud meletus. Menyadari hal itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi volume air danau. Upaya ini dimulai pada 1907 di masa kolonial Belanda dengan pembuatan terowongan pengalir air danau untuk menurunkan muka air danau sampai tingkat yang dikehendaki. Pada 1968 Pemerintah Indonesia menyempurnakan pembuatan terowongan yang dikenal dengan Terowongan Ampera itu. Dengan berfungsinya terowongan ini volume air danau berhasil dikurangi menjadi sekitar 4 - 4,3 juta meter kubik. Sejak itu, setiap kali Kelud meletus terhitung tidak banyak korban jiwa.

Dalam sejarah pernah tercatat terjadi letusan efusif Kelud yang membentuk kubah lava, seperti pada Desember 1920. Pada 1921, kubah itu terendam air hingga tidak nampak sama sekali. Sejarah berulang, pada November 2007 terjadi

letusan efusif dan berakhir dengan terbentuknya kubah lava di dasar kawah. Namun, usia kubah 2007 ini tidak berlangsung lama. Setelah mengalami masa istirahat selama tujuh tahun, pada 13 Februari 2014 letusan dahsyat membongkar sumbat lava itu hingga tidak bersisa.

Batas kawasan yang rusak hangus antara 3 - 3,5 km dari kawah. Batas ini sesuai dengan batas aliran awan panas yang ditemui di dinding Kali Badak. Sungai ini berhulu di puncak dan merupakan lembah yang berhubungan langsung dengan bukaan kawah sekaligus lokasi keluaran (outlet) pembuangan air Terowongan Ampera.n

Syamsul Rizal Wittiri adalah ahli gunung api.

M. Nizar Firmansyah adalah penyelidik bencana geologi di PVMBG, Badan Geologi.

Letusan ini sungguh tak terduga. Gejala awalnya berlangsung singkat, kurang dari dua minggu, sehingga berbagai pihak, pemerintah, penduduk, dan pengelola wisata Kelud tidak begitu siap menghadapinya. Beruntung tidak ada korban jiwa karenanya, tetapi semua bangunan fasilitas bagi wisatawan hancur tidak berbekas terkubur material letusan.

Satu bulan setelah letusan itu, tim Geomagz, Badan Geologi, yang berkunjung ke Kelud, berhasil mencapai kawah. Kalimat pertama yang terucap, “Luar biasa, letusan yang dahsyat”. Betapa tidak, semua infrakstruktur, jalan, jembatan, bangunan, tiang listrik, bahkan Terowongan Ganesa yang menghubungkan area parkir dengan kawah, hilang tertutup material letusan.

Letusan tersebut menghasilkan batuapung (pumice). Ini menunjukkan bahwa letusan ini didobrak oleh magma asam yang mengandung gas yang tinggi. Batuapung mulai ditemui sekitar 500 - 700 m di luar kawah. Area di dalam kawasan kawah ditutupi oleh meterial pecahan kubah.

Kawasan kawah saat ini. Terbentuk lubang baru di dalam kawah yang ditinggalkan oleh kubah lava. Tidak diketahui berapa garis tengah lubang karena tertutup asap yang tebal dan bergemuruh. Lantai kawah lama menjadi dangkal tertimbun material letusan. Foto SR. Wittiri

Kubah purba, Gunung Sumbing sebelum dan sesudah letusan. Foto: SR. Wittiri

Pemandangan ke arah puncak Gunung Kelud, sebelum dan sesudah letusan. Foto: SR. Wittiri

Gunung Sumbing dari sisi lain, sebelum dan sesudah letusan. Foto: SR. Wittiri

Batas antara hijau dan coklat di dinding Kali Badak. Lokasi ini diduga sebagai batas luncuran awan panas sejauh 2,8 - 3 km dari kawah. Foto: SR. Wittiri. Jalan menuju ke puncak Kelud, sebelum dan sesudah letusan. Foto: SR. Wittiri, kiri dan M. Nizar, kanan.

Fosil gading “gajah purba”, Stegodon trigonocephalus florensis, hasil ekskavasi temuan di Matamenge,

Flores, pada 2012. Ini merupakan contoh fosil gading gajah purba yang utuh dengan panjang mencapai 1,56 m dan diameter pangkal mencapai 20 cm. Bersamaan dengan fosil ini ditemukan pula fosil hewan lainnya seperti komodo, buaya, burung dan tikus. Keberadaan “gajah purba” di Flores menunjukan bahwa

mamalia keluarga gajah (Proboscidea) ini merupakan pengembara yang handal. Kelompok gajah ini datang

melalui jalur barat dari daratan Asia – paparan Sunda menyeberangi garis Wallace (Wallace's line) atau boleh

jadi melalui jalur utara, dari daratan Asia via Pilipina dan Sulawesi, tiba dan hidup berkembang di Cekungan Soa, Flores sekitar 800.000 tahun yang lalu (tyl) dan akhirnya punah akibat bencana besar (katastrofi) erupsi gunung api Soa. Di lokasi yang sama, ditemukan pula fosil “gajah purba” yang berasosiasi dengan “alat batu purba” yang menunjukan bahwa “manusia purba” juga sudah menghuni Flores paling tidak sejak 800.000

tyl. Mereka hidup bersama (co-existensi) dan beradapatasi dalam lingkungan yang sama.

Foto: Deni Sugandi Teks: Fachroel Aziz

Dalam dokumen Kemilau Pagi di Tengger (Halaman 49-52)

Dokumen terkait