• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

E. Wali Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

2. Wali Nikah dalam Hukum Positif di Indonesia

Hukum Islam di Indonesia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada empat dekade awal pasca kemerdekaan, hukum Islam mengalami kemajuan pesat. Kemajuan tersebut ditandai dengan adanya usaha untuk mengkonkritkan tiga tiang penyangga bagi berlakunya

108 Syaikh Hasan AyyubFikih Keluarga Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 52-53

hukum secara efektif, yaitu (1) aparat penegak hukum mulai dibenahi atau berbenah diri; (2) peraturan-peraturan hukum yang jelas satu demu satu dikeluarkan; dan (3) kesadaran hukum masyarakat mulai dipicu.109

Di dalam Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan bagi seseorang yang beragama Islam disebutkan bahwa akad nikah dilakukan oleh wali atau diwakilkan kepada PPN atau Pembantu PPN atau orang lain yang menurut PPN atau Pembantu PPN dianggap memenuhi syarat. Dalam pasal 23 disebutkan bahwa waktu akad nikah, calon suami atau wali nikah wajib menghadap PPN atau Pembantu PPN, dan dalam keadaan memaksa kehadirannya dapat diwakilkan oleh orang lain yang dikuatkan dengan surat kuasa yang disahkan PPN atau kepala perwakilan Republik Indonesia bila berada di luar negeri.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum formil yang digunakan Hakim di Pengadilan Agama tampak masalah wali nikah belum didefinisikan secara ekplisit sebagai syarat dan rukun nikah. Permasalahan hanya disinggung batas minimal usia nikah, yaitu 19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun bagi perempuan, dan harus adanya

109 Wasit Aulawi, ‚Sejarah Perkembangan Hukum Islam,‛ dalam Amrullah Ahmad

et.al, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press,

izin orang tua bagi yang belum bagi perempuan mencapai usia 21 tahun (lihat pasal 6 ayat 2-6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).110

Perwalian dalam undang-undang ini bukan terkait dengan pernikahan, melainkan lebih pada hubungan orang tua/wali dengan anak ampuannya dalam masalah harta benda (bab X dan XI; pasal 45-54.111 Proses kemajuan hukum Islam pada akhirnya mencapai titik terang setelah dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang dasar hukumnya berupa Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. Dengan dua instrumen hukum tersebut, KHI resmi menjadi hukum positif Islam Indonesia.112

Sebagai hukum materil di seluruh Pengadilan Agama yang ada di Negara Republik Indonesia. Dalam KHItersebut, wali nikah secara tegas dimasukkan sebagai salah satu rukun nikah. Pasal 14 menyebutkan sebagai berikut bahwa ‚untuk melaksanakan perkawinan harus ada; (a) calon suami; (b) calon Isteri; (c) wali nikah; (d) dua orang saksi; dan (e) ijab dan kabul.113

Selanjutnya, pasal 19 menyebutkan, ‚wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang

110 Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Peraturan Perundang-undangan di

Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2016), 340

111 Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Peraturan Perundang-undangan di

Lingkungan Peradilan Agama, 349-351

112 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana

telah diubah keduakalinya Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

113 Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Peraturan Perundang-undangan di

bertindak untuk menikahkannya.114 Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah dijelaskan tentang perwalian yakni pada pasal 50-54 yaitu:  Pasal 50

1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau yang belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun

harta bendanya.115  Pasal 51

1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.

4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

114 Pasal 20-23. Lihat Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Peraturan

Perundang-undangan di Lingkungan Peradilan Agama, 125-126

5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.116

 Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini.117

 Pasal 53

1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.

2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud ayat (1) pasal oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.118  Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.119

Pada pasal 51 ayat 2 di atas menyatakan adanya syarat wali dengan kriteria dewasa, tidak dijelaskan secara pasti pengertian mengenai kedewasaan seseorang. Namun, dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini menyatakan mengenai batasan-batasan umur seseorang dalam melakukan perbuatan hukum. Yakni terdapat pada beberapa pasal sebagai berikut:

116 Ibid, pasal 51

117 Ibid, pasal 52

118 Ibid, pasal 53

a. Pasal 6 ayat 2 menyatakan, bahwa izin orang tua bagi orang yang melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun. b. Pasal 7 ayat 2 menyatakan, bahwa umur minimal diizinkannya

seseorang ke pengadilan untuk melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.

c. Pasal 47 ayat 1 menyatakan, bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada di dalam kekuasaan orang tua.

d. Pasal 50 ayat 1 menyatakan, bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di dalam kekuasaan orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali.

Menurut Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan bahwa untuk melaksanakan sebuah perkawinan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Diantara syarat dan rukun tersebut salah satunya adalah adanya seorang wali nikah. Suatu perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang menikahkannya. Dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai perwalian pada pasal 19 sampai 23, yakni sebagai berikut:  Pasal 19

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.120

 Pasal 20

1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. 2) Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab; b. Wali hakim.121  Pasal 21

1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.

Sama halnya dengan penjelasan Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 di atas, bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam ini juga tidak menjelaskan secara pasti mengenai kriteria dewasa atau baligh dalam syarat perwalian. Namun pada pasal 98 ayat 1 menyatakan bahwa‚ batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh satu tahun, sepanjang anak terebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinannya.

Melihat dari kedua perundang-undangan di atas menyatakan adanya perbedaan dalam membatasi usia kedewasaan, dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan dengan batasan usia kedewasaan 18 tahun, kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan dengan batasan usia kedewasaan 21 tahun. Dalam hal ini, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan dengan batasan usia kedewasaan 18 tahun sesuai atau sama dengan batasan usia yang dijelaskan pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

3. Wali Nikah dalam Perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Dokumen terkait