• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOREANG, (PR).-

Warga Kampung Dewata, Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, mengeluhkan dampak psikologis pascabencana longsor yang terjadi Selasa (23/2) lalu. Mayoritas warga menolak kembali ke rumah mereka dan memilih bertahan di pengungsian, karena takut terjadi longsor susulan.

”Saya enggak mau tinggal di rumah lagi, takut. Sebelumnya sebenarnya sudah tahu kalau daerah itu rawan longsor, tetapi mau bagaimana lagi, pekerjaan saya di sana,” ucap Mamat (29), warga RT 7 RW 11 Kampung Dewata, yang ditemui di sela-sela kegiatannya mengemasi barang-barang untuk pindah ke rumah

kerabatnya, Jumat (26/2) siang.

Dia menuturkan, dirinya pernah melihat beberapa retakan besar dengan panjang lebih dari setengah meter, bersama warga lain. ”Saya juga pernah melihat retakan lain di Gunung Tilu, tepat di bagian kiri longsoran yang terjadi selasa lalu,” ucapnya. Retakan juga terdapat di Gunung Maud dan Datar Tiara.

”Retakannya sekitar setengah meter, kalau terisi air hujan dan longsor lagi, bisa dibayangkan bagaimana jadinya. Setelah kejadian ini, saya dan keluarga tidak ingin lagi menetap di sana, terlalu berbahaya,” katanya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Idas (51), yang sudah lima belas tahun tinggal di Kampung Dewata. ”Lebih baik tinggal di tenda sampai ada perumahan baru untuk pekerja, daripada harus kembali ke sana. Saya dan keluarga khawatir ada kejadian berbahaya lain,” ujarnya.

Menurut Idas, untuk kembali ke rumah saat mengemasi barang-barang, ia dan dua anaknya sempat trauma. ”Tadinya enggan untuk kembali ke rumah, tetapi kami perlu menyelamatkan barang-barang juga. Akhirnya ya kembali ke rumah,” ucap Idas. Dia bahkan menuturkan, suaminya yang sudah berhenti bekerja sebagai pemetik daun teh, sempat tidak bisa diajak bicara selama satu hari seusai kejadian longsor.

Dokter Teddy Hidayat, Sp.K.J. dari Bagian Psikiatri Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, kepada ”PR”, Jumat (26/2) mengatakan, sebanyak tiga puluh persen korban bencana berpotensi mengalami trauma berkelanjutan hingga bertahun-tahun. Namun, selama ini penanganan psikologis korban bencana kerap terabaikan karena hampir semua pihak terfokus pada pemulihan kondisi fisik. ”Fisik memang penting karena menyangkut nyawa manusia, tetapi jangan abaikan masalah kejiwaan. Secara psikologis, semua korban bencana akan mengalami trauma bahkan stres akut. Ini yang kerap terlupakan,” katanya.

Sesaat setelah kejadian, sebagian besar korban akan mengalami keluhan cemas, gelisah, susah tidur, dan ketakutan. Kondisi itu, menurut Teddy, tergolong normal. Dengan berjalannya waktu, keluhan tersebut akan memudar. Bagi mereka yang secara psikologis kuat, waktu satu sampai dua pekan cukup untuk pemulihan. Akan tetapi, bagi mereka yang mengalami stres berat bisa membutuhkan waktu

enam bulan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan berkelanjutan hingga bertahun- tahun. Wanita, anak-anak, dan orang lanjut usia dinilai sebagai golongan yang paling rentan mengalami stres berkelanjutan.

”Inilah pentingnya penanganan dini untuk meminimalkan risiko. Seharusnya, setiap terjadi bencana tim psikiatri secara otomatis diterjunkan, tanpa harus menunggu penugasan. Pemerintah juga seharusnya mendorong agar dinas terkait segera menerjunkan tim psikiatri ke lapangan,” katanya.

Teddy mengaku, pada dasarnya tim psikiatri RSHS siap untuk diterjunkan. Akan tetapi, sejauh ini mereka masih menunggu penugasan dari rumah sakit atau dinas terkait. ”Dari segi pengalaman, kami sudah beberapa kali menangani korban bencana, mulai dari tsunami Aceh sampai gempa Tasikmalaya,” ucapnya. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat Udjwalaprana Sigit, mengatakan bahwa mulai kemarin sejumlah psikolog mulai diterjunkan untuk mempercepat pemulihan kejiwaan pengungsi. ”Untuk tahap pertama, ada dua psikolog yang diberangkatkan. Kedua psikolog ini ditemani dua orang lainnya yang berasal dari jurusan Kesehatan Masyarakat," ujarnya.

Evakuasi

Hingga kemarin pukul 15.30 WIB, jumlah korban longsor yang berhasil ditemukan 26 orang. Dengan demikian, masih ada 19 orang yang dilaporkan hilang dan diduga terkubur di dalam reruntuhan sisa longsor. Evakuasi masih terkendala cuaca. Pencarian korban dihentikan pukul 15.30 WIB karena kabut mulai yang turun. Selain itu, dua alat berat yang diturunkan masih belum

dianggap cukup cepat untuk melakukan pencarian di areal yang terkena longsor. Jenazah yang ditemukan kemarin sebanyak tujuh orang, yaitu Eka Amat (25), Kirana binti Amat (4), Nendi bin Domo (13), Dasep bin Nardi (4), Mak Enah (60), Asni binti Aril (3), dan Adang Engit (44). Anggota tim paramedis Brimob Polda Jabar Brigadir Satu Supriyono di sela-sela evakuasi mengatakan, hingga saat ini masih belum menemukan kesulitan untuk mengenali identitas jenazah. ”Memang ada beberapa orang yang sempat mengatakan bahwa ini adalah anggota keluarganya, tapi dengan adanya bentuk wajah dan pakaian yang masih jelas terlihat, identifikasi masih dengan mudah bisa dilakukan,” ujarnya.

Dia mengatakan, jika ada jenazah yang belum dikenali, tim kepolisian dan SAR akan mengirimkan kepada Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. ”Tetapi sampai sekarang semuanya sudah berhasil dikenali keluarga, untuk kemudian dikuburkan,” ucapnya. Selain itu, sebanyak empat orang juga masih dirawat di RSUD Soreang, akibat mengalami luka-luka. Keempat orang itu yaitu Ae (28), Ade (25), Iman Suhiman (45), dan Encun (40).

Terputus

Sementara itu, masih ada dua daerah yang akses jalannya terputus akibat longsor yang terjadi pada Selasa lalu. Kedua daerah tersebut yaitu Kp. Gunung Maud dan

keluarga (KK), sebanyak 23 KK di antaranya sudah berhasil diungsikan ke Datar Tiara dan perkebunan Teh Kanaan. Sementara hingga kemarin sore, tim SAR masih berusaha menembus Kp. Karang Tengah untuk melakukan pendataan dan pendistribusian bantuan.

Bupati Bandung Obar Sobarna yang ditemui ketika mengunjungi lokasi evakuasi kemarin siang, membantah jika kedua daerah tersebut terisolasi. ”Ada dua kampung bedeng yang tidak bisa dilintasi kendaraan, tetapi bukan berarti tidak bisa dilewati dengan jalan darat dan terisolasi, kami sedang berusaha untuk mendistribusikan suplai makanan ke sana,” ucap Obar.

Berdasarkan pemantauan ”PR”, kemarin siang mulai dibangun jembatan darurat yang menghubungkan Kp. Dewata dengan Kp. Karangtengah. Jembatan tersebut dibangun secara swadaya oleh sekitar dua puluh anggota Linmas Kp. Wates, Kel. Sukaluyu, Kec. Pangalengan, yang berbatasan dengan Desa Tenjolaya.

”Kami harus berjalan kaki sekitar tiga jam untuk sampai ke sini, setelah melihat apa yang kira-kira bisa kami bantu, maka kami putuskan untuk membuat jembatan darurat,” ucap Lurah Sukaluyu, Dadi Danang. Mereka akhirnya membuat

jembatan dengan menggunakan batu kali dengan lebar sekitar tujuh puluh sentimeter.

”Dulu lebar jembatan sekitar 4 meter, dengan panjang jembatan 8 meter yang melintasi Sungai Cimeri yang mengalir sampai Kab. Garut,” kata Dadi.

Peringatan

Dalam peninjauan tersebut, Obar juga berharap agar Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jawa Barat bisa lebih tegas menandai daerah rawan bencana di Kab. Bandung. ”Berdasarkan pengumuman dari BMG sebelumnya, ada 415 titik rawan longsor di Kab. Bandung, tetapi itu hanya pengumuman. Kalau perlu bisa dilengkapi dengan tiang untuk menandai lokasi rawan agar warga bisa

mengetahui secara persis titik ordinatnya,” katanya.

Mengenai pengadaan tiang atau penyebarannya, BMG bisa bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah. Dia juga mengatakan, pihaknya siap membantu memfasilitasi pengerjaan usaha sebagai langkah preventif terhadap warga tersebut. ”Mengenai lokasi Kampung Dewata, wajar jika ada perumahan di perkebunan, hanya saja letaknya di sini kurang ideal,” ujar Obar. (A-175/A- 150)***

Pikiran Rakyat - Selasa, 27 Februari 2010 Antisipasi Bencana