• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESENIAN REYOG PONOROGO

4 Aplikasi Cerita ini banyak diaplikasi pada

3.2 Warok dan Peranannya dalam Kesenian Reyog Ponorogo

3.1Pengantar

Dalam Bab III penulis menguraikan berbagai proses ritual yang akan dilaksanakan dalam kesenian Reyog Ponorogo. Pertama-tama akan

dideskripsikan tokoh penting di balik pertunjukan reyog, serta proses ritual

apa saja yang akan dilakukan oleh seorang warok, setelah itu akan dipaparkan

proses ritual menjelang pertunjukan reyog.

“Proses” adalah rangkaian tindakan, perbuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk (KBBI, 1988: 703). Ritual adalah hal-hal yang berkenaan dengan ritus. Sedangkan pengertian ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI, 1988: 751). Jadi yang dimaksudkan dengan proses ritual dalam penelitian ini adalah rangkaian tindakan yang berkenaan dengan ritus menjadi warok dan ritus menjelang pertunjukan reyog.

3.2Warok dan Peranannya dalam Kesenian Reyog Ponorogo

Sebelum kita melihat proses ritual dalam kesenian reyog, sangat

penting bagi kita melihat satu figur penting dalam keseluruhan proses ritual tersebut yaitu warok. Warok adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang

hingga kini menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang menganggap profil warok telah menimbulkan citra yang kurang

baik atas kesenian reyog. Hal ini disebabkan dunia warok pada zaman dahulu

identik dengan dunia hitam, preman atau jagoan, dan minuman keras.

Warok adalah sebutan untuk murid- murid Ki Ageng Kutu yang

menuntut ilmu kepadanya. Para warok ini diajarkan berbagai keahlian dan

kemampuan untuk memiliki kekuatan supranatural, kemampuan bela diri dan

ilmu kasampurnaan (ilmu kesempurnaan). Warok menggambarkan sosok yang

bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian reyog.

Warok berasal dari akronim bahasa Jawa asli uwal rokan, yang berarti

bebas dari perbudakan. Hak untuk memiliki kemampuan bela diri dan kekuatan supranatural, membuat warok sering kali menjadi penasihat dan

pengawal penguasa setempat. Oleh karena itu mereka terbebas dari kewajiban-kewajiban seperti layaknya rakyat biasa. Ada pula penafsiran lain yang mengatakan tentang asal- usul kata warok, menurut versi ini kata warok

berasal dari kata arab waro’a, yang berarti pertapa atau orang yang melakukan

praktek mistik. Warok adalah pemimpin di dalam kehidupan politik di desa,

warok tidak jarang menjadi bagian sebagai pegawai pemerintah, hingga tidak sedikit warok yang memegang dua peranan penting di dalam kehidupan

bermasyarakat. Pada salah satu tangannya terdapat kekuatan untuk membuat keputusan penting yang berpengaruh di masyarakat, dalam hal ini menyampaikan aspirasi dan warok juga sering kali harus dapat berperan

sebagai perantara antara rakyat dengan pejabat yang lebih tinggi (Ian Douglas Wilson, 1995).

Selama ini warok juga mempunyai citra yang kurang baik, seperti

kedekatannya dengan dunia premanisme, minuman keras dan adanya hubungan seksual antar sesama jenis; hal ini diakui oleh kalangan pecinta kesenian reyog dan saat ini mulai dihilangkan. Upaya mengembalikan citra

kesenian ini dilakukan secara perlahan-lahan. Profil warok saat ini lebih

diarahkan pada nilai-nilai kepemimpinan yang positif dan menjadi panutan masyarakat. Termasuk pula memelihara gemblak yang kini semakin luntur.

Gemblak yang biasa berperan sebagai penari jathilan (penunggang

kuda-kudaan yang terbuat dari bambu), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal pada zaman dahulu kesenian ini tampil tanpa seorang wanita pun.

Oleh karena itu, warok dalam kesenian reyog sebenarnya sangat

dituntut rasa tanggung jawab sebagai penanggung jawab, pelindung para anggotanya, dan mesti mempunyai kreativitas yang tinggi untuk mengembangkan kesenian yang dipimpinnya, sehingga pesan moral spiritual yang ada di dalamnya mampu lebih mudah dipahami dan diterima anggotanya serta para penonton. Jadi keberadaan warok tidak mungkin lepas dari kesenian

reyog. Dimana ada reyog, di situ ada warok (Ian Douglas Wilson, 1995).

Menurut Purwowidjoyo (1971: 3-4) seseorang dapat dikatakan telah menjadi warok jika telah memiliki watak dan sifat sebagai berikut:

1. Sugih ilmu lan sekti. Ilmu lan kasaktene iku ora kanggo diri

pribadi. Ananging kanggo nulung marang sopo bae, malah-malah

Artinya: Kaya akan ilmu dan sakti. Ilmu dan kesaktiannya tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membantu siapa saja, khususnya bagi lingkungannya.

2. Seneng tetulung liyan kanthi sepi ing pamrih rame ing gawe, yen

perlu gelem dadi kurban.

Artinya: Suka memberi pertolongan kepada orang lain, sedikit menuntut tapi banyak berbuat, jika perlu menjadi korban.

3. Ngayomi marang kaluwargo, tenggo teparo. Lingkungan

masyarakat ing deso lan negorone.

Artinya: Melindungi keluarga, tetangga, lingkungan masyarakat di desa dan negaranya.

4. Yen ono gawe, ngentengke tenagane, ora ngetung marang

kesengsarane laku. Yen ora ono gawe, cukup ono buri, jeneng tut

wuru handayani.

Artinya: Jika orang lain mempunyai kesibukan, Ia meringankan tangannya untuk membantu, tanpa menghitung- hitung jasa. Tetapi jika tidak ada kesibukan Ia cukup berada di belakang, memberi dukungan dari belakang.

5. Sifat adil, temen lan jujur, ora pilih kasih. Sing bener tetep

diucapake, sing salah kudu disalahake, senajan marang bocah

cilik, yen salah yo ngakone kesalahane, kanthi ucap bener lan

Artinya: Bersifat adil, sungguh-sungguh dan jujur, tidak pandang bulu, yang benar dikatakan benar dan jika salah harus mengalah, walaupun terhadap anak kecil, jika berbuat kesalahan harus mengakuinya dengan berkata benar.

6. Watake keno diucapake. Yen lemes keno kanggo tali, nanging yen

pinuju kaku keno kanggo pikulan. Tegese watak gelem ngalah.

Nanging yen ora keno dikalahi malah dadi musuh kang bebayani.

Artinya: Wataknya bisa dikatakan, ketika watak lunak Ia bisa dijadikan tali pengikat, tetapi ketika berwatak keras bisa dijadikan tongkat penyangga beban. Maksudnya, Ia berwatak mau mengalah, tetapi jika tidak bisa dikalahkan justru jadi musuh ya ng membahayakan.

7. Biso dadi pandam pangaubane sasama, dadi papan pitakon opo

bae, suko wewarah becik, aweh pepadang marang wong kang

kepetengan ati, aweh bungah marang wong lagi ketaman susah,

aweh teken marang wong kang kaluyon, aweh bogo marang wong

kang nandhang tuwo.

Artinya: Bisa menjadi tumpuan sesama, menjadi tempat bertanya tentang apa saja. Suka mengajar kebaikan, memberi penenang hati yang kelam, memberi rasa senang kepada orang yang susah, memberi tongkat bagi orang yang terpeleset dan memberi makan bagi mereka yang kelaparan.

Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa istilah warok

tidak berbeda jauh dengan istilah wira’I dalam dunia sufi. Keduanya dapat

diartikan sebagai media untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, yang diwujudkan dalam bentuk etika dan perilaku dalam kehidupan masyarakat. Namun istilah warok juga memiliki pengertian yang lebih politis sebagai uwal

rokan yang berarti manusia yang bebas dari perbudakan. Dalam masyarakat

Ponorogo, kedua pengertian ini hidup berdampingan.

Dokumen terkait