• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

B. Wasiat

2. Macam-macam Wasiat

a. Wasiat wajibah bagi anak angkat.

Secara umum orang memahami pengangkatan anak adalah adopsi. Selama ini di Indonesia lembaga adopsi di kenal melalui putusan pengadilan negeri, bahwa yang di katakana adopsi adalah pengambilan (pengangkatan) anak orang lain sah menjadi anak sendiri, dan oleh petersalim di katakan bahwa megadopsi anak adalah mengangkat anak orang menjadi anak sendiri dengan proses hukum .

Pemikiran tersebut pada umumnya menghendaki pengangkatan anak orang lain oleh seseorang itu memposisikan anak angkat itu sebagai anak kandung secara hukum, sehingga seorang anak angkat akan mendapatkan hak sebagaimana layaknya anak kandung dari orang tua angkatnya. karena itu seorang anak yang telah di adopsi melalui kekuatan putusan Pengadilan Negeri, ia akan memperoleh warisan dari orang tua angkatnya sebagaimana lanyaknya seorang anak kandung. Begitupun bila yang di angkat itu seorang anak perempuan, maka wali nikah anak tersebut ketika ia menikah bukan lagi orang tua kandungnya, tetapi wali nikahnya adalah bapak angkatnya. pemahami ini walau pun merupakan tradisi hukum bukan Islam, tetapi telah di pahami dan dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesi pada umumnya.

Dalam pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam disebutkan:”

biaya pendidikan dan sebagaimana berlalih tanggung jawabnya dari orang tua asal pada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.

Di Indonesia ,wasiat wajibah di atur pada pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, bunyinya sebagai berikut :

1) Harta peniggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas,sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari serta wasiat anak angkatnya

2) Terhadap anak angkat yang tidak merima wasiat di beri wasiat wajibah sebenyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Bunyi pasal 209 kompilasi hukum Islam tersebut menhendaki wasiat hanya diberikan kepada seseorang terikat hubungan sebagai anak angkat atau sebagai orang tua angkat bagi orang lain. Apa sebabnya Kompilasi Hukum Islam hanya di peruntukkan wasiat wajibah di berikan kepada orang yang terikat hubungan sebagai anak angkat atau sebagai orang tua angkat. Hal ini diebabkan karena berdasarkan aturan ini, orang tua angkat atau anak angkat tidak saling mewarisi, karena dia bukan ahli waris. Status anak angkat dalam kewarisan Islam tetap tidak di tempatkan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, begitu pula sebaliknya, hal ini sesuai dengan ketentuan QS.Al-Ahzab [33] :4 dan 5. Dari bunyi ayat tersebut jelaslah bahwa status anak angkat dalam kewarisan tetap dengan statusnya asalnya, dia mempunyai nasab dengan orang tua kandungnya, karena itu dia hanya mempunyai hubungan kewarisan dengan orang tua kandung pula.

Dengan demikian pengangkatan anak tidaklah mengubah hubungan nasab yang telah ada sebelumnya, dan pula tidak mengubah hak kewarisannya antara dia dengan orang tua angkatnya atau sebaliknya, walaupun Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa “anak angkat adalah

anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya berlalih tangung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.” Peraliahan tanggung jawab jawab disini hanyalah menyangkut maslah pemiliharaan hidup, pemenuhan kebutuhan hidup,membrikan pendidikan, tetapi sampai menggeser kedudukan nasab daan juga hak-hak kewarisannya.

Menurut pasal 209 Kompilasi Hukum Islam tersebut di sebutkan, bahwa terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah. kalimat ini menghendaki setiap anak angkat hendaklah berwasiat kepada orang tua angkatnya ketika ia hendak meninggal dunia, tetapi jika anak angkat tidak sempat atau lupa berwasiat kepada orang tua angkatnya ketiak akan meninggal dunia, maka hukum menganggap seolah-olah dan harus di anggap bahwa dia telah berwasiat kepada orang tua angkatnya, karena itu menurut ketentuan pasal 209 tersebut terhadap orang tua angkat itu di beri wasiat wajibah, maksimal 1/3 dari hartanya untuk diserahkan kepada orang tua angkatnya. Begitu pula sebaliknya orang tua angkat kepada anak angkatnya. dengan demikian sebulum harta warisan di faraidkan kepada para ahli waris yang berhak menerimanya. wasiat wajibah ini harus di tunaikan dahulu .

Menurut dalam perspektif fiqih menyatakan wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya

suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.

Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru'.

Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut (Sayyid Sabiq. 2008)

b. Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim

Para ulama telah sepakat bahwa antara seseorang muslim tidak saling mewasisi apakah seorang bukan muslim itu sejak ia bukan muslim atau bukan muslimnya itu disebabkan karena murtad (keluar dari agama Islam), tetapi ketika warisan terbuka ia bukan muslim, terhadap mereka ini Islam menyatakan tidak saling mewaris. Para Ulama mendasarkan prinsip ini kepada hadis Rasulullah SAW. Dari Usman bin ziad: “laa yaristal muslimu kaafiraa wa laal kaafiru muslimaa,” Artinya :”seorang muslim tidak mawaris terhadap

orang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi terhadap seorang muslim.”

(HR.Bukhari dan Muslim).

Dari hadis ini dapat ditarik garis hukum, bahwa ahli waris muslim tidak dapat mewarisi harta warisan pewaris yang non muslim, dan ahli waris non mulim tidak dapat mewarisi harta warisan pewaris yang muslim. Terhadap kententuan hadis tersebut kiranya tidak ada seorang ulama pun yang keberatan, walaupun di kalangan ulama masih memperdebatkan masalah seperti masalah apakah harta seorang yang murtad ketika ia belum murtad dapat di warisi oleh ahli warisnya yang muslim, apakah seorang ahli muslim itu tidak secara mutlak tidak boleh mewarisi harta warisan pewaris yang bukan muslim dan seterusnya.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak mengatur masalah berwasiat kepala non muslim. Tetapi Mahkamah Agung RI telah menjatuhkan beberapa putusan yang berkenaan dengan hal ini. Antara lain putusan mahkaman Agumg RI No:368/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 yang telah menetapkan bahwa

seorang anak perempuan yang beragama nasrani berhak pula mendapatkan harta warisan pewaris, tidak melalui warisan melainkan wasiat wajibah. Dan besar diperolehnya adalah sama dengan bagian seorang anak perempuan, bukan 1/3 dari harta warisan dan bukan pula ¾ bagian dari perolehan anak perempuan pewaris.

Selanjutnya MA RI Nomor 51K/AG/1999, tanggal 29 September 1999 yang telah memberikan garis hukum sebagai berikut:

1) Beda agama, salah satu sebab untuk tidak saling, mewarisi, apakah perbedaan agama itu antara pewaris dengan ahli waris atau antara sesama ahli waris.

2) Penyelesaian pembagian harta warisan tergantung kepada agama

sipewaris. Bila pewarisnya beragama Islam maka penyelesaian masalah harta warisannya di selesaikan menurut hukum kewarisan Islam.

3) Ahli waris yang non muslim dapat menerima bagian dari harta warisan pewaris yang muslim melalui jalan wasiat wajibah, tidak melalui jalan warisan.

4) Besarnya bagian ahli waris non muslim yang diperoleh dari harta warisan pewaris dengan jalan wasiat wajibah, bukan 1/3 bagian sebagaimana ketentuan batas maksimal jumlah wasiat tetapi ahli waris non muslim mendapat bagian yang sama. Dengan ahli waris yang lain yang sederajat (Anshary, 2013: 93-99).

Dokumen terkait