• Tidak ada hasil yang ditemukan

60Wawancara dengan Khuzaimah.

iii

Meskipun alasan yang mendasari pengabungan urusan perempuan dengan urusan yang lain dalam satu badan untuk perampingan dan penghematan biaya namun kebijakan telah terjadi diskriminasi terhadap institusi perempuaan dimana wewenang dan fungsinya berkurang. Pada disisi lain Negara dituntut untuk melakukan affirmasi action namun kebijakan yang diambil bertolak belakang dari konsep keharusan negaran member peluang dan pembelaan lebih lebterhadap perempuan.

b. Diskriminasi tidak langsung oleh institusi perempuan.

Diskriminasi secara tidak langsung tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintahan pada umumnya, melainkan juga dilakukan oleh lembaga atau isntitusi perempuan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari program kerja dan kebijakan yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Sejahtera. Berikut petikannya:

Kami telah membentuk kelompok usaha peningkatan pendapatan keluarga di Aceh Besar sebanyak 60 kelompok, kami subsidikan kepada mereka dana kegiatan usaha dibidang simpan-pinjam, pertanian, pembuatan kue dan lain-lain yang dapat membantu perempuan.62

Kondisi serupa juga terjadi di Kantor Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Sejahtera Aceh Barat. Program kerja Badan ini sering diarahkan bahkan secara terorganisir pada bidang-bidang domestik. Program pendidikan kepada perempuan lebih diarahkan untuk berkarir di dalam rumah-tangga seperti mengurus anak. Alasanya, karena perempuan merupakan pendidik awal di rumah-tangga. Sayangnya, program ini digagas oleh badan

iii

resmi pemberdayaan perempuan yang mestinya membongkar kebijakan yang mendomestifikasi perempuan.63

Program pemberdayaan ini telah mempola bentuk-bentuk pemberdayaan perempuan dalam ruang domestik. Pemolaan seperti ini telah terjadi diskriminasi terhadap kesempatan perempuan untuk memiliki akses terhadap masalah-masalah publik dalam pendidikan perempuan. Tanpa membuka ruang diskusi dan akses publik terhadap pendidikan perempuan dalam jangkan panjang akan membuat perempuan awam atau buta dalam masalah politik. Tindakan itu akan mengabadikan perempuan dalam ruang domestik dan ketergantungannya terhadap laki-laki.

Akibat lebih lanjut adalah perempuan tidak pernah siap dilibatkan dalam ruang politik baik sebagai kader legislatif maupun eksekutif. Meskipun undang-undang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi apapun, termasuk aktif di lembaga legislatif atau menduduki jabatan strategis di eksekutif. Namun dinamika sosial baik secara struktural maupun kultural menyebabkan undang-undang ini tidak begitu menguntungkan bagi perempuan dalam prakteknya.

Diskriminasi kultural telah melahirkan struktur yang tidak sensitif gender, karena perempuan yang memiliki kesempatan dan terlibat dalam pemerintahanpun pikirannya terkontaminasi di bawah bayang-bayang laki-laki. Hal ini terjadi karena pola pendidikan dan isu-isu yang diangkat dalam setiap kasus adalah mempersiapakan laki-laki sebagai pelaku utama. Perempuan berfungsi sebagai

iii

sosok yang mempersiapkan hidangan untuk santapan laki-laki, setidaknya inilah palajaran kultural bagi perempuan tentang posisi dan fungsinya dalam masyarakat. Sekali lagi, sayangnya pelajaran ini juga yang telah menginspirasi sebagian kepala badan pemberdayaan perempuan meskipun kepala badan itu sendiri sebagai perempuan dalam mempersiapkan program-program pemberdayaan perempuan yang justru mendesak dan melanggengkan perempuan di ruang domestik. Seorang aktivis perempuan menggambarkan fenomena ini sebagai berikut:

Kebanyakan saya temukan yang pimpinannya perempuan, malah perspektifnya ikut laki-laki “rata-rata begitu, sosok perempuan tapi jiwanya maskulin, dia menjalankan hal-hal yang sebenarnya, menurut kita bertentangan dengan nilai-nilai feminim”. Kalau begitu, mengapa tidak diberdayakan laki-laki yang punya perspektif supaya restensinya secara kultural dan keagamaan berkurang dan perjuangannya lebih mudah? “akan ke sana, kita telah melakukan itu, tapi tetap saja dalam posisi tertentu, ketika kita membicarakan pemberdayaan perempuan, menempatkan perempuan pada posisi-posisi tertentu menjadi penting.64

c. Diskriminasi tidak langsung oleh partai

Beberapa daerah sudah ada wadah untuk menampung aspirasi perempuan seperti Musrena (Musyawarah Perempuan Aceh). Di kabupaten lain seumpama Aceh Besar telah juga mengangkat isu-isu pemberdayaan perempuan dalam Musrembang (Musyawarah Rencana Pembangunan). Dalam Musrembang perempuan harus dilibatkan bahkan di Aceh Besar lewat PNPM sudah ada musyawarah khusus sesama kaum peempuan untuk mengkritisi dan merumuskan rencana pembangunan. Hasil musyawarah mereka ini, kemudian dibawa ke

iii

Kecamatan dan Kabupaten.65 Musrembang ini diharapkan mampu mewarnai setiap program kebijakan pembangunan yang sensitif gender yang bersinergi dengan tindakan affirmative action yang merupakan kewajiban pemerintah dalam memberdayakan perempuan dari ketertinggalannya, baik dari segi penguatan kapasitas maupun pembangunan perempuan selama orde baru. Masalahnya adalah hasil musyawarah mereka melalui Musrembang terancam karena ketidaksiapan eksekutif dan legislatif dalam mengakomodir aspirasi kaum perempuan. Hal ini disebabkan oleh karena kebannyakan pengambil kebijakan di badan eksekutif dan legislatif tidak sensitif gender.66 Bappeda tidak pernah mengusulkan program menyangkut hajat hidup dan kepentingan perempuan, kecuali hanya menerima usulan-usulan dari pihak lain. Sebagai Badan yang memiliki wewenang dalam menyusun dan merencanakan pembangunan daerah tentu saja secara tidak langsung menyebabkan perempuan tersisih tidak hanya partisipasinya terhadap pembangunan, tetapi juga haknya untuk menikmati hasil dari pembangunan itu sendiri.

Sementara ketidaksiapan legislatif disebabkan oleh kurangnya jumlah perempuan di lembaga legislatif. Tambahan lagi mereka kurang memiliki sensitifitas gender. Di kabupaten Aceh Besar satu-satunya anggota Dewan perempuan dan progresif hanyalah ibu Mardhiah Ali, selebihnya adalah laki-laki. Mereka masih menganggap bahwa perempuan itu sebagai pelengkap, sub-ordinat dalam urusan-urusan publik dan rumah tangga. Bagaimana kemudian hasil musrembang yang melibatkan perempuan akan terwujud hingga melahirkan

65Wawancara dengan Burhanuddin…

iii

program-program yang sensitif gender, jika program tersebut dibuat dan dirumuskan oleh mereka yang tidak memiliki perspektif gender yang baik.

d. Diskriminasi tidak langsung oleh perempuan itu sendiri

Masih ditemukan ulama perempuan yang memandang bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, kecuali kepemimpinan yang didasarkan kepada syura atau permusyawaratan.67 Sekilas, pandangan ini lebih progresif ketimbang pandangan banyak ulama lain terutama mayoritas kaum laki-laki yang melarang perempuan menjadi pemimpin secara mutlak. Namun, bila dianalisa lebih mendalam, pandangan di atas menyisakan unsur diskriminasi terhadap perempuan. Karena kebolehan perempuan menjadi pemimpin masih disertai eksepsi bila bentuk pemerintahannya republik dan lembaga kepemimpinan atau presiden dapat dikontrol oleh lembaga legislatif. Padahal dalam sistem negara modern, bentuk kepemimpinan tunggal dan otoriter sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan pembangunan sebuah bangsa, termasuk bila dipimpin oleh laki-laki sekalipun.

Oleh karena itu, pandangan semacam ini memberikan presenden buruk terhadap perempuan bahwa pada hakikatnya perempuan memiliki kelemahan dalam kepemimpinan. Perempuan tidak dilahirkan untuk urusan kepemimpinan tetapi untuk urusan rumah tangga, pendidikan dan tabib. Namun karena sistim politiik telah berubah dari kepemimpinan mutlak kepada model kepemimpinan syura maka celah itu digunakan untuk membolehkan perempuan menjadi

67Wawancara dengan Ummi Nuranimannan, Pimpinan Dayah Misbahussalam, Woyla Barat, 12 Januari 2013.

iii

pemimpin. Kesimpulan ini diperkuat oleh penjelasan berikut:

Menurut ummi, selama belum lahir negara khilafah perempuan boleh menjadi pemimpin negara, gubernur, bupati dan lain-lain. Kalau sudah ada khilafah, perempuan hanya bisa jadi tabib dan mendidik anak saja. Pemahaman ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin bukan karena kelemahan mental akan tetapi lebih pada ketidakbolehan karena al-qur’an melarangnya.68

Penafsiran semacam ini menyebabkan perempuan kehilangan kesempatan menjadi pemimpin dalam janka panjang. Menurut Ummi mental perempuan tidak menjadi sebab perempuan itu tidak boleh jadi pemimpin. Sebab ketahanan mental itu tergantung tempat.69

C. Faktor Penyebab Diskriminasi

Penjelasan di bawah ini akan mengidentifikasi kenapa berbagai bentuk diskriminasi di atas terjadi. Penelusuran terhadap penyebab terjadinya diskriminasi sangat penting untuk mencari solusi dan merumuskan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menghilangkan atau meminimalisir diskriminasi terhadap perempuan, khususnya di lembaga eksekutif dan legislatif. Di samping juga diskriminasi di wilayah publik dan domestik pada umumnya, dengan penekanan bahwa diskriminasi di kedua wilayah itu harus dipahami secara integral dan tak terpisahkan.

1. Ideologi

Ideologi adalah asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan perempuan yang dilekatkan pada situasi bahwa ia adalah perempuan.

68Ibid.

iii

Konstruksi ideologis ini sangat mempengaruhi akses perempuan dalam memperoleh berbagai kesempatan dan hak di berbagai level, baik di masyarakat maupun Negara, baik individu, lembaga, maupun pemerintahan. Ideologi semacam ini lahir dari asumsi sosial-budaya dan tafsir agama. Keduanya dapat menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks ini, asumsi sosial-budaya dan tafsir agama yang bias`gender telah menjadi salah satu faktor penting dalam melahirkan diskriminasi terhadap perempuan di pemerintahan Aceh baik eksekutif maupun legislatif. Konsep-konsep penting yang bersumber dari tafsir agama maupun budaya dan sering ditonjolkan ke permukaan untuk mendiskreditkan perempuan meliputi domestifikasi perempuan, kepemimpinan perempuan, izin suami atau mahram, dan stigmaisasi negatif.

a. Domestifikasi Perempuan

Salah satu contoh real untuk melihat bagaimana tafsir agama dan budaya mendorong perempuan ke wilayah domestik dan menghalanginya dari peran di ranah publik adalah pandangan bahwa keterlibatan perempuan dalam wilayah publik baik eksekutif maupun legislatif tidak penting. Akibatnya, masyarakat kita tidak berpikir bahwa memilih perempuan itu penting. Sebaliknya, mereka berpikir bahwa yang perempuan saja tidak memilih perempuan. Hal ini terjadi karena masih dalam mindset bahwa perempuan tidak tepat duduk pada posisi-posisi seperti itu. Kondisi ini, membuat kaum perempuan yang aktif di partai politik merasa didiskriminasi baik jabatan, capacity building, maupun akses yang baik terhadap partisipasi mereka di eksekutif dan legislatif.70

Dokumen terkait