• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wayang Golek (1646)

Dalam dokumen smk10 Pedalangan Supriyono (Halaman 45-48)

Nang Sbek dan Nang Kaloun

2.3.2 Wayang Purwa

2.3.2.10 Wayang Golek (1646)

Sesuai dengan bentuk dan cirinya yang mirip boneka, bulat yang dibuat dari kayu, maka disimpulkan bahwa, berdasarkan ben-tuk yang mempunyai ciri-ciri seperti boneka itu, sehingga benda ter-sebut dinamakan wayang Golek. Pada akhir pergelaran wayang kulit purwa, maka dimainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan di namakan Golek. Dalam bahasa Jawa, golek berarti mencari. Dengan memainkan wayang Golek tersebut, dalang bermaksud memberikan isyarat kepada para penonton agar seusai pergelaran, penonton mencari (nggoleki) intisari dari nasehat yang terkandung dalam pergelaran yang baru lalu. Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah sehingga dinamakan wayang Golek.

Wayang-wayang tersebut diberi pakaian, kain dan baju ser-ta selendang (sampur), dan dalam pementasanya tidak mengguna-kan layar (kelir). Sebagai pengganti lampu penerang pada wayang (blencong), sering dipakainya lampu petromak atau lampu listrik. Bo-neka-bonela kayu ini diukir dan disungging menurut macam ragam-nya, sesuai dengan tokoh-tokoh wayang dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Wayang Golek yang terbuat dari kayu dan berbentuk tiga dimensi itu, kepalanya terlepas dari tubuhnya. Ia dihubungkan o-leh sebuah tangkai yang menembus rongga tubuh wayang dan seka-ligus merupakan pegangan dalang. Melalui tangkai itulah dalang da-pat menggerakkan kepala wayang dengan gerakan menoleh, serta

dalang dapat menggerakan tubuh wayang dengan gerakan naik-tu-run. Tangan-tangan wayang Golek dihubungkan dengan seutas be-nang, sehingga sang dalang dapat bebas menggerak-gerakannya. Dalam buku Wayang Golek Sunda, karangan Drs. Jajang Suryana, M.Sn, dikatakan:

“Munculnya wayang Golek Purwa di Priyangan secara pasti berkaitan dengan wayang Golek Menak Cirebon yang biasa disebut wayang Golek Papak atau wayang Golek Cepak”. Kaitannya antara kedua jenis wayang itu hanya sebatas ke-samaan raut golek yang tiga demensi (trimatra), sementara unsur cerita golek yang secara langsung akan menentukan raut tokoh go-lek, sama sekali berbeda. Golek Menak bercerita tentang Wong A-gung Menak, Raja Menak atau Amir Hamsyah yang berunsur cerita Islam. Sedangkan Golek Purwa bercerita tentang kisah yang ber-sumber dari agama Hindu yaitu Mahabharata dan Ramayana. Cerita yang dipentaskan umumnya cerita Ramayana dan Mahabharata, na-mun ada jenis wayang Golek yang mementaskan cerita Panji atau cerita Parsi yang bernuansa Islam.

Daerah Jawa Barat yang pertama kali kedatangan wayang Golek adalah daerah Cirebon. Wayang tersebut kemudian masuk ke daerah Priangan dan mulai digemari masyarakat Sunda. Pementas-an wayPementas-ang Golek tersebut menggunakPementas-an bahasa masyarakat Pa-sundan Jawa Barat. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat menye-but wayang itu wayang Golek Sunda atau Golek Purwa, yang dalam pementasanya mengambil cerita-cerita berdasarkan kitab Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut telah ada sebelum wayang Go-lek Menak diciptakan, yakni pada masa pemerintahan Prabu Amang-kurat I di Mataram (1646 – 1677).

Pada pembukaan seminar pedalangan Jawa Barat I pada tanggal 26-29 Februari 1964 di Bandung, telah diwujudkan dan dicip-takan wayang Golek baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman, kemudian atas keputusan para pengurus yayasan pedalang-an Jawa Barat waypedalang-ang dengpedalang-an bentuk pempedalang-anggungpedalang-an ypedalang-ang baru tersebut, diberi nama Wayang Pakuan. Dalam pergelaran wayang Golek Pakuan tersebut dipentaskan pula cerita-cerita Babad Pajaja-ran, penyebaran agama Islam di Jawa Barat dan datangnya bangsa asing di Indonesia. Dengan cerita-cerita tersebut di atas maka tokoh-tokoh dalam wayang Golek Pakuan di antaranya seperti Prabu Sili-wangi dari kerajaan Pajajaran serta Jan Pieterzoon Coen atau Mur-jangkung, Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Pada awal abad ke-XIX Pangeran Kornel seorang Bupati Sumedang, Jawa Barat, terkenal sebagai pencipta wayang Golek Purwa Sunda yang bersumberkan pada wayang Golek Cepak dari Cirebon. Sejak munculnya wayang Golek Purwa Sunda tersebut, maka kesenian itu menjadi sangat populer dan dapat merebut hati rakyat Jawa Barat umumnya serta orang-orang Sunda di daerah

Pri-angan Khususnya. Di daerah Jawa Tengah terdapat wayang golek dengan berbagai macam jenis dan disesuaikan dengan lakon per-gelarannya. Tetapi pada umumnya wayang golek tersebut berbentuk wayang Golek Menak. Cerita pada umumnya adalah cerita-cerita Menak Wong Agung Jayengrana, yang bersumber pada serat Me-nak. Wayang golek tersebut kemudian terkenal dengan sebutan wa-yang Thengul.

Di Jawa Barat-pun terdapat wayang Golek Menak dengan cerita yang sama, bernafaskan Islam, yaitu kisah Amir Hamzah (pa-man Nabi Muhammad s.a.w.) beserta tokoh-tokoh lainnya seperti ra-ja Jubin, Adam Billis, Tumenggung Pakacangan, Suwangsa, Pringa-di, Panji Kumis, Raden Abas dan Umarmaya. Wayang-wayang terse-but diseterse-but wayang Bendo. Sesudah kerajaan Demak runtuh, kraton pindah ke Pajang dan sebagian wayang-wayang di bawa ke Cirebon karena kerajaan Cirebon mempunyai hubungan yang erat dengan Demak. Maka tidak mengherankan kalau di Cirebon terdapat wa-yang Golek Purwa bercampur dengan wawa-yang Golek Menak, se-hingga dalam pementasannya disebut wayang Cepak.

Wayang Golek Cepak tersebut membawakan lakon Menak dan disamping itu membawakan pula cerita-cerita sejarah perkem-bangan agama Islam di Jawa. Seirama dengan perkemperkem-bangan serta kemajuan zaman dalam modernisasi wayang, sejak tahun 70-an wa-yang Golek Sunda ini dilengkapi dengan pemakaian keris serta Pra-ba yang terbuat dari kulit berukir (ditatah dan disungging) untuk to-koh-tokoh wayang tertentu, seperti Kresna, Gathotkaca, Baladewa, Rahwana dan lainnya.

Gambar 1.9 Wayang Golek Pakuan Adegan Jan Pieterszoon Coen dan Prabu Siliwangi

Dalam dokumen smk10 Pedalangan Supriyono (Halaman 45-48)