• Tidak ada hasil yang ditemukan

WILAYAH AKUNTABILITAS PUBLIK

Pemerintahan Daerah

WILAYAH AKUNTABILITAS PUBLIK

dalam pasal 27 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004, yakni bahwa Kepala Daerah mempunyai kewajiban untuk memberikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah. Selanjutnya, dalam ayat 5 pasal yang sama, dinyatakan bahwa pelaksanaan LPPD akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sampai saat ini PP yang dimaksud belum selesai dibuat, tetapi mengingat Ketentuan Penutup pada UU No. 32 Tahun 2004, khususnya pasal 238 ayat (1) yang mengatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku, maka LPPD Tahun 2005 masih dapat menggunakan PP Nomor 56 Tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dengan berbagai penyesuaian. Dalam pasal 3 ayat 1 PP Nomor 56 Tahun 2001 dikatakan bahwa Laporan Gubernur meliputi pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sementara pada pasal 3 ayat 2 PP Nomor 56 Tahun 2001 dikatakan bahwa Laporan Bupati dan Walikota meliputi pelaksanaan desentralisasi, tugas pembantuan serta kebijakan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan atau kelurahan.

Selain berkewajiban menyampaikan LPPD pada Pemerintah Pusat (Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan Bupati/Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur), Kepala Daerah juga berkewajiban menyampaikan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini merupakan wilayah II akuntabilitas publik, yang menyangkut pertanggungjawaban di

bidang keuangan daerah. Laporan keuangan sekurang-kurangnya meliputi laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan badan usaha milik daerah. Landasan hukumnya adalah pasal 56 ayat 3 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 184 UU No. 32 Tahun 2004.

Wilayah III akuntabilitas publik menyangkut hubungan eksekutif (Pemerintah Daerah) dengan legislatif (DPRD). Dalam konteks ini, proses akuntabilitas bersifat antarlembaga, yang dikenal dengan konsep check and balances. Landasan pertanggungjawaban dalam hubungan ini termuat dalam pasal 27 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004. Adapun indikator dari akuntabilitas dalam wilayah ini meliputi : (1) jumlah (kuantitas) dan bobot (kualitas) masalah yang dibawa eksekutif pada legislatif; (2) jumlah pelaksanaan hak-hak pengawasan legislatif, seperti hak interpelasi dan angket; (3) jumlah rancangan Perda inisiatif yang dapat dijadikan tolok ukur kemampuan legislatif dalam melaksanakan hubungan kerja dengan eksekutif.

Pada wilayah IV terjalin interaksi antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat, meskipun hubungan yang terjadi biasanya bersifat tidak langsung namun pada hakikatnya, Pemerintah Daerah tidak dapat melepaskan diri dari kepentingan rakyatnya. Persoalan akuntabilitas pada wilayah ini dapat terlihat dari: (1) sejauhmana eksekutif bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kewajiban yang berkenaan dengan Peraturan Daerah yang dapat dilihat dari aspek materi/pembangunan fisik atau nonmateri/ nonfisik); (2) sejauhmana eksekutif membuka diri untuk menerima masukan dari masyarakat, baik saran maupun

kritik; dan (3) sejauhmana eksekutif menindaklanjuti keinginan masyarakat, baik di dalam konteks usulan kebijakan maupun menindaklanjuti secara langsung. Secara eksplisit, UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 27 ayat 2 mengatur bahwa Pemerintah Daerah (dalam hal ini Kepala Daerah) wajib menginformasikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat. Konsekuensinya, eksekutif harus mempublikasikan LPPD agar bisa diakses oleh masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui apa saja yang telah dilakukan eksekutif serta dapat memberikan umpan balik (feed back) bagi perbaikan kinerja eksekutif. Kewajiban menginformasikan LPPD juga meminimalkan potensi kolusi dan formalitas dalam pola pertanggungjawaban yang selama ini lebih banyak berlangsung dalam ranah pemerintah. Beberapa pasal yang terkait dengan wilayah hubungan eksekutif- masyarakat, antara lain termuat dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 2 ayat 3; pasal 11 ayat 4; pasal 13; 14; 22; 23; 27 ayat 2; pasal 126; 127; 139 ayat 1; dan sebagainya.

Pada wilayah V, DPRD sebagai legislatif daerah bertanggungjawab kepada masyarakat. Di sinilah terjadi proses demokrasi dalam konteks paling langsung antara wakil rakyat dengan seluruh anggota masyarakat (tidak terbatas hanya dengan konstituennya). Proses akuntabilitasnya meliputi: (1) sejauhmana legislatif memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan, dan pengaduan masyarakat serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan (2) sejauhmana upaya DPRD menciptakan dan melaksanakan mekanisme berdasarkan peraturan yang berlaku yang dapat memperluas pelaksanaan proses akuntabilitas di hadapan masyarakat. Sejumlah pasal

dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang melandasi pola hubungan DPRD dan masyarakat, antara lain terangkum dalam Bagian Kelima tentang DPRD (pasal 39 sampai dengan pasal 55).

Proses Akuntabilitas Publik yang Demokratis

kuntabilitas publik yang demokratis mengasumsikan

A

bahwa pemerintah sebagai pihak yang diserahkan amanat untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan harus memberikan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak yang sudah memberikan amanat tersebut. Akuntabilitas demokratis tidak terbatas pada upaya pemerintah daerah dalam memberikan pertanggungjawaban kepada publik, tapi juga meliputi proses pelibatan warga masyarakat secara partisipatif dalam tahap-tahap penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi sebuah kebijakan.

Permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam proses akunta-bilitas publik adalah seberapa besar peluang regulasi yang ada dapat mendukung proses akuntabilitas yang nantinya mampu menciptakan produk akuntabilitas yang demokratis. Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan-peraturan perundangan yang terkait, pengaturan mengenai proses dan produk akuntabilitas publik menjadi semakin jelas. Dalam tabel di bawah ini akan diperlihatkan proses akuntabilitas publik pemerintahan daerah.

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa regulasi dan bentuk akuntabilitas publik secara formal lebih banyak berada di ranah hubungan antarlembaga pemerintahan dan antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat. Sementara hubungan antara DPRD dengan masyarakat belum memiliki bentuk akuntabilitas secara formal, sekalipun proses akuntabilitasnya telah ada dan (seharusnya) telah difungsikan secara optimal. Kondisi ini mengindikasikan bahwa masih terdapat kesenjangan dalam akuntabilitas legislatif kepada masyarakat, sehingga menyulitkan masyarakat mencari landasan hukum untuk mengawasi legislatif. Sekalipun UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 49 mewajibkan DPRD untuk menyusun Kode Etik dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRD dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, namun Kode Etik ini lebih dimaksudkan untuk mengatur hubungan kerja DPRD dengan lembaga yang terkait (Pasal 45 UU No. 32 Tahun 2004), tidak