• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aneks 2. Studi Kasus

4.   Wilayah Papua

4.1 Pendahuluan

Data dan informasi untuk studi kasus ini dikumpulkan dari tiga Kabupaten berikut: Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.

4.2 Latar Belakang

Di bidang politik, melalui otonomi khusus,Pemerintah pusat telah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah daerah Papua dan Papua Barat untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan sumber daya mereka. Selama lima tahun terakhir,Pemerintah pusat juga mendukung melalui desentralisasi fiskal yang cukup besar untuk secara langsung mendukung percepatan pembangunan di dua provinsi sebagai salah satu koridor ekonomi di dalam Masterplan Percepatan, Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia38.

Menurut data dari sensus 2010, penduduk Papua adalah 2.833.381 terdiri dari 1.505.883 laki-laki dan 1.327.498 perempuan. Pada tahun yang sama, penduduk Provinsi Papua Barat adalah 760.422 yang terdiri dari 402.398 laki-laki dan 358.024 perempuan. Secara total ada 3.593.803 orang di daerah survei.

Alokasi anggaran nasional untuk Papua sebesar Rp 28 triliun pada tahun 2011. Provinsi-provinsi lain menerima porsi yang lebih kecil dari anggaran, sebagai perbandingan provinsi Gorontalo dialokasikan Rp 5,1 triliun, Sumatera Barat Rp 16,4 triliun, Banten Rp 13,5 triliun dan Kalimantan Timur - salah satu provinsi terbesar di Indonesia yang kaya minyak - Rp 7,46 triliun. Menggunakan logika sederhana, jika Rp 28 triliun disalurkan ke masing-masing 2,8 juta orang di Papua, akan menambah sekitar Rp. 10 juta per tahun untuk pendapatan masyarakat39. Tapi setelah satu dekade otonomi khusus, kemiskinan, korupsi, pengangguran dan infrastruktur yang buruk tetap belum terselesaikan.Namun, otonomi telah sangat berhasil dalam mengubah kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk asli Papua dan pendatang ke provinsi40.

Prestasi pendidikan di wilayah ini jauh terbelakang dibanding sebagian besar wilayah lain di negeri ini.Sebagai contoh, tingkat pencapaian pendidikan universal dua belas tahun provinsi Yogyakarta pada tahun 2011 adalah 97 %.Dibanding dengan Papua dan Papua Barat, mereka diproyeksikan mencapai 97 % pada tahun 202041.

Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan pendidikan, dan setelah pengumuman kenaikan harga BBM pada bulan Juni 2013,Pemerintah menerapkan kebijakan baru dari empat program kompensasi untuk membantu keluarga berpenghasilan rendah mempertahankan kesejahteraan mereka, salah satunya adalah program BSM.Pada saat survei, jumlah penerima BSM dialokasikan untuk daerah itu tidak tersedia. Banyak daerah-daerah terpencil di Indonesia menghadapi hambatan dalam mengelola pendidikan, tetapi wilayah Papua tampaknya memiliki lebih banyak hambatan yang ekstrim yang mencegah murid di daerah

38 Sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 12 Undang-undang, Gubernur dan Wakilnya hanya boleh masyarakat asli Papua. Lebih lanjut lagi, semua anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) haruslah masyarakat asli Papua. Pasal 28 menyatakan bahwa hanya masyarakat asli Papuaboleh membuat Partai Politik.

39 Hafid Abbas, Managing Papua With Heart, Jakarta Post. Tue, 11/01/2011

40 Dimasa yang lalu, penduduk pendatang memegang kekuatan sosialekonomi dan politik. Gambaran ini telah berubah secara drastis sejak masa awal otonomi khusus. Kekuatan politik, ekonomi, sosial dan budaya telah beralih ke tangan masyarakat asli Papua.

terpencil dari menghadiri sekolah secara teratur. Program BSM bertujuan untuk meningkatkan kehadiran dengan memberikan bantuan tunai bersyarat untuk keluarga miskin yang akan digunakan untuk membantu membayar biaya sekolah.Namun, ada beberapa kendala di wilayah Papua bahwa keberadaan BSM tidak bisa membantu.Sebagai contoh, dalam kasus satu sekolah yang dilaporkan di bawah, meskipun murid menerima sudah BSM, sekolah tersebut belum mengadakan kelas selama sekitar tiga bulan.Salah satu hambatan utama untuk sekolah di daerah terpencil adalah kekurangan guru atau fakta bahwa guru tidak muncul hanya untuk sekolah.Pada daerah terpencil selain kurangnya fasilitas sekolah juga kekurangan fasilitas kesehatan dasar seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).Guru yang tidak berasal dari masyarakat juga menemukan kesulitan dalam mencari perumahan.Selanjutnya, transportasi ke daerah-daerah terpencil juga sulit, memakan waktu dan mahal. Misalnya, satu-satunya cara praktis untuk perjalanan Marauke, sebuah Kota besar di Provinsi Papua, Kabupaten Mappi adalah dengan jalur udara, tetapi hanya ada penerbangan sekali setiap dua hingga tiga minggu.Untuk alasan ini dan fakta bahwa guru sering hanya dibayar setiap tiga atau empat bulan, membuat mengajar di daerah terpencil tidak menarik.

Gambar 30.Murid Sekolah Dasar yang menerima BSM di Tahun 2012 pada SD YPK ll, Kampung Baru, Kabupaten Mamberamo Tengah, Provinsi Papua

4.3 Temuan

Penentuan Sasaran

1. Perbedaan pandangan tentang penargetan.Murid dan orang tua yang menerima BSM di Kabupaten Mappi dan Manokwari dan Kota Sorong mengatakan bahwa penargetan BSM adalah tepat dan benar karena penargetan itu sesuai dengan prosedur, yaitu, mereka miskin. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan beberapa kepala sekolah dan guru. Namun, murid dan orang tua dari Kabupaten ini yang tidak atau belum menerima BSM memiliki pendapat yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa banyak murid yang menerima BSM berasal dari kalangan menengah hingga keluarga kelas atas. Mereka menyatakan bahwa sekolah dengan murid dari keluarga kelas atas adalah yang diterima kedalam prioritas alokasi BSM. Beberapa pemangku kepentingan menyarankan bahwa semua murid di daerah pedesaan akan diberikan BSM karena semua yang tinggal di daerah pedesaan miskin. Temukan selektif dapat dibuat untuk daerah perkotaan.

Gambar 31.Orang Tua murid penerima BSM yang terlihat berkecukupan dari SMP YPP Siloam, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat

1. Persepsi ketidakadilan dalam alokasi BSM memiliki dampak negatif di masyarakat. Dalam tiga wilayah yang akan disurvei melaporkan bahwa kepala sekolah karena jumlah murid yang menerima BSM kurang dari jumlah yang diusulkan, iri muncul di antara para murid yang tidak menerima BSM. Persepsi ketidakadilan dalam mengalokasikan hasil BSM pada orang tua kehilangan kepercayaan di sekolah dan dalam beberapa kasus ketegangan sosial telah muncul. 2. Ketidakakuratan data KPS. Wilayah yang akan disurvei telah memberikan prioritas BSM

keluarga yang memegang KPS. Survei responden menyatakan keprihatinan mereka tentang ketidakakuratan data KPS karena banyak keluarga dianggap miskin belum menerima KPS. 3. Persepsi kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam penargetan penerima BSM. Banyak

pemangku kepentingan di Kota Sorong percaya bahwa mekanisme untuk mengusulkan penerima BSM tidak bertanggung jawab atau tidak transparan. Pemangku kepentingan lainnya di tiga wilayah yang disurvei menyatakan bahwa meskipun program BSM telah berjalan sejak tahun 2010, beberapa sekolah mengaku tidak pernah menerima BSM. Kekhawatiran tentang menggunakan KPS sebagai kriteria utama untuk penargetan telah menyebabkan konflik antar pemangku kepentingan seperti yang dijelaskan lebih lanjut di bawah.

Gambar 32.SD YPPK St. Xaverius Boven Digoel, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

4. Kurangnya sosialisasi dan koordinasi Program BSM yang baru telah mempengaruhi penargetan. Salah satu dari banyak konsekuensi negatif akibat dari kurangnya sosialisasi mekanisme BSM baru adalah kurangnya koordinasi antara Dinas Pendidikan, Pemerintahan Desa dan sekolah. Akibatnya beberapa orang tua dan murid di Kota Sorong tidak menyadari bahwa KPS merupakan salah satu persyaratan untuk melamar BSM. Hal ini juga menyebabkan

ketegangan dan perpecahan sosial yang dibuktikan dalam Focus Group Discussion di Kota Sorong dimana para pemangku kepentingan tersebut menuduh satu sama lain untuk dianggap tidak akurat dan tidak pantas BSM menargetkan.

Gambar 33.Kondisi Hunian dari Keluarga Miskin di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua

Kecukupan dana BSM

1. Penggunaan dana BSM. Sebagian besar responden menyatakan bahwa ketika dana dikucurkan kepada siswa, mereka gunakan untuk membayar biaya sekolah, membeli buku, seragam, dan sepatu, perlengkapan (buku tulis, pena, dll), uang saku (terutama untuk makanan ringan), dan transportasi. Beberapa murid menyumbangkan uang untuk biaya rumah tangga (membeli beras, sabun, dll).

Gambar 34.Murid umumnya menggunakan perahu untuk menuju sekolah pada banyak tempat di Papua

2. Contoh manajemen dana BSM yang tidak sah. Kepala sekolah SD YPPK Mur Mappi, Kabupaten Mappi mengumpulkan dana BSM dan menyalurkan dana dalam bentuk sekolah dan seragam pramuka, sementara pada SD YPPK Linggua, pihak sekolah menggunakan dana BSM untuk memberikan murid sarapan gratis, makanan sehat dan susu selama istirahat. Dalam beberapa tahun terakhir beberapa sekolah seperti SD YPK 15 Ottow Geisller Manokwari, Kabupaten Manokwari mengumpulkan dana BSM dan dalam semangat”keadilan” membagi uang diantara semua siswa, termasuk penerima non-BSM.

3. Jumlah BSM harus ditingkatkan secara signifikan untuk wilayah Papua. Pemangku Kepentinganmerekomendasikan bahwa jumlah BSM untuk Papua dinaikkan menjadi tiga hingga empat kali jumlah yang dialokasikan di provinsi lain karena kebanyakan orang di Papua miskin dan biaya hidup sangat tinggi.

Dampak

1. Kehadiran dan kinerja penerima BSM membaik. Mayoritas murid dan orang tua yang menerima BSM berterima kasih untuk bantuan BSM. Mereka menyatakan bahwa murid lebih termotivasi untuk bersekolah dan memperhatikan lebih karena mereka tidak lagi khawatir tentang bagaimana untuk membayar biaya sekolah. Orangtua merasa beberapa beban keuangan mereka terangkat dengan adanya BSM.Murid penerima BSM juga menyatakan bahwa mereka tidak merasa rendah diri atau merasa stigma karena datang dari keluarga miskin.

2. BSM berdampak pada tingkat kehadiran. Beberapa guru melaporkan bahwa tampaknya tidak ada hubungan yang signifikan antara BSM dan peningkatan murid yang hadir. Dilaporkan selama survei bahwa tidak ada kelas yang diadakan selama tiga bulan di SD SD YPPK sekolah Kathan, Kabupaten Mappi, namun, sebagian besar murid di sekolah ini menerima BSM. Ironisnya, di SD Inpres Toghom, Kabupaten Mappi, kelas diadakan secara normal, namun tidak satupun dari murid yang menerima BSM.

Gambar 35.Sekolah Dasar YPPK Kathan, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua dimana tidak ada kelas dilangsungkan selama 3 bulan

3. Perbedaan opini yang objektif tentang dampak BSM pada kehadiran. Sebagian besar responden menyatakan bahwa BSM mendorong murid untuk menghadiri kelas-kelas serta memotivasi mereka untuk terus belajar. Namun, beberapa orang mengatakan kehadiran murid semata-mata tergantung pada dukungan dari orang tua mereka dan motivasi murid itu sendiri.

Gambar 36.Tingkat Kehadiran atau penerimaan yang rendah pada SMP Negeri 1 Mappi, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua

Pelajaran yang diambil

1. Ketidakpuasan dengan mekanisme BSM baru. Beberapa kepala sekolah menyatakan ketidakpuasan dengan mekanisme BSM baru dan lebih memilih model sebelumnya. Salah satu pokok menyarankan agar BSM dimasukkan dalam BOS karena sekolah sekarang memiliki pengalaman dan memahami prosedur pengelolaan BOS.

2. Kasus penyalahgunaan dana oleh sekolah dan PemerintahKabupaten. Kasus dilaporkan di Kabupaten Mappi dimana kepala sekolah mengumpulkan biaya manajemen sebesar Rp 60.000 - Rp 100.000 dari setiap penerima BSM. Seorang anggota staf dari Dinas Pendidikan mengatakan bahwa dana manajemen ini digunakan untuk membeli komputer. Kasus juga dilaporkan dari Dinas Pendidikan Kabupaten, dimana ditarik danaRp 50.000 - Rp 100.000 dari setiap penerima BSM. Survei ini tidak dapat menentukan seberapa luas penyebaran praktek ini.Namun telah dicatat bahwa praktek ilegal ini terus berlangsung di bawah model BSM yang baru.

3. Mekanisme penyaluran yang berbeda dianjurkan untuk berbagai tingkat pendidikan. Responden survei mencatat bahwa guru atau personil sekolah harus menemani murid yang lebih muda untuk mengumpulkan dana BSM. Hal ini menempatkan beban pada staf dan hasilnya menjadi membuang-buang waktu mengajar di kelas.Murid di kelas-kelas atas dapat menarik dana tanpa disertai oleh personil sekolah. Kesulitan utama diungkapkan oleh pemangku kepentingan yang tinggal jauh dari bank yang menyalurkan BSM. Mereka menganjurkan untuk menggunakan kantor pos untuk mencairkan dana BSM di daerah terpencil, sedangkan penggunaan bank di daerah perkotaan dapat diterima.

Gambar 37.SMP penerima BSM di SMP YPP Siloam, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat

4.4 Rangkuman dan Kesimpulan

Salah satu karakteristik utama dari wilayah Papua Barat - Papua adalah perbedaan persepsi dan sikap terhadap program BSM.Mereka yang menerima BSM tampaknya melihat program lebih menguntungkan daripada mereka yang tidak. Beberapa pemangku kepentingan mengatakan bahwa BSM meningkatkan kehadiran, sementara yang lain mengatakan tidak ada bedanya.Setiap murid di daerah pedesaan harus menerima BSM sedangkan alokasi untuk daerah perkotaan bisa lebih selektif.Pemangku kepentingan daerah pedesaan mempertimbangkan sistem penyaluran melalui bank tidak didukung mekanisme bank juga untuk daerah perkotaan.Ketegangan sosial dan perbedaan pendapat muncul tentang pembagian KPS dan pencalonan penerima BSM, karena sebagian diakibatkan karena kurangnya sosialisasi.

Penargetan.Responden survei memiliki perbedaan pandangan tentang kesesuaian penargetkan penerima manfaat BSM.Murid dan orang tua yang menerima BSM mengatakan bahwa penargetan BSM sudah tepat karena BSM ditargetkan kepada orang miskin.Namun, murid dan orang tua dari Kabupaten ini yang tidak atau belum menerima BSM memiliki pendapat yang berbeda.Mereka percaya bahwa mekanisme untuk mengusulkan penerima BSM tidak bertanggung jawab atau transparan dengan hasil bahwa murid dari tengah keluarga kelas atas masih diterima kedalam prioritas dalam alokasi penerima BSM.Persepsi ketidakadilan dalam mengalokasikan BSM telah menghilangkan kepercayaan orang tua pada sekolah-sekolah, dan dalam beberapa kasus ketegangan sosial telah muncul.Ketidakpuasan dengan kebijakan pemberian prioritas bagi BSM untuk keluarga yang memegang KPS diungkapkan karena beberapa responden khawatir tentang ketidakakuratan data KPS karena banyak keluarga dianggap miskin belum menerima KPS.Ada juga keluhan bahwa kuota untuk wilayah Papua tidak cukup karena sejumlah besar orang miskin di wilayah tersebut. Pemangku kepentingan lainnya di tiga wilayah yang akan disurvei menyatakan bahwa meskipun program BSM telah berjalan sejak tahun 2010, beberapa sekolah tidak pernah menerima BSM.Beberapa mengusulkan agar semua murid di daerah pedesaan menerima BSM sedangkan alokasi di daerah perkotaan bisa lebih selektif.

Kecukupan Dana BSM. Sebagian besar responden menyatakan bahwa dana yang dikucurkan kepada siswa, mereka gunakan untuk membayar biaya sekolah, membeli buku, seragam, dan sepatu,perlengkapan (buku tulis, pena, dll), uang saku (terutama untuk makanan ringan), dan transportasi.Beberapa murid menyumbangkan uang untuk biaya rumah tangga (membeli beras, sabun, dll).Ada beberapa kasus distribusi BSM yang tidak sah. Sebagai contoh di masa lalu beberapa sekolah mengumpulkan dana BSM dan dalam semangat”keadilan”, dana BSM tersebut dibagi diantara semua siswa, termasuk penerima non-BSM. Meskipun secara teknis tidak diperbolehkan,namun kepala SD YPPK Mur Mappi, Kabupaten Mappi

mengumpulkan dana BSM dan menyalurkan dana dalam bentuk seragam sekolah dan seragam pramuka, sementara pada SD YPPK Linggua, pihak sekolah menggunakan dana BSM untuk memberikan para murid sarapan, makanan sehat dan susu.Pemangku Kepentinganmerekomendasikan bahwa jumlah BSM untuk Papua ditambah menjadi tiga hingga empat kali jumlah yang dialokasikan di provinsi lain karena kebanyakan orang di Papua miskin dan biaya hidup sangat tinggi.

Dampak.Perbedaan terlihat sangat berbeda pada dampak BSM terkait pendaftaran, kehadiran, putus sekolah, dan prestasi akademik.Mayoritas murid dan orang tua yang menerima BSM bahwa murid lebih termotivasi untuk bersekolah dan memperhatikan lebih karena mereka tidak lagi khawatir tentang bagaimana untuk membayar biaya sekolah.Sedangkan murid penerima BSM menyatakan bahwa mereka tidak merasa rendah diri atau merasakan stigma karena datang dari keluarga miskin.Namun, beberapa guru melaporkan bahwa tampaknya tidak ada hubungan yang signifikan antara BSM dan peningkatan murid yang hadir.Misalnya, satu sekolah dasar belum mengadakan kelas selama tiga bulan, meskipun sebagian besar murid di sekolah ini menerima BSM.Sedangkan sekolah lain dimana tidak ada murid yang diterima dalam program BSM, kelas-kelasnya telah berjalan normal.Murid mengatakan bahwa kehadiran murni tergantung dukungan dari orang tua mereka dan motivasi murid itu sendiri.

Pelajaran.Kurangnya sosialisasi dan koordinasi Program BSM yang baru telah berdampak negatif terhadap dampak yang diinginkan.Salah satu dari banyak konsekuensi negatif akibat dari kurangnya sosialisasi mekanisme BSM yang baru adalah kurangnya koordinasi antara Dinas Pendidikan,Pemerintahan Desa dan sekolah.Akibatnya beberapa orang tua dan murid tidak menyadari bahwa KPS merupakan salah satu persyaratan untuk melamar BSM.Kasus ketegangan dan perpecahan sosial yang dilaporkan atas masalah ini.Kasus dilaporkan kepala sekolah dan Dinas Pendidikan mengumpulkan biaya manajemen ilegal sebesar Rp 50.000 - Rp 100.000 dari setiap penerima BSM.Survei ini tidak dapat menentukan seberapa luas penyebaran praktek ini.Telah dicatat bahwa praktek ilegal ini masih terus berlangsung di bawah model BSM yang baru.Namun, kasus-kasus ini lebih menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan kebijakan dalam pemantauan yang lebih baik dan pengenaan sanksi. Ketidakpuasan juga tercatat dalam praktek penyaluran dana BSM melalui bank yang tersebar luas, terutama di kalangan pemangku kepentingan yang tinggal di daerah pedesaan.Perjalanan dari dan ke bank yang mahal dalam hal biaya untuk transportasi dan waktu yang terbuang. Sejumlah pemangku kepentingan menganjurkan kembali ke sistem pencairan oleh kantor pos, sementara yang lain merekomendasikan bahwa dana BSM dapat dimasukkan kedalam dana BOS sehingga memungkinkan sekolah untuk menyediakan barang-barang yang tidak diperbolehkan oleh BSM.

Dokumen terkait