• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

4. Wilayah Perencanaan

Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapat sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang pada umumnya bersifat alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS sebagai kesatuan hidroorologis harus dikelola secara terpadu mulai dari hulu sampai hilir, karena perlakuan di hulu akan berakibat pada bagian hilir. Seringkali suatu DAS mencakup lebih dari satu wilayah administratif, oleh sebab itu perlu adanya koordinasi antar wilayah yang termasuk di dalam DAS tersebut dalam pengelolaannya.

Rencana Tata Ruang

Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, Perencanaan Tata Ruang sering disalahartikan sebagai suatu proses dimana perencanaan mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya (top–down process). Dalam paradigma perencanaan tata

ruang yang modern, perencanaan ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan me ngarahkan pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Sasaran utama perencanaan tata ruang dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (1) efisien, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3) keberlanjutan. Sasaran efisien merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable).

Rencana tata ruang digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah Propinsi, peta wilayah Kabupaten, dan peta wilayah Kota, yang tingkat ketelitiannya diatur dalam peraturan per undang-undangan. Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah (Maryudi dan Napitupulu 2001).

Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang dibedakan atas:

a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional untuk jangka waktu 25 tahun. b. Rencana Tata Ruang wilayah Proponsi untuk jangka waktu 15 tahun.

c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota jangka waktu 10 tahun. (saat ini sedang direvisi akibat berbagai perkembangan dan diberlakukannya undang-undang no. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dengan undang-undang 32/2004 mengenai Pemerintah Daerah).

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Nasional merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara. RTRW Nasional berisi:

a. Penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu yang ditetapkan secara nasional.

b. Norma dan kriteria pemanfaatan ruang. c. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.

RTRW Nasional menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor.

c. Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat. d. Penataan ruang wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota.

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi. RTRW Propinsi berisi:

a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu. c. Pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan,

perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya.

d. Pengembangan sistem pusat permukiman, perdesaan dan perkotaan.

e. Pengembangan sistem prasarana wilayah, meliputi transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan.

f. Pengembagan kawasan yang dipropritaskan.

g. Kebijakan tataguna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

RTRW Propinsi menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Propinsi serta keserasian antar sektor.

d. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan.

Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota

Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi ke dalam strategi pelaksanaan manfaat ruang wilayah Kabupaten/Kota. RTRW Kabupaten/Kota berisi:

a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan, dan kawasan tertentu.

c. Sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan.

d. Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan.

e. Penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

RTRW Kabupaten/Kota menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten/ Kota.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kota serta keserasian antar sektor.

c. Penetapan lokasi investasi, yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat di Kabupaten/Kota.

d. Penyusunan rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kota.

e. Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009)

Tujuan penyusunan RTRW Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000) adalah:

1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan linkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah.

2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan budidaya di perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan tertentu yang ada di daerah.

3. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia.

4. Terwujudnya masyarakat yang sejahtera.

5. Terwujudnya rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang serasi dan optimal sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung lingkungan serta sesuai pula dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah.

Sehubungan dengan pengembangan wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) maka RTRW Kabupaten Bogor memiliki kebijaksanaan Tiga fungsi, yakni: 1) Penyangga bagi DKI Jakarta, berupa pengembangan permukiman perkotaan sebagai bagian dalam sistem Metropolitan Jabotabek, 2) Konservasi, berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata air untuk Metropolitan Jabotabek, 3) Pengembangan pertanian khususnya hortikultura, sehubungan dengan perkembangan dan keunggulan yang telah ada, yang selanjutnya makin dipacu.

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000)

Penetapan kawasan lindung didasarkan atas pola topografi, jenis tanah, pola aliran air (hidrologi), pemanfaatan lahan yang ada, serta berbagai penetapan kawasan lindung. Khusus kawasan lindung berskala luas diperoleh suatu pola bahwa kawasan lindung dimaksud terletak di kawasan hulu yaitu bagian selatan wilayah Kabupaten Bogor (yang merupakan hulu mayor/utama). Berdasarkan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, maka bentuk kawasan lindung mencakup hutan lindung dan hutan suaka alam/taman nasional. Sementara untuk kawasan hulu minor (Kompleks Gunung Manceuri, dan Kompleks Gunung Hambalang) arahan pemanfaatan adalah budidaya terbatas, yaitu terutama berupa hutan produksi. Bentuk-bentuk kawasan lindung lainnya adalah kawasan perlindungan setempat (sempadan sungai, sempadan situ/danau), kawasan cagar budaya, dan kawasan bencana alam.

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000)

1. Kawasan Hutan Produksi

Kawasan hutan produksi selain mempunyai fungsi produksi juga berperan sebagai pendukung untuk konservasi.

2. Kawasan Pertanian

a. Kawasan pertanian lahan basah (sawah dan tambak).

b. Kawasan pertanian lahan kering (kebun campuran dan tegalan).

c. Kawasan tanaman tahunan/perkebunan (selain berfungsi produksi diharapkan juga sebagai pendukung konservasi).

3. Kawasan Pertambangan

Kawasan ini sangat terkait dengan deposit bahan tambang yang dieksploitasi. Bentuknya mencakup bahan galian C, dan Emas (di Gunung Pongkor).

4. Kawasan Peruntukan Industri

Secara umum peruntukan industri mencakup industri mengelompok (konsentrasi) dan menyebar (sporadis). Arahan konsentrasi industri adalah mengikuti konsentrasi industri yang telah ada, seperti di Kecamatan Citeureup, Cileungsi, dan Gunung Putri. Sementara yang tersebar tapi cenderung agak berdekatan terdapat di Kecamatan Cibinong dan Sukaraja.

5. Kawasan Pariwisata

Arahan pengembangan kawasan pariwisata terkait dengan pengembangan kegiatan periwisata yang ada dewasa ini dan pengembangan kawasan yang baru. Kawasan ini diarahkan pada wilayah Kecamatan Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Pamijahan, Ciomas, Cibungbulang, dan Ciampea.

6. Kawasan Permukiman

Kawasan permukiman terdiri atas permukiman perkotaan dan perdesaan. Secara prinsip permukiman perkotaan dominan non pertanian, sementara kawasan perdesaan dominan kegiatan pertanian.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (Tahun 1999-2009)

Tujuan penyusunan RTRW Kota Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor 2000) adalah:

1. Meningkatkan fungsi dan peranan Kota Bogor dalam konteks dan konstelasi regional serta mampu berfungsi sebagai sub pusat dalam sistem pengembangan regional (Tingkat Provinsi dan Jabotabek).

2. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya, yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang kota. 3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan, dengan mengembangkan

fasilitas, sarana maupun prasarana yang merupakan upaya pemanfaatan ruang secara optimal. Hal ini tercermin dalam penentuan jenjang pelayanan kegiatan-kegiatan kota dan sistem jaringan jalan kota.

4. Memberikan kepastian hukum dalam hal pemanfaatan ruang yang merangsang partisipasi investor dalam mengembangkan potensi yang ada.

5. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya pengendalian, pengawasan perencanaan pembangunan fisik kota baik kualitas maupun kuantitasnya.

6. Membantu penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota disetiap kecamatan untuk dijadikan pedoman bagi tertib pengaturan ruang.

Sebagai bagian yang integral dalam wilayah Jabotabek maka Kota Bogor diarahkan sebagai: (1) Kota yang difungsikan sebagai Counter Magnet bagi perkembangan DKI Jakarta, (2) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dengan kegiatan utama perdagangan regional, jasa, permukiman dan industri dengan kapasitas tampung mencapai 1.5 juta jiwa pada tahun 2005, dan (3) Kota yang dapat membantu DKI Jakarta dalam pengendalian banjir melalui pembangunan sodetan Ciliwung–Cisadane.

Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor 2000)

Secara umum rencana penggunaan lahan Kota Bogor diklasifikasikan menjadi Kawasan Lahan Terbangun, Kawasan Belum Terbangun dan Kawasan Lahan yang Tidak Boleh Dibangun atau Lahan Konservasi.

1. Kawasan Lahan Terbangun

perkantoran/pemerintahan, rumah potong hewan/pasar hewan, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), terminal/sub-terminal dan stasiun kereta api serta jalan.

2. Kawasan Lahan Belum Terbangun

Kawasan lahan belum terbangun terdiri dari jenis pemanfaatan lahan pertanian dan kebun campuran.

3. Kawasan Lahan Tidak Boleh Dibangun/Lahan Konservasi

Kawasan konservasi terdiri dari kebun raya, hutan kota, taman dan jalur hijau, kawasan hijau, lapangan olah raga, daerah aliran sungai serta situ-situ alami maupun buatan.

Land Rent

Land rent dapat diartikan sebagai pendapatan bersih yang diterima suatu bidang lahan per satuan luas dalam waktu tertentu sebagai akibat dilakukannya kegiatan ekonomi pada lahan tersebut. Land rent umumnya bervariasi menurut kondisi fisik dan aktivitas sosial ekonomi pada lahan tersebut. Kondisi fisik lahan seperti topografi, jenis tanah, vegetasi, iklim dan lain-lain merupakan faktor -faktor pembatas dalam menentukan aktivitas pemanfaatan suatu lahan untuk tujuan produksi. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk dan tingginya interaksi spasial antar wilayah merupakan bagian dari faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap land rent.

Land rent dapat dibedakan menjadi ricardian rent, location rent, dan environment rent. Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, ricardian rent adalah rent yang timbul sebagai akibat dari kualitas dan daya dukung fisik (faktor intrinsik) lahan. Nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan seperti kesuburan dan topografi merupakan keunggulan produktifitas dari lahan lain. Location rent adalah rent atau surplus yang timbul sebagai akibat lokasi/jarak suatu lahan relatif terhadap suatu kegiatan tertentu (konsep Charles Trobout). Environmental rent adalah rent yang timbul karena pada dasarnya setiap bidang lahan mempunyai fungsi ekologis. Jika penggunaan lahan tersebut mengganggu fungsi ekologis, maka akan terjadi biaya sosial yang ditanggung oleh orang lain. Misalnya salah satu persyaratan tata kota yang baik adalah suplai air, karena itu intensitas penutupan vegetasi lahan di daerah peresapan air harus tinggi untuk meningkatkan penyerapan air, karena jika faktor -faktor lain tetap, maka peresapan air tergantung pada intensitas penutupan vegetasi.

Penutupan dan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini. Penggunaan lahan secara umum (major kinds of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survai tinjau (reconnaissance) (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001).

Saefulhakim (1994) mengemukakan, bahwa lahan terkait dengan karakteristik fisik lahan seperti kemiringan (slope), pola drainase, resiko banjir, bencana erosi, lokasi, dan tempat tumbuh tanaman. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan manusia di masa lalu maupun di masa kini.

Penutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use) merupakan dua istilah yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang kondisi permukaan bumi. Menurut Marsh (1991) diacu dalam Saefulhakim (1994), penutupan lahan diartikan sebagai bahan-bahan dari vegetasi dan fondasi yang menutup tanah, sedangkan penggunaan lahan (land use) dianalogkan dengan aktivitas manusia di atas lahan dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Disamping itu, penggunaan lahan dapat pula diartikan sebagai aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah pertanian, industri dan permukiman.

Arsyad (2000) mengemukakan, bahwa penggunaan lahan diartikan sebagai bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian itu sendiri dibedakan berdasarkan penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan lahan

seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya.

Menurut Saefulhakim dan Nasoetion (1995), penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks.

Rustiadi et al. (2005) mengemukakan bahwa penutupan lahan dan penggunaan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, namun sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik, sedangkan penggunaan lahan (land use) menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan oleh manusia.

Istilah pemanfaatan lahan (ruang) dan penggunaan lahan sering juga memiliki pengertian yang saling dipertukarkan. Istilah penggunaan lahan didasarkan atas pertimbangan efektifitas atau kemampuan/kesesuaian lahan. Sedangkan istilah pemanfaatan ruang le bih didasarkan atas pertimbangan efisiensi atau berhubungan dengan keuntungan, jadi pemanfaatan ruang bisa dilakukan untuk suatu aktifitas produksi yang sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan dan bisa juga tidak sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan.

Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan dapat di artikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Menurut Saefulhakim (1999) secara umum struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: (1) struktur permintaan atau kebutuhan lahan, (2) struktur penawaran atau ketersediaan lahan, dan (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktifitas sumber daya alam.

Secara umum, struktur permintaan atau kebutuhan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yakni: (1) deforestasi baik ke arah pertanian maupun non-pertanian, (2) konversi lahan pertanian ke non-pertanian, (3) penelantaran lahan. Aspek permintaan lahan memiliki keterkaitan dengan kebijakan dan program pemerintah untuk meningkatkan efisiensi sosial ekonomi, industri dan kelembagaan, penurunan tingkah laku spekulatif dan pengontrolan peningkatan jumlah penduduk.

Penawaran sumberdaya lahan/ketersediaan lahan memiliki keterbatasan yakni luasan permukaan yang tetap dan kualitas lahan yang bervariasi serta penyebarannya secara spasial tidak merata, hal tersebut menyebabkan penawaran penggunaan lahan bersifat inelastik terhadap besarnya permintaan akan lahan. Hal lain yang juga berpengaruh terhadap penawaran sumberdaya lahan adalah penggunaan lahan saat ini. Penggunaan lahan untuk permukiman, industri dan fasilitas sosial ekonomi memiliki elastisitas yang rendah untuk berubah. Sedangkan penggunaan lahan untuk pertanian, kehutanan dan perkebunan memiliki elastisitas yang lebih tinggi untuk berubah ke penggunaan lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan efisiensi dalam penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan untuk permukiman dan fasilitas sosial memiliki efisiensi lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan pertanian dan kehutanan.

Struktur penguasaan teknologi berkaitan langsung dengan produktivitas lahan. Penggunaan teknologi yang tepat dan benar akan memberikan manfaat atau produksi yang maksimum. Produktivitas lahan dengan teknologi yang tepat akan mampu menurunkan ketergantungan terhadap ekstensifikasi usahatani dan upaya meningkatkan produksi pertanian.

Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, serta (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah di atas memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang parsial namun memerlukan pendekatan-pendekatan yang integratif (Rustiadi et al. 2005).

Klasifikasi Penutupan Lahan

Kondisi penutupan lahan dapat berbeda dari satu lokasi ke lokasi yang lain dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Salah satu upaya untuk mengenali/membedakan kondisi te rsebut guna mengetahui perubahan yang terjadi adalah dengan melakukan klasifikasi yang umumnya disesuaikan dengan kebutuhan.

Penutupan lahan di kawasan Jabotabek dapat diklasifikasikan menjadi 5 klasifikasi penutupan lahan (Lembaga Penelitian IPB 2002), yakni: Badan air, Hutan dan Vegetasi Lebat, Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB), dan Tanaman Pertanian

Lahan Kering (TPLK). Badan Air merupakan area penutupan lahan berupa air yang memiliki fungsi utama konservasi. Hutan dan vegetasi lebat merupakan area penutupan lahan berupa vegetasi dengan tajuk rapat, dan memiliki kemampuan daya resap air hujan serta tidak memiliki bentuk/pola tertentu. TPLB merupakan penutupan lahan berupa vegetasi/air yang memiliki fungsi utama budidaya dan memiliki bentuk dengan pola tertentu serta teridentifikasi sebagai sawah/tambak. TPLK merupakan area penutupan lahan berupa vegetasi tidak rapat yang memiliki fungsi utama budidaya dan memiliki bentuk/pola tertentu serta teridentifikasi sebagai tegal, kebun campuran, rumput semak, belukar.

Sistem Informasi Geografi (SIG)

SIG adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup (a) pemasukan, (b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi), (c) manipulasi dan analisis, (d) pengembangan produk dan pencetakan (Aronof 1989 diacu dalam Barus dan Wiradisastra 2000). Definisi lain mengatakan, SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisa informasi-informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi (Demers 1997 diacu dalam Prahasta 2002).

Komponen SIG

SIG di dalam prosesnya memiliki beberapa komponen utama (Prahasta 2002), yakni:

a. Data Input

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dar i berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.

b. Data Output

Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti: tabel, grafik, peta, dan lain lain.

c. Data Management

Subsistem ini mengorganisasikan ba ik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit.

d. Data Manipulation dan Analysis

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Fungsi Analisis

Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis, yakni: fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut (Prahasta 2002).

Dokumen terkait