• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yang Diakrabkan Iman

Dalam dokumen DalamDekapanUkhuwah (Halaman 196-200)

sebab pikiran punya jalan nalarnya masing-masing maka terkadang mereka bertemu atau berpapasan sesekali bersilangan, berhimpitan, bahkan bertabrakan syukurlah kita punya ruh-ruh, yang diakrabkan iman

KUakan bermubahalah dengannya!”

Ibnu ‘Abbas tak pernah bercanda dengan kata-katanya. Dan dengan kalimat yang baru saja kita baca, dia menegaskan bahwa beda pendapatnya dengan Zaid ibn Tsabit tak main-main. Ini soal waris. Ibnu ‘Abbas menyepakati pendapat bahwa kakek menjadi penghalang waris bagi saudara mayit sebab kakek menilai dengan bapak. Sebaliknyalah, Zaid ibn Tsabit menyatakan bahwa kakek tak menjadi penghalang.

“Apakah Zaid tidak takut kepada Allloh?” ujar Ibnu ‘Abbas di majelisnya, “Dia jadikan cucu lelaki semisal anak lelaki tetapi kakek tak dianggapnya semisal bapak? Demi Alloh, aku ingin sekali bertemu dengan mereka yang berbeda pendapat denganku dalam perkara waris ini lalu kami sama-sama meletakkan tangan pada sebuah tiang dan bermubahalah, agar laknat Alloh ditimpakan pada dia yang berdusta!”

Dari riwayat ini kita temukan keteguhan Ibnu ‘Abbas pada pendapatnya. Juga kita bisa seksamai betapa tajam hardikannya pada Zaid ibn Tsabit yang berselisih dan dianggap tak konsisten. Tetapi pada suatu hari, Madinah menyaksikan sebuah pemandangan yang menakjubkan. Itu di sana ada Zaid ibn Tsabit menunggang bighol-nya. Dan lihatlah itu siapa yang menuntun kekangnya? Ibnu ‘Abbas!

“Tak usahlah demikian, duhai sepupu Rosululloh!” ujar Zaid dari atas pelana. Dia tampak tak enak hati.

Ibnu ‘Abbas tersenyum. “Demikian kami diperintahkan kepada ulama-ulama kami,” ujarnya tulus.

“Sekarang, coba tunjukkan tanganmu, duhai putra paman Nabi!” pinta Zaid. Ibnu ‘Abbas agak heran dengan permintaan ini. Tetapi diturutinya juga kata-kata lelaki yang pernah menjadi penulis kepercayaan Nabi itu. Saat itulah, ketika ‘Abdulloh ibn ‘Abbas mengulurkan tangan kanannya, Zaid ibn Tsabit segera meraihnya. Dia menggenggam telapak tangan Ibnu ‘Abbas dengan sangat ta’zhim, lalu mencium dan mengecupnya.

“apa ini, wahai sahabat akrab Rosululloh?” pekik Ibnu ‘Abbas. “Demikianlah kami diperintahkan,” tukas Zaid sambil tersenyum, “Kepada ahli bait Nabi kami.”

Sejak beberapa dasawarsa ini, kita semakin tahu bahwa kecerdasan bukanlah jalan utama penentu kesuksesan. Daniel Goleman memberikan sebuah penjelasan masuk akal bagi kita, bahwa kesuksesan terkait langsung dengan jalinan hubungan yang kita bangun dengan sesama, bukan pada seberapa pintarnya otak kita. “Ini soal kecerdasan emosional,” tegas Goleman. Tetapi tentu saja, dalam dekapan ukhuwah kita tak semata bicara soal kesuksesan. Dalam dekapan ukhuwah, kita bahkan menyatakan bahwa kesuksesan terletak pada hubungan yang didasari cinta karena Alloh.

Tetapi betulkah asumsi liar yang selama ini berkembang, bahwa kecerdasan menjadi penghalang bagi kemampuan berhubungan dengan sesama? Mari meninjaunya sejenak. Malcolm Gladwell dalam karya apiknya Outliers, mengetengahkan perbandingan dua orang dengan IQ amat tinggi dan dianggap jenius oleh generasinya. Mereka adalah Christopher Langan dan J. Robert Oppenheimer.

Chris Langan, seperti dituturkan adiknya Jeff, mencengangkan karena berdasar tes super IQ, pencapaian terlalu tinggi untuk bisa diukur secara akurat. “Salah satu contoh soal yang diciptakan Ronald K. Hoeflin untuk tes ini,” tulis Gladwell, “Adalah pertanyaan berbu-nyi ‘Teeth is to hen, as nest is to?’ untuk bagian Analogi Verbal. Mau tahu jawabannya?

“Sayangnya,” kata Gladwell, “Saya juga tidak tahu.”

Mulai bicara pada usia 6 bulan, di sekolah Chris Langan bisa mengikuti ujian bahasa-bahasa asing tanpa mengikuti kelasnya. Dia hanya perlu 2-3 menit untuk membaca buku teks suatu mata pelajaran lalu mengikuti ujiannya dengan nilai sempurna. Di usia 16 tahun, dia telah mampu menguraikan pemahaman atas karya Alfred North Whitehead dan Bertrand Russel yang terkenal rumit, Principia

Mathematica. Dia mendapatkan nilai sempurna dalam ujian SAT,

meski tertidur lama saat ujian berlangsung.

Chris Langan berasal dari sebuah keluarga kelas bawah Amerika. Beribukan pekerja kasar yang diasingkan dari keluarga dan tak terlalu perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Ayah tirinya ―karena sang ibu punya empat anak dari empat lelaki berbeda― pemabuk berat yang suka menghajar anak-anaknya. Di tengah perkuliahan, Ibu Chris Langan terlambat mengurus formulir beasiswanya. Maka beasiswanya dibatalkan.

Chris Langan yang notabene punya banyak kekecewaan terhadap cara ajar dosen dan sistem perkuliahan yang seolah sama sekali tak menghargai kecerdasannya, memutuskan untuk keluar dari kampus. Dia menjadi buruh konstruksi, awak kapal penangkap kerang, dan yang akhirnya sebagai tukang pukul sebuah bar. Di saat bersamaan dia terus menenggelamkan dirinya dalam filsafat, matematika, dan fisika serta mempersiapkan sebuah risalah akbar berjudul ‘Cognitive-Theoretic Model of The Universe’.

Tentu saja, dia tak pernah menerbitkan jurnal ilmiah itu tersebab ada keyakinan dalam dirinya, “Siapa yang mau mendengar-kan seorang pria putus kuliah? Editor dan penerbit pasti berkata: Jika hanya satu setengah tahun di Universitas, bagaimana bisa dia tahu tentang apa yang ditulisnya?”

“Penjelasan Chris Langan ini,” tulis Gladwell dalam analisis-nya, “Memilukan sekaligus membuat dahi berkernyit.” Ada yang aneh dari ceritanya. Ibunya lupa tandatangan―seperti juga banyak ibu lain―dan beasiswa itu ditarik begitu saja. Dia mencoba pindah dari kelas pagi ke kelas sore―seperti dilakukan ribuan siswa lainnya―agar bis amenumpang tetangganya sebab dia tak punya mobil. Tapi itu ditolak oleh manajemen kampus. Seakan-akan Reed dan Montana State University, tempatnya kuliah, adalah sebuah sistem birokrasi kaku tanpa toleransi sama sekali.

“Padahal faktanya,” ujar Gladwell, “Di kedua perguruan tinggi ini, membuat kelonggaran untuk menolong mahasiswa agar bisa terus berkuliah adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh para profesor.” Jawaban Chris Langan saat diandaikan Harvard menawarinya pekerjaan juga membuat Malcolm Gladwell tercengang. “Ketika kita menerima dana dari orang-orang semacam itu,” ujar Langan, “Suatu saat kita harus memutuskan antara apa yang ingin kita lakukan dan apa yang kita rasa benar dengan apa yang menurut orang lain harus kita lakukan agar kita mendapat dana lagi.”

“Apa?” seru Gladwell. “Langan telah memutarbalikkan fakta tentang Harvard! Di negeri ini, salah satu alasan mengapa profesor dan peneliti di universitas menerima gaji lebih kecil daripada mereka yang bekerja di perusahaan swasta adalah sebab kehidupan universitas memberi mereka kebebasan untuk melakukan apapun yang mereka inginkan dan apapun yang mereka rasa benar.”

Kita beralih ke sosok jenius yang satu lagi. Seperti Langan, di usia mudanya, J. Robert Oppenheimer juga punya masalah yang sangat serius. Tetapi kita tahu, sejarah punya cerita yang berbeda untuknya. Dia tertakdir menjadi pemimpin dari Manhattan Project, proyek riset paling prestisius yang dibentuk pemerintahan AS sepanjang abad kemarin untuk mengembangkan nuklir dan bom atom.

Oppenheimer telah melakukan berbagai eksperimen di laboratorium saat masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. “Dia,” ujar salah seorang gurunya, “Menerima segala ide baru sebagai

sesuatu yang indah.” Saat berusia sembilan tahun, dia menantang sepupunya, “Ajukan pertanyaan padaku dalam Bahasa Latin, dan aku akan menjawabnya dalam Bahasa Yunani.”

Saat berusia dua belas tahun, dia berkorespondensi dengan para geolog untuk membahas formasi bebatuan di Central Park. Akhirnya, dia diundang untuk memberi presentasi di hadapan klub―tentu saja dengan naik mimbar yang di bawahnya harus dipasangi peti penopang agar wajahnya terlihat hadirin―dan mendapatkan sambutan yang sangat meriah.

Oppenheimer lalu masuk Harvard, kemudian lanjut ke University of Cambridge untuk mengejar gelar doktor di bidang Fisika. Di sinilah, di Cambridge, dia dilanda putus asa dan depresi berat. Kesukaan Oppenheimer dan kemampuan terbaiknya adalah Fisika Teori, namun Patrick Blackett, dosen pembimbingnya, memaksanya menghadiri kuliah-kuliah Fisika Lingkungan yang sangat dibencinya. Dalam frustasi, dia masuk ke Laboratorium Kimia, dan meramu racun untuk dosennya. Ramuan itu benar-benar mematikan dan siap mencabut nyawa Blackett.

Untungnya, Oppenheimer gagal!

Untuk kita ingat kembali: Ibu Chris Langan lupa mengirimkan formulir beasiswa, maka biaya fasilitas pendidikan untuknya dicabut. Dia ingin pindah jadwal dari kelas pagi ke kelas sore, dan permohonannya ditolak. Nah, apa yang terjadi pada Oppenheimer yang nyaris membunuh dosennya?

Chris Langan mungkin sudah masuk penjara jika melakukan hal yang sama. Tetapi Oppenheimer hanya diminta menjalani masa percobaan dan kampus memfasilitasinya untuk menemui seorang Psikiater terkenal di Harley Street, London.

Cerita dipilihnya Oppenheimer sebagai pimpinan dari manhattan Project, dua puluh tahun kemudian semakin memper-tajam beda di antara mereka. “Bagaimana mungkin Leslie Groves, sang penyeleksi, memilihnya,” ujar seorang kawan, “Padahal Oppenheimer masih begitu muda dibandingkan para pakar yang harus dia pimpin, tanpa pengalaman lapangan, tidak praktis, dan

Dalam dokumen DalamDekapanUkhuwah (Halaman 196-200)