• Tidak ada hasil yang ditemukan

YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

D. Pengertian Perbatasan Negara

Dalam memahami manajemen wilayah perbatasan negara secara utuh, tentunya juga diperlukan pemahaman yang memadai mengenai apa yang dimaksud dengan perbatasan negara. Pada awalnya, perbatasan adalah konsep geografis-spasial. Ia baru menjadi konsep sosial ketika kita berbicara tentang masyarakat yang menghuni atau melintasi daerah perbatasan. Sebagai konsep geografis, masalah perbatasan telah selesai ketika kedua negara yang memiliki wilayah perbatasan yang sama menyepakati batas-batas wilayah negaranya. Permasalahan justru muncul ketika perbatasan dilihat dari perspektif sosial, karena sejak itulah batasan-batasan yang bersifat konvensional mencair.

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.

Wilayah perbatasan negara dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu perbatasan darat, laut dan udara. Berikut ini dijabarkan mengenai pengertian dari masing-masing bentuk perbatasan. 92

      

1. Perbatasan Darat

Perbatasan darat adalah tempat kedudukan titik-titik atau garis-garis batas yang memisahkan daratan atau bagiannya ke dalam dua atau lebih wilayah kekuasaan yang berbeda. Perbatasan mempunyai sifat ganda, artinya bahwa garis batas tersebut mengikat kedua belah pihak pada sebelah menyebelah perbatasan tersebut. Jadi apabila terjadi perubahan pada satu pihak, akan menimbulkan perubahan pada pihak lain, demikian pula hak-haknya (Hak bersama/Res communis).

2. Perbatasan Laut

Sama halnya dengan perbatasan darat, perbatasan laut merupakan tempat kedudukan titik-titik koordinat atau garis-garis batas yang memisahkan perairan (laut) ke dalam dua atau lebih wilayah kekuasaan yang berbeda. Batas wilayah laut teritorial suatu negara sudah diatur melalui pranata-pranata hukum laut yang telah disepakati secara internasional, seperti laut teritorial, perairan pedalaman, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen. Pranata-pranata hukum tersebut diperoleh berdasarkan konvensi-konvensi mengenai hukum laut yang dilakukan secara internasional. Seperti Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982. Meskipun tidak semua negara menghadiri konvensi-konvensi tersebut, banyak negara di dunia yang dapat menerima hasilnya dan menjadikannya sebagai pedoman dalam menentukan batas wilayah lautnya.

3. Perbatasan Udara

Ruang udara yang merupakan bagian wilayah negara adalah ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah daratan dan di atas wilayah perairan. Batas wilayah udara suatu negara terletak di batas terluar dari laut teritorialnya.

Dengan demikian mencakup udara di atas wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Sedangkan mengenai batas luar dari ruang udara yang merupakan bagian dari wilayah negara, hingga saat ini belum ada kesepakatan secara internasional.

Pada dasarnya ketika kita berbicara mengenai wilayah perbatasan negara, terdapat dua aspek penting yaitu penetapan batas fisik wilayah negara dan manajemen (pengelolaan) wilayah negara itu sendiri. Permasalahan-permasalahan yang muncul seputar wilayah perbatasan negara mencakup kedua aspek tadi.

Selama ini penanganan wilayah perbatasan Indonesia, dirasakan oleh banyak pihak masih jauh dari memadai. Dari segi penegasan batas wilayah negara (khususnya laut), masih belum disepakatinya batas laut di beberapa perairan Indonesia yang berbatasan dengan negara lain dapat menimbulkan potensi masalah di kemudian hari. Hal ini tentunya berdampak pada hubungan bileteral antara Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan wilayah menjadi kurang harmonis, dan yang paling penting adalah terjadinya pelanggaran-pelanggaran kedaulatan wilayah Indonesia. Kasus-kasus seperti illegal loging, penggeseran patok batas wilayah, penyelundupan, kondisi keamanan yang rawan konflik, pencurian ikan oleh kapal-kapal asing merupakan beberapa contoh kasus yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia.

Permasalahan yang cukup menonjol dan sangat menarik perhatian kita akhir-akhir ini adalah berbagai pelanggaran kedaulatan atas wilayah negara, klaim sepihak terhadap kepemilikan sumberdaya alam/pulau/wilayah teritorial satu negara oleh negara lain, berbagai pelanggaran HAM di wilayah perbatasan

(seperti trafficking in person atau yang lebih dikenal dengan istilah perdagangan manusia), berbagai tindak pidana/kriminal di perbatasan (illegal logging, arm smuggling, illegal fishing), ancaman terorisme, dan lain sebagainya.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih rawannya wilayah perbatasan antarnegara terhadap berbagai permasalahan yang bersifat multidimensi. Belum jelasnya penetapan batas wilayah antar negara merupakan salah satu pemicu bagi munculnya permasalahan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, pemahaman terhadap konsepsi negara, wilayah negara maupun batas wilayah merupakan langkah awal bagi terciptanya pemahaman yang komprehensif terhadap arti penting wilayah perbatasan negara, terutama bagi terciptanya situasi yang kondusif bagi kedaulatan dan integritas wilayah suatu negara.

Berkaitan dengan perbatasan antarnegara, hukum internasional memberikan kontribusi yang cukup penting, terutama dalam pelaksanaan perundingan dan penandatanganan persetujuan atau perjanjian perbatasan antarnegara. Hukum internasional secara jelas dan tegas memberikan batasan tentang pemanfaatan sementara wilayah perbatasan antarnegara, tanpa harus mempengaruhi klaim oleh para pihak. Hal ini dapat terjadi, terlepas dari fakta bahwa para pihak masih belum menyepakati garis batas tersebut.

Persetujuan atau perjanjian perbatasan di wilayah darat maupun di wilayah laut (batas maritim) yang telah disepakati dengan negara tetangga secara tidak langsung merupakan bukti pengakuan kedaulatan negara atas wilayahnya, akan tetapi kesepakatan tersebut seyogyanya perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian, sedangkan yang sudah disepakati agar diratifikasi dalam bentuk undang-undang,

hal ini pada dasarnya untuk mempermudah bagi para pihak sekiranya terjadi perbedaan penafsiran terhadap pelaksanaan persetujuan atau perjanjian tersebut.

E. Yurisdiksi Berkaitan dengan Pesawat Udara

Salah satu akibat meningkatnya volume, jangkauan dan frekuensi lalu lintas udara internasional, yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah negara dinama pesawat uadara perusahaan penebangan didaftarkan telah menimbulkan peningkatan persoalan yurisdiksi yang pelit berkaitan dengan tindak pidana yang dilakkan di dalam pesawat uadara dalam penerbangan. Apabila hal ini belum cukup, perkembangan lain telah menjadi ancaman besar terhadap keselamatan dan kepecayaan terhadap penerbangan sipil internasional karena meningkatnya peristiwa pembajakan dan tindakkan terorisme terhadap pesawat yang akan tinggal landas.93

Upaya penting pertama untuk menanggulangi persoalan ini dilakukan oleh konvensi Tokyo 14 September 1963, tentang tindak pidana dan tindakan lain tertentu yang dilakukan dalam pesawat udara. Tujuan-tujuan utama konvensi tersebut adalah :94

1. Untuk menjamin bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan di dalam pesawat udara dalam penerbangan, yang membahayakan keselamatan penerbangan tidak akan terlepas dari penghukuman hanya karena tidak ada Negara yang dianggap memliki yurisfiksi untuk menangkap mereka.

      

93

http://ujangnaser.wordpress.com/2009/01/05/yurisdiksi/diakses tanggal 1 Oktober 2013

2. Untuk tujuan perlindungan dan disipliner, untuk memberikan kewenangan dan kekuasaan khusus, pada komandan pesawat udara, para anggota awak pesawat dan juga kepada para penumpang.

Konvensi Tokyo itu memuat ketentuan rinci yang berlaku terhadap tujuan dan memungkinkan komandan pesawat udara untuk menurunkan pelaku serta jika perlu menyertakan kepada otoritas yang berwenang dari Negara peserta konvensi . namun ketentuan it tidak berlaku dalam ruang udara yang bersangkutan dan berlaku terhadap penerbangan melintasi laut lepas di kawasan suatu Negara hanya : titik akhir landas dalam wilayah suatu Negara yang bukan Negara tempat pendaftaran, atau pesawar udara selanjutnya terbang ke dalam ruang udara suatu Negara yang bukan tenpat pendaftarannya, dengan pelaku dalam pesawat. Berkenaan dengan pembajakan peswat udara, cukuplah mengatakan bahwa konvessi Tokyo tidak menghadapi tindak pidana ini secara langsung, tetapi hanya menanganinya dengan cara terbatas terhadap pelaku pembajakan, misalnya dengan memungkinkan para pembajak ditahan atau diamankan dengan cara yang sama seperti terhadap pelaku-pelaku tindak pidana lain dan dengan pengembalian kontrol.

F. Status Yurisdiksi Ruang Udara

1. Wilayah Udara Nasional

Pasal 1 konvensi paris 1919 secara tegas menyatakan : Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara ang terdapat di atas wilayah. Konvensi Chicago 1944

mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam konvensi paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh Pasal 2 konvensi jenewa mengenai laut wilayah dan oleh Pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang hukum laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritime. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah Negara,yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu Negara.

Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamatan atas pesawat-pesawat udara merupakan aspek sangat penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat oleh Negara-negara. Demikianlah untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, Negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional di bidang kerja sama pengawasan ataupun keamanan.

2. Ruang Udara Internasional

Kedaulatan teritorial suatu Negara berhenti pada batas-batas luar dari laut wilayahnya. Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat diatas laut lepas atau zona-zona dimana Negara-negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat seperti atas landas kontinen. Atas alasan keamanan, status kebebasan yang berlaku dilaut lepas tidak pula mungkin bersifat absolute. Pasal 12 konvensi Chicago dengan alasan keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas

laut lepas ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh ICAO sehubungan dengan penerbangan dan maneuver pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari konvensi.

Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan pengaturan oleh ICAO terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawat-pesawat udara public walaupun majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara pihak untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan-ketentuan yang juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat public yaitu ketentuan-ketentuan udara seperti yang terdapat dalam annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai wewenang pelaksanaan, kepada masing-masing pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara yang mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada diatas laut lepas atau zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku (Pasal 12 konvensi).95

Selain wilayah darat dan laut, sebuah negara juga memiliki yurisdiksi wilayah udara sebagai klaim teritorial atas ruang udara diatasnya. Dalam hubungannya dengan ruang udara sebagai salah saatu unsur wilayah dalam suatu negara, Pasal 1 Konvensi Paris 1919 menyatakan “Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiapo negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat diatas wilayahnya“. Konvensi Chicago 1944 menghambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919.

      

95 http://eezcyank.blogspot.com/2011/01/hukum‐internasional‐hukum‐udara‐dan.html, 

Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.

Hal ini juga dinyatakan dalam pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 sebagaimana telah disinggung didepan. Ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang di atas wilayah negara, yang disamakan denagan prinsip hak lintas damai (right of passage innocent) di perairan nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara diselat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibatnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang diatas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara yang berada dibawahnya hal ini sering terjadi diatas wilayah udara Indonesia bagian timer oleh pesawat-udara asing terutama setelah bagian kedua tahun 1999.96

Masalah penagwasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pewasat udara merupakan aspek sangat penting dalam pengaturan hukum yang dibuat oleh negara-negara. Demikianlah, untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, negaranegara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral ataui regional dibidang kerjasama pengawasan       

96 http://www.negarahukum.com/hukum/ruang‐udara.html, diakses tanggal 1 Oktober 

ataupun keamanan. Sebagai contoh kerjasama ini adalah Konvensi 13 Desember 1960 di mana sejumlah negara Eropa menyerahkan penanganan masalah-masalah ini kepada Organisasi Eropa untuk Keamanan Navigasi Udara (Eurocontrol) yang direvisi pada tanggal 1981.

Disamping itu, dalam lalulintas udara internasional sering pula terjadi pelanggaran kedaulatan udara suatu negara oleh pesawat-pesawat sipil maupun militer. Dalm hal ini negara yang kedaulatan udaranya dilanggar dapat menyergap pesawat asing tersebut dan diminta untuk mendarat. Sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara yang kedaulatannya telah dilanggar tidak dapat menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil harus bersikap bijaksana dan tidak membahayakan nyawa para penumpang yang ada dalam pesawat. Ketentuan ini yang mengakomodasikan kedaulatan teritorial negara dan konsiderasi-konsiderasi kemanusiaan yang mendasar dan harus berlaku bagi semua orang, diingatkan dan ditegaskan oleh Protokol Montreal 1983 yang memuat amandemen terhadap Pasal 3 Konvensi Chicago dan diterima pada tanggal 10 Mei 1984, sebagai akibat dari peristiwa penembakan pesawat Boeing 747 Korean Airlines 1 September 1983

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta sekaligus merupakan jawaban pada permasalahan yang penulis buat, yaitu: 1. Wilayah udara yang terdapat di atas wilayah darat, perairan pedalaman, dan

laut wilayah termasuk kedalam yurisdiksi suatu negara. Hal ini terlihat dari pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional : “Kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity)”. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara

2. Prinsip-prinsip hukum udara internasional antara lain prinsip kedaulatan wilayah udara, prinsip yuridiksi ruang udara, prinsip mengenai tanggung jawab.

3. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan

tanggung jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan, bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir “hak menguasai oleh negara” atas sumber daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

D. Saran

Adapun saran yang dapat penulis kemukakan disini sebagai bahan pertimbangan guna penyempurnaan dikemudian hari adalah:

1. Ketentuan-ketentuan tentang Hak Lintas di wilayah udara di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia hendaknya juga menghargai prinsip-prinsip hukum udara yang di atur dalam Konvensi Chicago dan ketentuan hukum internasional serta hukum nasional yang mengatur.

2. harus ada penegasan pembatasan antara pesawat udara dan pesawat angkasa agar tidak terjadi kesalahan paham atas batas-batasnya. Oleh karena itu dibuatlah hukum-hukum mengenai keduanya itu.

3. Adanya revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002 khususnya hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban pesawat udara asing yang melintas di wilayah udara di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia.

Dokumen terkait