• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Zakat

2.1.2. Zakat Pada Masa Khalifah

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah SAW. Namun, persoalan baru muncul, ketika ada orang atau kelompok yang enggan membayar zakat, di antaranya Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah dan Sajah Tulaihah.

Masalah ini berakar dari pemahaman sebagian umat Islam bahwa perintah zakat yang tertuang dalam surat At-Taubah ayat 103:

ۡ ذُخ ۡ َۡوۡۡۗ مُهَّلۡٞنَكَسۡ َكَتَٰوَل َصَّۡنِإۡۡۖ مِه يَلَعِۡ لَصَوۡاَهِبۡمِهيِ كَزُتَوۡ مُهُرِ هَطُتۡٗةَقَدَصۡ مِهِلََٰو مَأۡ نِم ُۡ َّللّٱ ۡ ٌۡميِلَعٌۡعيِمَس ١٠٣ ۡ ۡ

Khudz min amwâlihim shadaqatan tuthahhiruhum watuzakkîhim bihâ washalli 'alaihim inna shalâtaka sakanun lahum wallahu samî'un 'alîmun

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah SWT Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Bermakna hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak. Mereka juga menilai hanya pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari kewajiban berzakat tersebut.

Pandangan tersebut jelas keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar mengambil kebijakan tegas dengan memerangi mereka. Bagi Abu Bakar mereka dianggap telah murtad. Pada awalnya, kebijakan Abu Bakar ini ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang kepada hadis nabi yang menyatakan, “Saya diutus untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah”.

Bagi Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafaz syahadat, sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan.

Akan tetapi Abu Bakat beragumen bahwa teks hadis di atas memberi syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu, “kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan kekayaan itu.”

Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogikan zakat dengan sholat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Argumen tersebut akhirnya dapat diterima oleh Umar. Abu Bakar pun beragumentasi pada Al-Qur’an, dimana negara diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan negara.

Ketegasan sikap Abu Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Dia tidak dapat sama sekali menerima pemisahan antara ibadah jasmaniah (salat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada Rasulullah SAW, walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya.

Pembangkangan orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan sudah dirasakan bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Dia tidak mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka, sehingga setiap warga negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki.

Demikianlah tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang- orang yang membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para sahabat utama, termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa pembangkang-pembangkang itu harus diperangi karena keengganan mereka membayar salah satu ibadah utama dalam Islam.

Memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam dalam periode Abu Bakar, pertama kali melancarkan perang untuk membela hak-hak fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah.

Setelah dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakar pun memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang-orang yang berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah SAW. Dia sendiri mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah SWT.

Dalam soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan terkemudian masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila kondisi kehidupannya membutuhkan serta masuk dalam kelompok Asnaf penerima zakat yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.

Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah, tempat yang terletak di daratan tinggi Madinah. Dia tidak mengangkat satu pun pengawal atau pegawai untuk mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat penjaga, maka Abu Bakar menjawab. “Jangan takut, tidak ada sedikit pun harta yang tersesisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan.”

Ketika Abu Bakar meninggal, Umar bin Khatab memanggil sahabat terpercaya, di antaranya Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan untuk masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan satu dirham pun di

dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan dalam Baitul Mal yang berisi satu dirham.

b. Masa Khalifah Umar Bin Khottab

Pada masa Umar menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada Khalifah.

Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks, Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang Umar bentuk adalah Baitul Mal.

Lembaga yang berfungsi mengelola sumber-sumber keuangan, termasuk zakat. Umar menentukan satu tahun anggaran selama 360 hari, dan menjadi tanggung jawab Umar untuk membersihkan Baitul Mal dalam setiap tahun selama sehari. Umar berkata,”Untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT, aku tidak sedikitpun tinggalkan harta di dalamnya.”

Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini Umar melakukan ijtihad. Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat selamanya pada diri seseorang.

Pada situasi tertentu memang dipandang perlu menjinakkan hati seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan, namun bila ia telah diberi cukup kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik,

maka akan lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan diberikan kepada orang lain yang jauh lebih memerlukan.

Selain itu pada masa beliau mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat yang diterima langsung didistribusikan sampai habis, namun ada pos cadangan devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau perang. Hal ini merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.

Pada awal pertumbuhan konsep baitulmaal yang diinisiasi oleh Khalifah Umar bin Khattab, pengelolaan dana zakat menjadi otorisasi pusat dengan model sentralisasi. Sehingga pemerintah pusat menjadi agent of change terhadap perubahan kondisi masyarakat, terutama mengangkat harkat dan martabat kaum dhuafa. Wibawa pemerintah dan ketaatan rakyat menjadi harmonis seiring dengan imbangnya pengelolaan harta zakat kepada masyarakat.

Pada masa Umar bin Khattab, sahabat Muaz bin Jabal yang menjabat sebagai Gubernur Yaman ditunjuk pertama kali untuk menjadi ketua amil zakat di Yaman. Konsekuensi dengan model sentralisasi dipahami sebagai satu kewajiban ketaatan karena sistem dan infrastruktur yang sudah established (berkembang).

Pada tahun pertama Muaz bin Jabal mengirimkan 1/3 dari surplus dana zakatnya ke pemerintah pusat, lalu Khalifah Umar mengembalikan kembali untuk pengentasan kemiskinan di daerah Yaman. Sebuah kebijakan yang semestinya dilakukan sebagai pendidikan otorisasi wilayah dalam sistem kebijakan zakat pada saat itu.

Pada tahun kedua Muaz bin Jabal menyerahkan dari surplus zakatnya ke pemerintah pusat. Subhanallah, pada tahun ketiga Muaz bin Jabal menyerahkan

seluruh pengumpulan dana zakatnya ke pemerintah pusat. Hal ini dilakukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat dan disebut sebagai mustahik, sehingga kebijakan pemerintah pusat mengalihkan distribusi dana tersebut pada daerah lain yang masih miskin.

Paradigma merubah mustahik menjadi muzaki bukanlah mimpi, ketika pengelolaan zakat didukung dengan manajemen profesional dan sistem kebijakan pemerintah yang komprehensif serta bermuara pada kepentingan kesejahteraan mustahik.

c. Masa Khalifah Usman Bin Affan

Pengelolaan zakat pada periode Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin Khattab. Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan jizyah yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat.

Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan masjid Nabawi. Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode ini wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas.

Sementara itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus mengikuti tuntunan syariat.

d. Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Dalam kebijakan zakat dan pengelolaan uang Negara khalifah Ali bin Abi Thalib mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Zakat dianggap sebagai salah satu jenis harta yang diletakkan di Baitul Mal, namun zakat berbeda dengan jenis harta-harta yang lain, dari segi perolehannya serta berapa kadar yang harus dikumpulkan, dan dari segi pembelajaannya.

Saudah berkata: “Saya menemui Amirul Mukminin untuk mengeluhkan sesuatu kepada petugas yang diangkatnya sebagai pengumpul zakat. Ketika saya berdiri di depannya ia berkata kepada saya dengan penuh kelembutan, `Ada yang anda perlukan? Saya mengadukan petugas tersebut kepadanya. Setelah mendengar pengaduan saya, ia langsung menangis dan berdoa kepada Allah SWT, `Ya Allah! Saya tidak menyuruh para petugas itu untuk menindas manusia, dan tidak meminta mereka menyia-nyiakan keadilanMu.`Lalu ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menuliskan kata-kata berikut,`Timbang dan ukurlah dengan benar dan jangan memberi kepada rakyat dengan ukuran yang kurang, dan janganlah menyebarkan bencana dimuka bumi. Setelah anda menerima surat ini, tahanlah barang-barang yang Anda urusi sebagai cadangan sampai orang lain datang dan mengambil alih tugas ini dari Anda”.

Dokumen terkait