Sejak Bangsa Indonesia merdeka pada Tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang, ternyata Pemerintah Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang kehutanan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan- Ketentuan Pengeleloaan Lingkungan Hidup
B. Zaman Pendudukan Jepang
Pasca Pemerintah Kolonial Belanda menyerah terhadap Pemerintah Jepang, segala kewenangan pemerintahan diIndonesia termasuk kewenangan pengelolaan kehutanan diserahkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Jepang. Di awal pendudukannya di Indonesia, Pemerintah Jepang membuat regulasi terkait pengelolaan hutan di Indonesia. Dimana pada Tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Bala Tentara Dai
Nippon telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942
tentang Pengelolaan Hutan di Indonesia oleh Pemerintahan Pendudukan Jepang. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 berbunyi “semua badan-badan Pemerintah, kekuasannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan Pemerintahan Militer.”
Berdasarkan ketentuan di atas, jelaslah bahwa hukum dan undang- undang yang berlaku pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Dai Nippon dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum). Dengan demikian, bahwa ketentuan yang diberlakukan oleh Pemerintahan Dai Nippon di bidang kehutanan adalah Ordonansi Hutan Tahun 1927 dan berbagai peraturan pelaksanaannya.
C. Zaman Kemerdekaan (1945 – Sekarang)
Sejak Bangsa Indonesia merdeka pada Tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang, ternyata Pemerintah Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang kehutanan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan- Ketentuan Pengeleloaan Lingkungan Hidup
d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
f) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967. Hal-hal yang baru itu adalah seperti gugatan perwakilan (class action) yaitu gugatan yang diajukan oleh masyarakat ke Pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat; penyelesaian sengketa kehutanan, ketentuan pidana; ganti rugi dan sanksi administrasi. Dari keenam peraturan perundangan-undangan tersebut maka ada dua undang-undang yang telah dicabut, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan- Ketentuan Pengeleloaan Lingkungan Hidup. Sedangkan yang masih berlaku adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Undang Nomor 5 Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.16
Dalam perjalanan dan pembangunan hukum, terkait pengelolaan hutan oleh masyarakat, Negara Indonesia telah memiliki kebijakan tersendiri melalui kebijakan hutan berbasis kemasyarakatan. Kebijakan Hutan Kemasyarakatan pertama kali dikeluarkan pada Tahun 1995 melalui penerbitan Keputusan Kementerian Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995. Tindak lanjutnya Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para aktivis LSM, universitas, dan lembaga internasional merancang proyek-proyek ujicoba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga Tahun 1997, bentuk pengakuan hutan berbasis kemasyarakatan masih sangat kecil. Kemudian Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan Nomor 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan Nomor
622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang dalam pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non-kayu. Menteri Kehutanan Republik Indonesia juga telah merancang pelayanan kredit agar masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Promosi bentuk hutan berbasis kemasyarakatan ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir terjadinya degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Kemudian Keputusan Menteri Kehutanan tersebut dirubah dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001. Dengan adanya keputusan ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Namun lagi-lagi tidak membuahkan hasil yang maksimal karena adanya kerancuan kebijakan dan tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat. Keputusan-keputusan di atas juga pada intinya digunakan oleh pemerintah untuk melindungi kawasan hutan khususnya hutan produksi yang tidak tercakup dalam kawasan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) skala besar.
Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan adanya perubahan-perubahannya (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.18/Menhut-II/2009, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.13/Menhut-II/2010, hingga dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P52/Menhut- II/2011). Pemerintah menjelaskan dalam peraturan tersebut mengenai petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian proses perizinan dan pemberian izin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKm).
Dalam peraturan ini bahwa yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Kemasyarakatan (HKm) diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyaraka setempat sehingga mereka
622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang dalam pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non-kayu. Menteri Kehutanan Republik Indonesia juga telah merancang pelayanan kredit agar masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Promosi bentuk hutan berbasis kemasyarakatan ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir terjadinya degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Kemudian Keputusan Menteri Kehutanan tersebut dirubah dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001. Dengan adanya keputusan ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Namun lagi-lagi tidak membuahkan hasil yang maksimal karena adanya kerancuan kebijakan dan tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat. Keputusan-keputusan di atas juga pada intinya digunakan oleh pemerintah untuk melindungi kawasan hutan khususnya hutan produksi yang tidak tercakup dalam kawasan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) skala besar.
Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan adanya perubahan-perubahannya (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.18/Menhut-II/2009, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.13/Menhut-II/2010, hingga dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P52/Menhut- II/2011). Pemerintah menjelaskan dalam peraturan tersebut mengenai petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian proses perizinan dan pemberian izin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKm).
Dalam peraturan ini bahwa yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Kemasyarakatan (HKm) diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyaraka setempat sehingga mereka
mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) hanya diberlakukan di kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Ketentuannya, hutannya tidak dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Hutan Kemasyarakatan (HKm) diperuntukkan bagi masyarakat miskin setempat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan serta adanya menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan.
Sistem berasal dari Bahasa Latin systema atau Bahasa Yunani
sustema yang berarti suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau
elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi, atau energi. Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak17.
Sedangkan menurut Inu Kencana Syafie yang dimaksud sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian yang terikat satu dengan yang lainnya18. Dengan demikian menurut penulis dapat dikatakan bahwa sistem ialah rangkaian komponen yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Adapun sistem penguasaan hutan di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: