REPRESENTASI FEMININITAS PADA TOKOH UTAMA
DALAM LIMA CERITA PENDEK KARYA GUY DE
MAUPASSANT:
Kajian FemininitasREPRESENTATION OF FEMININITY IN MAIN CHARACTERS
IN FIVE SHORT STORIES BY GUY DE MAUPASSANT:
A Study of Femininity
SKRIPSI
diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Program Studi Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Komputer Indonesia
VINI NINDYANI NIM. 63710011
PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN (REVISI)
PERNYATAAN BUKTI KEPEMILIKAN HALAMAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI x
DAFTAR LAMPIRAN xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR SINGKATAN xv
BAB 1: PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan Penelitian 4
1.4. Kegunaan Penelitian 5
1.5. Kerangka Pemikiran 5
BAB II: KAJIAN TEORI 9
xi
2.2. Femininitas 19
BAB III: METODE PENELITIAN 28
3.1. Objek Penelitian 28
3.2. Sinopsis 28
3.2.1. The Diamond Necklace 28
3.2.2. Madame Baptiste 29 3.2.3. The Farmer’s Wife 29
3.2.4. The False Gems 30 3.2.5. Miss Harriet 30 3.3. Metode Penelitian 30 3.3.1. Teknik Pengumpulan Data 31 3.3.2. Teknik Analisis Data 32
BAB IV: PEMBAHASAN 34
4.1. Femininitas yang Tumbuh dan Berkembang di Masyarakat pada Lima Cerita Pendek Karya Guy De Maupassant 34
4.2. Femininitas yang Direpresentasikan oleh Tokoh Utama pada Lima Cerita Pendek 44 BAB V: SIMPULAN DAN SARAN 62
5.1. Simpulan 62
5.2. Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64
LAMPIRAN 67
xii
64
DAFTAR PUSTAKA
Delpierre, Madeleine. 1997. Clothes in France in the Eighteenth Century. Yale: Yale University Press.
Dewald, Jonathan. 1993 Aristocratic Experience and the Origins of Modern Culture: France, 1570-1715. Berkeley: University of California Press. Haine, W. Scott. 2006. Culture and Costums of France of Europe. London:
Greenwood Press.
Jones, M. Jenifer. 2004. Sexing La Mode: Gender, Fashion and Commercial Culture in Old Regime France. Oxford: United Kingdom.
Mousli, Beatrice dan Eve-Alice Rostang-Stoller. 2009. Women, Feminism and Femininity. New York: Palgrave Macmillan.
Priyatna, Aquarini. 2013. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Penerbit Matahari.
Rahayu, Meilinawati Lina, et al. 2013. Sastra Bandingan. Bandung: Balatin. Reinisch, Machover June. 1987. Masculinity/Femininity: Basic Perspective.
Oxford: Oxford University Press.
Website
Dyer, Richard. 1999. The Role of Stereotypes. 3 Januari 2014. Diakses melalui <http://thowe.pbworks.com/f/dyer.on.sterotypes.pdf>
Fatimah, Siti. 2013. Gender Issues on Dorian Gray Character in The Novel The Picture of Dorian Gray by Oscar Wild. Diakses melalui
<http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunikomp p-gdl-sitifatima-32377>
Maupassant, De Guy. 2004. Original Short Stories:Complete Volumes 1-XIII. 3 Januari 2014. Dikases melalui
< http://www.gutenberg.org/files/28076/28076-h/28076-h.htm>
65
65
<http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=202295>
Sukmadinata. 2006. Metode Penelitian. 27 Desember 2013. Diakses melalui <http://www.bimbingan.org/pengertian-pendekatan-deskriptif-analitis.htm>
a ceremonial robe ála francaise:
<http://mediacacheec0.pinimg.com/236x/c0/9b/4b/c09b4b8e0d75f3677e 56f53b3a4ad1b1.jpg> diakses pada tanggal 16 Juli 2014
<http://1.bp.blogspot.com/FVRAv0cCNWo/UdWFGSOG9kI/AAAAA AAAHlc/H5v1dCyPjE4/s787/hogarth+marriage+a+la+mode+the+toilett e.jpg> diakses pada tanggal 16 Juli 2014
<http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fus.images.deti > diakses pada tanggal 19 Juli 2014
<http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fblog.catherine page=2&start=25&ndsp=32> diakses pada tanggal 19 Juli 2014
66 &page=2&start=25&ndsp=33> diakses pada tanggal 19 Juli 2014
<http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F3.bp.blogspot. =89&ndsp=31> diakses pada tanggal 19 Juli 2014
80
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Profil Mahasiswa
a. Nama :Vini Nindyani
b. Alamat : Kp. Munjul Kidul RT/RW 31/06
Desa Curug Kec. Klari Kab. Karawang
41371
c. Tempat Tanggal Lahir : Karawang, 19November 1991
d. Jenis kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. No. Telepon : 082315827819
g. Email :azis.vini@yahoo.com
2. Latar belakang Pendidikan a. Pendidikan Formal
No Tahun Nama Sekolah/Institusi
1 1996-1998 TK (Taman Kanak-kanak) Karawang
2 1998-2004 SD Negri Curug II Karawang
3 2004-2007 SMP Negri II Klari Karawang
4 2007-2008 Islamic Boarding School Nihayatul Amal
Karawang
81
6 2010-sekarang Universitas Komputer Indonesia
b. Seminar, Pelatihan dan Workshop
No Tahun Nama Seminar, Pelatihan dan Pendidikan
Sertifikat
1 2010 Feminist, Feminine and Text seminar Sertifikat
2 2010 Latihan Kepemimpinan Manajerial
Mahasiswa
Sertifikat
2 2011 Public Speaking seminar Sertifikat
3 2011 The Seminar and Workshop of Semiotic
in Literature and Media
Sertifikat
4 2011 Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru
Tahun Akademik 2011-2012
Sertifikat
5 2012 English Literary Internal Training of
Education
Sertifikat
6 2012 “Kreatif Menulis, Rejeki Tak Akan
Habis” Bersama Raditya Dika Talk show
Sertifikat
7 2012 English Contest Sertifikat
8 2012 Hari Sastra Sertifikat
9 2012 Training-LIFE Training and Learning Sertifikat
10 2012 Seminar-OBIF Training and Learning Sertifikat
11 2012 Character Building Training Sertifikat
82
13 2013 Building The Translation Skill and
Confidence
Sertifikat
14 2013 Pemateri Harmonisasi Prestasi dan Kreasi
Mahasiswa Sastra
Sertifikat
15 2013 Muslimah Exhibition Sertifikat
16 2013 Islamic Motivation Training Sertifikat
17 2013 Seminar Pengenalan Copywriting kepada
Mahasiswa UNIKOM
Sertifikat
18 2013 Seminar Training dan Motivasi Sertifikat
19 2014 Seminar TOEFEL: “How TO Train Your
TOEFEL
Sertifikat
20 2014 Post Colonialism Seminar Sertifikat
21 2014 Talk Show Menulis Bersama Risa
Saraswati: “You Write What You Think”
Sertifikat
22 2014 Seminar Menyambut Bulan Suci
83
Hardware Komputer
Keahlian Lain Pembawa acara
d. Pengalaman Organisasi
No Tahun Organisasi
1 2010-2011 Anggota Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris
2 2011-2012 Ketua Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris
3 2012-sekarang Anggota Lembaga Dakwah Ummi Kampus
UNIKOM
e. Lomba yang pernah diikuti
No Tahun Lomba Piagam
1
2009
Juara III Lomba Ngarang Tingkat SLTA Putri (Pasanggiri dan Apresiasi Bahasa, Dan Seni Daerah Wilayah II, Jawa Barat)
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, saya juga
ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait melalui
media ini, di antaranya:
1. Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA, Dekan Fakultas Sastra UNIKOM.
2. Dr. Juanda, Ketua Prodi Sastra Inggis UNIKOM. Terima kasih atas
kesempatan dan motivasi yang telah Bapak berikan pada saya sehingga
saya dapat menyelaikan perkuliahan di fakultas ini.
3. Retno Purwani Sari, S.S., M.Hum, Koordinator Skripsi dan sebagai
Pembimbing pertama. Terima kasih atas semua saran dan motivasinya
yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan semangat.
4. Nenden Rikma Dewi, S.S., M.Hum. Pembimbing Kedua. Terima kasih
atas semua saran dan masukan-masukan yang diberikan pada saya.
5. Nungki Heriyati, S.S., MA, Dosen Sastra Inggris dan Dosen Wali. Saya
ucapkan terimakasih karena telah menjadi dosen wali yang baik dan
membantu saya selama menjadi mahasiswa dalam fakultas ini. Terima
kasih atas matovasi selama saya menuntut ilmu di kampus UNIKOM.
6. M. Rayhan Bustam, S.S. M.Hum, Dosen Sastra Inggris
7. Asih Prihandini, S.S., M.Hum, Dosen Sastra Inggris
ix
9. Staf jurusan dan seluruh Dosen UNIKOM.
Saya berharap penelitian ini dapat berguna khususnya bagi diri
saya sendiri, umumnya bagi seluruh pembaca. Saya pun menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, besar harapan saya
agar pembaca dapat memberikan saran serta masukannya sebagai bentuk
kontribusi dalam penulisan skripsi ini.
Bandung, Juli 2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Penelitian
Setiap perempuan menginginkan agar dirinya tampil cantik berdasarkan
konsep kecantikan yang berlaku di masyarakatnya. Meskipun demikian, konsep
kecantikan tersebut selalu bergantung pada kondisi yang ada pada masa dan lokasi
tertentu. Akibatnya, stereotip terhadap perempuan bukanlah satu hal yang mutlak
dari waktu ke waktu. Apa pun nilai stereotip yang berlaku, perempuan yang
terlahir di masa dan tempat mana pun akan selalu mengalami stereotip bahwa
dirinya harus bersikap dan berpenampilan feminin. Hal semacam ini yang
kemudian disebut sebagai femininitas.
Pada umumnya, femininitas yang terkonstruksi dalam diri perempuan
terlahir dari keterlibatan budaya, sosial, dan kebiasaan yang berlaku di
masyarakatnya. Keterlibatan tiga faktor tersebut, salah satunya, diperlihatkan
melalui konsep kecantikan mengenai tubuh seorang perempuan. Mengenai hal ini,
terkadang perempuan merasa terbelenggu ketika ia harus mengikuti stereotip
femininitas tubuhnya, padahal ia tidak menginginkannya. Priyatna (2013: 119)
memaparkan bahwa tubuh perempuan dalam konteks femininitas dan seksualitas
selebritas perempuan Indonesia pada tahun 2000-an direpresentasikan dengan
warna kulit putih, bentuk tubuh yang semampai, jenis rambut yang lurus, kelas
2
personal penguasa adalah laki-laki yang menempati posisi sebagai calon pacar,
calon suami, pacar atau suami. Selebritas perempuan berupaya mengikuti stereotip
femininitas yang berlaku pada waktu itu di Indonesia, meski tak jarang
bertentangan dengan hati nuraninya. Dari paparan di atas, Priyatna tersebut
mempertegas stereotip femininitas yang tertanam dalam diri perempuan
merupakan hasil dari tuntutan masyarakat yang berasal dari keinginan laki-laki
terhadap kesempurnaan dan kecantikan perempuan. Apa pun aturan atau stereotip
femininitasnya, perempuan harus mengikuti aturan stereotip agar dapat diterima di
masyarakat dan lingkungannya. Namun pada dasarnya, seorang perempuan yang
terkonstruksi oleh femininitas adalah perempuan yang berupaya memenuhi
keinginan atau menarik lawan jenisnya.
Merujuk pada teoretis stereotip femininitas, saya menggunakan gagasan
Dyer (1999) mengenai The Role of Stereotype untuk memaparkan konstruksi masyarakat mengenai femininitas perempuan. Pernyataan Dyer mengenai
strereotip menjadikan landasan saya berpikir untuk mengembangkan penelitan ini.
Nilai-nilai stereotip yang menjadi wujud nilai kesepakatan dalam kelompok
tertentu memaksa perempuan harus mengikuti aturan yang mengubah diri dan
kepribadian mereka. Namun stereotip itu harus tetap diikuti jika tidak diikuti, atas
keinginan sendiri atau tidak, perempuan tersebut telah melanggar stereotip
femininitas akan dikenai hukum sosial yang berlaku di masyarakat dan
lingkungannya.
Berkaitan dengan penelitian ini saya menemukan dua penelitian terdahulu
3
Pengaruh Feminitas Terhadap Olivia dan Victoria dalam Novel Miror Image.
Fokus dari penelitiannya adalah pengaruh feminitas terhadap tokoh Olivia dan
Victoria dengan menggunakan gagasan feminis eksistensialis milik Simone de Beauvoir. Kedua, Siti Fatimah (2013) yang berjudul Gender Issues on Dorian Gray Character in The Novel The Picture of Dorian Gray by Oscar Wild. Penelitiannya berfokus pada pengaruh maskulinitas dan femininitas pada tokoh
Dorian Gray. Ada pun gagasan yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam penelitiannya adalah gagasan Judith Bulter mengenai gender.
Meski kedua penelitian sebelumnya dan penelitian ini memiliki kesamaan
yaitu mendiskusikan femininitas, penelitian ini lebih berfokus pada representasi
femininitas dalam konsep kecantikan terhadap perempuan dengan melibatkan
aspek budaya Perancis sebagai tolok ukur penentuan nilai femininitas. Dengan
demikian, penelitian ini bermaksud untuk menunjukan bahwa perempuan yang
menjadi tokoh utama pada cerita pendek karya Guy de Maupassant: The Diamond
Necklace, Madame Baptiste, The Farmer’s Wife, The False Gems dan Miss Harriet mengalami konstruksi sehingga femininitasnya terepresentasi melalui tokoh perempuan. Berdasarkan pada latar belakang di atas, penelitian ini berjudul
“Representasi Femininitas pada Tokoh Utama pada Lima Cerita Pendek
4
1.2Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini dibuat agar menjadi kerangka
dalam menganalisis isu stereotip femininitas. Berikut adalah rumusan masalah:
1. Femininitas apa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada cerita pendek
karya Guy de Maupassant: The Diamond Necklace, Madame Baptiste, The
Farmer’s Wife, The False Gems dan Miss Harriet?
2. Bagaimana femininitas direpresentasikan melalui tokoh utama pada ke lima cerita
pendek tersebut?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menjawab rumusan masalah diatas
1. Mendeskripsikan femininitas yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada
cerita pendek karya Guy de Maupassant: The Diamond Necklace, Madame
Baptiste, The Farmer’s Wife, The False Gems dan Miss Harriet.
2. Mendeskripsikan femininitas yang direpresentasikan melalui tokoh utama pada ke
lima cerita pendek tersebut.
1.4Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan guna membuktikan gagasan Dyer (1999)
mengenai stereotip, Reinisch (1987) mengenai maskulinitas/femininitas dan
5
Penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi rujukan alternatif bagi para peneliti
selanjutnya mengenai stereotip femininitas. Hasil dari penelitian ini bisa
memberikan pemahaman tentang konsep kecantikan pada perempuan.
Sementara itu, sebagai peneliti, saya tersadar bahwa pada dasarnya semua
perempuan, termasuk saya, secara tidak sadar telah terkonstruksi oleh
masyarakat mengenai sikap yang harus mencerminkan feminin sebagai identitas
perempuan.
1.5Kerangka Pemikiran
Gagasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gagasan mengenai
stereotip yang dinyatakan oleh Dyer (1999), Reinisch (1987) mengenai konsep
feminitas dan maskulinitas dan Jones (2004) mengenai budaya Perancis. Dalam
esainya, Dyer (1999) menyatakan bahwa, stereotip yang ada di masyarakat
mempengaruhi setiap individu dalam kelompok masyarakat. Stereotip tersebut
mengatur bagaimana individu—dalam hal ini adalah perempuan—bersikap,
berpakaian, bertutur kata dan sebagainya.
Melalui pernyataan Dyer di atas, aturan atau konsep yang tertanam dalam
masyarakat ditemukan sebagai hasil dari kesepakatan masyarakat itu sendiri,
bahkan dapat dikatakan stereotip yang berlaku dalam masyarakat adalah stereotip
secara turun temurun. Stereotip tersebut harus ditanamkan pada generasi-generasi
baru karena menyangkut budaya atau tradisi dilingkungannya. Hal tersebut bisa
6
perempuan terlahir ke dunia, ia langsung dikonstruksi oleh aturan-aturan yang
sebenarnya aturan tersebut menjadikan perempuan tidak menjadi diri sendiri
melainkan wujud individu yang dioperasikan oleh masyarakat.
Dyer tersebut terkait dengan, Reinisch (1987), ia mengemukakan bahwa
karakteristik feminitas yang distereotip oleh masyarakat adalah perempuan yang
cantik adalah perempuan yang feminin: lemah lembut, santun, berbudi bahasa
yang halus, patuh, penurut dan sebagainya (1987). Karakteristik femininitas ini
muncul dalam lima cerita pendek Maupasannt dengan latar budaya Perancis era
17, 18 atau 19.
Oleh karena itu, Jones (2004) mengenai budaya Perancis. digunakan untuk
memaparkan budaya Perancis yang berkaitan dengan feminitas.
A series of questions about the personal, subjective experience of dressing race through the mind of any woman who has ever stood before a mirror contemplating her clothing, her body, and her identity. (Jones, 2004: xv-xvi)
Dari pernyataan Jones di atas menunjukkan perempuan Perancis pada abad
17 sebenarnya tidak sadar bahwa dirinya telah terkonstruksi oleh masyarakat,
wajahnya, tubuhnya, sikap dan sebagainya. Stereotip budaya yang berkembang
pada abad 17 untuk menyatakan kecantikan seorang perempuan yaitu perempuan
yang berbadan gemuk, riasan wajah yang digunakan tebal dan berwarna
mencolok, dan pakaian yang digunakan selalu menampilkan kesan mewah
dengan sebutan a ceremonial robe ála francaise, berjubah dan menggunakan ball
atau pakaian dengan rok mengembang. Namun hal itu membuat para perempuan
7
mewah, bersikap atau berpenampilan feminin. Hal ini membuat Jones berpendapat
bahwa perempuan di Perancis pada jaman itu juga telah terstereotip mengenai
budaya setempat oleh masyarakat.
Pada zaman itu juga tidak hanya perempuan yang mengalami konstruksi
sosial dan mengikuti stereotip, laki-laki pun mengalaminya dengan
memperhatikan fashionnya, berias menggunakan bedak dan lipstick dan
berpakaian mewah. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan
kemaskulinitasannya. Namun fokus penelitian ini adalah perempuan yang dituntut
menjadi feminine oleh budayanya sendiri melalui pemaparan karya Guy de
8
1.1 Kerangka Pemikiran
FEMININITAS
REPRESENTASI
FEMININITAS
BUDAYA, SOSIAL DAN
KEBIASAAN MASYARAKAT
PERANCIS ABAD 17, 18
ATAU 19 DALAM LIMA
9
BAB II
KAJIAN TEORI
Pada bab ini, gagasan yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan
secara menyeluruh. Gagasan mengenai stereotip dipaparkan terlebih dahulu
karena penelitan ini ditujukan untuk memaparkan nilai stereotip femininitas dalam
konsep kecantikan yang melekat pada perempuan yang terkonstruksi oleh
masyarakat. Gagasan Dyer (1999) dipaparkan sebagai gagasan yang relevan untuk
mendukung penelitian ini. Sebagaimana nilai stereotip yang telah dipaparkan oleh
Dyer, nilai stereotip yang ada adalah nilai-nilai budaya yang diambil oleh
masyarakat untuk menjadi tanda atau tradisi tempat tersebut. Sementara itu,
pemaparan Reinisch (1987) menjadi rujukan atas nilai-nilai femininitas dan
maskulinitas yang berkembang di masyarakat. Setelah itu, pemaparan mengenai
budaya Perancis dalam membentuk dengan nilai-nilai stereotip dan femininitas.
Nilai-nilai budaya Perancis tersebut diambil dari gagasan Jones (2004). Penelitian
mengenai stereotip femininitas konsep kecantikan perempuan dalam penelitian ini
bersumber pada lima cerita pendek karya Guy De Maupassant pada abad 17, 18
10
2.1 Stereotip
Stereotip merupakan konstruksi masyarakat mengenai sesuatu hal dan
menjadi aturan atau nilai yang telah disepakati dan harus diterapkan pada suatu
kelompok. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang telah disepakati tersebut menjadi
landasan utama bagi individu dalam bersikap atau pun berpenampilan karena pada
dasarnya stereotip merupakan nilai yang dikukuhkan untuk menjadi individu lebih
baik menurut kacamata masyarakat. Dalam esainya, Dyer (1999) menyatakan
bahwa, stereotip yang ada di masyarakat mempengaruhi setiap individu dalam
kelompok masyarakat. Stereotip tersebut mengatur bagaimana individu—dalam
hal ini adalah perempuan—bersikap, berpakaian, bertutur kata dan sebagainya.
“The stereotype is taken to express a general agreement about a social group, as if that agreement arose before, and independently of, the stereotype. Yet for the most part it is from stereotypes that we get our ideas about social groups.” (Dyer, 1999: par 13)
Melalui pernyataan Dyer di atas, aturan atau konsep yang tertanam dalam
masyarakat ditemukan sebagai hasil dari kesepakatan masyarakat itu sendiri,
bahkan bisa dikatakan stereotip yang ada dalam masyarakat merupakan stereotip
secara turun temurun. Hal tersebut dapat dilihat dari stereotip masyarakat terhadap
perempuan. Ketika seorang perempuan terlahir ke dunia, ia langsung dikonstruksi
oleh aturan-aturan melalui keluarga dan lingkungannya yang sebenarnya
menjadikan perempuan tidak menjadi diri sendiri melainkan wujud individu yang
dikendalikan oleh masyarakat. Meski pun demikian, stereotip yang berkembang di
masyarakat dilandasi oleh empat kategori mengenai bagaimana stereotip berfungsi
dalam suatu kelompok masyarakat seperti yang dipaparkan oleh Lippman
11
“(i) an ordering process, (ii) a 'short cut', (iii) referring to 'the world', and (iv) expressing 'our' values and beliefs.” (Dyer, 1999 par:3)
Kutipan di atas menunjukan bahwa nilai stereotip itu dibentuk dengan
empat kategori, yakni an ordering process, a 'short cut', referring to 'the world', and expressing 'our' values and beliefs. An ordering process atau nilai-nilai yang
“dipesan” oleh masyarakat menjadi bahan pertimbangan apakah nilai-nilai
tersebut akan dijadikan tolok ukur individu dalam bersikap dan berpenampilan
atau sebaliknya. Tolok ukur tersebut dilihat dari representasi, tipikasi dan
kategorisasi setiap individu dalam masyarakat sehingga individu ada yang
mengikuti dan ada yang tidak mengikuti stereotip yang berlaku di masyarakatnya.
Misalnya, stereotip bagian dari masyarakat sebagai cara memahami diri mereka
sendiri. Sementara itu, untuk mendapatkat pengakuan dari masyarakat tak jarang
individu tersebut menggunakan a 'short cut' untuk mengikuti stereotip yang ada. Misalnya, anggapan masyarakat terdapat suatu kelompok—“orang padang pelit
-pelit”, padahal hal tersebut belum tentu benar adanya.
Istilah referring to 'the world', yakni untuk melihat awal mula nilai stereotip yang berlaku di masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh kepekaan
individu terhadap kebiasaan yang ada dan berkembang di masyarakatnya sehingga
berfungsi sebagai tanda status sosial mereka. Contohnya, orang baduy luar yang
memiliki identitas kelompoknya yang mengenakan pakaian hitam-hitam,
memakai ikat kepala dan tas rajut ketika keluar dari daerahnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya nilai stereotip merupakan sebuah
12
Hal tersebut dilakukan untuk mengekpresikan karakteristik nilai stereotip yang
berlaku di masyarakat, contohnya nilai kebiasaan yang menjadi budaya—nilai
tradisi pernikahan adat Jawa yang mana pengantin perempuan harus
membersihkan kaki pengantin laki-laki yang telah menginjak telur. Hal tersebut
menjadi ciri identitas kelompok atau masyarakat Jawa. Nilai stereotip tersebut
dipengaruhi oleh nilai budaya, sosial dan kebiasaan yang ada di masyarakat.
Namun, realitas yang terjadi di masyarakat nilai stereotip tidak hanya dilekatkan
pada perempuan saja melainkan laki-laki juga harus mengikuti stereotip yang ada
pada tempat dan lingkungan ia tinggal. Nilai-nilai yang harus diikuti tentunya
sesuai dengan nilai-nilai yang telah disepakati dan berlaku di masyarakatnya salah
satu contoh kecilnya adalah stereotip pada laki ditandai dengan bahwa
laki-laki harus lebih kuat dari pada perempuan, tidak boleh menangis dan memakai
pakaian berwarna merah muda karena hal ini merujuk pada stereotip perempuan.
Pembedaan semacam itu membuat setiap individu tidak memiliki identitas
diri karena semua yang ada pada dirinya—sikap dan penampilan—telah
terkonstruksi oleh masyarakat. Hal tersebut dapat diketahui melalui pemaparan
dari Jones (2004: xvii) mengenai masyarakat Perancis pada abab 17, 18 atau 19.
Pada abad tersebut, di Perancis identitas individu ditentukan oleh pakaian yang
dikenakan, apakah mewah atau tidak karena hal tersebut akan menjadi tolok ukur
status sosialnya di masyarakat. selain itu, masyarakat pada masa itu harus bersikap
berpenampilan sesuai selera masyarakat sehingga banyak individu dari
masyarakat tidak mengenalai identitas diri. Hal tersebut membuat setiap individu
13
masyarakat. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun ikut serta dalam
berpenampilan mewah sesuai yang ditentukan oleh masyarakat—memakai
pakaian mewah dan menggunakan tata rias tebal dan mencolok layaknya
perempuan, semua aspek tersebut merupakan selera masyarakat pada masa itu.
Oleh sebab itu, apa pun nilai yang berlaku, setiap individu di masyarakat harus
tetap mengikuti nilai tersebut agar bisa diterima oleh lingkungannya, baik fisik
atau pun non fisik. Namun, hal tersebut menjadikan perempuan dan laki-laki
terkonstruksi dengan nilai-nilai yang membuat dirinya tidak mengetahui identitas
diri selain identitas bentukan.
Identitas bentukan tersebut merupakan hasil dari konstruksi sosial yang
mengharuskan sikap dan penampilan seseorang sesuai gender, yakni perempuan
harus bersikap dan berpenampilan feminin, serta laki-laki harus menunjukkan
sikap dan penampilan maskulin. Alhasil banyak individu dari masyarakat yang
mempertanyakan identitas diri dan menyimpang dari nilai yang berlaku. Dengan
demikian, identitas setiap individu di nilai berdasarkan selera masyarakat dengan
stereotip yang berlaku di lingkungannya. Hal ini tentunya terjadi pula pada
masyarakat Perancis di abad 17, 18 atau 19.
Merujuk pada cerita pendek Maupassant yang berlatar belakang Perancis
memunculkan stereotip femininitas dalam konsep kecantikan yang berlaku pada
saat itu. Stereotip itu dibuat berdasarkan budaya, sosial dan kebiasaan yang kuat
sehingga menjadikan ketiga nilai itu sebagai satu tolok ukur bagi setiap individu
dalam bersikap dan berpenampilan. Dengan demikian, stereotip femininitas dalam
14
lokasi dan tempat tertentu. Hal ini terjadi karena masyarakat ingin membentuk
setiap individu di lingkungannya sesuai dengan aturan yang berlaku dan sesuai
selera masyarakat itu sendiri. Di samping itu, nilai stereotip femininitas bersifat
mutlak dan nyata sehingga nilai-nilai tersebut harus tertanam pada diri setiap
individu. Pernyataan bahwa nilai stereotip femininitas bersifat mutlak adalah
setiap individu harus menerima tanpa mempertanyakan atau membantah stereotip
tersebut, sedangkan nyata memperlihatkan bahwa semua seseorang tersebut
mengikuti nilai yang ada dan diketahui melalui caranya berpakaian dan bersikap.
Oleh sebab itu, jika seorang individu melangar nilai stereotip yang berlaku, dia
akan memperoleh hukuman sosial berupa pengasingan dan pencemoohan oleh
masyarakat. Hukuman semacam ini pada dasarnya merupakan hasil dari nilai
stereotip yang dibentuk oleh seseorang dengan pengaruh kuat dalam masyarakat
sehingga apa pun nilai dan aturannya akan dituruti oleh setiap individu
masyarakat.
on the 'social construction of reality' stresses, not only is any given society's ordering of reality an historical product but it is also necessarily implicated in the power relations in that society (Dyer, 1999, par: 7)
Pemaparan di atas menegaskan bahwa konstruksi sosial tidak hanya
ditanamkan pada sebagian masyarakat saja melainkan pada seluruh masyarakat
sesuai waktu dan lokasi tertentu. Hal ini terjadi karena setiap daerah mempunyai
nilai budaya, sosial dan kebiasaan sendiri, dari realitas kebiasaan masyarakat
menjadi nilai budaya dan sosial sebagai tolok ukur individu dalam bersikap dan
berpenampilan. Ketiga nilai tersebut tentunya berasal dari sejarah waktu dan
15
seseorang yang dipercaya dan dituakan oleh masyarakat itu sendiri. Nilai sejarah
dan lokasi tersebut merupakan perbedaan sejarah Perancis antara abad 14 dengan
abad 17, 18 atau 19 yang berkiblat ke Renaissance Italia.
Oleh sebab itu, setiap individu bersikap dan berpenampilan layaknya
masyarakat dari kalangan kelas atas di era Renaissance—pakaian dan perhiasan
yang mewah, dan menunjukan sikap keangkuhan agar menjaga status sosialnya.
Sementara itu sejarah lokasi berkaitan dengan budaya Renaissance Italia yang
mempunyai nilai seni sehingga Perancis meniru budaya, sosial dan kebiasaan
pada masa itu. Dari nilai seni tersebut masyakat Perancis pada saat itu
mengaplikasikannya kepada penampilan dan tubuh baik perempuan maupun
laki-laki. Mereka menggunakan tatarias tebal dan mencolok layaknya kanvas lukisan
yang diwarnai untuk menunjukan ciri khas feminin yaitu penggunaan bedak yang
tebal berwarna putih, perpaduan warna hijau, ungu dan merah pada wajah, selain
itu mereka menggunakan lipstik merah yang diulas di bagian tengah bibir. Hal
tersebut dilakukan untuk menunjukan kecantikan perempuan. Sementara itu, ciri
maskulin ditunjukkan melalui penggunaan bedak tebal berwarna putih, pemulas
warna hijau, eyeshadow warna peach dan lipstik merah yang diulas ke bibir. Selain itu tubuh mereka harus memiliki lekukan—memiliki payudara dan bokong
yang besar dan pinggang yang ramping. Tidak hanya itu latar belakang keluarga
dan kemolekan tubuh pun akan menentukan status sosial di masyarakat, diterima
atau tidak. Seperti halnya, stereotip femininitas konsep kecantikan di Perancis
yang melihat status sosial perempuan dari latar belakang keluarga, penampilan
16
berlaku pada masa itu. Pada abad 17 gaun yang dikenakan oleh perempuan
Perancis lebih luas hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah keluranya lapisan
rok dalam dan tentunya agar terilat lebih mewah. Sementara itu, pakaian laki-laki
pun tetap terkesan mewah dengan warna pakaian cerah dan memakai hiasan
rambut meski pun tidak mengenakan boneth seperti halnya perempuan.
Gambar 2.1 penampilan masyarakat pada abad 17 (sumber: http://Fus.images.detik.com)
Gambar di atas merupakan contoh keadaaan masyarakat Perancis pada
abad 17. Kesan kemewahan tetap dijadikan acuan setiap individu dalam
berpenampilan sehingga apa pun keadaan tubuh dan ekonominya setiap individu
akan berusaha untuk mengikuti nilai stereotip yang ada. Seperti halnya
perempuan, pada masa itu perempuan harus mengenakan gaun mewah—a ceremonial robe ála francaise.
17
Gaun mewah tersebut yang sebenarnya membuat individu khususnya
perempuan tidak mengenali identitas diri karena perempuan pada masa itu harus
mengenakan pakaian mewah—lebar, berjubah dan harus mengenakan ball. Hal tersebut dikenakan agar dapat diterima oleh masyarakat dan menaikan status
sosialnya. Sementara pada abad 18, pakaian yang dikenakan oleh perempuan atau
pun laki-laki mengalami perubahan. Lebar gaun yang dikenakan perempuan mulai
mengecil karena perubahan pemikiran masyarakat khussunya perempuan—
dengan lingkar rok sebelumnya yang lebar menyulitkan perempuan di abad 17
sulit untuk beraktivitas sehingga di abad 18 lingkar rok di perkecil untuk
memudahkan perempuan berkativitas di masa itu. Sementara itu, laki-laki
memakai long tuxedo dan celana yang panjangnya hanya mencapai lutut.
18
Gambar 2.4 penampilan masyarakat pada abad 18 (Sumber: http://1.bp.blogspot.com)
Perubahan pakaian yang terjadi pada abad 18 dikarenakan nilai stereotip
yang berlaku mengalami perubahan. Selain itu, budaya, sosial dan kebiasaanya
pun semakin berkembang. Para perempuan mulai banyak beraktivitas di luar
rumah sehingga boneth yang digunakan oleh perempuan tidak lagi menjulang tinggi namun terlihat lebih sederhana sedangkan lebar rok atau pun gaun yang
dikenakan diperkecil agar memudahkan perempuan untuk beraktivitas. Meski pun
demikian, perempuan pada masa itu tetap terlihat cantik dan elegan dengan
pakaian yang mereka kenakan begitu pun laki-laki pakaian yang mereka kenakan
tetap menampilkan kesan maskulinitas.
19
Sama hal perubahan pakaian di abad 18, pada abad 19 lebar dan lingkar
gaun perempuan semakin mengecil hal ini terjadi karena ada pengaruh dari
revolusi perancis sehingga banyak perempuan sering beraktivitas di luar rumah
untuk memenuhi kebutuhan khususnya, perempuan kelas bawah. Begitu pun
dengan pakaian laki-laki, tetap memakai jas berjubah seperti pada abad 18 namun
celana yang dikenakan bukan lagi celana selutut namun celana panjang dan warna
jasnya pun tidak berwarna cerah. Meski pun demikian, perubahan tersebut tidak
menghilangkan kesan mewah dan elegan perempuan pada masa itu karena kesan
kemewahan harus tetap diterapkan pada sikap dan penampilan mereka agar
menaikkan status sosial diri sendiri atau pun keluarga. Dengan demikian,
stereotip yang ada sehingga memunculkan nilai femininitas.
2.2 Femininitas
Stereotip yang ada di masyarakat telah membentuk konsep yang harus
dimiliki baik perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, sebagaimana stereotip,
femininitas merupakan konstruksi masyarakat terhadap perempuan untuk menjadi
tanda identitas diri perempuan di lingkungannya. Namun pada dasarnya konsep
kecantikan yang berlaku merupakan permintaan atau tuntutan laki-laki yang
menginginkan sosok perempuan sempurna, baik tubuh, sikap, penampilan dan
pemikirannya. Semua yang ada pada diri perempuan itu demi pemenuhan kriteria
20
“Sosok perempuan yang sepenuhnya “sempurna” dan bagi
perempuan itu, mereka rasa, dalam satu atau lain cara, bukanlah
diri mereka.” (Wolf, 2002:4)
Perempuan akan berusaha semaksimal mungkin untuk tampil sempurna
agar dapat diterima oleh lingkungannya. Mereka berpenampilan sesuai selera
masyarakat, yakni bertubuh ideal sehingga perempuan berbadan gemuk berusaha
mendapatkannya. Ada pun tubuh yang ideal adalah memiliki wajah mulus
berbentuk oval tanpa cacat, berambut pirang dan berkulit putih. Selain itu, seorang
perempuan pun harus besikap lemah lembut, anggun, santun dan penurut. Sadar
atau tidak, konstruksi femininitas konsep kecantikan terhadap perempuan tidaklah
menjadikan perempuan memiliki dirinya sendiri seutuhnya melainkan pribadi
yang berwujud tubuh masyarakatnya.
Ketika tubuh seorang perempuan merupakan perwujudan dari
masyarakatnya maka dia pun telah menanamkan nilai-nilai budaya, sosial dan
kebiasaan yang berlaku. Nilai-nilai tersebut disepakati dan ditanamkan pada
perempuan sejak perempuan terlahir kedunia. Dari ketiga nilai itu terbentuk nilai
femininitas sebagai acuan masyarakat, khususnya perempuan.
Oleh sebab itu, femininitas merupakan aturan yang mengatur perilaku dan
penampilan perempuan. Salah satunya adalah gagasan mengenai femininitas yang
dikemukakan oleh Reinisch (1987). Karakteristik femininitas yang distereotip
oleh masyarakat adalah perempuan yang cantik, feminin dan harus lemah lembut,
santun, berbudi bahasa yang halus, patuh, penurut dan sebagainya (Reinisch,
1987: 1). Rangkaian dari stereotip tersebut harus perempuan tanamkan dalam,
21
Di samping itu ada bentukan feminin yang harus dimiliki oleh
perempuan, yakni bentuk natural ingenuity yang tidak dimiliki oleh laki-laki karena berkaitan dengan kondisi biologis perempuan seperti menstruasi,
mengandung, melahirkan dan menyusui.
The seductive quality of simple dichotomies like those of male/female or of nature/nurture can also be seen in the scientific efforts to avoid the pitfalls of cultural or contextual biases by examining masculinity/femininity questions from biological (biochemical, anatomical, physiological), comparative (interspecific), or cross-cultural perspectives. (Reinisch, 1987:7)
Pemaparan di atas menjelaskan bahwa pemisahan laki-laki dan perempuan
sering kali menjadi hal yang problematis jika dilihat secara alamiah (nature) dan bentukan (nurture). Berbagai pertanyaan muncul mengenai pemisahan itu sehingga dibutuhkan suatu langkah untuk menentukan bagaimana masyarakat
melihat dan menilai permasalahan tersebut. Usaha ilmiah dilakukan untuk
menjembatani konteks budaya dalam menentukan gender—maskulinitas dan
femininitas. Usaha yang terkait dengan biologis terdiri dari biochemical, anatomical dan physiological. Biochemical yaitu usaha pemisahan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada zat kimia—hormon testosteron pada laki-laki dan
hormon estrogen pada perempuan—yang ada dalam tubuh keduanya. Anatomical
melihat pemisahan laki-laki dan perempuan berdasarkan kondisi organ tubuhnya.
Misalnya, perempuan memiliki rahim, vagina dan payudara yang
memungkinknnya untuk mengandung, melahirkan, menyusui dan menstruasi,
sedangkan laki-laki memiliki scrotum dan penis. Meski laki-laki memiliki payudara, organ itu tidak berfungsi sebagaimana pada perempuan. Sementara itu,
22
yang sangat berbeda karena dipengaruhi keberadaan faktor biochemical dan
anatomical. Oleh sebab itu, setiap individu mempunyai kekhasan masing-masing sebagai identitasnya. Namun, pemisahan tersebut memunculkan stereotip
femininitas dan maskulinitas sehingga perbandingan tersebut menjadi pemisah
status seksualitas atau pun gender.
Dengan demikian, kekhasan yang dimiliki perempuan berfungsi untuk
memuaskan lawan jenisnya berdasarkan pada stereotip femininitas konsep
kecantikan di masyarakatnya. Hal tersebut kemudian menjadikan perempuan
mempunyai nilai lebih sehingga dikategorikan perempuan sempurna.
Kesempurnaannya akan menjadi utuh apabila perempuan tersebut mengetahui
cara berdandan, berpenampilan dan bersikap. Dengan demikian, perempuan akan
berusaha untuk tampil cantik misalnya merias rambut untuk menopang status
sosialnya seperti yang di paparkan oleh Lippman sebagaimana dikutip Dyer
berikut:
to refer 'correctly' to someone as a 'dumb blonde', and to understand what is meant by that, implies a great deal more than hair colour and intelligence. It refers immediately to ber sex, which refers to her status in society, her relationship to men, her inability to behave or think rationally, and so on. In short, it implies knowledge of a complex social structure. (Dyer, 1999: par 8)
Seperti yang telah dipaparkan, status sosial perempuan dalam tatanan
masyarakat Perancis pada abad 17, 18 atau 19 ditentukan oleh pakaian yang ia
kenakan sehingga mendukung penampilannya yang elegan dan anggun sesuai
selera masyarakat. Di kesehariannya perempuan Perancis dipengaruhi oleh budaya
pada masa itu misalnya bercemin untuk memastikan identitas dirinya. Oleh sebab
23
wajahku, identitasku dan akankah diterima atau tidak oleh masyarakat” (Jones,
2004: xv). Hal tersebut dapat diketahui melalui pemaparan berikut:
A series of questions about the personal, subjective experience of dressing race through the mind of any woman who has ever stood before a mirror contemplating her clothing, her body, and her identity: White muslin or blue silk? Which is more practical, or more flattering? (Jones, 2004: xv)
Identitas diri perempuan sangat menentukan status sosial yang akan ia
sandang sehingga mempengaruhi caranya memilih warna dan jenis pakaian,
perhiasan, sepatu, kipas, boneth—hiasan kepala sejenis topi dengan hiasan bulu burung merak—tata rias yang tebal dan warna terang sehingga padan dengan yang
ia kenakan. Misalnya saja pemilihan bentuk dan warna boneth yang ia kenakan: merah atau biru karena pemilihan itu akan menunjukan identitas dirinya dan
kecantikan yang ia miliki.
Namun femininitas yang tertanam pada diri perempuan membuat ia tidak
sadar bahwa dirinya telah distereotip oleh masyarakat berdasarkan budaya yang
berkembang. Stereotip budaya yang berkembang terhadap kategori perempuan
24
Gambar 2.5 pakaian dan boneth perempuan abad 17 (Sumber: http://media-cache-ec0.pinimg.com)
Seperti yang telas dipaparkan sebelumnya gaun yang dikenakan
perempuan memiliki lebar yang luas dan memakai boneth tinggi menjulang agar dapat sepenuhnya mengikuti femininitas konsep kecantikan yang berlaku pada
masa itu.
Gambar 2.6 Pakaian perempuan abad 18 (sumber: http:// women-fashion-through-18th-century.html)
Lebar gaun dan rok pada abad 18 pun mengalami perubahan. Namun, hal
25
Gambar 2.7 penampilan perempuan pada abad 19 (Sumber: http:// bp.blogspot.com)
Begitu pun pada abad 19, seperti yang telah dijelaskan, lingar rok dan
gaun pada abad tersebut semakin mengecil. Namun lingkar pinggang semakin
diperkecil untuk menekan payudara dan bokong menjadi besar sehingga mereka
dapat mengikuti femininitas konsep kecantikan yang berlaku dan dapat berdandan
layaknya perempuan terhormat. Meski pun demikian, perempuan akan bertanya
berdandan untuk siapa, memakai pakaian mewah untuk siapa, bersikap atau
berpenampilan feminin untuk siapa. Fenomena tersebut membuat Jones
berpendapat bahwa perempuan di Perancis pada masa itu juga telah terstereotip
oleh budaya, sosial dan kebiasaan setempat. Konstruksi masyarakat terhadap
perempuan feminin atau maskulin.
Lippman menyatakan ciri atau tanda yang menunjukkan dia perempuan
atau laki-laki ditandai dengan nilai budaya yang melekat pada diri personal. Hal
itu yang akan menjadi status dalam lingkungan masyarakatnya.
26
Nilai budaya yang mendasari nilai-nilai femininitas konsep kecantikan
terbentuk tidak luput dari pengaruh seseorang yang berkuasa pada daerah tertentu.
Nilai-nilai stereotip yang mutlak itu dijadikan sebagai pengukuhan „nilai-nilai
tradisional‟. Nilai tradisional tersebut adalah perempuan dan laki-laki bersikap
dan berpenampilan mewah. Di kesehariannya mereka melihat majalah fashion dan pergi ke butik untuk membangun identitas diri dengan menggunakan stoking dan
sepatu, korset dan gaun, rambut palsu dan topi. Oleh sebab itu, perempuan dan
laki-laki pada abad 17, 18 atau 19 di Perancis terkonstruksi tidak hanya
penampilan melainkan perasaannya. Setiap mereka bercermin, mereka aka
berpikir apakah pakaian yang mereka kenakan menjadikan atau mencerminkan
identitas diri mereka atau sebaliknya.
As applied to men and women, the social type/stereotype distinction implies that men have no direct experience of women and that there could be a society composed entirely of men: both of these are virtually impossible. Yet it seems to me that what the distinction points to, as applied to women and men, is a tendency of patriarchal thought to attempt to maintain the impossible, by insisting on the 'otherness' of women and men (or rather the 'otherness' of women, men being in patriarchy the human norm to which women are 'other') in the face of their necessary collaboration in history and society. (The distinction does also refer in part to a real separation in social arrangements, i.e. the fact of male and female 'preserves': the pub, the beauty salon, the study, the kitchen. etc.) What the distinction also maintains is the absolute difference between men and women, in the face of their actual relative similarity. (Dyer, 1999:par 18)
Seperti yang telah dipaparkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
nilai pembeda dari keduanya—biochemical, anatomical, dan physiological. Nilai pembeda tersebut dikukuhkan untuk mempertahankan unsur budaya dan
27
ketika nilai pembeda yang disepakati oleh masyarakat ditanamkan seutuhnya pada
diri mereka. Meski pun demikian, sikap dan penampilan laki-laki dan perempuan
berasal dari nilai-nilai patriaki berlandaskan hasrat masyarakat yang
menginginkan kesempurnaa pada diri laki-laki dan perempuan. Nilai patriaki
tersebut tidak lepas dari sejarah dan lingkungan masyarakat dimana mereka
tinggal sehingga nilai tersebut membentuk nilai stereotip femininitas konsep
kecantikan yang mengharuskan perempuan dan laki-laki bersikap dan
berpenampilan feminin pada masa itu. Untuk mempertahankan nilai pembeda dari
keduanya, mereka pergi ke salon untuk merawat diri agar stereotip femininitas
dan maskulinitasnya dapat dipertahankan. Hal tersebut dilakukan agar mereka
28
BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1Objek penelitian
Objek penelitian pada skripsi ini berfokus pada stereotip femininitas dalam
konsep kecantikan yang ada pada lima cerita pendek karya Guy De Maupassant
yang berjudul The Diamond Necklace, Madame Baptiste, The Farmer’s Wife, The False Gems dan Miss Harriet. Adapun pemilihan kelima cerita pendek ini didasarkan adanya kemiripan fenomena stereotip femininitas kecantikan
masyarakat Perancis pada abad ke-17 dengan stereotip femininitas masyarakat
Indonesia pada masa kini.
Untuk memberikan gambaran alur cerita kelima cerita pendek tersebut,
saya membuat paparan sinopsis dari masing-masing cerita pendek untuk
memberikan informasi awal mengenai budaya, sosial dan kebiasaan yang
membentuk stereotip femininitas konsep kecantikan. Berikut ini paparan dari
sinopsis kelima cerita pendek Guy de Maupassant yang menjadi sumber
penelitian.
3.2Sinopsis
29
Dalam cerita pendek The Diamond Necklace (TDN) menceritakan tentang
seorang perempuan bernama Mathilde yang bersih keras untuk terlihat cantik di
hadapan orang lain ketika datang ke pesta. Untuk memenuhi keinginannya itu,
Mathilde meminta kepada suaminya untuk membelikannya gaun mewah dan
untuk menopang penampilannya Ia meminjam perhiasan berupa kalung kepada
tetangganya. Namun sepulang dari pesta kalung tersebut hilang dan tidak di
temukan hingga pada akhirnya Mathilde harus mengganti kalung tersebut dengan
kerja keras untuk mendapatkan uang untuk mengganti kalung yang mahal. Karena
kerja kerasnya membuat badan Mathilde yang subur menjadi kekar dan berotot.
3.2.2 Madame Baptiste (MB)
Dalam cerita pendek Madame Baptiste (MB) menceritakan seorang perempuan yang bernama Madam Paul Hamot yang bunuh diri karena
keperawanannya terenggut oleh seorang laki-laki. Keperawanan Hamot terenggut
secara paksa ketika ia berumur 11 tahun oleh seorang budak di rumahnya. Akibat
dari peremerkosaan itu, ia di anggap monster oleh masyarakat sehingga ia bunuh
diri karena tertekan oleh keadaan masyarakat yang mengucilkan dan
mencemoohnya.
3.2.3 The Farmer’s Wife (TFW)
Dalam cerita pendek The Farmer’s Wife (TFW) menceritakan tentang
perempuan bernama Jean yang bekerja sebagai perempuan tuna susila namun
memiliki kecantikan yang memikat hati seorang laki-laki yang melihatnya.
Wajahnya, tubuhnya, penampilannya bahkan pancaran auranya layaknya
30
3.2.4 The False Gems (TFG)
Dalam cerita pendek The False Gems menceritakan seorang perempuan bernama Madame Latin yang merupakan sosok perempuan sederhana namun
memiliki kecantikan layaknya perempuan terhormat. Namun karena kelompok
teater yang ia ikuti, memaksa ia harus berpenampilan mewah untuk menjaga
gengsi dan status sosialnya dalam kelompok teater.
3.2.5 Miss Harriet (MH)
Dalam cerita pendek Miss Harriet (MH) menceritakan tentang sosok perempuan bernama Harriet yang merupakan seorang perempuan yang taat pada
agamanya. Namun keyakinannya ditentang oleh masyarakat karena agama yang ia
yakini adalah agama puriitans yang tidak lain agama protestan. Namun ia juga
mempunyai konsep kecantikan tersendiri, yakni kecantikan seorang perempuan
yang taat pada agamanya. Ia menggunakan jubah untuk menandakan agamanya,
badannya kurus, dan kulitnya putih pucat.
3.3Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Mengenai deskriptif, Sukmadinata (2006: 72) mendeskripsikan
penelitian deskritif sebagai berikut:
“penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang
31
perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antara fenomena
yang satu dengan yang lain.”
Jadi dalam penelitian ini, fenomena karakteristik stereotip femininitas
dalam konsep kecantikan yang terkonstruksi dalam diri perempuan dideskripsikan
secara mendalam berdasarkan karakteristik nilai budaya, sosial dan kebiasaan di
masyarakat; tempat para tokoh utama tinggal dan hidup dalam cerita pendek
Maupassant. Selanjutnya, pendeskripsian ini dipertajam dengan analisis kualitatif
sehingga memungkinkan hasil penelitian yang lebih komprehensif. Hikmat (2011:
38) mengkategorikan metode penelitian serupa ini sebagai metode deskriptif
kualitatif. Menurutnya, karakteristik metode kualitatif ditandai penelitian latar
ilmiah. Artinya, data yang diperoleh diambil secara utuh dan dianalisis secara
induktif.
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari lima cerita pendek
yaitu, The Diamond Necklace, Madame Baptiste, The Farmer’s Wife, The False Gums dan Miss Harriet. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan langkah-langkah desripfif, yakni mengumpulkan data,
merumuskan dan menghubungkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian
mengumpulkan informasi data yang terkumpul serta melakukan interpretasi dan
generalisasi merumuskan tujuan penelitian, menyimpulkan fenomena dan
32
3.3.2 Teknik analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik atau metode
langsung (telling) dan tidak langsung (showing). Seperti yang dipaparkan oleh Minderop (2005: 8), metode langsung (telling) merupakan metode yang dipaparkan pengarang secara langsung melalui narasi. Dengan demikian, data
dideskripsikan dan dianalisis melalui bantuan narasi pengarang sebagai data
sekunder.
Sementara itu, Minderop (2005: 22) memaparkan metode tidak langsung
(showing) sebagai metode yang tidak melibatkan kehadiran pengarang, sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat menampilkan dirinya sendiri secara lansung
melalui penokohan mereka. Artinya, dengan teknik tidak langsung ini, stereotip
femininitas konsep kecantikan direpresentasikan secara langsung melalui karakter
dan sikap serta cara pandang tokohnya.
Untuk mengetahui metode tersebut berikut adalah penerapannya dalam
kutipan cerita:
Konstruksi masyarakat terhadap perempuan memaksa mereka untuk
mengikuti nilai streotip yang berlaku meski pun nilai-nilai tersebut bertentangan
dengan hati nuraninya. Namun apa pun nilainya perempuan harus tetap
mengikuti nilai stereotip femininitas konsep kecantikan yang berlaku di
masyarakatnya agar tidak dikenai hukum sosial. Oleh karena itu, masyarakat
Perancis pada abad 17, 18 19 berusaha mengikuti nilai stereotip yang ada meski
pun keadaan fisik, ekonomi dan latar belakang keluarga tidak menopang
33
kutipan berikut: “Mathilde suffered ceaselessly, feeling herself born to enjoy all delicacies and all luxuries.” (TDN, 1850 par : 3). Dari kutipan tersebut Mathilde merasa menderita dengan keadaan ekonomi keluarganya karena
keadaan ekonominya itu ia tidak dapat mengikuti stereotip femininitas yang
berlaku di masyarakatnya. akibatnya ia tidak bisa berikap dan berpenampilan
62
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Secara kodrati perempuan menginginkan tampil cantik dan sempurna
sesuai selera masyarakat di tempatnya tinggal. Hal tersebut yang kemudian
memunculkan tolok ukur kriteria perempuan cantik dan sempurna. Tolok ukur
tersebut berlandaskan nilai-nilai budaya, sosial dan kebiasaan yang berkembang di
lingkungannya sehingga sikap dan penampilan setiap individu sesuai dengan
selera masyarakat. Dengan demikian, setiap individu akan berusaha memenuhi
stereotip femininitas konsep kecantikan atas tubuhnya agar dapat diterima oleh
masyarakat. Mekipun demikian, nilai steotip berkembang dan berlaku sesuai pada
masa, waktu dan lokasi tertentu. Namun, apa pun nilainya perempuan harus
mengikuti nilai sterotip yang ada agar tidak dikenai hukum sosial.
Tokoh utama pada kelima cerita pendek karya Guy De Maupassant
merepresentasikan konsep kecantikan yang berbeda sehingga masing-masing
tokoh tersebut mempunyai kekhasan dalam bersikap dan berpenampilan, baik
secara fisik maupun non fisik. Selain itu, mereka juga mempunyai kekhasan yang
berbeda dalam menyikapi kodratinya sebagai perempuan yang memiliki sifat
63
Mathilde, Hamot dan Madame Latin tinggal di kota paris yang penuh dengan
kemewahan sehingga keadaan fisik dan non fisiknya memaksa mereka untuk
tampil layaknya perempuan terhormat dan berstatus sosial tinggi. Meskipun Jean
dan Harriet tinggal di pedesaan, femininitas yang dianut oleh masyarakat kota
tetap ada dan berlaku di masyarakatnya.
5.2 SARAN
Penelitian ini berfokus pada femininitas dalam konsep kecantikan pada
lima cerita pendek karya Guy De Maupassant. Pada saat meneliti stereotip
femininitas, laki-laki pun mengalami stereotip maskulinitas sehingga konsep
maskulinitas itu sendiri dipertanyakan oleh masyarakat. Dengan demikian,
penelitian selanjutnya dapat membahas identitas laki-laki pada abad 17, 18 atau