• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA KEMITRAAN DAN PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT (Kasus Kemitraan Usahatani Kelapa Sawit Antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan Petani Mitra Di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA KEMITRAAN DAN PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT (Kasus Kemitraan Usahatani Kelapa Sawit Antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan Petani Mitra Di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

POLA KEMITRAAN DAN PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT

(Kasus Kemitraan Antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan Petani Kelapa Sawit Mitra Di Desa Tanjung Jaya

Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah)

Oleh

AGUSTINA IRENE PASARIBU

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

(2)

ABSTRAK

POLA KEMITRAAN DAN PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT

(Kasus Kemitraan Usahatani Kelapa Sawit Antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan Petani Mitra Di Desa Tanjung Jaya

Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah)

Oleh

Agustina Irene Pasaribu

Penelitian bertujuan untuk (1) mengetahui sistem kelembagaan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit pola kemitraan, (2) mengetahui pelaksanaan pola

kemitraan dalam usahatani kelapa sawit antara petani dan perusahaan, dan (3) menganalisis kelayakan finansial usahatani kelapa sawit petani yang bermitra. Penelitian dilakukan di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah. Jumlah petani sampel dalam penelitian ini adalah 36 petani responden atas dasar umur tanaman kelapa sawit. Untuk mengetahui kelayakan finansial usahatani kelapa sawit pola kemitraan digunakan metode analisis data, yaitu Gross B/C Ratio, Net B/C Ratio, NPV (Net Present Value), IRR(Internal

Rate of Return), dan Pp(Payback Period). Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

(1) sistem kelembagaan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit yang menerapkan pola kemitraan antara PT Perkebunan Nusantara VII dan petani mitranya sudah berjalan dengan baik ditinjau dari aspek personel, sistem norma, maupun peralatan fisiknya, (2) pelaksanaan pola kemitraan dalam usahatani kelapa sawit antara petani dan perusahaan adalah pola kemitraan inti plasma, dan (3) usahatani kelapa sawit petani mitra secara finansial layak untuk dikembangkan yang ditunjukkan oleh nilai Gross B/C sebesar 1,6573; Net B/C sebesar 1,9483; NPV sebesar 187.818.007,5674; IRR sebesar 23,3195; dan Payback period

selama 9 tahun.

(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ...,... 9

C. Kegunaan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Tinjauan Biologi Tanaman Kelapa Sawit ... 11

2. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit ... 13

3. Analisis Usahatani ... 22

4. Kemitraan dan Kelembagaan ... 31

5. Kesejahteraan Petani Plasma ... 40

6. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 41

B. Kerangka Pemikiran ... 42

III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional ... 50

B. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian ………… 57

(6)

D. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 59

1. Analisis Deskriptif ... 60

2. Analisis Kelayakan Finansial ... 60

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Tengah ... 65

B. Gambaran Umum PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri ... 71

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden …...………..… 82

2. Persiapan Lahan, Pembuatan Lubang Tanam, dan Penanaman ... 89

3. Pemeliharaan ... 90

4. Pemanenan ... 93

5. Produksi ... 93

C. Sistem Kelembagaan dalam Pengelolaan Usahatani Kelapa Sawit ... 96

(7)

c. Analisis Net Present Value (NPV) ... 134 d. Analisis Internal Rate Return (IRR) ... 134 e. Analisis Payback Period (Pp) ... 135

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...……..…..… 138 B. Saran ……...………...……..… 139

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara agraris menjadikan sektor pertanian sebagai faktor dominan dalam menyediakan bahan baku industri,

menyediakan lapangan kerja, menjadi sumber pendapatan sekaligus devisa negara, dan upaya pengentasan kemiskinan khususnya yang berada di daerah perdesaan serta terwujudnya ketahanan pangan daerah maupun nasional.

(9)

Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 *

(%) (%) (%) (%) (%)

1. Tanaman Bahan Makanan 7,01 6,82 6,82 6,84 6,55

2. Tanaman Perkebunan 2,24 2,20 2,15 2,09 2,04

3. Peternakan 1,81 1,74 1,70 1,68 1,65

4. Kehutanan 0,90 0,84 0,79 0,77 0,75

5. Perikanan 2,24 2,22 2,20 2,19 2,19

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2011 Keterangan:

* = angka sementara

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa perkebunan menempati urutan ketiga sebagai penyumbang PDB Indonesia dari sektor pertanian dan diharapkan mampu menjadi penghasil devisa bagi negara. Sumbangan sub-sektor perkebunan dalam pembentukan PDB Indonesia cenderung stabil dengan rata-rata persentase kontribusi sebesar 2,14 % sejak tahun 2006 hingga 2010. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya perbaikan dan penyempurnaan iklim usaha dan struktur pasar komoditas perkebunan dari sektor hulu sampai hilir. Komoditi-komoditi perkebunan tersebut antara lain kopi, kapuk, jambu mete, aren, cabe jawa, cengkeh, kelapa hibrida, kelapa dalam, kakao, lada, karet, kelapa sawit, nilam, tembakau, tebu, dan wijen.

(10)

3

merupakan usaha yang sangat menjanjikan untuk menghasilkan profit, sehingga banyak diminati (Hakim, 2007).

Peningkatan produktivitas juga menjadi tujuan utama bagi para pelaku usahatani untuk mendapatkan laba yang maksimal. Upaya meningkatkan produktivitas adalah masalah yang lazim dihadapi petani. Kendala teknis, biologis, dan kendala sosial ekonomi seringkali dipakai oleh para peneliti untuk mengidentifikasi masalah produktivitas ini. Tinggi rendahnya produktivitas kelapa sawit juga tergantung dari komposisi umur tanaman. Semakin banyak komposisi umur tanaman remaja dan renta, semakin rendah pula produktivitas per hektarnya. Begitu pula dengan hal sebaliknya,

apabila semakin banyak tanaman dewasa dan taruna, maka semakin tinggi pula produktivitas per hektarnya.

Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit terdapat di beberapa kabupaten, antara lain Kabupaten Lampung Tengah. Sebaran luas areal dan produksi perkebunan rakyat kelapa sawit di Kabupaten Lampung Tengah disajikan pada Tabel 2. Tabel sebaran luas areal dan produksi perkebunan rakyat tersebut

menunjukkan bahwa produktivitas kelapa sawit di Kabupaten Lampung Tengah mengalami peningkatan sejak tahun 2009 dan naik sebesar

(11)

2009 1.658 7.889 15 9.562 22.450 2.347

2010 1.606 8.389 17 10.012 24.975 2.494

2011 1.206 8.789 19 10.007 25.575 2.557

Tahun TBM TM TR Jumlah Produksi Produktivitas

(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ton) (Kg/Ha)

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2012 Keterangan:

TBM = Tanaman Belum Menghasilkan TM = Tanaman Menghasilkan

TR = Tanaman Rusak

(12)

5

Tahun Luas (ha) TBS (Kg) Produktivitas (Kg/ ha)

2003 2.159 30.630.500 14.187

2004 2.547 39.938.460 15.680

2005 2.481 32.567.990 13.127

2006 2.977 40.101.550 13.470

2007 3.278 45.481.570 13.875

2008 3.695 60.139.590 16.276

2009 4.259 71.122.340 16.699

Tabel 3. Pencapaian produksi Tandan Buah Segar (TBS) PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri tahun 2003-2009

Sumber: Profil PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri, 2010

Pelaku usaha agribisnis di tingkat masyarakat banyak berada di sub-sistem agribisnison-farm. Kegiatan usahanya cenderung marginal, dalam arti adanya keterbatasan dukungan pendanaan serta relatif masih sederhananya teknis produksi yang dipergunakan, menyebabkan pelaku usaha ini kurang dapat berkembang.

Pengusaha di sub-sistem yang lain, rata-rata merupakan pengusaha non marginal, dalam arti memiliki kapasitas usaha yang relatif cukup besar serta dukungan permodalan yang cukup baik. Ketimpangan kedua kelompok pelaku usaha ini semakin parah dengan adanya penyebaran demografis yang kurang mendukung perkembangan sektor agribisnis pada umumnya.

Akibatnya, pelaku usahaon-farm sering terdiskriminasikan dalam hal penentuan harga jual produknya karena faktor jarak distribusi, tingginyacost

structure, serta kesulitan memperoleh dukungan pendanaan (Sutrisno, 2010).

(13)

sub-sistem pengolahan) yang ada sebenarnya saling terkait dan saling mendukung yang apabila dibiarkan masing-masing seolah terkotak-kotak dalam aktivitas usahanya, dapat berakibat kepada terjadinya diskriminasi usaha.

Menurut Sutrisno (2010), alternatif yang dapat diambil untuk mengatasi kendala terkotaknya masing-masing subsistem agribisnis, khususnya dalam rangka meningkatkan peran pelaku usahaon-farmadalah melalui pola kemitraan. Kemitraan yang dilakukan adalah sistem kelembagaan yang merupakan komponen-komponen dari pranata sosial dan terkait antara satu dengan yang lainnya (Koentjaraningrat, 2002).

Di bidang pertanian, kerjasama antara rakyat dengan perusahaan sangat diharapkan, dimana rakyat menjadi produsen dan produknya kemudian ditampung dan diolah oleh pihak perusahaan dan menjadi produk yang sempurna yang dapat dipasarkan. Adanya modernisasi pertanian rakyat yang dibekali PTPN VII dengan ilmu manajemen usahatani kelapa sawit (meliputi faktor-faktor usahatani seperti komoditi, modal, luas lahan, tenaga kerja, pembinaan, dan lain-lain), kerjasama rakyat dengan pihak perusahaan diperluas, perusahaan bukan hanya menampung dan mengolah hasil

(14)

7

Lampung Tengah dengan perusahaan diharapkan dapat memberi efek positif terhadap peningkatan pendapatan petani tersebut.

Pengelolaan kebun PT Perkebunan Nusantara VII yang tidak hanya komoditi kelapa sawit melainkan meliputi kebun karet, teh dan juga tebu. Kecuali teh (komoditi yang dikelola PTPN VII yang berada di Sumatera Selatan, Distrik Muara Enim Unit Usaha Pagar Alam), kebun-kebun kelapa sawit, tebu, dan karet dikelola dengan menggunakan pola kemitraan. Luas areal kebun cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan luas areal juga diikuti dengan jumlah produksi dari tahun 1996 bahkan melebihi target hingga tahun 2001. Pada tahun 2002 terjadi penurunan produktivitas secara drastis dari tahun sebelumnya. Hal ini diakibatkan banyaknya faktor yang mempengaruhi menurunnya tingkat produktivitas lahan antara lain perubahan iklim, perawatan yang kurang, serta terjadinya penambahan luas lahan kemitraan tetapi masih belum menghasilkan sehingga jumlah produksi dibagi luas lahan yang ada mengakibatkan menurunnya produktivitas

(15)

No. Tahun Luas

Produksi TBS %

(ha) Target Realisasi Target

1. 1996 248 - 409.800

-2. 1997 248 1.240.000 1.118.830 90

3. 1998 1.252 1.080.000 2.907.610 269

4. 1999 2.400 5.672.000 15.250.390 269

5. 2000 2.406 16.770.000 30.322.017 181

6. 2001 3.479 35.000.000 42.271.720 121

7. 2002 5.640 49.000.000 29.358.090 60

8. 2003 5.640 289.127.440 10.743.460 4

9. 2004 6.788 64.990.000 11.843.170 18

10. 2005 8.515 130.049.000 7.133.250 5

11. 2006 8.334 10.498.000 6.033.680 57

12. 2007 8.334 15.600.000 25.572.600 164

13. 2008 8.731 52.799.000 37.228.830 71

14. 2009 8.371 93.393.000 9.609.560 10

(16)

9

1. Bagaimanakah sistem kelembagaan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit yang menerapkan pola kemitraan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pola kemitraan dalam usahatani kelapa sawit antara petani dan perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah?

3. Apakah usahatani kelapa sawit petani yang bermitra dengan perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah layak untuk diusahakan?

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini memiliki tujuan, antara lain:

1. Mengetahui sistem kelembagaan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit yang menerapkan pola kemitraan di Desa Tanjung Jaya,

Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah.

2. Mengetahui pelaksanaan pola kemitraan dalam usahatani kelapa sawit antara petani dan perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah.

(17)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan :

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi penentuan kebijakan pola kemitraan dengan petani sebagai mitra perusahaan dan bentuk kerjasama perusahaan dengan masyarakat sekitar.

2. Sebagai bahan pertimbangan dan informasi bagi pengusaha

perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Biologi Tanaman Kelapa Sawit a. Klasifikasi Kelapa Sawit

Semua tumbuhan memiliki klasifikasi sesuai dengan genus dan

spesiesnya. Klasifikasi tumbuhan bertujuan untuk memudahkan dalam mengenali atau mengidentifikasi secara ilmiah. Menurut Pahan (2008), tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Embryophyta Siphonagama

Kelas : Angiospermae

Ordo : Monocotyledonae

Famili : Arecaceae (dahulu disebut Palmae) Subfamili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : 1. E. guineensis Jacq.

2. E. oleifera (H.B.K.) Cortes

(19)

b. Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/ industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Kelapa sawit merupakan tanaman komoditas pertanian yang cukup penting di Indonesia dan masih memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Komoditas kelapa sawit baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya, menduduki peringkat ketiga penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi negara setelah karet dan kopi. Hal ini menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah bahkan tanpa kolesterol.

Menurut Sihotang ( 2010), bagian yang paling utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga dapat diolah menjadi bahan baku minyak alkohol, sabun, lilin, dan industri kosmetika. Sisa pengolahan buah sawit sangat

(20)

13

organik, dan tempurung kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan pembuatan arang aktif.

2. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit a. Syarat Tumbuh

1) Iklim

Sihotang (2010) mengungkapkan bahwa daerah pengembangan tanaman kelapa sawit yang sesuai berada pada 15°LU-15°LS. Ketinggian pertanaman kelapa sawit yang ideal berkisar antara 1-500 m dpl. Lama penyinaran matahari rata-rata 5-7 jam /hari. Curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm. Temperatur optimal 24-280C. Kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan. Kelembaban optimum yang ideal sekitar 80-90%.

2)Tanah

(21)

b. Teknis Budidaya

Keberhasilan budidaya suatu tanaman dipengaruhi banyak faktor, antara lain:

1) Kondisi lingkungan lahan

Risza (1994) memgemukakan bahwa tanaman kelapa sawit sering ditanam pada areal/ lahan bekas hutan (new planting), bekas perkebunan karet atau lainnya (konversi), bekas tanaman kelapa sawit (replanting). Pembukaan lahan secara mekanis pada areal bukaan baru dan konversi terdiri dari beberapa pekerjaan, yakni: a) menumbang; yaitu memotong pohon besar dan kecil dengan mengusahakan agar akarnya terlepas dari tanah; b) merumpuk, yaitu mengumpulkan dan menumpuk hasil tebangan untuk memudahkan pembakaran; c) merencek dan membakar, yaitu memotong dahan dan ranting kayu yang telah ditumpuk agar dapat disusun sepadat mungkin, setelah kering lalu dibakar; dan d) pengolahan tanah secara mekanis.

2) Penyediaan benih

(22)

15

tersebut mempunyai kebun induk yang baik dan terjamin dengan pohon induk tipe Delidura dan pohon bapak tipe Pisifera terpilih. b. Penyediaan benih sendiri, yakni untuk memperoleh buah/ benih

yang baik, penyerbukan yang terjadi pada bunga betina dari pohon induk harus dilakukan secara terkontrol. Penyerbukan harus dilaksanakan secara buatan. Dalam penyerbukan secara buatan, pohon induk untuk bunga betina yang digunakan adalah tipe Dura atau Delidura terpilih seperti terdapat di Marihat Research Station, sedangkan sebagai pohon induk bunga jantan digunakan tipe Pisifera yang juga tersedia di Marihat Research Station.

3) Persediaan dan persiapan bibit

Persediaan bibit kelapa sawit menurut Risza (1994) adalah sebagai berikut:

a. Bibit harus tersedia cukup dalam kondisi umur yang sesuai. b. Bibit yang normal untuk dipindahtanamkan ke lapangan adalah

umur 10-12 bulan.

c. Khusus untuk areal tanaman baru (TB) bekas hutan, bibit umur 12-18 bulan lebih baik, karena bibit yang lebih tua kurang

disenangi tikus, babi, dan landak (Risza, 1994).

Pembibitan kelapa sawit

(23)

sumber air, dan letaknya sedapat mungkin di tengah-tengah areal yang akan ditanami dan mudah diawasi. Lahan pembibitan harus diratakan dan dibersihkan dari segala macam gulma dan dilengkapi dengan instalasi penyiraman (misalnya tersedia springkle irrigation), serta dilengkapi dengan jalan-jalan dan parit-parit drainase. Luas kompleks pembibitan harus sesuai dengan kebutuhan. Membangun pembibitan terutama ditujukan untuk menghasilkan bibit kelapa sawit yang bermutu tinggi dan tersedia untuk penanaman di lapangan pada saat persiapan lapangan telah selesai dilakukan (Pahan, 2008).

4) Pemeliharaan tanaman kelapa sawit a. Penyulaman

Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau tumbuh kurang baik. Saat menyulam yang baik adalah pada musim hujan. Bibit yang digunakan harus seumur dengan tanaman yang disulam yaitu bibit berumur 10-14 bulan.

Banyaknya sulaman biasanya sekitar 3-5% setiap hektarnya. Cara melaksanakan penyulaman sama dengan cara menanam bibit.

b. Penanaman tanaman penutup tanah

(24)

17

sebaiknya dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai. Jenis-jenis tanaman kacangan yang umum di perkebunan kelapa sawit adalah Centrosema pubescens, Colopogonium

mucunoides dan Pueraria javanica. Biasanya penanaman

tanaman kacangan ini dilakukan tercampur (tidak hanya satu jenis).

c. Membentuk piringan (bokoran, circle weeding)

Piringan di sekitar pokok (pohon kelapa sawit) harus tetap bersih. Oleh karena itu tanah di sekitar pokok dengan jari-jari 1-2 meter dari pokok harus selalu bersih dan gulma yang tumbuh harus dibabat, disemprot dengan herbisida. d. Pemupukan

Jenis pupuk yang diberikan adalah pupuk N, P, K, Mg dan B (Urea, TSP, Kcl, Kiserit dan Borax). Pemupukan ekstra dengan pupuk Borax pada tanaman muda sangat penting, karena kekurangan Borax (Boron deficiency) yang berat dapat mematikan tanaman kelapa sawit. Dosis pupuk yang

digunakan disesuaikan dengan anjuran Balai Penelitian untuk TBM (Tanaman Belum Menghasilkan). Untuk tanaman

menghasilkan dosis yang digunakan berdasarkan analisis daun. Dosis pemupukan tergantung pada umur tanaman.

e. Pemangkasan daun

(25)

memudahkan panenan. Memangkas daun dilaksanakan sesuai dengan umur/ tingkat pertumbuhan tanaman.

f. Pengendalian hama dan penyakit

Pahan (2008) juga mengungkapkan bahwa pengendalian hama dan penyakit merupakan keputusan secara sadar dalam

memanfaatkan materi, energi, dan tenaga untuk memperoleh keuntungan tertentu. Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit adalah ulat api, ulat kantong, tikus, rayap,

Adoretus dan Apogonia, serta babi hutan. Adapun penyakit

yang menjadi masalah tanaman kelapa sawit antara lain, penyakit-penyakit daun pada pembibitan, penyakit busuk pangkal batang (ganoderma), penyakit busuk tandan buah (marasmius), dan penyakit busuk pucuk (spear rot).

c. Panen

Dalam melakukan pemanenan kelapa sawit terdapat beberapa kriteria matang panen untuk memastikan kualitas tandan buah segar yang dipanen. Kriteria matang panen antara lain:

i. Kriteria matang panen ditentukan pada saat kandungan minyak dalam daging buah maksimal dan kandungan asam lemak bebas terendah.

(26)

19

iii. Alternatif lain yang perlu dipertimbangkan adalah masalah pencurian buah dan banyaknya pengusaha yang membuka tanah miring berat sebagai kebun. Oleh karena itu dalam menentukan kriteria matang panen ada 4 alternatif lain, yakni:

1. Untuk areal rata dengan kemiringan 0o-12o dan tidak ada gangguan pencurian menggunakan kriteria 2 brondolan/ kg tandan.

2. Untuk areal sedang dengan kemiringan 12o-20o dan tidak ada gangguan pencurian menggunakan kriteria 1 brondolan/ kg tandan.

3. Untuk areal terjal dengan kemiringan > 20o dan tidak ada gangguan pencurian menggunakan kriteria 0,5 brondolan/ kg tandan.

4. Untuk areal rawan pencurian, tenaga kerja sulit dan mahal menggunakan kriteria 2 brondolan/ tandan (Risza, 1994). iv. Keempat alternatif tersebut di atas sebaiknya diuji coba, mana yang

paling efektif dan sesuai dengan daerah tersebut: Apakah 2 brondolan/kg tandan atau 1 brondolan/ kg tandan atau 0,5 brondolan/ kg tandan atau 2 brondolan/ tandan.

(27)

d. Produksi

Pahan (2007) mengungkapkan bahwa kurva profil produksi kelapa sawit selama 1 siklus dimulai dari saat tanaman menghasilkan TBS sampai saat-saat akan diremajakan (replanting) berbentuk kuadratik seperti lonceng. Tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit akan meningkat tajam dari umur 3-7 tahun (periode tanaman muda, young), mencapai tingkat produksi maksimal pada umur sekitar 15 tahun (periode tanaman remaja, prime), dan mulai menurun secara gradual pada periode tanaman tua (old) sampai saat-saat menjelang peremajaan (replanting).

(28)

21

Tabel 5. Produksi tanaman kelapa sawit D x P Marihat pada berbagai umur tanaman

Umur (tahun) Produksi TBS (ton)

3 5,0

Sumber: Syukur dan Lubis, 1989

(29)

berproduksi 30% lebih banyak dari tanaman biasa. Dengan teknik pemuliaan tanaman konvensional, PT Socfindo menghasilkan

kecambah legitim dari 3 siklus Reciprocal Recurrent Selection/ RRS (masing-masing 8 tahun per siklus) untuk meningkatkan potensi hasil 15-20% per siklus. PPP Marihat (sekarang PPKS Medan) telah menghasilkan 7 varietas D x P seperti yang tercantum pada Tabel 6 (Pahan, 2007).

Tabel 6. Deskripsi potensi pertumbuhan dan produksi berbagai tanaman persilangan D x P asal PPKS Medan dan Socfindo

Deskripsi PPKS (Eks-PPP Marihat) PPKS Socfindo

A. Sifat Vegetatif numbah D.Si- Jambi Bah Marihat AVROS Me La Yang- ambi lungun Sima- DxP (L) DxP (Y)

3. Lingkar batang (m) 4. Panjang daun (m)

1. Umur mulai dipanen (bulan)

Keterangan: *) = Tinggi tanaman pada umur 12 tahun **) = Rata-rata pada umur 6-9 tahun Sumber: Lubis et al. (1990); Basuki (Komunikasi Pribadi, 2006)

3. Analisis Usaha Tani

Usaha tani merupakan usaha yang dilakukan oleh petani untuk

(30)

23

lembaga atau badan usaha lainnya yang berhubungan dengan pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Soekartawi (1995), usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang

mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Usahatani dapat dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki atau yang dikuasai sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).

Ratag (1982) mengatakan bahwa ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara menentukan serta mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan pendapatan keluarga petani yang lebih baik. Definisi ini terkandung satu tujuan utama yaitu peningkatan pendapatan keluarga petani. Tujuan dilakukannya kegiatan usaha tani adalah memperoleh pendapatan. Menurut Marta (2007), pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya. Untuk memperoleh laba maka jumlah penerimaan harus lebih besar dari total biaya. Ada beberapa ukuran untuk menghitung pendapatan usahatani yaitu :

a. Pendapatan usahatani diperoleh dengan menghitung semua penerimaan dikurangi dengan semua pengeluaran,

(31)

c. Pendapatan petani diperoleh dari menambah pendapatan tenaga kerja dan biaya modal sendiri (Soekartawi, 1995).

Hernanto (1994) mengungkapkan besarnya pendapatan yang akan diperoleh dari suatu kegiatan usahatani tergantung dari beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti modal, luas lahan, tingkat produksi, identitas pengusaha, pertanaman, manajemen, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan usahatani, petani berharap dapat meningkatkan pendapatannya sehingga kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi. Harga dan produktivitas merupakan sumber dari faktor

ketidakpastian, sehingga bila harga dan produksi berubah maka pendapatan yang diterima petani juga berubah (Soekartawi, 1990).

Pendapatan usahatani menurut Gustiyana (2004), dibagi menjadi dua pengertian, antara lain: (1) pendapatan kotor, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam satu tahun yang dapat diperhitungkan dari hasil penjualan atau pertukaran hasil produksi yang dinilai dalam rupiah berdasarkan harga per satuan berat pada saat pemungutan hasil,

(2) pendapatan bersih, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam satu tahun dikurangi dengan biaya produksi selama proses produksi. Biaya produksi meliputi biaya riil tenaga kerja dan biaya riil sarana

produksi.

(32)

25

produksi. Pendapatan perseorangan dapat disebut pendapatan kotor, karena tidak semua pendapatan bersih perseorangan jatuh ke tangan pemilik faktor produksi, sebab masih harus dikurangi laba yang tidak dibagi, pajak penghasilan, iuran jaminan sosial dan lain-lainnya.

Menurut Hernanto (1994), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani, yakni: luas usaha (meliputi areal pertanaman, luas tanaman, luas tanaman rata-rata), tingkat produksi (diukur lewat

produktivitas/ha dan indeks pertanaman), pilihan dan kombinasi, intensitas perusahaan pertanaman, serta efisiensi tenaga kerja. Pendapatan yang diterima petani kelapa sawit adalah hasil dari produktivitas kelapa sawit. Tinggi rendahnya produktivitas kelapa sawit tergantung dari komposisi umur tanaman.

a. Analisis Efisiensi Produksi Usahatani

Efisiensi produksi menurut Mubyarto (1994) yaitu banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input). Menurut Soekartawi (1995), karena total biaya produksi (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC), maka rumus untuk menghitungnya adalah:

TC = FC + VC ………..…...…. (1)

dimana:

TC = total biaya produksi usaha tani (total cost) FC = biaya tetap (fixed cost)

(33)

Biaya tetap umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Contohnya pajak, biaya untuk pajak akan tetap dibayar walaupun hasil usaha tani itu besar atau gagal

sekalipun. Biaya tetap ini beragam, dan kadang-kadang tergantung dari peneliti apakah mau memberlakukan variabel itu sebagai biaya tetap atau biaya tidak tetap. Contoh biaya tetap antara lain: sewa tanah, pajak, alat pertanian dan alat produksi. Adapun rumus untuk menghitung biaya tetap adalah:

n

FC = Σ Xi.Pxi

i = 0 ……...………..……… (2) dimana:

FC = biaya tetap

Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap Pxi = harga input

n = macam input (Soekartawi, 1995).

(34)

27

n

VC =

Σ

Xi.Pxi

…...…...……… (3) i = 0

dimana:

VC = biaya tidak tetap

Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya variabel Pxi = harga input

n = macam input (Soekartawi, 1995).

Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

TR = Y . Py ……….………... (4) dimana:

TR = total penerimaan usaha tani (total revenue) Y = produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py = harga Y

Tujuan akhir dari pengelolaan suatu usaha tani adalah mendapatkan pendapatan. Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pernyataan tentang pendapatan usahatani tersebut dapat dituliskan dalam rumusan sebagai berikut:

Pd = TR –TC ………. (5) dimana:

(35)

Untuk mengetahui apakah usahatani kelapa sawit menguntungkan atau tidak bagi petani maka digunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya dirumuskan sebagai:

R/C = PT ... (6) BT

dimana:

R/C = Nisbah antara penerimaan dengan biaya PT = Penerimaan total

BT = Biaya total yang dikeluarkan oleh petani

a. Jika R/C > 1, maka usahatani yang diusahakan mengalami keuntungan.

b. Jika R/C < 1, maka usahatani yang diusahakan mengalami kerugian. c. Jika R/C = 1, maka usahatani berada pada titik impas.

b. Analisis Finansial dan Kriteria Kelayakan Investasi

Dalam Gittinger (1986), analisis finansial memiliki dua pertimbangan khusus yang harus diperhatikan pada masa analisis finansial, yakni : a. Melihat pengaruh finansial terhadap usaha pertanian, misalnya

secara individu mengenai family income yang cukup besar bagi para petani serta rangsangan yang cukup bagi para petani agar mau ikut berpartisipasi.

(36)

29

seperti koperasi, bank ataupun penyalur-penyalur (distributor) swasta.

Menurut Kadariah (2001), kelayakan investasi terdiri atas beberapa kriteria, baik manfaat dan biayanya dinyatakan dalam nilai sekarang. Kriteria kelayakan yang bisa digunakan adalah :

a. Gross B/C Ratio

Gross B/C ratio adalah perbandingan antara total benefit terhadap total yang dikeluarkan. Kriteria kelayakan yang digunakan adalah :

i. Bila Gross B/C > 0, maka usaha layak untuk dijalankan. ii. Bila Gross B/C < 0, maka usaha tidak layak untuk

dijalankan.

iii. Bila Gross B/C = 0, maka usaha berada pada keadaan break even point.

b. Net B/C Ratio

Net B/C Ratio merupakan perbandingan antara present value dari

net benefit yang positif dengan present value dari net benefit

yang negatif (net costs). Kriteria kelayakannya adalah : i. Bila Net B/C > 0, maka usaha dikatakan menguntungkan. ii. Bila Net B/C < 0, maka usaha yang dilakukan dikatakan

tidak menguntungkan.

(37)

c. Net Present Value

Net Present Value (NPV) merupakan metode yang menghitung

selisih antara penerimaan dengan biaya/ pengeluaran. Kriteria kelayakan yang digunakan adalah :

i. Bila NPV > 0, maka usaha yang dilakukan menguntungkan. ii. Bila NPV < 0, maka usaha yang dilakukan tidak

menguntungkan.

iii. Bila NPV = 0, maka usaha yang dilakukan berada pada keadaan break even point.

d. Internal Rate of Return

Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat bunga

yang menunjukkan tingkat bunga yang menunjukkan nilai bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau usaha sama dengan nol. Kriteria kelayakannya adalah :

i. Bila IRR > tingkat suku bunga, maka usaha yang dilakukan menguntungkan.

ii. Bila IRR < tingkat suku bunga , maka usaha yang dilakukan tidak menguntungkan.

(38)

31

e. Payback Period (Pp)

Payback period menunjukkan jumlah tahun yang diperlukan

untuk memperoleh kembali semua modal yang telah

diinvestasikan. Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut : 1) Bila masa pengembalian (Pp) lebih pendek dari umur

ekonomis usaha maka usaha tersebut layak untuk dijalankan. 2) Bila masa pengembalian (Pp) lebih panjang dari umur

ekonomis usaha maka usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan.

4. Kemitraan dan Kelembagaan

a. Kemitraan

Bergerak di bidang usaha perkebunan kelapa sawit membutuhkan pengelolaan yang tidak sederhana. Lahan yang luas, juga

(39)

Usaha kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dan menengah atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan usaha dengan memperhatikan prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Program kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN (PTPN VII, 2010). Menurut (Hermawan,et al., 1998), prinsip kemitraan ditandai oleh adanya azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling membutuhkan dan azas saling

menguntungkan yang merupakan persetujuan antara dua atau lebih perusahaan untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat.

Jaringan kerjasama kemitraan sebagai lembaga penggerak agribisnis sangat dibutuhkan demi tercapainya pemenuhan kebutuhan akan produk pertanian. Hubungan kerjasama ini dapat berjalan efektif dan saling menguntungkan bila:

a. Hubungan yang bersifat interdependen,yaitu bentuk kerjasama yang saling membutuhkan dan keberadaan satu pihak tidak membebani pihak lain yang saling bekerjasama.

b. Hubungan yang bersifat egaliter dan adil, yaitu bentuk kerjasama yang saling menghargai, tidak terjadi eksploitasi terhadap pihak lain dengan keuntungan/ kepentingan sepihak.

(40)

33

d. Masing-masing dapat dipercaya dan diandalkan dalam menjaga kualitas (mutu) dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, sehingga menghasilkan sinergi berupa daya saing bersama dan

kepentingan bersama.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin kemitraan atau kerjasama antara kedua belah pihak berhasil antara lain harus ada komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik para pelaku usaha kemitraan akan membuat lawan bicaranya memahami maksud dan berusaha mencapai klaim-klaim kesahihan (Fadjar, 2006), dan arah orientasi yang jelas, profesionalisme serta saling menguntungkan

(win-win solution) (Utomo dan Anang, 2003).

(41)

Dalam rangka membangun kemitraan usaha, ikut campur tangan pemerintah sangat diperlukan dalam beberapa aspek; yaitu pertama, mengarahkan kelembagaan ekonomi koperasi, terutama KUD untuk menjadi bagian dari jaringan agribisnis; kedua, mengkonsolidasikan mengenai penggunaan lahan petani; ketiga, membuat perangkat hukum yang mendukung sehatnya perkembangan kemitraan usaha, terutama yang ditujukan untuk melindungi hak-hak individu petani dari bahaya eksploitasi pemodal besar, dan pengurasan sumberdaya alam yang menjadi basis usaha di sektor pertanian; keempat, menciptakan kondisi yang kondusif, misalnya pengembangan prasarana ekonomi,

pengkajian dan penerapan teknologi, kemudahan pelayanan

perkreditan dan pengembangan sistem informasi pasar; dan kelima, membuat status pilot project dengan tahap awal melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi dan kemitraan usaha di daerah (Sudaryanto dan Pranadji, 1999).

Melalui sistem kemitraan yang dibangun, perusahaan bisa mendeteksi secara dini seluruh gejala negatif yang muncul yang akan berakibat merugikan perusahaan. Kepercayaan, pengharapan, kompetensi, produktivitas, dan kinerja pun bisa dibangun dan dikelola dengan baik. Pengembangan kemitraan akan mengikat sisi psikologis dan

(42)

35

Sistem kemitraan memiliki tiga pola, yaitu pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), pola Kredit Koperasi Primer kepada Anggota (KKPA), dan pola Program Revitalisasi Perkebunan (PRP). Ketiga pola ini sama-sama membangun dasar kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, memperkuat, bertanggung jawab, dan saling

ketergantungan dengan masyarakat di sekitar perkebunan sebagai plasma. Prinsipnya, kedua belah pihak saling terbuka dan percaya sehingga saling menguntungkan dan membutuhkan (Farida, 2009).

Menurut Farida (2009), terdapat 5 pola kemitraan usaha yang dapat dilakukan antara petani dengan pengusaha besar, antara lain : 1) Pola kemitraan inti-plasma

Pola kemitraan ini merupakan pola hubungan antara petani, kelompok tani atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan bertindak dalam menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis,

manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Kelompok mitra bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. 2) Pola kemitraan subkontrak

(43)

3) Pola kemitraan dagang umum

Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas yang diperlukan oleh pihak pemasaran tersebut. 4) Pola kemitraan keagenan

Pola keagenan merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra. Pihak perusahaan mitra memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. Perusahaan besar/ menengah

bertanggungjawab atas mutu dan volume produk (barang dan jasa), sedangkan usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk atau jasa. Di antara pihak-pihak yang bermitra terdapat

kesepakatan tentang target-target yang harus dicapai dan besarnya

fee atau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan produk.

5) Pola kerjasama operasional agribisnis (KOA),

Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan sarana produksi seperti lahan, sarana, dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan hanya menyediakan modal, biaya, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk

(44)

37

Perusahaan mitra juga berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan.

b. Sistem Kelembagaan

Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi) sejauh ini lebih terpaku pada organisasi, baik organisasi formal maupun

organisasi non-formal. Konvensi Uphoff (1992) dan Fowler (1992) menyatakan bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organisasi, atau

sebaliknya. Suatu lembaga dapat berbentuk organisasi seperti pemerintah, bank, partai, perusahaan dan lain-lain. Institusi dapat juga berupa tata peraturan seperti hukum atau undang-undang, sistem perpajakan, tata kesopanan, adat-istiadat, dan lain-lain. Fungsi organisasi dan lembaga lokal antara lain adalah: (a) mengorganisir dan memobilisasi sumberdaya; (b) membimbing stakeholder pembangunan dalam membuka akses ke sumberdaya produksi; (c) membantu meningkatkan sustainability

pemanfaatan sumberdaya alam; (d) menyiapkan infrastruktur sosial di tingkat lokal; (e) mempengaruhi lembaga-lembaga politis; (f) membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang; (g) meningkatkan akses ke sumber informasi; (h) meningkatkan kohesi sosial; (i) membantu mengembangkan sikap dan tindakan koperatif.

(45)

a. Ikatan sosial (social relation), antara anggota masyarakat yang masih kuat. Hubungan ini menciptakan kesepakatan, aturan dan kewajiban sosial (social obligation) masyarakat di pedesaan yang mengikat semua anggota. Di beberapa daerah, peran dari lembaga adat masih cukup dominan.

b. Hubungan ekonomi (economic relation), bahwa setiap pertukaran barang dan pelayanan jasa selalu memperhitungkan imbalan ekonomi dan selalu dikaitkan dengan perhitungan untung rugi. Hubungan ekonomi antar golongan masyarakat kemudian

berkembang menjadi kewajiban ekonomi dengan berbagai aturan yang bersifat lebih baku dan lebih mengikat semua anggota masyarakat pedesaan.

Jika pasar tidak mampu mengkoordinasikan partisipan antarmasing-masing subsistem dalam sistem agribisnis maka organisasi bisnis petani (kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi petani) menjadi sangat penting sebagai wadah koordinasi atau integrasi antarpartisipan dalam sistem agribisnis. Disinilah hakekat pentingnya koperasi sebagai organisasi bisnis petani dalam mengendalikan fenomena biaya transaksi tinggi hingga ke tingkat minimum dibandingkan dengan alternatif

transaksi yang ada (Zakaria, 2002). Esensi organisasi petani menunjukkan bahwa keragaan organisasi bisnis petani (kelompok tani dan koperasi) sangat ditentukan oleh pengembangan sumber daya manusia

(humanware), pengembangan teknologi (technoware), dan pengembangan

(46)

39

Menurut Koentjaraningrat (2002), komponen-komponen yang menjadi bagian dari hubungan kelembagaan antara badan usaha dengan petani, meliputi personel (orang), peralatan fisik (sarana dan prasarana), sistem norma (aturan-aturan), serta kelakuan yang berpola baik dari perusahaan maupun petani. Hubungan antar komponen dari pranata sosial yang akan diteliti dalam lingkup kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Komponen-komponen dari Pranata Sosial Sumber: Koentjaraningrat, 2002

Tujuan kelembagaan (institutional goal) merupakan faktor terpenting yang seyogyanya dipahami secara mendalam. Tujuan komunal suatu lembaga lokal memiliki daya ikat sosio-teknis yang besar. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa (atau lebih tepat: penyesuaian struktur) kelembagaan akan lebih mudah terlaksana bila memiliki tujuan yang jelas. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa kelembagaan hendaknya memenuhi prasyarat berikut: (a) memiliki dampak yang jelas dan dapat dicapai oleh para stakeholder, (b) tersedia sistem pendukung internal (pengetahuan

Peralatan fisik Personel

Pranata yang berpusat pada suatu

kelakuan berpola Sistem

(47)

stakeholder) dan eksternal (infrastruktur fisik dan sosial lain), dan (c) stakeholder bersedia berpartisipasi. Ketiga elemen ini saling terkait satu sama lain dan kekurangan salah satu faktor saja akan memperlambat upaya perubahan sosial setempat. Introduksi lembaga baru yang bersifat koersif dan top-down banyak menemukan halangan dalam mencapai tujuannya karena lemahnya partisipasi stakeholder dan berbedanya persepsi tujuan kelembagaan. Sebaliknya introduksi norma tanam

serempak mampu dipahami tujuan dan jelas dampaknya sehingga di beberapa lokasi bahkan menggeser peran lembaga tata pengaturan kegiatan usahatani tradisional.

5. Kesejahteraan Petani Plasma

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (2010) mengungkapkan bahwa pengembangan pola PIR-Trans memberikan kesejahteraan bagi petani plasma. Beberapa kasus yang terjadi, antara lain: 1) petani dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang berada di Desa Pematang Tinggi, Kecamatan Krukut, Kabupaten Pelalawan, Riau, saat ini berkembang menjadi desa yang taraf ekonominya tumbuh pesat dengan rata-rata penghasilan penduduknya mencapai Rp 3 juta/ kaveling/ bulan (kaveling = 2 ha lahan dan 0,5 ha pekarangan) dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani plasma sawit; 2) petani di Di Desa Makmur

(48)

41

Bangunan tempat tinggal petani kelapa sawit yang pada awalnya terbuat dari papan kayu saat ini telah menjadi bangunan permanen. Pertumbuhan jumlah penduduk didorong pula oleh terbukanya lapangan kerja dan peluang usaha di Desa Makmur.

6. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Menurut Ratnawati (2010), tingkat efektivitas pelaksanaan kemitraan kelapa sawit dalam mencapai tujuan kemitraan selama ini sudah berjalan efektif yaitu dapat dilihat dari rata-rata pencapaian persentase skor harapan dari keseluruhan aspek sebesar 73,52% yang termasuk dalam kategori efektif. Semakin baik pelaksanaan kemitraan dalam memperbaiki manajemen usahatani guna meningkatkan produktivitas petani mitra, semakin tinggi tingkat efektivitas kemitraan. Begitu pula, semakin buruk pelaksanaan kemitraan dalam memperbaiki manajemen usahatani, semakin rendah pula tingkat efektivitas kemitraan.

Menurut Budi Kurniawan (2006), pola kemitraan kelapa sawit di

Kecamatan Bahuga Kabupaten Way Kanan pada tingkat suku bunga 15%, secara finansial menguntungkan dengan Gross B/C sebesar 1,24; Net B/C

sebesar 1,86; NPV sebesar Rp.36.002.756; IRR sebesar 19,92%, dan

Payback period 9,05 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan

(49)

B. Kerangka Berpikir

Tanaman perkebunan diakui dapat menyumbangkan kontribusi yang cukup besar dalam pemenuhan bahan baku agroindustri bahkan penghasil devisa negara. Salah satu komoditi perkebunan yang banyak berperan adalah kelapa sawit. Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedele, kacang tanah dan lain-lain), sehingga harga produksi menjadi lebih ringan. Masa produksi kelapa sawit yang cukup panjang (25 tahun) juga akan turut mempengaruhi ringannya biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha kelapa sawit. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dilihat dari konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai angka rata-rata 25 kg/th setiap orangnya, kebutuhan ini akan terus

meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita (Sihotang, 2010).

(50)

43

Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang “Sistem Budidaya Tanaman” pada pasal 47, 48, dan 49 menyatakan bahwa badan usaha diarahkan untuk bekerjasama secara terpadu dengan usaha petani, sementara pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk mendorong kerjasama, keterpaduan budidaya, pemasaran, dan industri. PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor perkebunan Indonesia yang menjadi pihak perusahaan inti. PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) bergerak di bidang usaha agribisnis perkebunan dengan komoditas karet, kelapa sawit, tebu dan teh yang semuanya dikelola dengan teknologi modern, manajemen terpadu dan didukung sumberdaya manusia profesional terkait, serta ditumbuhkan dengan jalan mengembangkan usaha berbasis bisnis inti yang mengarah ke integrasi vertikal.

(51)

Prinsip kemitraan yaitu saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling membutuhkan sesuai Peraturan Pemerintah Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil sangat memberi peluang terlaksananya kemitraan bisnis antara petani, kelompok tani, dan koperasi dengan pihak swasta dalam meningkatkan daya saing produk di pasar domestik maupun internasional. Program kemitraan agribisnis penting bagi daerah atau wilayah yang menghadapi kendala-kendala seperti keterbatasan lahan usahatani dalam skala ekonomi, pemilikan lahan pertanian yang terpecah, rendahnya penguasaan teknologi oleh petani, serta persaingan dalam aspek pemasaran, distribusi, dan rendahnya pendapatan atau

kesejahteraan petani. Bagi daerah yang tipis penduduknya, pola kemitraan dikembangkan lebih intensif dan peran perusahaan inti sangat dominan (Hasyim, 2005).

Konsep kemitraan yang menjadi dasar pelaksanaan merupakan upaya kerjasama yang berazaskan saling menguntungkan secara

berkesinambungan. Langkah pilihan yang strategis yakni melalui pengembangan komoditas kelapa sawit dengan program, antara lain:

(52)

45

guna mengatasi permasalah free rider, komitmen, loyalitas dan tuntutan faktor eksternal yang ada pada suatu organisasi (koperasi) sehingga mampu menghasilkan performa yang sesuai dengan harapan. Alasan pemberdayaan kelembagaan koperasi dan kelompok tani secara ekonomi dapat dipandang sebagai upaya menghindari biaya transaksi tinggi yang harus dikeluarkan oleh para anggotanya (karena adanya masalah free rider, komitmen, loyalitas dan faktor eksternal) dalam mencapai tujuan organisasi (peningkatan pendapatan dan lain-lain) (Arkadie, 1989).

Komponen-komponen dari pranata sosial yakni sistem norma, personel, dan peralatan fisik, masing-masing saling terkait dengan pranata yang berpusat pada suatu kelakuan berpola dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dalam masyarakatnya (Koentjaraningrat, 2002). Komponen-komponen tersebut menjadi bagian dari hubungan kelembagaan antara badan usaha dengan petani, seperti personel (orang), peralatan fisik (sarana dan prasarana), sistem norma (aturan-aturan), serta kelakuan yang berpola baik dari perusahaan maupun petani.

(53)

Nusantara VII (Persero) dalam melaksanakan program kemitraan ini adalah berupa bantuan pengadaan bibit kelapa sawit yang berkualitas.

Kemitraan diharapkan pula dapat mengatasi kendala yang selama ini

menjadi penghambat pengembangan pelaku usaha agribisnis, baik dalam hal teknis budidaya, produksi, pemasaran, maupun pendanaannya. Hal

terpenting adalah pola kemitraan menjanjikan dihasilkannya kemajuan kegiatan usaha yang sejajar antara perusahaan inti dengan plasma. Bagi perbankan, pola kemitraan ini juga relatif cukup aman untuk diberikan kredit. Kemitraan juga dapat mengatasi kendala agunan bagi plasma, melalui mekanisme adanya jaminan avalis dari perusahaan inti. Pola kemitraan ini juga memberikan peluang bagi perbankan untuk dapat lebih meningkatkan penyaluran kreditnya, karena dalam kemitraan, kredit perbankan dapat diberikan baik kepada inti saja, atau plasma saja, atau kepada inti dan plasma secara bersama-sama (Sutrisno, 2010).

Untuk menunjang keberhasilan usahatani kelapa sawitnya, petani mitra menyediakan bahan baku pertanian secara kontinu dengan jumlah tepat yang sangat diperlukan. Produksi yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: luas lahan (X1), jenis bibit (X2), alat-alat produksi (X3), jumlah pupuk (X4), jumlah tenaga kerja (X5), dan manajemen (X6). Apabila dinyatakan dalam persamaan adalah sebagai berikut:

(54)

47

Bibit yang digunakan petani mitra berupa bibit kelapa sawit berkualitas dari PT Perkebunan Nusantara VII (Persero. Luas lahan merupakan luasan lahan yang dimiliki dan dikelola petani kelapa sawit mitra untuk usahatani kelapa sawit. Pupuk yang digunakan adalah beberapa jenis pupuk yang digunakan dalam upaya peningkatan produktivitas kebun. Tenaga kerja adalah tenaga kerja dalam maupun luar keluarga yang melakukan usahatani petani kelapa sawit mitra. Manajemen meliputi manajemen/ pengaturan dalam melakukan budidaya tanaman maupun sumber daya manusianya.

Hasil panen petani kelapa sawit mitra merupakan produksi yang kemudian dijual ke PTPN VII Unit Usaha Bekri sehingga menghasilkan penerimaan petani tersebut. Pendapatan/ keuntungan petani adalah penerimaan yang diperoleh petani kelapa sawit mitra setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan secara tunai selama proses produksi. Biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai dalam hal ini biaya pembelian pupuk, bibit, upah, tenaga kerja dan biaya penyusutan alat-alat pertanian dalam satu kali musim tanam petani kelapa sawit mitra.

Kelapa sawit yang merupakan komoditi tahunan membutuhkan sejumlah pertimbangan untuk mengetahui keuntungan usahatani yang salah satunya adalah dengan melakukan analisis keuangan atau analisis finansial. Analisis finansial merupakan perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan suatu usaha, apakah usaha itu akan menjamin modalnya akan kembali atau tidak, dan apakah usaha tersebut akan dapat dikembangkan lebih luas lagi

(55)

Analisis finansial juga mencakup semua beban biaya, baik biaya investasi maupun biaya operasional dan perbandingan dengan perkiraan penerimaan atau manfaat (benefit) yang diperoleh.

Setelah mengetahui pendapatan/ keuntungan petani kelapa sawit mitra, kemudian dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui kelayakan finansial usahatani kelapa sawit petani yang bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bekri di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo.

(56)

49

Gambar 2. Kerangka berpikir pola kemitraan dan pendapatan usahatani kelapa sawit (kasus kemitraan usahatani kelapa sawit antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan petani mitra di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah) Sawit PTPN VII Unit

(57)

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional

Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti, serta penting untuk memperoleh dan menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup pengertian yang digunakan untuk memperoleh data dan melakukan analisis yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

Lembaga/ pranata/ institusi adalah kumpulan norma-norma yang mengatur tentang pengelolaan usahatani kelapa sawit. Indikator lembaga terbagi menjadi beberapa komponen, antara lain: sistem norma, personel, dan peralatan fisik.yang kemudian berpusat pada kelakuan petani kelapa sawit yang bermitra dengan. Kelembagaan juga dicirikan oleh batas yuridiksi,

property right (hak pemilikan), dan rules of representation (aturan representasi).

(58)

51

pelaksanaan kemitraan dan pengelolaan usahatani kelapa sawit petani kelapa sawit yang bermitra dengan perusahaan.

Personel adalah manusia yang melaksanakan kelakuan berpola. Personel dalam penelitian ini antara lain pihak perusahaan, petani, dan pihak-pihak lain yang ikut ambil bagian dalam kegiatan kemitraan usahatani kelapa sawit.

Peralatan fisik dalam kegiatan usahatani kelapa sawit adalah semua sarana dan prasarana/ peralatan fisik yang digunakan petani kelapa sawit untuk melakukan kegiatan dan pengelolaan usahatani kelapa sawit mulai dari pengolahan tanah sampai dengan panen.

Pola kemitraan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit adalah pola hubungan antara petani, kelompok tani atau kelompok mitra kelapa sawit sebagai mitra dengan perusahaan inti yang bermitra usaha.

Pola kemitraan dapat dilihat berdasarkan 5 pola, yaitu: 1) pola inti-plasma, yakni perusahaan bertindak dalam menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta

memasarkan hasil produksi); 2) pola subkontrak, yakni pola kemitraan antara kelompok mitra usaha dengan perusahaan mitra usaha yang

(59)

yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target-target yang harus dicapai dan besarnya fee atau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan produk; dan 5) pola kerjasama operasional agribisnis, yakni kelompok mitra menyediakan sarana produksi seperti lahan, sarana, dan tenaga kerja,

sedangkan perusahaan hanya menyediakan modal, biaya, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian, juga berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan.

Petani kelapa sawit adalah individu/ sekelompok orang yang melakukan usahatani kelapa sawit guna memenuhi kebutuhan sebagian atau secara keseluruhan hidupnya dalam bidang pertanian. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani kelapa sawit mitra PTPN VII Unit Usaha Bekri.

Perusahaan mitra dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit adalah

perusahaan yang melakukan kegiatan bermitra dengan petani kelapa sawit untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa sawit dan mencapai target produksi perusahaan.

(60)

53

bertujuan untuk menghasilkan produksi dan pendapatan usahatani kelapa sawit.

Jumlah tenaga kerja usahatani kelapa sawit adalah banyaknya tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi kelapa sawit selama musim tanam. Penggunaan tenaga kerja diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK).

Luas lahan usahatani kelapa sawit adalah areal/ tempat yang digunakan petani untuk melakukan usahatani kelapa sawit di atas sebidang tanah. Luas lahan diukur dalam satuan hektar (ha).

Faktor produksi usahatani kelapa sawit adalah semua korbanan yang diberikan pada tanaman kelapa sawit agar tanaman tersebut mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik.

Produksi kelapa sawit adalah jumlah Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan oleh petani. Produksi TBS diukur dalam satuan buah per hektar (buah/ha).

Umur ekonomis alat yang digunakan dalam usahatani kelapa sawit adalah lamanya tahun alat dapat digunakan dalam usahatani kelapa sawit. Umur ekonomis alat diukur dalam satuan tahun (th).

(61)

Biaya produksi kelapa sawit adalah semua pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan tandan buah segar dalam suatu proses produksi yang dinilai dalam satuan rupiah (Rp). Biaya produksi ini meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya produksi diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan jumlah produksi kelapa sawit. Biaya tetap diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya tidak tetap adalah biaya yang selalu berubah-ubah tergantung besar kecilnya produksi kelapa sawit. Biaya tidak tetap diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya penyusutan adalah biaya tetap yang diperhitungkan untuk alat-alat yang dihitung dengan metode garis lurus (yaitu nilai beli dikurangi dengan nilai sisa dibagi dengan usia ekonomis). Biaya penyusutan diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan investasi usahatani kelapa sawit sebelum menghasilkan buah sawit. Biaya investasi diukur dalam satuan rupiah (Rp).

(62)

55

Jumlah nilai sarana produksi pertanian adalah banyaknya nilai uang sarana produksi pertanian yang digunakan petani dalam berusahatani kelapa sawit dengan cara setiap jenis sarana produksi pertanian yang digunakan oleh petani dikalikan harganya, kemudian dijumlahkan. Jumlah nilai sarana produksi pertanian diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Penerimaan adalah jumlah penerimaan yang diterima petani yang dihitung dengan mengalikan jumlah produksi kelapa sawit dengan harga jual

produksi kelapa sawit di tingkat petani produsen. Penerimaan diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Pengeluaran adalah biaya pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani dalam melakukan usahatani kelapa sawit. Pengeluaran diukur dalam satuan rupiah (Rp/th).

Pendapatan/ keuntungan usahatani sawit adalah balas jasa yang diperoleh petani kelapa sawit setelah dikurangi biaya total usahatani kelapa sawit yang dikeluarkan secara tunai selama proses produksi, dalam hal ini biaya

pembelian pupuk, bibit, upah, tenaga kerja dan biaya penyusutan alat-alat pertanian dalam satu kali musim tanam. Pendapatan/ keuntungan usahatani kelapa sawit diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

(63)

Kelayakan usahatani kelapa sawit adalah penilaian usahatani kelapa sawit dengan menggunakan konsep nilai uang yang akan didapatkan dari usahatani tersebut (nilai masa depan, future value) pada nilai uang bersih saaat kini (net present value), dengan menggunakan tingkat faktor terdiskon tertentu.

Analisis finansial adalah suatu perhitungan yang didasarkan pada

perbandingan manfaat (benefit) yang akan diterima dengan biaya (cost) yang akan dikeluarkan selama suatu usaha dijalankan. Alat analisis yang akan digunakan antara lain; Net Present Value (NPV), Internal Rate Return

(IRR), Gross B/C, Net B/C, dan Payback Period (PP).

Tingkat suku bunga atau discount factor adalah suatu bilangan yang lebih kecil dari satu yang dapat digunakan untuk menghitung suatu nilai uang masa datang (future value = t0), berapa nilainya saat ini (present value = tn), dengan menperhitungkan tingkat bunga (i) yang tetap pada akhir setiap tahun (t).

Net Present Value (NPV) adalah suatu analisis yang digunakan untuk

(64)

57

IRR merupakan tingkat bunga (discount rate) yang dapat membuat besarnya NPV proyek sama dengan nol (0). Internal rate return diukur dalam satuan (%).

Gross B/C adalah biaya modal atau biaya investasi permulaan, dan biaya

operasi dan pemeliharaan, sedang yang dihitung sebagai gross benefit adalah nilai total produksi.

Net B/C adalah suatu tingkat perbandingan antara jumlah present value yang positif dengan present value yang negatif.

Payback Period (PP) atau disebut juga periode kembali modal adalah suatu

analisis yang digunakan untuk mengetahui jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal investasi. Semakin pendek jangka waktu kembalinya investasi, semakin baik suatu investasi dan sebaliknya. Payback period diukur dalam satuan tahun.

Harga privat atau harga finansial adalah tingkat harga umum suatu barang yang berlaku di pasar. Harga pasar ini akan digunakan dalam perhitungan analisis finansial, diukur dalam rupiah per satuan (Rp/satuan).

B. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian

Penelitian diadakan di Desa Sinar Banten, Kecamatan Bekri, Kabupaten Lampung Tengah (lokasi perusahaan mitra) dan Desa Tanjung Jaya,

(65)

perusahaan). Lokasi penelitian dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) merupakan salah satu perkebunan besar negara yang melakukan kegiatan kemitraan dengan petani kelapa sawit di daerah sekitarnya. Kemitraan perusahaan dengan petani kelapa sawit mitra berguna dalam menunjang perkembangan usahatani kelapa sawit, meningkatkan pendapatan per kapita petani kelapa sawit mitra dengan perusahaannya, serta terpenuhinya bahan baku inti perusahaan. Salah satu unit usaha PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) yang masih menjalankan program kemitraan dengan petani kelapa sawit mitra adalah Unit Usaha Bekri yang terletak di Desa Sinar Banten Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah.

Responden dalam penelitian ini adalah para petani mitra kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah yang bermitra dengan PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri. Penentuan responden ini adalah untuk melihat keberhasilan program kemitraan dan peningkatan pendapatan masing-masing petani kelapa sawit mitra. Jumlah petani kelapa sawit mitra adalah 46 orang. Penentuan sampel yang digunakan adalah metode simple random sampling, yaitu pengambilan sampel secara acak di mana semua individu dalam populasi (anggota

(66)

59

2012 sampai dengan proses pengambilan data yang dilakukan bulan Agustus-Januari 2013.

C. Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Metode penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat secara langsung oleh pengumpul data dan diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo yang bermitra dengan PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri. Selain wawancara, teknik pengumpulan data primer juga dilakukan dengan membuat kuesioner (daftar pertanyaan) sekaligus melakukan pengamatan (observasi) langsung di lapangan. Data sekunder adalah data yang didapat secara tidak langsung oleh pengumpul data, melainkan melalui perantara baik lembaga maupun pustaka. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.

D. Metode Pengolahan dan Analisis Data

(67)

data keuangan (penerimaan dan pengeluaran) usahatani kelapa sawit dan untuk melihat usahatani kelapa sawit yang dianalisis dengan menggunakan

Gross B/C ratio, Net B/C Ratio, Net Present Value (NPV), Internal Rate of

Return (IRR), dan Payback period terhadap para petani kelapa sawit yang

menjadi mitra perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah.

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang menjelaskan data hasil survei dengan menggunakan kuesioner. Analisis deskriptif meliputi pola kemitraan dan sistem kelembagaan yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan petani kelapa sawit mitra, karakteristik petani kelapa sawit mitra PTPN VII Unit Usaha Bekri, serta keadaan umum usahatani kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah.

2. Analisis Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial adalah analisis yang dilakukan secara kuantitatif, yang terdiri dari:

a. Gross B/C Ratio

(68)

61

investasi permulaan, biaya operasi dan pemeliharaan. Rumus

gross B/C ratio adalah :

Kriteria kelayakan adalah :

i. Bila Gross B/C > 0, maka usaha layak untuk dijalankan ii. Bila Gross B/C < 0, maka usaha tidak layak untuk

dijalankan

iii. Bila Gross B/C = 0, maka usaha berada pada keadaan break even point

b. Net B/C Ratio

Net B/C Ratio merupakan perbandingan antara present value dari

net benefit yang positif dengan present value dari net benefit

(69)

Keterangan :

NB1 (+) = Net Benefit yang telah di discount positif (+) NB2 (–) = Net Benefit yang telah di discount negatif (–) t = Tahun ke - ...

Kriteria kelayakan adalah :

i. Bila Net B/C > 0, maka usaha dikatakan menguntungkan ii. Bila Net B/C < 0, maka usaha yang dilakukan dikatakan tidak

menguntungkan

iii. Bila Net B/C = 0, maka usaha pada keadaan break even point

c. Net Present Value

Net Present Value (NPV) merupakan metode yang menghitung

selisih antara penerimaan dengan biaya atau pengeluaran. Rumus yang digunakan adalah:

n

NPV =

Σ

Bt – Ct t = 1 (1 + i) n

Keterangan :

Bt = Penerimaan (benefit) pada tahun ke-t Ct = Biaya (cost) pada tahun ke-t

i = Discount rate (%)

n = Umur proyek (tahun)

Kriteria kelayakan adalah :

(70)

63

iii. Bila NPV = 0, maka usaha yang dilakukan berada pada keadaan break even point

d. Internal Rate of Return

Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat bunga

yang menunjukkan tingkat bunga yang menunjukkan nilai bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau usaha sama dengan nol. Rumus yang digunakan yaitu:

IRR = i1 + NPV1

(i2 – i1) NPV1– NPV2

Keterangan :

NPV1 = NPV yang bernilai positif NPV2 = NPV yang bernilai negatif

i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif

i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif

Kriteria kelayakan adalah :

i. Bila IRR > tingkat suku bunga, maka usaha yang dilakukan menguntungkan

ii. Bila IRR < tingkat suku bunga, maka usaha yang dilakukan tidak menguntungkan

(71)

e. Payback Period (Pp)

Payback period menunjukkan jumlah tahun yang diperlukan

untuk memperoleh kembali semua modal yang telah diinvestasikan. Semakin pendek jangka waktu kembalinya investasi, semakin baik suatu investasi. Kelemahan dari payback

period adalah tidak memperhitungkan nilaiwaktu uang, dan tidak

memperhitungkan aliran kas sesudah periode payback. Rumus

payback period adalah :

Pp = K0

x 1 tahun

Ab Keterangan :

K0 = Investasi awal

Ab = manfaat bersih yang diperoleh dari setiap periode

Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut :

1) Bila masa pengembalian (Pp) lebih pendek dari umur

ekonomis proyek (umur ekonomis 20-25 tahun)maka proyek tersebut layak untuk dijalankan.

2) Bila masa pengembalian (Pp) lebih panjang dari umur

Gambar

Tabel 2. Sebaran luas areal dan produksi perkebunan rakyat kelapa sawit diKabupaten Lampung Tengah tahun 2012
Tabel 3. Pencapaian produksi Tandan Buah Segar (TBS) PT PerkebunanNusantara VII Unit Usaha Bekri tahun 2003-2009
Tabel 4. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) kemitraan PT PerkebunanNusantara VII Unit Usaha Bekri dengan KUD tahun 1996-2009
Tabel 5.  Produksi tanaman kelapa sawit D x P Marihat pada berbagai                        umur tanaman
+3

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit di daerah penelitian adalah tingkat pendapatan usahatani tebu dan tingkat pendapatan

Dari nilai Gini Ratio dan kurva Lorenz petani kelapa sawit rakyat dan petani padi sawah dapat disimpulkan bahwa distribusi pendapatan keluarga petani kelapa sawit rakyat

Selanjutnya penyerapan tenaga kerja petani pada usahatani kelapa sawit pola kemitraan PT Inti Indosawit Subur di Desa Danau Embat Kecamatan Maro Sebo Ilir Kabupaten Batang

Sedangkan untuk model III, yaitu kemitraan inti-plasma yang dikelola oleh petani secara individu, karena jumlah petani yang mengikuti program tersebut terbatas hanya sebanyak

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit Petani Swadaya di Desa Bumi Kencana

Pendapatan usahatani sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kelapa sawit di Kecamatan Budong – Budong Kabupaten Mamuju Tengah dan petani

Manfaat yang dirasakan petani berupa adanya lapangan pekerjaan disekitar area perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit bagi putra putri daerah di Desa

Selanjutnya, persepsi petani responden melakukan usahatani perkebunan kelapa sawit karena keperluan sarana produksi seperti pupuk dan insektisida yang mudah diperoleh