• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep filsafat eksistensialis soren kierkegaard

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep filsafat eksistensialis soren kierkegaard"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh :

W A R N O T O NIM : 101033121766

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

DIRI YANG OTENTIK;

KONSEP FILSAFAT EKSISTENSIALIS SOREN KIERKEGAARD

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Meraih Gelar

Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh

Warnoto NIM : 101033121766

Dibawah Bimbingan

Dr. Syamsuri, M.Ag. Nip. 19590405 198903.1.003

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

ﺑـ

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴ

Puji syukur ke hadirat Allah swt. Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi yang berjudul “DIRI YANG OTENTIK; KONSEP FILSAFAT EKSISTENSIALIS SOREN KIERKEGAARD”. Salawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw. Rasul paling mulia dan penutup para Nabi, serta iringan doa untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang selalu setia sampai akhir zaman.

Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang merupakan bagian dari perjalanan kehidupan telah penulis lalui dengan segala suka dan duka. Selesainya skripsi ini meskipun dalam waktu yang cukup lama, baik sadar maupun tidak sadar telah membentuk karaktetistik kehidupan pada diri penulis.

Usaha dalam penyelesaian skripsi ini bukan semata-mata dari penulis sendiri, akan tetapi dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan teruma kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, sekalu Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staff.

2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A., sekalu Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staff.

(5)

dan Sekretatis Jurusan Aqidah Filsafat, Bapak Ramlan Abdul Gani, M.A. 4. Bapak Dr. Syamsuri, M.Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan perhatian, bimbingan, kritik, saran dan motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini.

5. Keluarga besarku yang telah mendukung penulis demi selesainya studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ayahanda Dasur al Malawi dan Ibunda Dasuki yang telah berjuang sekuat tenaga bagaimana caranya menjadikan penulis seorang anak yang berhasil, serta kakak-kakak dan adik-adik tercinta.

6. Teman-teman mahasiswa, khususnya jurusan Aqidah Filsafat angkatan 2001, Ahmad Faruq, Ivan Hanifah, dan lain-lainnya yang telah memberikan motivasi begitu besar kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Seluruh keluarga besar IMMAN (Ikatan Mutakharijin Madrasah Aliyah Negeri Ciwaringin Cirebon), yang selalu berdiskusi kepada penulis mengenai tema-tema terkait judul skripsi yang penulis buat, sehingga dapat menambah penguasaan penulis untuk memahami isi skripsi.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini hingga selesai, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(6)

iii

Untuk mereka semua, penulis pribadi tidak bisa membalasnya, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Wassalam.

Jakarta, 22 Desember 2009

(7)

KATA PENGANTAR ... i

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Telaah/Studi Kepustakaan... 9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 11

D. Tujuan Penulisan... 12

E. Metode Penulisan ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KEHIDUPAN SOREN KIERKEGAARD ... 14

A. Kehidupan Soren Kierkegaard ... 14

B. Karya-karya Soren Kierkegaard... 22

BAB III SOREN KIERKEGAARD DAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME ... 28

A. Idealisme Hegelian... 28

B. Lahirnya Eksistensialisme: Sebuah Kritik Atas Filsafat Hegel ... 30

C. Kritik Kierkegaard Terhadap Hegelian ... 36

(8)

D. Tema-tema Penting dalam Filsafat Kierkegaard ... 38

BAB IV KONSEP DIRI OTENTIK DALAM FILSAFAT SOREN KIERKEGAARD... 43

A. Tahap-Tahap Eksistensi ... 43

B. Subyektivitas Sebagai Kebenaran ... 51

C. Diri Yang Otentik... 60

D. Pengaruh Filsafat Kierkegaard... 67

E. Diri Otentik dalam Tinjauan Islam ... 70

BAB IV PENUTUP ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran-saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(9)
(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari manusia selalu disibukkan dengan

berbagai aktivitas. Kesibukan yang dihadapi nanti akan muncul beberapa problem

hingga mau tidak mau manusia sendiri harus dapat mengatasi dengan keputusan

yang kadang membingungkan. Untuk itu perlu adanya suatu kehati-hatian dalam

menangani permasalahan yang muncul dalam setiap waktu, karena tindakan yang

telah dilakukan oleh manusia itu nanti akan berdampak kepada dirinya sendiri.

Akan tetapi semua orang menyadari di saat mengambil keputusan-keputusan

selalu berharap memperoleh kebenaran.

Permasalah yang melekat pada manusia dan sikap yang diambil

merupakan suatu pergulatan hidup. Kesadaran manusia yang mampu mengenal

dan menyadari dirinya sendiri sangat diperlukan dalam hidup yang mewaktu,

karena hal ini akan memunculkan sebuah refleksi hingga dapat mengambil

keputusan-keputusan yang benar. Ketika seseorang secara penuh menggunakan

kesadaran dirinya, ia sesungguhnya telah mencapai eksistensi hidup. Inilah yang

menjadi perjalanan sejarah manusia dengan mendapatkan kebenaran yang ada

dalam segala keputusan yang diambilnya.

Dalam tradisi filsafat Barat tema tentang kesadaran diri mulai muncul pada

zaman pencerahan (renaisance) sekitar abad ke-16. Pada masa ini dikenal sebagai

zaman yang memiliki corak antroposentris, di mana manusia menjadi pusat

(11)

perhatian. Zaman Yunani dan abad pertengahan filsafat selalu mencari “substansi”

prinsip induk yang “ada di bawah” seluruh kenyataan. Yang mana sebelumnya

filsafat Yunani menggunakan alam (kosmosentris) dan Tuhan (teosentris) sebagai

prinsip induknya. Akan tetapi, pada zaman modern tema yang menjadi prinsip

induknya adalah subyektivitas.1

Tokoh yang memiliki pengaruh besar di awal zaman pencerahan

diantaranya adalah Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-1677) dan Leibniz

(1646-1716). Mereka mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan manusia

yang sedang berpikir dalam pusatnya. Menurutnya bahwa akal budi merupakan

alat terpenting bagi manusia untuk mengerti dunianya dan untuk mengatur

hidupnya.2

Pada masa itu term tentang diri menjadi tema yang menarik, sehingga

dalam perjalanan sejarah muncul tokoh-tokoh yang membangun konsep-konsep

baru tentang individu. Tokoh yang cukup berpengaruh di masyarakat Barat dalam

perkembangan selanjutnya adalah munculnya idealisme Jerman. Diantaranya

adalah Johann Gottlieb Fichte (1762-1814), Wilhelm Joseph von Schelling

(1775-1854) dan George Wilhelm Friedrich Hegel 1770-1831).3 Tokoh yang disebut

terakhir inilah yang pemikiran dan ide-idenya mampu mempengaruhi kehidupan

masyarakat Jerman dengan konsep filsafatnya “Roh Absolut”.

Tema tentang “diri” bertumpu pada tiga aspek pertama aspek material atau

badani; kedua aspek relasional dalam arti selalu mengarah pada yang lain dan

1 Harry Hamersma,

Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 3

2

Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat., h. 4

3

(12)

3

ketiga aspek reflektif dari diri itu sendiri.4 Aspek pertama meliputi yang fisikal,

eksistensi tubuh (corporeality) dari individu-individu, kedua relasional

maksudnya aspek yang muncul dari interaksi sosial dan kultural,

hubungan-hubungan biasa dan keterlibatan-keterlibatan yang memberikan kita sebuah

identitas kolektif terkait nilai-nilai dan orientasi-orientasi bersama hingga

membuat kita mampu menggunakan bahasa tertentu, dalam arti

keunikan-keunikan tertentu. Dalam sudut pandang ini diri kita adalah hubungan-hubungan

kita dengan masyarakat dan dengan yang lain yang membentuk kita.

Ketiga reflektifitas digerakan dari kapasitas manusia untuk menciptakan

baik dunia maupun obyek-obyek eksistensi dirinya sendiri, termasuk di dalamnya

relasi sosial, melalui aktifitas kesadarannya. Pada tingkat ini diri merupakan

pelaku aktif dari realisasi dirinya sendiri, tatanan yang didirikan di antara

sikap-sikap dan kepercayaannya, serta memberikan hubungan langsung terhadap

tindakan-tindakanya.

Pandangan diri yang bertumpu pada aspek badani dengan demikian berarti

di satu sisi manakala badan dalam ketentuan organ yang memiliki

kebutuhan-kebutuhan tertentu, sedangkan di sisi lain ketika aspek badani tersebut dipahami

sebagai sarana gen-gen dan kewajiban-kewajibannya yang dipahami sebagai sudut

pandang biologis evolusionistis. Dalam arti ini badan dimaknai semacam mesin

sebagaimana dikemukakan para pemikir awal modernitas.5

Sementara itu diri badani dimaknai sebagai sumber-sumber yang

senantiasa bergerak bagi kehendak dan kebutuhannya, yang mana hal ini

4

Jerrold Siegel, The Idea of the Self, Cambridge University Press, New York, 2005. p. 5

5

(13)

dikemukakan oleh pemikir seperti Nietzsche (1844-1900) dan Schopenhauer

(1788-1860).6 Sedangkan kedirian relasional berarti ketika seseorang terlibat

dalam, istilah Marx (1818-1883), pembagian kelas dan konflik sosial.7 Singkatnya

diri dipahami sebagai di satu sisi merupakan anggota dari suatu populasi tertentu

dan di sisi lain diri yang dipahami sebagai bagian dari relasi inter-personal atau

relasi antar-individu.

Diri reflektif dimaknai sebagai diri yang dapat memikirkan eksistensi

dirinya sendiri dengan kata lain ia mampu mencapai otentisitanya dengan

melampaui dunia material. Diri dengan dimensi reflektif, pendeknya, dapat

berjarak secara penuh dari gambaran-gambaran keseharian dari keberadaan

eksistensialnya yang ia dekati dengan menegasi atau menolak kehidupan material

secara bersamaan. Pada tingkat ini diri dipahami sebagai prinsip dari keseluruhan

kehidupan dan kendaraan bagi rekonsiliasi di dalam dirinya dengan apa yang

disebut sebagai Roh (Geist) dalam terminologi filsuf Hegel.8

Dalam silang gagasan tentang diri, yang dikemukakan para tokoh tersebut,

muncul suatu pandangan diri yang berusaha untuk menjembatani keseluruhan

aspek kedirian, yakni badani, relasi dan refleksi dengan dengan menginjeksikan

nilai-nilai teologis tertentu. Tokoh yang mencoba untuk melakukan itu adalah

Søren Kierkegaard (selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat dengan

Kierkegaard).

Argumentasi filosofis Kierkegaard bertolak dari pandangan bahwa

(14)

5

memilih, menentukan pilihan-pilihan yang akan diambil, hingga akhirnya

mendapatkan konsekuensi yang dapat dipertanggung-jawabkan. Hal itu

merupakan sebuah langkah personal untuk dapat menemukan dirinya. Diri yang

penuh dengan kesadarannya memahami realita dan fakta-fakta hidup. Realita dan

fakta adalah suatu rangkaian pengalaman yang menuntun diri untuk menemukan

individu yang sesungguhnya.9

Kierkegaard adalah salah satu sosok yang selalu gelisah dan merenungkan

eksistensi diri dalam mengambil keputusan-keputusan. Pergulatan hidup yang

dilaluinya sering mengalami kecemasan (angst) atau takut (fear) ketika

menghadapi permasalahan-permasalahan yang menuntut untuk mengambil

keputusan. Ia merasakan itu karena memang untuk mendapatkan suatu kebenaran

harus dapat memutuskan dari berbagai pilihan agar bisa mendapatkan kebenaran

yang diyakininya.

Kecemasan dan ketakutan akan selalu muncul dalam setiap individu.

Semua orang pasti merasakan, entah disaat masih kecil, dewasa maupun di usia

lanjut. Jika kita melihat kehidupan Kierkegaard sendiri ada dua peristiwa yang

mepengaruhi teori dan pemikiran eksistensialismenya. Pertama adalah dosa

kutukan yang ditimpakan kepada keluarganya. Seluruh keluarga Kierkegaard –

yaitu ibu dan adik-adiknya— meninggal dunia kecuali ayah dan dia sendiri. Ia

meyakini bahwa itu adalah hukuman dari Tuhan yang ditimpakan kepada

9

(15)

keluarganya.10 Di samping itu juga seorang bapak yang dikenal sangat saleh dan

taat kepada ajaran Kristiani ternyata Kierkegaard melihat keburukan-keburukan

dari sang ayah bahwa kepribadiannya justru bertentangan dengan apa yang sering

dikhotbahkan di gereja-gereja.11

Peristiwa kedua, berkenaan dengan masa romantisme remajanya. Regina

Olsen, kekasih Kierkegaard, diputus olehnya tanpa alasan yang jelas, padahal

keduanya telah bertunangan selama tiga bulan. Tangisan kekasih dan permohonan

ayah Regina tidak mampu merubah keputusan yang sudah menjadi sikap

kebenaran menurut Kierkegaard. Hingga sampai akhir hayat Kierkegaard tidak

mencari pengganti Regina dan ia merasa puas dengan kehidupan yang kadang

diwarnai dengan sikap-sikap yang sulit dimengerti oleh akal. Bagi dia itulah

kebenaran yang diyakininya.

Kierkegaard menyadari bahwa tiap individu mempunyai kebenaran

masing-masing, kebenaran memang bersifat subyektif. Menurutnya kebenaran

yang subyektif inilah yang merupakan sebuah keputusan dan sikap yang mengena

kepada realitas. Keputusan yang diambil dirasakan langsung oleh individu secara

kongkrit.12

Berbeda dengan kebenaran obyektif, kebenaran ini tidak bisa diketahui

kebenarannya secara pasti. Manusia memang mengharapkan kebenaran itu,

10

Thoman Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: KPG Press, 2005), h. 24

11 Thoman Hidya Tjaya,

Kierkegaard., h. 111

12

(16)

7

namun sayangnya tidak bisa dimiliki oleh manusia itu sendiri.13 Untuk itu

menurut Kierkegaard kebenaran obyektif tidak bisa diketahui oleh manusia,

manusia hanya mampu mendekati kebenaran tersebut. Yang memiliki dan

mengetahui kebenaran obyektif hanyalah Tuhan semata. Inilah alasan kenapa

Kierkegaard lebih mementingkan kebenaran subyektif. Kebenaran ini kongkrit

langsung mengena kepada individu itu sendiri. Sementara kebenaran obyektif

hanya bersifat absurd dan individu tidak dapat mencapai dan mengetahui

keobyektifannya sampai kapanpun.

Kesadaran subyektif akan mengantarkan kepada kesadaran penuh akan

kebenaran pada dirinya juga menjadikan eksistensi pada diri secara utuh sebagai

individu. Untuk itu seorang yang meyakini kebenaran subyektif hendaknya lari

dari kerumunan (public). Inilah yang menjadi pijakan Kierkegaard berikutnya

setelah meyakini kebenaran subyektif yaitu menjadi subyek yang otentik, dalam

arti sebagai diri yang otentik, murni pada dirinya (an sich). Untuk menjadi diri

yang otentik perlu ada sebuah identitas individu itu sendiri, bukan orang lain atau

komunitas. 14 Kierkegaard sangat mengkritik individu yang larut dalam

kerumunan (public). Publik dikatakannya sebagai identitas yang abstrak dan kabur

karena merupakan sekumpulan dari beberapa identitas. Sehingga apabila

seseorang berada di dalam kerumunan tersebut maka identitas dirinya tidak

nampak, yang ada hanyalah status yang tidak jelas.

13

Frederick C. Beiser, The Cambridge Companion to Hegel, (New York: Cambridge University Press, 1999), p. 204

14

(17)

Bagi Kierkegaard untuk menjadi diri yang otentik individu harus lari dan

melepaskan diri dari kerumunan. Sehingga identitas dirinya terlihat sangat jelas.

Seseorang yang menginginkan diri otentik harus meninggalkan publik karena itu

hanyalah tempat bagi individu yang takut akan identitas dirinya.15

Kerumunan yang dimaksud Kierkegaard adalah Eropa Barat pada

umumnya dan Denmark –tempat tinggalnya—pada khususnya. Pada abad ke-19

praktis semua orang bergamana Kristen. Mereka lahir dalam keluarga Kristen dan

dibesarkan menjadi seorang Kristiani, melakukan ritual seperti seharusnya dan

sebagainya. Orang yang menyebut dirinya Kristen tanpa pernah memutuskan

untuk menjadi Kristen atau bahkan berpikir apa artinya menjadi Kristen.16

Jika mereka menjalankan kehidupan seperti ini maka akan mengalami

kedangkalan dan formalisme kosong. Orang hanya menjalani ritualitas dan apa

yang biasa dilakukan atau diharapkan oleh orang lain tanpa penghayatan pribadi

pada apa yang dilakukan. Mereka lebih senang hidup berkerumun di kafe-kafe

dan bar-bar daripada menggulati persoalan hidupnya secara pribadi karena takut

akan eksistensi dirinya.

Kritik Kierkegaard tentang kerumunan secara tidak langsung merupakan

kritik terhadap semua individu yang senang berkerumun, bukan hanya negara

Eropa Barat atau Denmark. Di dunia Timur khususnya Islam, hal ini perlu

mendapatkan perhatian serius. Di mana masyarakat muslim pun tidak berbeda

dengan umat Kristiani yang digambarkan oleh Kierkegaard. Mereka menjalankan

15 Thoman Hidya Tjaya,

Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: KPG Press, 2005), h. 74

16

(18)

9

ritualitas ke-Islam-an tanpa memperhatikan esensi Islam itu sendiri. Masyarakat

Islam lebih cenderung taklid kepada ulama-ulama yang diyakininya tanpa

mempertanyakan kebenarannya. Dunia Islam penuh dengan individu yang

berkerumun dan kita harus lari dari kerumunan itu.

Menjauh dari kerumunan adalah solusi bagi Kierkegaard setelah

mengetahui hilangnya identitas individu dalam sebuah kerumunan. Hal ini jika

ditarik ke dalam dunia Islam nampak jelas bahwa pemikiran Kierkegaard

mempunyai kesamaan dengan para sufi yang hidup dalam asketisme diri. Mereka

melupakan masyarakat dan komunitas dan dalam keyakinannya tidak ada

kehidupan yang sejati kecuali manusia itu harus mengasingkan diri dan

menghayati dirinya sendiri sebagaimana yang menjadi pijakan para sufi klasik

seperti Hasan al-Basri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).17

Inilah alasan penulis tertarik mengambil tema “DIRI YANG OTENTIK;

KONSEP FILSAFAT EKSISTENSIALIS SØREN KIERKEGAARD”. Pemikiran

Kierkegaard bergelut dan menyelami tingkah laku individu dalam keseharian yang

mewaktu. Dia tidak menciptakan konsep kebenaran yang terlalu utopis

sebagaimana yang dilakukan para filsuf sebelumnya, dari Descartes sampai Hegel

yang hanya bergelut pada seputar epistemologi yang “melangit” tanpa menyentuh

“bumi”, yaitu eksistensi individu secara kongkrit. Kierkegaard hanya cukup

mengamati dirinya sebagai individu yang larut dalam permasalahan sehari-hari

dan kemudian mencoba mengambil keputusan-keputusan (yang benar) sesuai

keyakinan dirinya.

17

(19)

B. Telaah/Studi Kepustakaan

Dalam kajian ini, penulis mendapatkan beberapa tulisan yang membahas

mengenai pemikiran Kierkegaard. Di antara tulisan yang berbahasa Indonesia

terdapat dalam buku karya Thomas Hidya Tjaya dengan judul Kierkegaard dan

Pergulatan Menjadi Diri Sendiri.

Pada karangan Thomas, penulis melihat bahwa penjelasan pemikiran

Kierkegaard cukup konprehensif, mulai dari kehidupan Kierkegaard, berseterunya

dengan Hegel, sampai dengan tema subyektivitas. Meskipun pembahasannya

menyeluruh, namun buku yang hanya setebal 169 halaman ini menyebabkan

kurang mendetilnya pembahasa konsep-konsep filsafat Kierkegaard. Thomas

sepertinya hanya mencoba menyajikan pembahasan secara sederhana dengan

tujuan agar pembaca dengan mudah memahami isi tulisannya. Sehingga,

konsekuensi dari ini tema-tema penting seperti otentisitas, kecemasan, kebebasan,

subyektivitas, tidak dijelaskan secara definitif.

Penulis menangkap bahwa dalam karangan Thomas, Kierkegaard

dijadikan sebagai tokoh yang terjebak dalam “ruang naratif”, bukan sebagai filsuf

yang memiliki konsep-konsep tertentu yang seharusnya dibahas lebih dalam.

Untuk itu dalam hal ini penulis mencoba membahas lebih mendetil tentang

konsep Kierkegaard mengenai subyektivitas dan otentisitas. Dua tema ini

merupakan kunci gerbang menuju pemahaman Filsafat Kierkegaard yang

(20)

11

Selanjutnya, dalam literatur berbahasa Inggris, buku yang membahas

tentang pemikiran Kierkegaard di antarnya adalah tulisan Gregor Malantschuk,

dengan judul Kierkegaard’s Concept of Existence dan Shelley O’Hara, yang

berjudul Kierkegaard Within Your Grasp. Dua buku ini cukup memberikan

sumbangan lebih jauh bagi penulis tentang pemahaman pemikiran filsafat Søren

Kierkegaard.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam menggeluti pemikiran Kierkegaard sebagai salah satu tokoh

eksistensialisme nanti akan mendapatkan berbagai pemikiran yang beragam.

Sebagaimana Kierkegaard dengan kritisnya mengkritik pandangan-pandangan

Hegel yang menghasilkan buah eksistensi kesadaran dirinya. Di samping itu juga

dengan fanatisme yang cukup berlebihan kepada doktrin religius –sebagai tokoh

Kristiani tulen—dia juga menuangkan ide-idenya. Kemudian pengalaman

pribadinya ketika mengalami kegoncangan hidup dengan memutuskan

tunangannya yang bernama Regina Olsen ini juga tidak bisa dipungkiri akan

mempengaruhi filsafatnya di kemudian kelak.

Untuk itu dalam menyusun skripsi ini penulis akan menfokuskan

pembahasan hanya kepada pemikiran Søren Kierkegaard dalam mencari jati diri

hingga mencapai diri otentik. Penulis juga akan menjelaskan bagaimana

Kierkegaard dengan nalar dan intuisinya berusaha memperoleh sebuah suatu

(21)

Selanjutnya permasalahan yang akan di jawab dalam kesimpulan nanti

penulis mencoba merumuskan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana tahap-tahap individual dalam menyikapi permasalahan

keseharian?

2. Bagaimana Søren Kierkegaard memandang kebenaran sebagai

subyektifitas?

3. Bagaimanakah diri yang otentik?

D. Tujuan Penulisan

Dari sekian banyak pembahasan yang disajikan, pada intinya tulisan ini

bertujuan untuk:

1. Diketahuinya tahap-tahap individual dalam menyikapi permasalahan

keseharian dalam terang pemikiran Søren Kierkegaard.

2. Diketahuinya konsepsi Søren Kierkegaard berkenaan dengan kebenaran

sebagai subyektifitas.

3. Diketahuinya konsep diri yang otentik menurut Søren Kierkegaard.

E. Metodologi Penelitian

Pembahasan dalam tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan

(library research), sumber data yang berdasarkan pada karya-karya tertulis

meliputi sumber primer dan sekunder. Sumber primer merujuk pada karya-karya

Søren Kierkegaard, di antaranya; Fear and Trembling dan Sickness unto Death,

(22)

13

adalah karya-karya dari para penulis lain yang membicarakan tentang kehidupan

dan pemikiran Søren Kierkegaard.

Metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan ini sendiri adalah

deskriptif analitis, metode ini akan menggambarkan dan memaparkan pemikiran

Søren Kierkegaard tentang bagaimana seseorang menjadi diri yang otentik.

Sedangkan teknik penulisannya, penulis sepenuhnya mengacu pada buku

pedoman akademik: Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2008/2009.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembacaan keseluruhan skripsi ini akan mengikuti

sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, membahas tentang: latar belakang masalah;

telaah/studi kepustakaan; pembatasan dan perumusan masalah; tujuan penulisan;

metode penulisan; dan sistematika penulisan.

Bab II Kehidupan Søren Kierkegaard, akan membahas tentang:

kehidupan Søren Kierkegaard; dan karya-karya Søren Kierkegaard

Bab III Søren Kierkegaard dan filsafat eksistensialisme, akan menjelaskan

tentang: idealisme Hegelian, lahirnya eksistensialisme: sebuah kritik atas filsafat

Hegel, kritik Kierkegaard terhadap Hegel, tema-tema penting dalam filsafat

Kierkegaard

Bab IV Konsep diri otentik dalam filsafat Søren Kierkegaard, berisi

(23)

yang otentik; pengaruh Filsafat Søren Kierkegaard; diri otentik dalam tinjauan

Islam.

(24)

BAB II

KEHIDUPAN DAN KARYA-KARYA SØREN KIERKEGAARD

A. Kehidupan Søren Kierkegaard

Nama asli Kierkegaard adalah Søren Aabye Kierkegaard, lahir pada 5 Mei

1813 di Kopenhagen, Denmark kota yang pada waktu itu berpenduduk kurang

lebih seratus jiwa.1 Kierkegaard adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara.

Seluruh saudara Kierkegaard telah meninggal dikarenakan sakit yang dideritanya,

sehingga ia merupakan anak semata wayang –anak yang masih tersisa di dunia--

dari anak Michael Pedersen Kierkegaard. Ibu Kierkegaard pada awalnya adalah

seorang pembantu di keluarga Michael Pedersen. Namun setelah istri dari

majikannya meninggal kemudian Ane Sørensdatter (ibu Kierkegaard) dijadikan

pengganti dari istri pertamanya. Kierkegaard lahir dengan berbagai kekurangan

fisik yang dimilikinya, berupa terdapat punuk di punggungnya, dan kaki yang

panjang sebelah sehingga berjalan pincang. Pada waktu Kierkegaard lahir

ayahnya telah berusia 56 tahun.2

1. Kehidupan Kierkegaard dengan Ayahnya

Kierkegaard tumbuh dalam lingkungan yang sangat religius, di bawah

ketegasan doktrin ayahnya. Pada usia 18 tahun Kierkegaard dimasukkan ke

Universitas Copenhagen dengan konsentrasi pada bidang teologi. Meskipun

1 www.Athony Stom of Kierkegaard.com, tgl 20 Januari 2009 2

Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (KPG: Jakarta, 2004), h. 24

(25)

bidang itu tidak diminati oleh Kierkegaard namun untuk menuruti keinginan

sang ayah ia harus menekuninya. Selain itu dalam statusnya menjadi

mahasiswa Kierkegaard lebih menyukai mempelajari filsafat, kesusastraan,

dan sejarah.3

Pengalaman hidup Kierkegaard ketika beranjak dewasa sangat

membekas pada dirinya. Ibu dan kelima kakaknya satu persatu meninggal

karena sakit sebelum ia berusia 21 tahun. Oleh karena itu, ia yang memiliki

kekurangan fisik, memiliki punuk di punggungnya dan kedua kakinya pun

tidak sama panjang sehingga jalannya pincang, menjadi yakin bahwa umurnya

sendiri tidak akan pernah melebihi 35 tahun. Di Borgerdydskole tempat ia

belajar, Kierkegaard terkenal sebagai murid yang cerdas, berlidah tajam dan

tukang pembuat onar. Ia melanjutkan studinya di universitas Copenhagen di

bidang teologi. Namun dia juga membaca dan belajar filsafat dan estetik

(cabang filsafat yang berhubungan dengan seni dan artistik).4

Kierkegaard menikmati kehidupan kampus dengan mendatangi

permainan-permainan, opera, partai dan mengikuti debat-debat. Dia lebih suka

mengikuti kegiatan yang berada di luar kampus dari pada konsentrasi terhadap

pelajaran yang menjadi jurusannya. Tak hanya itu, di universitas yang jauh

dari ayahnya, ia menggunakan kesempatan ini dengan hidup berpesta-pora

layaknya pemuda kaya Hal ini merupakan bentuk pembalasan terhadap

3 Homas Hidya Tjaya,

Kierkegaard., h. 24

4

(26)

16

ayahnya yang selama ini telah mengekangnya. Kejadian ini sekitar tiga tahun

sebelum ayahnya meninggal pada 1838.5

Dalam kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan hura-hura,

Kierkegaard justru mendapati ketidak-puasan dan merasakan kekosongan

hidup. Dalam karya Kierkegaard yang berjudul The Journals of Kierkegaard

yang dikutip oleh Shelley O’Hara disebutkan :

What I really need is to come to terms with myself about what I am to do. . . . It is a matter of understanding my destiny, of seeing what the Divinity actually wants me to do; what counts is to find a truth, which is true for me.6

Kierkegaard menyadari bahwa kehidupan yang penuh dengan hidonis

dan kesenangan dunia bukan kehidupan yang akan mendapatkan dirinya,

namun, malah menjauhkannya. Bahwa untuk mendapatkan dirinya sangat

ditentukan oleh tindakan-tindakan yang dilakukannya. Tindakan-tindakan

tersebut jika dilakukan dengan penuh pengharapan akan mengantarkan kepada

pemahaman takdir dan pemahaman keilahian. Dengan demikian, akan didapat

suatu kebenaran yang sebenarnya pada dirinya.

Dalam kehidupan yang dilaluinya ia mengalami keputusasaan yang

mendalam. Catatan hariannya pada 1836 Kierkegaard menyadari bahwa

hidupnya sangat dangkal, meskipun oleh teman-temannya ia dipandang

sebagai orang yang pandai dan suka bergaul. Kierkegaard menyadari dirinya

5 Homas Hidya Tjaya,

Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta, KPG, 2004), h. 25

6

(27)

sebagai orang yang penuh dengan hidonis dan hura-hura. Pada saat inilah ia

merasakan akan kehampaan diri. Jiwa yang kering tanpa eksistansi diri.

Dalam salah satu catatannya, dia menganggap dirinya seperti dua wajah

Janus, di satu sisi wajah yang tertawa, dan di sisi lain menangis. Kierkegaard

harus berusaha untuk mendapatkan dirinya.7

Keinginan Kierkegaard untuk mendapatkan dirinya menjadi lebih kuat

manakala pada tahun 1838 ayahnya, Michael Pederson meninggal.

Kierkegaard menganggap kematian sang ayah adalah sebuah pengorbanan

untuk dirinya. Setelah kematian sang ayah Kierkegaard kembali konsentrasi

belajar pada mata kuliah yang ada di kampus. Sampai ia menyelesaikan

pendidikan teoligi pada tahun 1840.8

2. Kehidupan Kierkegaard dengan Regina Olsen

Pada saat beberapa tahun Kierkegaard kuliah di Copenhagen, ia

sempat berkenalan dengan putri seorang pejabat tinggi di Denmark yang

bernama Regina Olsen. Hubungan dengan Regina bagi Kierkegaard

mempunyai arti khusus. Wanita ini dapat mengambil simpati hatinya sehingga

dalam diri Kierkegaard muncul rasa cinta terhadapnya. Untuk melanjutkan

kedekatan yang lebih serius kemudian Kierkegaard memberanikan diri

bertunangan dengan Regina Olsen. Regina sendiri menerima tawaran itu

karena melihat Kierkegaard sebagai sosok yang penuh tanggung jawab dan

mempunyai masa depan yang cerah. Di sisi lain, bagi Regina, sosok

7

Shelley O’Hara, Kierkegaard, p. 4

8

(28)

18

Kierkegaard merupakan pemuda yang rajin dan ulet sehingga Regina yakin

bahwa ia dapat melindungi jika kelak menjadi pendamping hidup. Namun

hubungan antara keduanya tidak ubah seperti ayah dan anak, dikarenakan

selisih usia mereka yang cukup jauh.

Akan tetapi, setelah bertunangan dengan Regina, Kierkagaard merasakan

kegelisahan yang kemudian menghantui pikirannya. Meskipun dia sangat

mencintai Regina Olsen, dia sadar akan sifatnya yang melankolis menganggap

pertunangan dengan Regina tidak cocok dilanjutkan ke jenjang pernikahan.

Kierkegaard tidak mau pernikahannya nanti malah membawa Regina sedih

dan hidup dalam kegelapan. Inilah salah satu alasan kenapa Kierkegaard

kemudian tidak melanjutkan ke hubungan yang lebih serius. Sifat-sifat

melankolis yang ia miliki membuat ketidakpercayaan diri untuk mengarungi

kehidupan bersama kekasih yang dicintai.9

Harapan Kierkegaard untuk menjalin hidup bersama merupakan

keinginan yang dicita-citakan setiap pemuda. Kierkegaard sebenarnya telah

melewati masa kebimbangan dan ketidakpastian ketika menyatakan cinta

kepada Regina. Jawaban dari Regina membuat Kierkegaard merasa lega

karena sesuai dengan harapannya bahwa ia menerima pinangan dari Regina.

Etatsraad Olsen yang merupakan ayah Regina pun menyambut lamaran

Kierkegaard dengan lapang dada atas keberanian menjalin hubungan yang

lebih serius dengan putrinya. Sehingga setelah itu tidak ada lagi hal yang

dirisaukan lagi karena semuanya telah dicapai, kekasih yang dicintai telah

9

(29)

bersedia menjadi pendamping hidup dan hanya tinggal menunggu rencana

melaksanakan pesta perkawinan.

Namun demikian dalam renungan yang mendalam, Kierkegaard

melihat bahwa perkawinan bukan merupakan tujuan hidup. Refleksi diri yang

sudah dirasakan jauh-jauh hari sebelumnya membuat kerisauan Kierkegaard

akan diri mulai terkejawantahkan dalam sikapnya. Berangkat dari latar

belakang studi teologi dan filsafat yang telah dipelajari ia memutuskan untuk

mengakhiri pertunangannya dengan Regina. Dengan alasan yang ia yakini

sendiri akan kebenarannya maka dengan berat hati Kierkegaard memutuskan

hubungan dengan kekasih yang dicintainya. Ia harus menyudahi pertunangan

dengan Regina. Ia harus mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan

orang tua Regina agar perkawinan yang sudah direncakan dapat dibatalkan.10

Keputusan Kierkegaard sudah sangat bulat, dengan keyakinan yang

penuh ia harus meninggalkan Regina Olsen, dan merelakan sang kekasih

untuk bersuami dengan lelaki lain dan hidup layak sebagaimana orang

kebanyakan. Setahun setelah pertunangan Kierkegaard mengembalikan cincin

yang sudah diberikan kepada Regina. Mengetahui hal ini Regina berisak

tangis agar keputusan Kierkegaard dibabatalkan. Begitu juga Ayah Regina

memohon agar Kierkegaard mempertimbangkan lagi keputusan yang diambil.

Namun, hal itu tidak mengubah langkah Kierkegaard untuk menyudahi

hubungannya dengan Regina. Ia merasa dirinya mengemban misi otentisitas

10

(30)

20

individu. Misi yang harus memutuskan hubungan dengan relasi-relasi,

meskipun itu sangat dicintai.

Refleksi atas sikap pemutusan terhadap Regina diabadikan oleh

Kierkegaard dalam sebuah karya berjudul Either/Or (Februari 1843).

Kemudian setelah itu pada tahun yang sama Kierkegaard menerbitkan buku

Repetition dan Fear and Trembling, dan di susul oleh Philosophical

Pragments (1844) dan Concluding Unscientific Postcript (1846).

Karya-karya yang dibuat Kierkegaard banyak menggunakan nama

samaran, sebagaimana dalam Philosophical Fragments dan Concluding

Unscientific Postcript ia menggunakan nama Johannes Climacus, Either/Or

menggunakan nama Victor Eremita dan nama Johannes de Silentio digunakan

pada buku Fear and Trembling.

Kierkegaard dalam hal ini memiliki alasan tertentu kenapa karya-karya

yang dibuatnya tidak menggunakan nama dia sendiri. Namun demikian salah

satu alasan kenapa ia memakai anonimitas dalam menulis karya-karyanya

adalah karena di sini Kierkegaard ingin menjadikan dirinya bukan sebagai

pengarang buku, akan tetapi sebagai pembaca sebagaimana pembaca-pembaca

yang lain. Dengan nama samaran yang digunakannya, Kierkegaard berharap

bahwa pembaca dapat berdialog langsung dengan buku yang dibacanya. Ia

ingin mengajak pembaca merefleksikan apa yang ia tulis, bukan sekedar

memahami gagasan-gagasan yang ada pada karyanya. Penggunaan nama

(31)

karya-karyanya dengan pengalaman hidupnya, dan dapat lebih bebas memikirkan

apa yang dikatakannya dalam tulisan-tulisan tersebut.11

3. Pengalaman dengan The Corsair serta menjelang Kematiannya

Beberapa waktu sebelum kunjungannya yang ketiga ke Berlin pada

1846, Kierkegaard sempat terlibat dalam polemik dengan tabloid mingguan

The Corsair. Tabloid ini memang agak kontroversial karena penuh dengan

satir dan ejekan terhadap siapa saja, namun dibaca oleh banyak orang.

Polemik ini berawal dengan resensi oleh P. L. Moller atas buku Stages on

Life’s Way (1845) yang ditulis oleh Kierkegaard dengan berbagai nama

samaran, antara lain Hilarius Bookbinder. Moller sendiri sangat berpengaruh

terhadap The Corsair dan kadangkala menjadi editor tabloid ini, tetapi dengan

nama samaran.12

Resensi tersebut sebetulnya bernada positif karena menyanjung

pengarang. Akan tetapi, mengingat mingguan tersebut selalu penuh dengan

satire, sanjungan itu bagi Kierkegaard agak janggal dan lebih merupakan

ejekan. Dalam tanggapannya terhadap resensi itu, yang ditulis dengan nama

samaran Frater Taciturnus yang juga muncul dalam Stages, Kierkegaard

menyerang Moller dengan membeberkan relasinya dengan tabloid itu. Ia juga

bertanya-tanya mengapa ia dipilih sebagai satu-satunya pengarang yang tidak

‘dibantai’ oleh tabloid tersebut. Kamudian The Corsair menanggapi

Kierkegaard dengan menerbitkan satire-satire yang kali ini langsung

11

Shelley O’Hara, Kierkegaard, p. 16

12

(32)

22

menyerang Kierkegaard sendiri, bukan lagi nama samarannya, Taciturnus.

Tabloid tersebut secara khusus mengejek penampilan fisik Kierkegaard:

bahwa Kierkegaard adalah seorang yang aneh, berjalan pincang, dan hanya

mengarang buku-buku yang aneh pula. Sejak Januari 1846 hingga Januari

1848 Kierkegaard menjadi bahan tertawaan publik di Kopenhagen. Peristiwa

ini membuatnya semakin terasing.13

Polemik dengan The Corsair yang membuat Kierkegaard sakit hati dan

berdampak pada cemoohan publik atas dirinya menjadikan Kierkegaard

tergugah untuk membuat karya baru. The Sickness Unto death (1849),

Practice in Christianity (1850) dan Attach Upon Christendom (1855) adalah

karya-karya yang dibuat Kierkegaard setelah polemiknya terhadap The

Corsair. Dua karya yang disebutkan terakhir ini adalah sebuah kritik

Kierkegaard terhadap kemerosotan budaya kekristenan (christendom) di

negara Denmark. Gereja yang dijadikan benteng kenyamanan, kompromi, dan

kepuasan spiritual jauh dari apa yang diharapkan.14

Pada tanggal 11 November 1855 Kierkegaard menghembuskan nafas

terakhirnya di rumah sakit karena infeksi paru-paru. Saat-saat kematiannya

Kierkegaard merasa puas dengan karya-karya yang telah dia hasilkan. Misi

yang telah diembannya berhasil dia lakukan sehingga Kierkegaard dapat

beristirahat tenang di sebuah peti yang tertimbun tanah. Dalam wasiatnya

13

Homas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 28

14

(33)

kepada orang yang ditinggalkan Kierkegaard memohon agar nanti pada

makam di batu nisannya ia disebutkan sebagai “Sang Individu”.15

B. Karya-karya Søren Kierkegaard

Kierkegaard adalah tokoh pendiri eksistensialisme atau sang eksistensialis

pertama. Kepeduliannya terhadap pribadi manusia untuk membangun individu

yang otentik sangat besar. Untuk itu hampir semua karya-karyanya tidak lain

berbicara tentang bagaimana seorang individu dalam menjalani hidup sehari-hari.

Di samping seorang filsuf eksistensialis dia juga seorang tokoh agama. Semangat

religiusnya sangat kental sehingga karya-karyanya juga berisi tentang relasi

individu dengan yang transenden. Tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa

Kierkegaard adalah seorang pemikir juga teolog.

Di antara beberapa karya-karya Kierkegaard sebagian besar menggunakan

nama bukan dirinya, akan tetapi dengan nama samaran. Maksud dari itu adalah

bahwa Kierkegaard ingin membuat para pembaca karyanya dengan bebas

memberikan jawaban-jawaban dari tulisannya tanpa ada tendensi apapun. Selain

itu juga kiekegaard ingin menguatkan daya ingat orang yang membaca karyanya.

Dalam karyanya ia mencoba untuk tidak berbicara secara langsung kepada

pembaca, akan tetapi ia lebih kepada melihat beragam karakter dari titik pandang

mereka. Nama samaran yang dipakai dalam tulisan Kierkegaard merupakan suatu

usaha dialogis kepada pembaca, dan ini terlihat lebih hidup dan mengena pada

kepribadian seseorang, ketimbang tulisan yang hanya berupa essay yang

15

(34)

24

menurutnya tidak imajinatif. Dia menghindari kesan mengajari kepada

pembacanya. Dengan demikian gaya tulisannya dapat menghadirkan pembaca

melihat sesuatu dari tiap-tiap titik pandangnya dan dapat memberikan

kesimpulan-kesimpulan pada dirinya.16

Kierkegaard juga memilih nama samarannya sesuai dengan tema buku

yang dibuatnya. Seperti contoh nama samaran tersebut juga memiliki arti

tersendiri. Membaca karya Kierkegaard mungkin cukup sulit, karena dalam

karya-karyanya memiliki nama yang berlainan, untuk itu sangat menuntut pembaca

untuk betul-betul mengingatnya. Di samping itu juga tulisannya memiliki

keruntutan dengan tulisan berikutnya. Seperti halnya pada buku Concluding

Uncientific Postcript yang menggunakan nama Johannes Climacus kemudian

ditanggapi dengan tulisan berikutnya yaitu The Sickness Unto Death dengan nama

samaran Anti-Climacus. Begitu juga dengan tulisan yang lainnya. 17

Lain daripada itu pemilihan nama dalam karya Kierkegaard juga

merupakan hasil perenungan mendalam. Pemakaian nama dalam bukunya

disesuaikan dengan tema yang akan diangkat. Sebagai contoh nama Victor

Eremita dalam buku Either/Or berasal dari nama tokoh pemikir abad lama yaitu

Victorius Hermit. Buku ini terdapat dua jilid. Either/Or jilid pertama berisi

tentang surat-surat yang ditulis oleh Johannes, yang menggambarkan tentang

pandangan hidup dirinya yang “estetis”, yaitu hidup yang penuh dengan

hura-hura, hidonis, dan selalu meluapkan hasrat nafsu biologisnya.

16

Shelley O’Hara, Kierkegaard., p. 17

17

(35)

Selanjutnya, pada jilid kedua berisi surat-surat yang ditulis oleh Judge

Wilhelm, yang menggambarkan tentang tanggapan atas pandangan hidup dari

Johannes. Bahwa Johannes keliru dalam menjalani hidupnya. Hidup yang dialami

oleh Johannes terasa kering dan hampa. Untuk itu perlu ada lompatan hidup

menuju kehidupan yang “etis”, yaitu kehidupan yang dalam tindakan-tindakannya

memiliki standarisasi moral dan etika.18

Karya Kierkegaard yang lain dalam buku Fear and Trembling juga

menggunakan nama samaran, yaitu Johannes de Silentio. Nama ini diambil dari

kata ‘silent’ yang berarti sunyi/bisu, dikarenakan dalam buku tersebut lebih

menekankan kepada seseorang yang mengalami ketakutan dan kengerian.

Isi dari buku ini sarat akan nilai-nilai religius, di mana di dalamnya

menjelaskan tentang pergulatan hidup Abraham yang akan mengorbankan

putranya Ishak (Isac). Perseteruan antara etis dan iman, menjadi tema dalam buku

tersebut. Etis merupakan landasan moral yang dimiliki seseorang dalam menjalani

kehidupan. Sementara iman adalah landasan religi seseorang yang ingin

mendapatkan kedekatan kepada Tuhan. Di sini, iman menjadi pilihan meskipun

tindakan-tindakannya bersebrangan dengan standarisasi moral. Mengorbankan

Ishak harus dijalankan karena itu adalah perintah Tuhan. Keimanan jauh lebih

penting dibandingkan etis.

Concept of Dread (Anxiety) juga tak lepas dari maksudnya membuat

pengarang sebagai psdonymous, Vigilius Haufniensis yang berasal dari “alert of

18

(36)

26

wachful Copenhager” berarti melihat dari kejauhan kota Copenhagen.19 Dan juga

tulisan-tulisan Kierkegaard yang lain mananya tidak lepas dari nama samaran

yang selalu mengacu pada tema yang akan diangkat dalam buku tersebut.

Di bawah ini adalah beberapa maha karya Kierkegaard yang dihidangkan

untuk sang individu yang ingin menjadikan dirinya otentik. Buku ini sesuai

dengan urutan bulan dan tahun kapan buku ini dibuat oleh Sang Pengarang beserta

nama samarannya.

Tabel 1.1: Karya-karya Søren Kierkegaard20

No Nama Buku Bulan/Tahun

Publikasi Nama Samaran

1 Either/Or Februari 1843 Victor Emerita (Vol. 1)

B. Judge Williams

2 Repetition Oktober 1943 Constantin Constantius

3 Fear and Trembling, Oktober 1943 Johannes de Silentio

4 Philosophical Fragments Juni 1843 Johannes Climacus

5 The Concept of Dread (Anxiety)

Juni 1843 Vigilius Haufniensis

6 Prefaces Juni 1944 Nicholaus Notabene

7 Stages on Life's Way 30 April 1845 Hilarious Bookbinder

8 Concluding Unscientific Postscript

Februari 1846 Johannes Climacus

9 The Crisis 1848 Inter et Inter

10 Two Minor Ethical-Religious Essay

April 1848 HH

11 The Sickness Unto Death Juli 1949 Anti-Climacus

12 Training in Christianity September 1850 Anti-Climacus

19

Shelley O’Hara, Kierkegaard,. p. 53-60

20

(37)

Selain Kierkegaard menulis karyanya dengan nama psydonium, ada juga

tulisan Kierkegaard yang menggunakan namanya sendiri, di antaranya adalah

Work of Love dan On My Work as an Author, sementara karya yang lain lebih

banyak ditulis dalam bentuk artikel-artikel. Karya-karya tersebut bisa dikatakan

mewakili semua pemikiran Kierkegaard, namun ada dua buku yang menjadi titik

tolak dari semua tulisan Kierkegaard di antaranya adalah Concluding Unscientific

Postscript dan The Sickness Unto Death.

Concluding Unscientific Postscript berisi tentang kesimpulan dari

penyangkalan Kierkegaard tentang logika/saintifik, terutama kritik Kierkegaard

atas filsafat Hegel. Di mana Kierkegaard lebih mengutamakan terhadap

pengetahuan yang bersumber dari pengalaman diri sang individu daripada

pengetahuan yang bersumber dari logika. Baginya pengalaman diri akan mencapai

kepada derajat kebenaran yang tinggi yang berakhir kepada keimanan terhadap

Tuhan. Karena mengikuti gerak suara hati. Sementara The Sickness Unto Death

merupakan kelanjutan dari Concluding Uncientific Postcrip yang berisi tentang

detik-detik menjelang kematian manusia.21

21

(38)

BAB III

SØREN KIERKEGAARD DAN

FILSAFAT EKSISTENSIALISME

Dalam bab ini akan dibahas tentang pemikiran idealisme Jerman. Di sini

penulis tidak bermaksud untuk memperlebar permasalahan, akan tetapi, agar dapat

mendapat gambaran secara jelas tentang munculnya aliran eksistensialisme. Untuk

itu sangat penting memahami hiruk-pikuk wacana filsafat yang terjadi pada masa

itu. Idealisme memiliki kaitan yang cukup erat dengan eksistensialisme, dimana

aliran eksistensialis ini muncul dari respon para pemikir yang cukup konsen dalam

memahami filsafat Idealis.

A. Idealisme Hegelian

Dalam pertengahan abad ke-19 filsafat seperti menemukan dirinya dalam

mencari suatu kebenaran. Perdebatan tentang realitas kebenaran yang sudah

berlangsung ratusan abad lamanya pada masa itu nampak telah mendapatkan titik

kulminasi. Hal ini tidak lain adalah pengaruh pemikiran yang dibangun oleh para

idealisme Jerman, diantaranya Fichte, Schelling dan Hegel. Tokoh yang disebut

terakhir inilah yang pemikiran dan ide-idenya mampu memengaruhi kehidupan

masyarakat Jerman. Untuk itu terdapat kecenderungan dalam kajian filsafat

Barat, berbicara Idealisme tidak lepas dari pemikiran seorang Hegel.

Filsafat Idealisme merupakan suatu aliran yang menyatakan bahwa yang

nyata hanyalah ide dan bukan materi. Rasio diyakininya sebagai sesuatu yang

(39)

menguasai realitas secara keseluruhan. Rasio yang dimaksud bukan dipahami

sebagai ‘subyek tertentu’ melainkan sebagai suatu ‘intelegensi yang mengatasi

individu’, suatu ‘subyek absolut’. Rasio seperti ini mampu mengatasi

pikiran-pikiran individu dan menjadi inti hakiki kenyataan itu sendiri. Kenyataan lalu

dimengerti sebagai perwujudan diri dari subyek absolut atau rasio itu.1

Realitas adalah rasional, logis, dan spiritual. Bagi aliran ini segala sesuatu

memiliki struktur yang bisa dipahami atau memiliki inti yang bisa dicerna oleh

pemikiran manusia yaitu dengan kekuatan konsep dan fleksibilitasnya. Setiap

aspek perjalanan manusia bisa diketahui melalui struktur rasional yang diamati.

Ungkapan yang populer dari Hegel bahwa “kenyataan adalah rasional dan rasional

adalah kenyataan.”2

Idealisme melihat bahwa dunia bergantung pada gagasan yang kita

bangun, atau merupakan hasil kegiatan kesadaran kita. Filsafat mengembangkan

pada pusat dunia kesadaran, yakni kesadaran universal dan Diri Yang Absolut

(Absolut Self). Yang bekerja di alam dan dalam kesadaran manusia individual,

serta mencoba mempersatukan keduanya. Sebagaimana Hegel mengatakan bahwa

diri absolut adalah eksplisit. Ini berarti meninjau kembali sejarah filsafat dan

pemikiran manusia pada umumnya, guna menunjukkan bahwa semua bentuk

kesadaran kita sedang berusaha merealisasikan identitas diri absolut ini.3

1

F. Budi Hardiman, Filsafat Kontemporer dari Machavelli sampai Nietsche, (Gramedia: Jakarta, 2005), h. 155

2 Thomas Hidya Tjaya,

Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (KPG: Jakarta, 2004), h. 6

3

(40)

30

Kesadaran adalah Roh (Geist) yang bergerak dalam sejarah dan roh ini

pada akhirnya akan membawa manusia pada pembebasan menyeluruh dan

kebenaran obyektif meskipun harus dilalui dalam proses yang panjang. Segala

bentuk pertentangan dan konflik dalam realitas dan perjalanan hidup manusia

termasuk perang dan revolusi pada akhirnya akan didamaikan. Roh yang

merupakan perwujudan dari realitas obyektif secara dialektik akan mengalami

proses pengembangan diri dan kesadaran diri serta mengenal segala sesuatu.

B. Lahirnya Eksistensialisme: Sebuah Kritik Atas Hegelian

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa pemikiran Hegel

mampu memberikan pengaruh yang cukup luas di kalangan masyarakat Jerman

pada waktu itu. Idelaisme seperti telah menjadi madzhab mayoritas dan orang

telah tersihir dengan konsep-konsep yang ditawarkannya (Roh Absolut).

Menurutnya kebenaran dapat dicapai dengan suatu sintesa dari tesis dan antitesis.

Dengan demikian filsafat telah mendapatkan suatu bangunan kebenaran yang

kokoh dan tidak mungkin bisa dapat digoyahkan dengan badai-badai konsep

kebenaran yang lain. Hegel menciptakan suatu pengetahuan yang mencakup

keseluruhan (totalitas). Dia ingin menunjukkan tentang kebenaran universal yang

dapat ditemukan melalui pertentangan ide tersebut.

Akan tetapi, suatu hal yang mungkin dilupakan oleh Hegel adalah bahwa

konsep-konsep yang ditawarkan tentang kebenaran absolut tidak bisa menyentuh

realitas inidividu secara konkrit. Inilah yang kemudian dipertanyakan sekelompok

(41)

yang mengawang dan tidak bisa menjawab terhadap masalah-masalah individu

secara nyata. Roh absolut dari Hegel ternyata bersifat abstrak dan kabur. Untuk itu

perlu adanya pencarian kebenara baru yang bisa dapat menyelami

pengalaman-pengalaman eksistensial individu.

Para kelompok yang menawarkan konsep tentang perlunya memahami

pengalaman-pengalaman manusia konkrit inilah yang dinamakan sebagai tokoh

Eksistensialisme. Eksistensialisme lebih menekankan pada kenyataan manusia

konkrit, eksistensialisme tidak bisa menerima bahwa realitas ini adalah suatu yang

totalitas. Eksistensialisme memutuskan perhatian pada fenomena kenyataan

langsung, yakni kenyataan yang singular dan partikular. Eksistensialisme melihat

manusia sebagai individu yang berdiri berhadapan dengan realitas dalam sebuah

relasi yang penuh ketegangan, kemungkinan dan tragedi. Eksistensialisme tidak

pertama-tama melihat manusia sebagai makhluk yang berpikir secara rasional,

melainkan makhluk yang bertindak dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya..

Para eksistensialisme memandang, bahwa inilah jawaban bagi

kegelisahan yang selama ini dipikirkan, sekaligus sebagai kritik atas

“keangkuhan” konsep filsafat Hegel. Namun demikian tidak dipungkiri bahwa

konsep filsafat Hegel merupakan batu pijakan terhadap filsafatnya dari usaha

untuk mencapai suatu kebenaran. Tentunya mereka (para eksistensialis) perlu

sadar diri bahwa kacang tidak melupakan kulitnya.

Dalam perkembangannya filsfat eksistensialisme di Jerman mampu

(42)

32

adalah: Søren Kierkegaard, Martin Buber, Karl Jaspers (1883-1969), Martin

Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel.4

Pada pertengahan abad ke-20, perkembangan filsafat eksistensialime

seperti jamur di musim penghujan. Tidak hanya itu, setelah perang dunia ke-II, di

Prancis juga lahir seorang tokoh eksistensialis seperti; Jean-Paul Sartre

(1905-1980), Simone de Beauvoir, Maurice Merleau-Ponty, and Albert Camus yang

pemikiran eksistensialnya mampu memengaruhi negerinya.5

Eksistensialisme bukanlah sebuah aliran filsafat dengan doktrin tertentu

dan pengikut/kelompok yang bisa diidentifikasi dengan jelas, sebagaimana

misalnya idealisme. Labelisasi eksistensialis itu tidak muncul karena mereka

memiliki doktrin yang sama mengenai manusia, melainkan karena obyek

pemikiran mereka, yakni manusia dengan segala problematikanya. Pemikiran

eksistensialis Sartre yang ateis, jelas berbeda dari Kierkegaard yang justru sangat

teis, dan pemikiran kedua filsuf ini juga berbeda misalnya dari pemikiran

Heidegger dan Jaspers yang mengaku bukan teis dan juga bukan ateis, melainkan

mereka memiliki semacam “iman filosofis” yang bersifat mistis dan estetis, ada

eksistensialis yang pesimis, seperti Kierkegaard, Sartre dan Camus, tapi yang

optimis seperti Nietzsche. Gabriel Marcel bukan pesimis atau optimis, melainkan

seorang yang memiliki harapan metafisis (hope). Dengan segala perbedaan dan

kemiripan tersebut, eksistensialisme bisa didefinisikan sebagai sebuah “cara

berfilsafat” (a style of philosophizing) mengenal manusia konkret. Problematika

4 F. Budi Hardiman,

Filsafat Kontemporer., h. 150

5

(43)

manusia konkret yang sering muncul dan dijadikan tema pembahasan oleh para

eksistensialis itu antara lain individu dan sistem, intensionalitas, ada (being) dan

absurditas, hakikat dan arti penting tindakan memilih/memutuskan,

pengalaman-pengalaman ekstrim, dan hakikat komunikasi.6

Sebagai filsafat yang bertolak dari kenyataan manusia konkret,

eksistensialisme menolak melihat kenyataan ini sebagai sebuah totalitas

konseptual. Konseptualisasi atas obyek dengan sendirinya telah mendistorsikan

obyek yang hendak dipahami tersebut. Eksistensialisme memutuskan perhatian

pada fenomena kenyataan langsung, yakni kenyataan partikular dan telanjang,

sebelum dikonseptualisasikan atau direfleksikan secara rasional –itulah sebabnya

kebanyakan eksistensialis adalah fenomenolog (tapi tidak sebaliknya), karena

metode ini menyediakan alat untuk mengivestigasi eksistensi manusia apa

adanya. Pikiran dan refleksi bersifat sekunder bagi eksistensialisme.

Eksistensialisme melihat manusia sebagai individu yang berdiri berhadapan

dengan realitas dalam sebuah relasi yang penuh ketegangan, kemungkinan dan

tragedi. Eksistensialisme tidak pertama-tama melihat manusia sebagai makhluk

yang berpikir secara rasional, melainkan makhluk yang bertindak dalam segala

keterbatasan dan kemungkinannya. Eksistensialisme menyibukkan diri dengan

fakta-fakta mengenai obyek. Eksistensialisme lebih menekankan pada eksistensi

obyek ketimbang esensi obyek.7

Prinsip pokok dari eksistensialisme adalah bahwa kedirian (selfhood) tidak

secara alamiah terberi, tetapi harus didesakan dari situasi kepuasan diri sendiri

6

Stephen Michelman, Historical Dictionary., p. xiii

7

(44)

34

(complacency), kompromi, dan kelupaan akan diri sendiri. Keberhasilan diri

seseorang (otentik) untuk menerima beberapa esensi seperti keterbatasan,

kebebasan, tanggungjawab dan menggunakan pengertian ini secara konsekuen

dalam tindakan-tindakan praktis.8

Tema-tema umum yang menjadi fokus perhatian eksistensialisme adalah

yang berhubungan dengan diri dan berbagai tindakan praktis yang dilakukan oleh

individu tersebut dalam kehidupan-kehidupan yang aktual.9

Eksistensialisme juga memiliki pengertian yang khas mengenai

eksistensi. Dalam idealisme dan filsafat abad pertengahan, misalnya, existentia

dipahami sebagai oposisi essentia. Esensi itu universal, abstrak, abadi sementara

eksistesi itu partikular, konkret, kontingen. Esensi termanifestasikan melalui

eksistensi; eksistensi adalah predikat bagi esensi.

Sementara dalam eksistensialisme, eksistensi mengacu secara khusus

kepada keberadaan manusia individual yang konkret dan unik. Eksistensialis

mengakui bahwa batu, pohon atau rumah itu ada tapi mereka tidak eksis. Kata

“eksistensi” berasal dari bahasa Latin: ek-sis berarti “keluar dari” atau “muncul

dari” (ex-sistere). Tapi ek-sis dari mana? Menutut kaum eksistensialis bahwa eksis

dari ketiadaan bukan dari esensi. Konsekuensi dari pendapat ini maka

eksistensialis menolak adanya esensi manusia, sebab kalau manusia memiliki

esensi, ia menjadi tidak bebas karena ia sudah selalu terjangkarkan pada esensi

itu. Jadi ek-sis berarti ke luar dari, muncul dari, ketiadaan.10

8

Stepen Michelman, Historical Dictionary., p. 42

9

Stepen Michelman, Historica Dictionary l., p. 43

10

(45)

Eksistensialisme memiliki 6 ciri umum –tapi harus diingat bahwa ciri

tersebut juga tidak begitu mudah didefinisikan karena setiap pemikir memberi

makna sendiri-sendiri terhadapnya. Keenam ciri tersebut adalah, pertama, bahwa

para eksistesialis mengembangkan pemikiran mereka berdasarkan pengalaman

eksistesial (Existentialen Erlebnis) yang berbeda pada masing-masing pemikir.

Ini paling mencolok terlihat dalam pengalaman hidup yang dialami oleh Søren

Kierkegaard. Pengalaman eksistensial ini misalnya, terdapat dalam konsep “ada

menuju kematian” pada Heidegger. “kesadaran mengenai kerapuhan ada” pada

Jasper. Kedua, obyek penelitian mereka adalah Existenz, yakni cara mengada khas

manusia. Yang mau diungkapkan dengan istilah ini adalah bahwa manusia tidak

memiliki, melainkan dia adalah eksistensinya. Untuk merujuk pada hal yang

sama, beberapa filsuf menggunakan kata yang berbeda. Dasein, ich (“saya”), atau

Fursichsein (“ada-bagi-diri-sendiri”), ego, dan lain-lain. Ketiga, existenz dipahami

mutlak sebagai aktualitas, yakni cara mengada khas manusia; manusia tidak

pernah “ada” (ist) begitu saja, melainkan ia selalu “menciptakan” (schafft) dirinya;

ia “menjadi”, ia sebuah proyeksi” (Ent-wurf). Keempat, manusia dipahami sebagai

subyektifitas murni yang menciptakan dirinya sendiri, dan bukan sebagai

manifestasi proses kosmis dari kehidupan yang lebih luas, sebagaimana pada

Bergson atau Hegel. Di sini subyektivitas dimengerti dalam arti kreatif; manusia

menciptakan dirinya secara bebas, manusia adalah kebebasan itu sendiri (jadi

manusia tidak memiliki kebebasan, karena justru dialah kebebasan itu). Kelima,

manusia itu tidak lengkap (selalu belum sudah). Ia adalah realitas terbuka yang

(46)

36

pada Kierkegaard. Pengertian ini terdapat pada konsep “berada-dalam-dunia”

(In-der-Welt-sein) dan “mengada-bersama” (Mitdasein) pada Heidegger, pada

Jaspers: Komunikasi, pada Marcell: engkau (Du). Keenam, semua eksistensialis

menolak perbedaan antara subyek dan obyek, dan dengan demikian menolak

pengetahuan intelektual untuk tujuan filosofis (anti-Cartesian). Bagi mereka

pengetahuan sesungguhnya tidak diperoleh lewat pemahaman intelektual,

melainkan lewat pengalaman langsung akan fenomena realitas konkret.11

C. Kritik Kierkegaard terhadap Hegelian

Setelah memahami pemikiran filsafat eksistensialisme secara umum,

perlu dipaparkan pula bagaimana tanggapan Kierkegaard tentang filsafat Hegelian

yang berkembang pada waktu itu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui secara

mendalam tentang alur pemikiran Kierkegaard yang serta-merta menolak sistem

filsafat yang di bangun Hegel. Kierkegaard yang pada awalnya adalah pengikut

setia Hegel, namun dalam perjalanan filsafatnya memutar jalur dengan berbalik

mengkritik pandangan-pandangan yang di gagas Hegel. Tokoh eksistensialis

pertama ini lebih melihat bahwa konsep-konsep Hegel merupakan parodi

kebenaran, setelah ia mendapatkan pemahaman subyek yang sebenarnya. .

Hegel menciptakan gagasan sistem konprehensif yang didasarkan pada

rasio dan abstraksi. Dia menciptakan pandangan perkembangan rasio manusia.

11

(47)

Bahwa manusia bergerak dari beberapa level kebenaran hingga akhirnya sampai

pada kebenaran absolut.12

Kritikan Kierkegaard terhadap Hegel termuat dalam buku Concluding

Uncientifict Postscript dengan menggunakan nama samaran Johanes Climacus.

Dalam bukut tersebut dia menanyakan suatu kebenaran:

“System and conclusiveness are just about one and the same, so that if the system is not finished, there is not any system. Elsewhere I have already point out that a system that is not entirely finished is a hypothesis, whereas a half-finished system is nonsense..”13

Bagi Kierkegaard bahwa kebenaran adalah menyeluruh dan lengkap.

Menurutnya jika kebenaran tidak menyeluruh bagaimana bisa dijadikan sistem

kebenara. Kebenaran berasal dari pengalaman-pengalaman hidup manusia, dan

pengalaman manusia tidak pernah lengkap. Jika demikian bagaimana ada suatu

sistem kebenaran yang komplit.

Kierkegaard juga mengkritik tajam atas sistem filsafat Hegel yang

menganggap bahwa akal bisa mengetahui ke ranah sains dan agama. Bagi

Kierkegaard konsep yang ditawarkan Hegel mungkin dapat dibenarkan ketika

berbicara pada wilayah sains, karena itu berhubungan dengan rasio (akal). Akan

tetapi ketika berbicara pada wilayah religius, idealisme Hegel tidak bisa

digunakan, dikarenakan agama adalah masalah iman (faith), bukan rasio.14

12

Shelley O’Hara, Kierkegaard Within Your Grasp, Willy Publishing. Inc. Canada. p. 66

13

“Sistem dan keberakhiran hanya tentang satu dan kesamaannya, maka jika sistem adalah tidak berakhir, itu bukan sistem. Di sisi lain saya menitik-beratkan bahwa sebuah sistem tidak berakhir menyeluruh atau sebuah hipotesis, karena sistem yang hanya setengah (belum berakhir) itu tidak ada.” Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, to Fragments, Translited by Howard V. Hong and Edna H Hong, (Princeton, NJ: Princeton University Press), p. 107

14

(48)

38

Di sisi lain, filsafat idealisme yang dibangun Hegel merupakan sistem

yang abstrak jika dikaitkan dengan kehidupan konkrit individu. Sebaliknya, bagi

Kierkegaard manusia itu hidup secara eksistensi dalam ketidak lengkapan dan

selalu mengalami kedinamisan. Manusia itu ada (exist) dalam suatu sistem yang

dia dapat menciptakan (suatu perbuatan), bukan dalam sistem yang lengkap.

Dengan perbuatan individu dalam membuat pilihan-pilihan yang didasarkan pada

keyakinannya sendiri daripada menerima begitu saja atas keadaan.

D. Tema-tema Penting dalam Filsafat Eksistensialis Kierkegaard

Kierkegaard adalah tokoh yang penting di dunia filsafat eksistensialisme.

Dia banyak menciptakan term-term baru dalam filsafat eksistensialisme yang

nantinya istilah-istilah tersebut dijadikan pijakan oleh para eksistensialis lain.

Term-term tersebut sangat penting diketahui secara definitif karena itu akan

membantu untuk dapat memahami secara mendalam filsafat eksistensialisme

Kierkegaard. Adapun tema-tema penting tersebut adalah anxiety (kecemasan),

authenticity and inauthenticity (otentik dan tidak otentik), choice (pilihan),

responsibility (pertanggung-jawaban), subjective and objective (subyektif dan

obyektif). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Kecemasan(Anxiety atau Dread)

Dalam bahasa Jerman, kecemasan (anxiety) diartikan dengan kata

angst. Anxiety adalah pengungkapan kebebasan pada dirinya dalam suatu

kemungkinan. Kecemasan merupakan usaha untuk memperhitungkan diri

(49)

menghasilkan pertanggunganjawab atas pilihan-pilihan tersebut.15 Term ini

cukup jelas dibahas oleh Kierkegaard dalam buku The Concept of Anxiety.

2. Otentik dan tidak otentik (Authentic and Inauthentic)

Dalam bahasa Jerman otentik adalah “Eigentlichkeit”, secara etimologi

berasal dari kata eigen, yang artinya kepunyaan sendiri, memiliki (own), atau

dalam pengertian lain “ruang milik seseorang (a room of one’s own)”.

Sementara itu dalam bahasa Yunani otentik adalah autentes yang artinya

pengarang asli, atau orang yang secara asli melakukan tindakan tertentu.

Orang yang mempunyai kewenangan terhadap kepemilikannya tersebut.16

Søren Kierkegaard merupakan orang yang pertama dalam tradisi

eksistensialis yang memperkenalkan tema otentik. Dia menjelaskan bahwa

kedirian yang otentik (authentic selfhood) merupakan diri yang sadar akan

kebebasannya secara personal terhadap tindakan yang memiliki

pertanggung-jawaban. Kesadaran penuh akan kebenaran pada dirinya secara

utuh sebagai individu.

Sementara ketidak-otentikan (inauthentic) merupakan kebalikan dari

otentik: bukan kepunyaan/milik sendiri. Secara definitif jika direlevansikan

dengan filsafat eksistensialisme bahwa ketidak-otentikan adalah seseorang

yang kehilangan diri, atau yang lari dari kebebasannya dan terus-menerus

menganggap eksistensi orang tersebut impersonal, di mana orang itu tidak

dapat sampai pada pertanggung-jawaban.

15

Stepen Michelman Historical., p. 35

16

(50)

40

3. Pilihan (Choice)

Pilihan adalah adalah tindakan ‘etis’17, keputusan seseorang yang itu

dibuat dengan seluruh kedalaman batin seseorang tersebut. Pilihan merupakan

perlawanan individu yang keluar dari eksistensi ‘estetis’18 sampai pada

kesadaran yang bebas dan bertanggungjawab yang mengangkat etika. Prinsip

dasar dari pilihan adalah bukan pembenaran, akan tetapi komitmen, ketepatan

subyek dan sikap personal.

4. Subyektif (Subjective)

Subyek diartikan sebagai individu atau personal. Secara definitif

subyektif merupakan suatu metode yang memberikan porsi penuh terhadap

pengalaman eksistensi kesadaran individu. Dalam arti kesadaran pengalaman

dideskripsikan sebagai metode melihat dunia dari pengalaman mental

subyek.19

Dengan kata lain subyektif merupakan suatu upaya individu dengan

sunggguh-sungguh dan penuh sadar dalam pencariannya terhadap kebenaran.

Relasi yang lebih ditekankan adalah bagaimana hubungan kebenaran dengan

individu yang mencari sebuah kebenaran itu.

Kierkegaard sangat menekankan terhadap kebenaran subyektifitas, di

mana kebenaran ini merupakan pencarian mendasar seorang subyek terhadap

suatu kebenaran. Kebenaran akan semakin di peluk oleh subyek dan akan

17

Penjelasan dari istilah ini terdapat di bab IV tentang tahap-tahap eksistensialisme.

18 Penjelasan dari istilah ini terdapat di bab IV tentang tahap-tahap eksistensialisme. 19

Gambar

Tabel 1.1. :   Karya-karya Soren Kierkegaard ...............................................
Tabel 1.1: Karya-karya Søren Kierkegaard20

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan tetap dapat mempertahankan

Perbedaan penelitian kali ini terletak pada obyek yang diteliti.Pada penelitian kali ini obyek yang diteliti adalah perusahaan farmasi yang terdaftar di Bursa

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan

Menyatakan bahwa “SKRIPSI’’ yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Maluna Malik

kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat, anugerah dan karunia sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, sebagai berikut: (1) Bagaimana pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran dan ketercapaian KKM hasil belajar matematika dalam