PENGARUH METODE OUTBOUND TERHADAP
PEMBENTUKAN KARAKTER KEPEMIMPINAN SISWA
SEKOLAH ALAM INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
WAHYU WIJANARKO
NIM : 205070000520
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGARUH METODE OUTBOUND TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER KEPEMIMPINAN SISWA SEKOLAH ALAM INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
WAHYU WIJANARKO NIM : 205070000520
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Jahja Umar, Ph.D Ikhwan Lutfi, M.Psi
NIP. 130 885 522 NIP.19730710 200501 1 006
FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul PENGARUH DUKUNGAN ORANG TUA DAN
MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MUSIK PADA REMAJA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 15 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Ketua Pembantu Dekan/ Sekretaris
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si
NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001
Anggota :
Dra. Diana Mutiah, M.Si Ikhwan Lutfi, M.Psi
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Wahyu Wijanarko NIM : 20507000520
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Metode Outbound Terhadap Pembentukan Karakter Kepemimpinan Siswa Sekolah Alam Indonesia” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 15 Juni 2011
Wahyu Wijanarko 205070000520
Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada
kemudahan
(QS. Al-Insyirah : 5)
Kerja tulus dan nothing to loose
( Jahja Umar )ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi
B) Juni 2011
C) Wahyu Wijanarko
D) Pengaruh metode outbound terhadap pembentukan karakter kepemimpinan siswa Sekolah Alam Indonesia
E) xiv+ 92 Halaman
F) Peneliti tertarik mengambil tema leadership siswa Sekolah Alam Indonesia karena fenomena tren yang terjadi pada saat ini yakni berkurangnya sossok pemimpin ideal dalam masyarakat akibat krisis kepercayaan. Sekolah alam indonesia sebagai institusi pendidikan memiliki kurikulum leadership yang diberikan dengan metode outbound. Dalam perkembangannya, Sekolah Alam Indonesia yang kini telah memiliki 5 angkatan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apa sajakah variabel yang dapat mempengaruhi perkembangan karakter leadership seorang anak. Selain itu juga memberi pengetahuan kepada pihak terkait yakni guru dan orang tua khususnya dari sekolah alam indonesia dan umumnya pembaca untuk mengetahui variabel apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan karakter kepemimpinan.
Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah siswa Sekolah Alam Indonesia kampus Rawa Kopi yang keseluruhannya berjumlah 130 orang ( 81% laki-laki dan 49% perempuan) Instrument pengumpulan data dengan menggunakan skala Likert. Analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik Multiple Regression Analysis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari variabel lama bersekolah dan kesempatan memimpin terhadap perkembangan karakter leadership pada siswa Sekolah Alam Indonesia (0,00 < 0.05).
Berdasarkan koefisien regresi menunjukkan hanya ada dua variabel yang signifikan berpengaruh pada karakter kepemimpinan yaitu lama bersekolah dan kesempatan memimpin. Selanjutnya proporsi varian dari masing-masing IV menunjukkan tidak ada variabel yang berpengaruh signifikan pada karakter kepemimpinan
perlu mengkaji variabel lain diluar penelitian ini, yang mungkin menjadi faktor berpengaruh terhadap pembentukan karakter pemimpin, terutama dikalangan remaja sebagai calon pemimpin dimasa datang seperti siswa tingkat SMA ataupun mahasiswa.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Metode Outbound Dalam Pembentukan Karakter Kepemimpinan Siswa Sekolah Alam Indonesia”.
Shalawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah sekaligus pembimbing I, Bapak Jahja Umar, Ph.D yang telah banyak memberikan pengarahan, ilmu, dan perhatian kepada penulis selama menjalani proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
2. Pembimbing Akademik Ibu Dra. Zahrotun Nihayah, M.si atas bimbingannya selama penulis menjalani perkuliahan.
3. Kepada bapak Ikhwan Lutfi, M.Psi., dosen pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mambagi ilmunya kepada penulis selama belajar dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Pembimbing seminar skripsi, Ibu Solicha, M.Si, yang tidak pernah bosan untuk menyumbangkan pendapatnya, memberikan saran yang membangun, motivasi, sehingga penulis dapat mengatasi kendala dalam penyusunan skripsi ini.
5. Para dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk memberikan ilmu kepada penulis, dan para Staff Perpustakaan (pak Haidir dan pak Badawi) dan Tata Usaha Fakultas psikologi UIN ( bang Ayoung, Mas Dedi, bang Murtadho, dll) atas segala bantuan selama penulis menuntut ilmu.
6. Rekan Syuro Guru di Sekolah Alam Indonesia yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian. (Ust. Hudory, pak Azis, pak Abdul, bu Cache, bu Idet, bu Esti dan lainnya yang tidak penulis sebut tapi kalian benar-benar pejuang sejati), tim outbound (bapak Taufik....terima kasih telah menerima curhat penulis, mang Anjang, Pendi, Mang Acil, Siddik, ade Rahman, Sony, Saman, Madinah...terima kasih tanpa kalian penulis bukan apa-apa).
bapak.
8. Keluarga bapak Soebijanto dan bu Herry W serta inspirasi ku Seto Radityo juga mas Bhisma semoga kebaikan keluarga ini menjadi amal shalih bekal kehidupan dunia akhirat.
9. Pendamping hidupku, Yuningsih serta buah hatiku Tazkia dan Najib, terima kasih sudah sabar menemani ayah menyusun skripsi ini dan maaf kalau sering marah...banyak cinta untuk kalian
10.Segenap guru, murabbi fii ruuhi khususon lil habib ‘Alwi Assegaf, habib ‘Umar Assegaf, Ust Nurmansyah, ust Sofyan, ust Anwar Saidi terima kasih sudah memberi banyak ilmu agama dan doakan penulis tetap istiqomah.
Segenap rekan majelis ZM dan Tsaqofah Islamiah, syukron ‘ala du’a ikum .
11. Bayu, Adimas, Taufik, Fandi yang telah membantu penulis dalam membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Juga kepada The GURU’s Mr. Adiyo
pembimbing III biarpun tidak resmi tapi antum sudah banyak membantu penulis. Terima kasih teman... tetap semangat dan istiqomah! kalian akan menjadi orang besar bagi bangsa ini.
12. Kepada teman-teman seperjuangan Non Reguler angkatan 2005 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun kalian tetap menjadi bagian dalam hidupku dan persahabatan kita tetap abadi..
Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang di berikan.
Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait. Untuk kesempurnaan karya ini, penulis harapkan saran dan kritiknya.
Jakarta, 15 Juni 2011
DAFTAR ISI
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
1.4 Pembatasan Masalah ... 8
1.5 Sistematika Penulisan ... 9
BAB 2 KAJIAN TEORI 2. 1 Kepemimpinan ... 11
2.1.1 Definisi Kepemimpinan ... 11
2.1.2 Karakter Kepemimpinan ... 15
2.1.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi
2.2.3 Metodelogi Pelatihan Outbound ... 33
2.2.4 Kriteria Outbound ... 36
2.3 Kerangka Teori... 39
2.4 Hipotesis... 41
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel ... 43
3.1.1 Populasi ... 43
3.1.2 Sampel dan teknik sampling ... 44
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya ... 44
3.2.1 Definisi Operasional ... 45
3.3. Metode Pengumpulan Data ... 46
3.3.1.2 Kuisioner Karakter Kepemimpinan ... 49
3.3.2 Prosedur Pengumpulan Data ... 50
3.3.2.1 Tahap Persiapan ... 50
3.3.2.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 57
3.4. Desain Penelitian... 57
3.5. Metode Analisis Data... 58
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Analisis Deskriptif ... 61
4.2 Uji Validitas Alat Ukur ... 62
4.2.1 Uji Validitas skala karakter kepemimpinan ... 63
4.3 Uji Hipotesis penelitian... 76
4.3.1 Analisis Korelasional dari Variabel Penelitian ... 76
4.3.2 Analisis Regresi Variabel Penelitian... 78
4.3.3 Pengujian Proporsi Varians sumbangan masing – masing Independent Variabel... 80
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN 5.1 Kesimpulan ... 85
5.2 Diskusi ... 86
5.3 Saran ... 89
5.3.1 Saran Metodologis ... 89
5.3.2 Saran Praktis ... 90
DAFTAR PUSTAKA... 91
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Bobot Skor Pernyataan... 50
Tabel 3.2. Kisi-kisi Alat Ukur Karakter Kepemimpinan ... 52
Tabel 4.1 Distribusi populasi penelitian berdasarkan Jenis Kelamin... 61
Tabel 4.2 Distribusi mean leadership berdasarkan Jenis kelamin... 62
Tabel 4.3 Muatan Faktor item kekuatan dalam karakter kepemimpinan... 65
Tabel 4.4 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item kekuatan dalam skala karakter kepemimpinan ... 66
Tabel 4.5 Muatan Faktor stabilitas emosi dalam karakter kepemimpinan... 67
Tabel 4.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item stabilitas emosi dalam skala karakter kepemimpinan ... 67
Tabel 4.7 Muatan Faktor item kemampuan tentang relasi insani dalam karakter kepemimpinan ... 68
Tabel 4.8 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item kemampuan tentang relasi insani dalam skala karakter kepemimpinan... 68
Tabel 4.9 Muatan Faktor item kejujuran dalam karakter kepemimpinan ... 68
Tabel 4.10 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item kejujuran dalam skala karakter kepemimpinan... 69
Tabel 4.11 Muatan Faktor item objektivitas dalam karakter kepemimpinan... 69
Tabel 4.12 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item objektifitas dalam skala karakter kepemimpinan...70
Tabel 4.13 Muatan Faktor item dorongan pribadi dalam karakter kepemimpinan ...70
Tabel 4.14 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item dorongan pribadi dalam skala karakter kepemimpinan ... 71
Tabel 4.15 Muatan Faktor item ketrampilan komunikasi dalam karakter kepemimpinan... 71
Tabel 4.16 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item keterampilan komunikasi dalam skala karakter kepemimpinan ... 72
Tabel 4.17 Muatan Faktor item kemampuan mengajar dalam karakter kepemimpinan... 72
Tabel 4.18 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item kemampuan mengajar dalam skala karakter kepemimpinan ... 73
Tabel 4.19 Muatan Faktor item keterampilan sosial dalam karakter kepemimpinan... 73
Tabel 4.20 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item keterampilan sosial dalam skala karakter kepemimpinan... 74
Tabel 4.21 Muatan Faktor item managerial dalam karakter kepemimpinan... 74
Tabel 4.22 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari item managerial dalam skala karakter kepemimpinan ... 75
Tabel 4.23 Matriks Korelasi Antar Variabel... 76
Tabel 4.24 Tabel Anova ... 78
Tabel 4.25 Tabel Rsquare... 79
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Analisis Konfirmatorik dari dimensi kekuatan dalam skala
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian
karakter kepemimpinan siswa, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian, pembatasan masalah dan sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu krisis terbesar dunia saat ini adalah krisis keteladanan. Salah satu
penyebab utama adalah ketiadaan pemimpin yang visioner, kompeten, dan
memiliki integritas tinggi dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang diharapkan
adalah yang dapat merajut titik temu dari berbagai elemen yang berbeda baik dari
sisi ideologi, budaya, dan tradisi menjadi suatu tatanan masyarakat baru yang
bergerak menuju peradaban baru. Dengan kata lain seorang pemimpin hendaknya
memiliki karakter yang kuat yang dapat menjadi teladan untuk kelangsungan
orang yang dipimpinnya.
Krisis karakter kepemimpinan juga terjadi di Indonesia dewasa ini
menyebabkan kekecewaan publik yang mengurangi kepercayaan sebagian besar
masyarakat. Bukan hanya pemimpin di tingkat pusat, pemimpin tingkat daerah
pun disinyalir tidak memiliki kekuatan karakter. Dampak nyata dari lemahnya
karakter pemimpin adalah makin maraknya korupsi, kesemerawutan sistem tata
kota, buruknya pelayanan kesehatan, hilangnya rasa keadilan, pendidikan yang
sebagainya. Hal ini menjadikan bangsa indonesia kian terpuruk dan jauh
ketinggalan dari bangsa-bangsa lain di dunia (Antonio, 2009).
Karakter, watak, sifat, atau trait adalah satu kualitas yang tetap terus
menerus dan relatif menetap yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi
seorang pribadi, suatu objek, atau kejadian (Chaplin 2006). Dalam istilah lain,
karakter dapat diartikan sebagai ciri khas dari seseorang agar kita dapat mengenali
siapa sebenarnya orang tersebut. Menurut Foerster (dalam Muhibbin, 2007)
karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi, dan karakter
menjadi identitas yang mengatasi pengalaman pribadi yang sering berubah.
Karakter seseorang sangatlah penting karena dapat menunjukkan karakter
bangsa pada umumnya, sehingga dengan kematangan pribadi serta karakter yang
kuat dari seseorang dapat menunjukkan seberapa kuat bangsa tersebut.
Individu-individu yang memiliki karakter kuat tentunya dapat membentuk bangsa yang
kuat pula. Sebaliknya bila individu dari bangsa tersebut lemah, tentunya bangsa
tersebut memiliki karakter yang lemah pula.
Karakter dalam diri manusia tidak ada dengan sendirinya, melainkan
berproses. Proses penanaman nilai karakter kepemimpinan dapat dimulai dari
masa anak-anak karena karakter seorang pemimpin seyogianya harus sudah
dimiliki sejak masa anak-anak, dengan tujuan agar kelak lahir calon pemimpin–
pemimpin bangsa yang berwawasan dan berkemanusiaan. Sehingga penanaman
nilai-nilai kepemimpinan yang baik sejak dini sangatlah penting demi
terbentuknya karakter pemimpin yang baik dikemudian hari. Dan dalam proses
perlu dirintis dari sekolah karena dinilai penting sebagai treatment awal
pembentuk karakter kepemimpinan. Sejalan dengan hal tersebut, Hurlock (2003)
mengatakan bahwa masa kanak-kanak adalah masa dimana penanaman nilai-nilai
kehidupan berawal.
Pembentukan karakter sejak dini dapat dilakukan melalui pendidikan. Baik
yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal dalam hal ini
sekolah ataupun lembaga-lembaga non formal lainnya, yang diharapkan mampu
mencetak generasi yang tangguh serta berkarakter. Kementrian pendidikan
nasional telah merancang grand design pembelajaran pendidikan karakter yakni
pengelompokan konfigurasi karakter yang bermuara pada olahhati, olahpikir,
olahraga, dan olahkarsa. Olah hati bermuara pada pengelolaan spiritual dan
emosional, olahpikir bermuara pada pengelolaan intelektual, olahraga bermuara
pada pengelolaan fisik, sedangkan olahrasa bermuara pada pengelolaan kreativitas
(Herawati, dalam Solo Pos 2010).
Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah salah satu tempat penanaman
nilai pembentuk karakter kepemimpinan, dengan memberikan pendidikan
karakter. Pendidikan karakter akan menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang
meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan
sosial dengan manusia lain ( UU Sisdiknas, 2003).
Untuk mencetak calon-calon pemimpin yang baik serta kompeten dalam
bidangnya, dalam dunia kependidikan perlu diadakan alternatif-alternatif
penyampaian program kepada peserta didik melalui metode-metode yang baru dan
penting karena diharapkan dapat menarik minat peserta didik yang kemudian akan
menumbuhkan keinginan untuk terus belajar sehingga terbentuk suatu karakter
dapat menjadi ciri individu yang diharapkan mampu menjadi identitasnya kelak di
masa datang. Dengan segala keterbatasan dalam dunia pendidikan nasional yang
selama ini dijalankan, maka banyak pihak mencoba berbagai alternatif dalam
memberikan pendidikan kepada anak didik. Diantaranya home schooling,
boarding school, sekolah alam dan lain-lain. Berbagai metode diterapkan demi
tercapainya tujuan pendidikan yang menghasilkan manusia atau peserta didik
yang handal. Berbagai metode pendidikan tersebut intinya ingin memberikan
metode pembelajaran yang menyentuh tiga ranah belajar yaitu area kognitif,
afektif dan psikomotorik. Di antara metode yang menarik adalah metode
outbound, yang oleh banyak pihak telah diuji coba dan terbukti efektif dalam
menyelesaikan kebuntuan dalam proses belajar (Asti, 2009).
Menurut Muhibbin (2007), metode pembelajaran yang efektif harus dapat
menyentuh pada tiga aspek tingkatan proses belajar, yaitu area pemikiran
(kognitif), perasaan (afektif), dan aksi (psikomotor). Ketiga unsur tersebut dapat
dipadukan sekaligus dengan metode kegiatan belajar dari pengalaman(experiental
learning). Sejalan dengan Muhibbin, Tony Stockwell (dalam Gordon 2002)
berpendapat bahwa untuk mempelajari sesuatu dengan cepat dan efektif kita
harus melihat, mendengar dan merasakan. Dengan karakteristik yang demikian,
maka menurut penulis metode outbound adalah metode yang dapat mewakili
unsur-unsur tersebut. Diantaranya dalam permainan yang digunakan sebagai
digunakan dalam rangka berfikir untuk penyelesaian masalah dan perasaan
biasanya dilibatkan untuk menimbang apakah keputusan yang diambil tidak
merugikan diri sendiri serta orang lain dan aksi diperlukan untuk mencoba
menjalankan hal yang sudah diputuskan.
Afani (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan hasil yang signifikan
dalam reaksi, pemahaman pengetahuan, dan perubahan perilaku pada individu
yang pernah mendapatkan treatment outbound. Sejak awal dikenalkan oleh sang
penggagas bahwa outbound dapat menyebabkan perubahan perilaku terutama
karakter individu. Penelitian dalam penanaman karakter kepemimpinan melalui
outbound sejak lama menjadi perhatian para peneliti. Hahn (dalam Neill 2004)
sebagai penggagas outbound, mendefenisikan outbound sebagai training yang
melibatkan pikiran yang diteruskan ke tubuh dengan berusaha memberikan
pengalaman menantang kepada para pemuda dengan format pengajaran yang
merangsang inner strength, karakter dan perubahan. Inti dari Outbund program
adalah “development by challenge” (perubahan berdasarkan pengalaman).
Program yang diberikan meliputi kemampuan berorganisasi, rescue training,
tantangan fisik, dan adventurer. Selintas medium pengajaran yang digunakan
menitik beratkan pada pisik semata, tetapi dibalik itu sangat ber efek pada ranah
psikologis dan sosial ( Neill 2004).
Metode outbound juga dapat dijadikan salah satu jalan keluar dari tingkat
kejenuhan yang tinggi para peserta didik akan metode-metode konvensional yang
telah dilakukan selama puluhan tahun. Karena dalam outbound, penyampaian
sederhana, menggunakan pendekatan belajar dari pengalaman, dan yang paling
menarik adalah metode ini dilakukan dengan penuh kegembiraan karena
penyampaiannya melalui permainan (Ancok, 2002)
Dalam hal ini sekolah alam sebagai pionir dalam dunia pendidikan di
Indonesia telah menggunakan metode outbound sebagai tools dalam pendidikan
kepemimpinan yang diharapkan mampu menyumbang bibit-bibit pemimpin bagi
bangsa ini kelak. Sekolah Alam Indonesia dengan penerapan metode
outbound-nya pula serta pendidikan berbasis alam yang diajarkan kepada peserta didikoutbound-nya
mampu menyedot perhatian publik sehingga untuk menyekolahkan anaknya orang
tua perlu antri dan menginap demi mendapatkan formulir pendaftaran (detik.com).
Dalam proses belajar menjadi seorang pemimpin, selain diperlukan
aspek-aspek di atas, diperlukan juga sebuah kerjasama yang kompak dalam segala hal
yang menyangkut proses tersebut, terutama saat belajar di luar ruangan. Dengan
demikian, Sekolah Alam Indonesia, sebuah sekolah yang menjadikan alam
terbuka sebagai kelas dan laboratorium, menjadikan metode outbound sebagai
media pembentuk karakter kepemimpinan disamping kurikulum akhlak dan logika
berpikir. Metode outbound dipilih karena dirasa cocok dengan karakteristik
proses kegiatan belajar mengajar yang lebih banyak dilakukan di luar ruangan
serta terdapat banyak pembelajaran pada tiap permainan yang dilakukan untuk
dapat menumbuhkan karakter kepemimpinan (leadership) pada setiap siswanya
(buku panduan Sekolah Alam Indonesia).
Terkait dengan penerapan metode outbound tersebut, maka diperlukan
yang berisi kegiatan-kegiatan atau permainan yang terkait unsur pembentuk
karakter kepemimpinan atau team building yang bisa merefleksikan proses
memimpin dan dipimpin, sarana yang memadai terkait ketersedian alat terutama
alat-alat yang dapat menunjang proses permainan khususnya alat-alat safety yang
direkomendasikan badan safety dunia, dan tidak ketinggalan tenaga pelaksana
yang handal(fasilitator, observer dan rescuer), yang memiliki penguasaan materi
dan metode pelatihan yang baik sebagai garansi untuk hal yang dijunjung tinggi
dalam dunia outbound, terutama faktor keselamatan (Jaelani, 2008)
Dari uraian diatas, penulis ingin melihat sejauh mana pengaruh outbound
program terhadap pengembangan karakter kepemimpinan siswa. Dari beberapa
penelitian terdahulu yang ternyata signifikan mengubah reaksi, pengetahuan , dan
perilaku, penulis berargumen bahwa outbound sebagai metode alternatif
pengembangan karakter serta penanaman nilai-nilai kepemimpinan di sekolah
sangat penting dilakukanuntuk mencetak pemimpin masa depan yang memiliki
karakter yang kuat.
1.2 Pertanyaan penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Variable apa sajakah yang mempengaruhi pembentukan karakter
kepemimpinan siswa?
2. Dari variable penelitian yang dianalisis manakah yang memiliki pengaruh
3. Bagaimanakah model persamaan regresi yang dapat digunakan untuk
memprediksi pembentukan karakter kepemimpinan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara pokok dan prinsip, tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan
penelitian yang telah peneliti rumuskan diatas. Oleh karenanya tujuan dan manfaat
subtansial penelitian ini sangat berkaitan erat dengan pertanyaan penelitiannya
yaitu:
1. Menemukan faktor –faktor yang dominan memengaruhi pembentukan karakter siswa, sehingga dapat digunakan sebagai prediktor pembentuk
karakter kepemimpinan.
2. Melihat secara statistik hasil pembentukan karakter kepemimpinan di Sekolah
Alam Indonesia
3. Jika sudah didapat model regresinya, maka peneliti mampu membuat
rangkuman tentang faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter
kepemimpinan.
1.4 Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak mengalami perluasan serta pelebaran masalah, maka
penulis membatasi penelitian ini pada permasalahan berikut :
1. Karakter kepemimpinan yang dimaksud adalah ciri-ciri seorang pemimpin
merujuk trait kepemimpinan dalam hal ini meliputi, Kekuatan, baik badaniah
meledak ledak secara emosional; pengetahuan tentang relasi insani; Kejujuran;
Objektif; Dorongan pribadi, meliputi kesedian untuk muncul sebagai pemimpin
dari diri sendiri; Keterampilan berkomunikasi; Kemampuan mengajar,
membagi pengetahuan untuk tujuan bersama; Keterampilan sosial; Kecakapan
teknis atau kecakapan managerial.
2. Outbound yang dimaksud adalah sekumpulan permainan di alam terbuka yang
merupakan analogi dari kehidupan, berdasar pada belajar dari pengalaman,
dengan refleksi pasca kegiatan yang dikemas dengan unsur-unsur pembentukan
karakter.
3. Siswa yang dimaksud adalah siswa kelas lima sampai kelas sembilan yang
bersekolah di Sekolah Alam Indonesia.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian
karakter kepemimpinan, pertanyaan penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, pembatasan masalah dan sistematika
penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah teori yang berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti secara sistematis, beserta
BAB III : Metodelogi Penelitian
Bab ini meliputi, subyek penelitian, variabel penelitian,
instrumen penelitian, prosedur penelitian, dan teknik analisis
data.
BAB IV : Analisis Hasil Penelitian
Dalam bab ini peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian
meliputi, pengolahan statistik dan analisis terhadap data.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian
dan meyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan
BAB 2
KAJIAN TEORI
Pada bab ini akan dipaparkan tentang Pengertian kepemimpinan (leadership),
definisi kepemimpinan, karakter kepemimpinan, faktor-faktor yang
mempengaruhi karakter kepemimpinan, metode outbound sebagai pembentuk
karakter kepemimpinan, dan hipotesis Penelitian.
2.1 KEPEMIMPINAN 2.1.1 Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan yang menjadi bahasan dalam tulisan ini adalah kepemimpinan
yang diambil dari istilah dalam bahasa Inggrisleadership.
Kepemimpinan adalah tema yang populer, yang bukan saja menjadi bahan
diskusi dan penelitian kaum terpelajar tapi semua lapisan masyarakat pun turut
membicarakan masalah kepemimpinan. Bertolak dari itu semua, telah banyak
orang yang mengembangkan teori ini sehingga pengertian tentang kepemimpinan
sangat banyak serta berbanding lurus dengan orang yang mengembangkannya.
Dari sekian banyak teori yang ada ada beberapa pengertian atau definisi yang
penulis anggap cocok dengan bahasan pada kali ini, diantaranya :
Bennis dan Nanus (dalam Munandar, 2001) mendefinisikan leading are
influencing, guiding in direction, course, action, opinion.
Sedangkan menurut Davis (dalam Munandar, 2001) Leadership is part of
Pemimpin merupakan suatu peran dalam kelompok yang diemban oleh
salah satu anggota kelompok dengan kriteria tertentu. Melalui perannya itu
pemimpin akan melaksanakan kepemimpinannya, yaitu suatu aktivitas untuk
mempengaruhi kelompoknya untuk mencapai tujuan kelompok. Hal ini
dikemukakan oleh Gibson (dalam Munir, 2001) bahwa kepemimpinan merupakan
usaha untuk mempengaruhi orang lain secara orang perorang (interpersonal),
lewat proses komunikasi, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Definisi
tersebut juga mengandung arti bahwa kepemimpinan mencakup penggunaan
pengaruh lewat hubungan interpersonal melalui proses komunikasi efektif untuk
mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan bersama-sama pula.
Dengan kata lain, dalam kepemimpinan terdapat hubungan antar manusia.
Yaitu hubungan mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuh-taatan
para pengikut/ bawahan karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpin.
Kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi,
memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi
efektifitas dan keberhasilan organisasi ( House 1999).
Menurut Chaplin (1995) Leadership adalah penggunaan otoritas kontrol,
bimbingan yang memerintah tingkah laku orang lain. Masih menurutnya pula,
leadership adalah kualitas kepribadian dan latihan yang mengarah pada
keberhasilan dalam membimbing dan mengontrol orang lain.
Wahjosumidjo (1984) berpendapat bahwa butir-butir pengertian dari
kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang
berupa sifat-sifat tertentu seperti kepribadian, kemampuan, dan kesanggupan.
Dari beberapa definisi diatas, dapat diartikan bahwa setiap pemimpin
haruslah memiliki karakter yang kuat sehingga tujuan dalam kelompok dapat
tercapai. Selain itu juga diperlukan rasa saling menghargai sehingga tercipta
hubungan yang harmonis antar anggota kelompok.
Kepemimpinan adalah berfungsinya pemimpin, bawahan, dan dalam
situasi tertentu, kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok
dalam rangka mencapai tujuan atau sasaran organisasi. Peranan pemimpin sangat
penting dan menentukan dalam usaha pencapaian sasaran atau tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Keberhasilan suatu organisasi sangatlah bergantung pada
kualitas dan efektifitas kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang
bersangkutan.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah salah satu
bagian dari manajemen kelompok dimana sang pemimpin memiliki peran untuk
mempengaruhi kelompoknya dalam mencapai tujuan bersama melalui kecakapan
komunikasi efektif yang dimilikinya. Dan dapat pula dikemukakan bahwa
kepemimpinan akan terjadi apabila didalam situasi tertentu seseorang
mempengaruhi perilaku orang lain baik perseorangan maupun kelompok.
Dalam dunia islam, istilah kepemimpinan telah ada sebelum manusia
diciptakan seperti tertuang dalam al-Quran surat al-Baqoroh (2):30 yang artinya
Engkau dan mensucikan Engkau?" Allah berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Kata Khalifah berarti pengganti atau pemegang otoritas Tuhan dimuka
bumi. Antonio (2009) menyebutkan bahwa dalam islam istilah khalifah dipakai
sebagai sebutan bagi pemimpin muslim setelah Rosulullah wafat, seperti kepada
Khulafa ar-Rasyidin. Para khalifah diyakini memiliki otoritas duniawi dan
keagamaan. Sedangkan dalam faham teokrasi, raja atau kaisar dianggap sebagai
perwujudan atau titisan tuhan misalnya Kaisar Jepang dipercayai sebagai
keturunan dewa matahari, raja-raja Mesir sebagai titisan Dewa Ra dan sebagainya.
Nabi Muhammad Saw secara jelas menyebut soal kepemimpinan dalam
salah satu sabdanya,
Setiap orang diantara kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya tersebut. Seorang imam akan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin ditengah keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin dan akan ditanya soal kepemimpinannya. Seorang pelayan/pegawai juga pemimpin dalam mengurus harta majikannya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Dalam hadist yang lain di sabdakan,
dari Ibnu Umar menyatakan bahwa Rosulullah bersabda masing-masing dari kamu adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinan tersebut. Seorang penguasa adalah pemimpin rakyatnya, seorang laki-laki dewasa adalah pemimpin keluarganya, seorang perempuan dewasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan kamu semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Dari uraian definisi kepemimpinan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak, mengarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu dalam organisasi, yang timbul dari situasi tertentu.
Untuk mengajak dan mengarahkan diperlukan seorang pemimpin yang
Studi tentang kepemimpinan dikelompokkan menjadi tiga pendekatan,
yaitu (a) yang mendasarkan atas traits (sifat, perangai) atau kualitas yang
diperlukan seseorang untuk menjadi pemimpin, (b) yang mempelajari perilaku
yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang efektif, (c) pendekatan
contingency yang berdasarkan atas faktor-faktor situasional untuk menentukan
gaya kepemimpinan yang efektif.
2.1.2 Karakter Kepemimpinan
Untuk berhasilnya tujuan suatu organisasi, diperlukan konsep kepemimpinan yang
berkarakter. Diantara karakter kepemimpinan yang baik dari seorang pemimpin
adalah dapat bermain peran. Peran tersebut mewakili penggolongan perilaku
domain dari seorang pimpinan yang terlihat dari kinerja pengikutnya. Menurut
Mintzberg (dalam Mulyani, 2004) mendefenisikan peran sebagai seperangkat
kemungkinan seorang pemimpin akan berperilaku dalam unjuk kerjanya.
Mintzberg (dalam Mulyani, 2004) membagi dalam tiga katagori yang
masing-masing memiliki karakteristik tersendiri yaitu,
a. Peraninterpersonal yang meliputi peranfigurehead, leader, liaison
b. Peran informational yang meliputi peran sebagai monitor, disseminator,
spokesperson
c. Peran decisional yang meliputi peran enterpreneur, disturbance-handler,
resource-allocator, dan negotiator
Dalam terminologi psikologi karakter digambarkan sebagai watak,
menerus dan kekal dan dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang
pribadi.
Karakter dalam diri seorang pemimpin sangat erat kaitannya dengan
proses kepemimpinannya. Sesuai dengan gambaran karakter dalam ranah
psikologi yakni melihat karakter seseorang dengan mengetahui sifat dasar dari
orang tersebut.
WarrenBennis (dalam Antonio 2009), menggambarkan sifat-sifat dasar
seorang pemimpin yang dapat dilihat dari perilakunya yaitu, guiding vision
(visioner), passion (berkemauan kuat), integrity (integritas), trust (amanah),
curiosity (rasa ingin tahu), andcourage ( berani). Serangkaian karakteristik yang
disebutkan diatas selayaknya dimiliki oleh seorang pemimpin untuk dapat
mempengaruhi, mengubah dan mengarahkan tingkah laku pengikutnya demi
tercapainya tujuan bersama.
Untuk dapat menentukan kriteria atau syarat untuk menjadi seorang
pemimpin, ada beberapa pendekatan yang dapat dijadikan rujukan seperti yang
dikemukakan William G. Scott (dalam Kartono 2008) yakni, the great man
approach (pendekatan orang besar), the trait approach (pendekatan ciri atau
sifat), the modified trait approach (pendekatan ciri yang sudah diubah), dan
situational approach (pendekatan situasional). Dalam hal ini penulis mengambil
satu pendekatan yang dinilai relevan dalam penelitian ini yaitu pendekatan trait
atau sifat.
Trait kepemimpinan merujuk pada keistimewaan karakteristik kepribadian,
membedakan seorang pemimpin dengan pengikut. Ide dasarnya adalah bahwa
seorang pemimpin dilahirkan(born to lead) dimana proses perkembangannya
melalui trait yang unik (Latemore, dalam July 2005). Teori ini tidak selalu dapat
mendefinisikan trait dari kepemimpinan yang sukses bahkan para ahli
kepemimpinan menemukan trait yang lain. Akan tetapi teori ini dapat
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan seseorang dimana kelemahan dan
kekuatan seseorang dapat memberikan kontribusi dalam belajar berkelanjutan dan
perkembangan diri. Tomlinson (dalam July 2005) meyakini bahwa kualitas dari
karakter seseorang (dapat dipercaya baik sebagai individu maupun dalam
kelompok, kekuatan managerial, dan kemampuan mengorganisasi) dapat
menggambarkan sifat pemimpin yang paling mendasar.
Saint (2004) mengatakan bahwa trait seorang pemimpin dapat
digambarkan dengan dapat mengambil keputusan, berpikir strategis, memiliki
kecerdasan mental, jujur dalam perkataan, serta objektif.
Selain gaya dan type dari pemimpin, trait seorang pemimpin juga
berkaitan erat dengan karakter seorang pemimpin. Dalam teori-teori kepribadian,
kepribadian terdiri dari trait dan tipe (type). Trait sendiri dijelaskan sebagai
konstruk teoritis yang menggambarkan unit atau dimensi dasar dari kepribadian.
Trait menggambarkan konsistensi respon individu dalam situasi yang
berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait.
Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality
Trait merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti
yang tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait
merupakan teori kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:
1. Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang
membedakan seseorang dari yang lain, sehingga:
a. Trait relatif stabil dari waktu ke waktu
b. Trait konsisten dari situasi ke situasi
2. Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan,
namun karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:
a. ada proses adaptif
b. adanya perbedaan kekuatan, dan
c. kombinasi dari trait yang ada
Menurut Mc Crae dan Costa (dalam Feist, 2006) mereka berpendapat
bahwa tingkat trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga masa
dewasa. Mereka yakin bahwa selama periode dari usia 18 sampai 30 tahun, orang
sedang berada dalam proses mengadopsi konfigurasi trait yang stabil, konfigurasi
yang tetap stabil setelah usia 30 tahun.
Teori trait dimunculkan pertama kalinya oleh Gordon W. Allport. Selain
Allport, terdapat dua orang ahli lain yang mengembangkan teori ini. Mereka
adalah Raymond B. Cattell dan Hans J. Eysenck.
Allport mengenalkan istilah central trait, yaitu kumpulan kata-kata yang
biasanya digunakan oleh orang untuk mendeskripsikan individu. Central trait
dasar dari kepribadian adalah trait yang keberadaannya bersumber pada sistem
saraf. Allport percaya bahwa trait menyatukan dan mengintegrasikan perilaku
seseorang dengan mengakibatkan seseorang melakukan pendekatan yang serupa
(baik tujuan ataupun rencananya) terhadap situasi-situasi yang berbeda. Walaupun
demikian, dua orang yang memiliki trait yang sama tidak selalu menampilkan
tindakan yang sama. Mereka dapat mengekspresikan trait mereka dengan cara
yang berbeda. Perbedaan inilah yang membuat masing-masing individu menjadi
pribadi yang unik. Oleh sebab itu Allport percaya bahwa individu hanya dapat
dipahami secara parsial jika menggunakan tes-tes yang menggunakan norma
kelompok
Untuk menilai sukses atau gagalnya seorang pemimpin antara lain dapat
dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas perilakunya,
yang digunakan sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya tersebut.
Sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian, keunggulan fisik, dan kemampuan
sosial. Karakter yang harus dimiliki seseorang pemimpin menurut George R.
Terry (dalam Kartono 2008) mencakup sepuluh sifat unggul seorang pemimpin
yakni, Kekuatan, baik badaniah maupun rohaniah; Stabilitas emosi, tidak mudah
marah tersinggung atau meledak ledak secara emosional; pengetahuan tentang
relasi insani; Kejujuran; Objectif; Dorongan pribadi, meliputi kesedian untuk
muncul sebagai pemimpin dari diri sendiri; Keterampilan berkomunikasi;
Kemampuan mengajar, membagi pengetahuan untuk tujuan bersama;
Dari hal-hal yang telah dikemukakan tentang kepemimpinan tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa setiap pemimpin dituntut memiliki karakter serta
kepribadian yang kesemuanya tidak ada dengan sendirinya melainkan berproses.
Sehingga menarik untuk diteliti dan diangkat menjadi suatu wacana bagaimana
kepribadian seorang pemimpin berkembang melalui proses belajar dari masa
anak-anak, dalam hal ini peneliti akan melihat sejauh mana perkembangan
karakter siswa yang telah mendapatkan pelatihan kepemimpinan melalui metode
outbound.
2.1.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter
Karakter dibentuk tidak melalui suatu proses yang singkat dan mudah. Karakter
dibentuk melalui proses panjang yang membutuhkan konsistensi dan
kesinambungan. Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak
berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu
dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Dalam
hal apa yang mempengaruhi pengembangan karakter, Campbell dan Bond (1982)
menyebutkan beberapa faktor utama dalam pengembangan moral dan perilaku
remaja di Amerika kontemporer:
1. Heredity (keturunan)
2. Early Childhood Experience (pengalaman awal masa kanak-kanak)
3. Modeling by important adults and older youth (pemodelan oleh orang dewasa
berpengaruh dan orang yang lebih tua)
5. The general physical and social environment (lingkungan fisik dan sosial
umum)
6. The communications media (media komunikasi)
7. What is taught in the schools and other institutions (apa yang diajarkan di
sekolah-sekolah dan lembaga lainnya)
8. Specific situations and roles that elicit corresponding behavior. (spesifik
situasi dan peran yang menimbulkan perilaku yang sesuai).
Sejalan dengan poin pertama, Kartono (2008) menyatakan bahwa banyak
orang berpendapat bahwa kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang pemimpin
merupakan ciri bawaan psikologis yang dibawa sejak lahir, yang ada khusus pada
dirinya, dan tidak dipunyai orang lain (born leader). Karena itu, sifat-sifat
kepemimpinannya tidak perlu diajarkan pada dirinya juga tidak bisa ditiru oleh
orang lain. Diantara sifat yang dimiliki adalah kepribadian yang unggul dengan
bakat dan kharisma yang cemerlang disamping punya bakat seni memimpin yang
tidak ada duanya.
Faktor lainnya yang tidak kalah berpengaruh dalam perkembangan
karakter kepemimpinan adalah faktor lingkungan diluar diri individu (nurture).
Diantara yang sangat mempengaruhi adalah lingkungan keluarga, peer group, dan
sekolah. Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2007) dalam teori ekologi
mengungkapkan bahwa perkembangan dipengaruhi oleh lima sistem lingkungan.
Kelima sistem lingkungan itu memberikan kontribusi yang besar dalam
1. Mikrosistem dimana individu tinggal meliputi keluarga, teman sebaya,
sekolah dan tetangga.
2. Mesosistem mencakup hubungan antar mikrosistem misalnya hubungan
pengalaman dikeluarga dan sekolah, pengalaman teman sebaya dan tempat
ibadah
3. Ekosistem, dimana pengalaman dalam lingkungan sosial lain yang individu
tidak ada peran aktif langsung mempengaruhi individu dalam konteks
langsung contohnya pengalaman disekolah dengan banyak tugas
mempengaruhi peran aktif anak dirumah.
4. Makrosistem, mencakup budaya dimana seseorang tinggal dalam hal ini
adalah pola perilaku, keyakinan
5. Kronosistem mencakup pembuatan pola kejadian lingkungan dan transisi
sepanjang kehidupan.
Merujuk pendapat Bronfenbrenner tersebut konteks yang paling sering
diteliti adalah konteks mesosistem (Santrock,2007) kebanyakan penelitian
mengungkapkan bahwa program khusus yang melibatkan keluarga sering dapat
membuat perbedaan dalam prestasi anak.
Sejalan dengan hal tersebut, Huitt (1999) mengungkapkan bahwa selain
faktor nature yang ada dalam diri individu, sekolah memainkan peran penting
dalam pembentukan karakter disamping peran keluarga dan masyarakat pada
umumnya. Kartono (2007) mengatakan bahwa sebagian orang berpendapat
dengan semakin banyaknya tujuan besar dari berbagai pihak dengan latar
yang akan menangani hal tersebut. Untuk itu perlu dipersiapkan, dilatih, dan
dibentuk secara berencana serta sistematis. Pada mereka diberikan latihan dan
pendidikan khusus untuk membiasakan bertingkah laku menurut pola-pola
tertentu, agar mampu melaksanaka tugas-tugas kepemimpinan dan sanggup
membawa kelompok atau orang-orang yang dipimpinnya ke sasaran yang ingin
dicapai.
Sekolah adalah salah satu tempat menyiapkan pemimpin, membentuk,
melatih, dan memberikan pola tertentu sesuai dengan kebutuhan pemimpin.
Paradigma pendidikan di indonesia saat ini sudah mendukung pembentukan
karakter di sekolah, bobot atau persentase tentang pendidikan karakter perlu
mendapatkan perhatian khusus mulai dari jenjang pra sekolah, sekolah dasar,
sekolah menengah pertama, sampai perguruan tinggi. Sehingga perlu penegasan,
penekankan kembali, dan menginginkan pendidikan karakter menjadi kesadaran
semua pihak akan pentingnya pendidikan karakter (Nuh, dalam pena pendidikan
2010).
Pembentukan karakter disekolah sebagai tempat untuk mendidik, Walsh
mendefinisikan pendidikan sebagai proses yang mempersiapkan kaum muda
untuk warisan sosial mereka dan pendukung tiga dimensi pendidikan yakni
pengembangan pengetahuan, pelatihan kemampuan mental, dan pengembangan
karakter.
Pengenalan tentang karakter kepemimpinan yang dilakukan dalam
dalam kelas, dan lain sebagainya. Sedangkan pembinaan yang dilakukan di luar
jam pelajaran bisa berupa kurikuler dan ekstra kurikuler.
Salah satu kegiatan yang mendukung serta mengarahkan perilaku untuk
membiasakan diri berbuat menurut pola tertentu sebagai sarana membentuk
karakter kepemimpinan diantaranya dapat dilakukan dalam pelatihan outbound.
Dalam hal ini outbound digunakan sebagai media menciptakan situasi tertentu
yang menimbulkan perilaku sesuai yang diharapkan sejalan dengan poin
kedelapan pendapat Campbell dan Bond (1982).
Asti (2009) mengungkapkan bahwa dalam outbound, program kegiatan
telah dirancang sedemikian rupa serta memiliki tujuan dan manfaat tertentu
diantaranya komunikasi efektif, pengembangan tim, pemecahan masalah,
kepercayaan diri, kepemimpinan, kerja sama, permainan yang menghibur,
konsentrasi, dan sportifitas. Sehingga peserta akan mampu mengembangkan
potensi diri baik secara individu maupun dalam kelompok.
Keterampilan yang didapat melalui outbound adalah mengambil resiko
dalam batas kewajaran. Pengalaman di alam terbuka memungkinkan seseorang
untuk mengembangkan keberaniannya dalam upaya mempertahankan
kelangsungan kelompoknya sehingga ”dipaksa” untuk bertindak berani dalam
mengambil resiko. Juga peserta dilatih untuk bebas dari rasa ketergantungan pada
batas-batas yang telah baku, konsep intelektual yang tidak terbatas kepada norma
tertentu.
Merujuk pada faktor tersebut penelitian ini bertujuan melihat sejauh mana
2.2.2.2 Metode Outbound sebagai Pembentuk Karakter
Metode outbound diyakini memiliki kontribusi yang besar sebagi pembentuk
karakter. Dalam banyak penelitian metode outbound ternyata efektif dalam
membangun pemahaman akan suatu konsep dan membangun perilaku (Asti,
2009). Karakter dibentuk oleh perilaku yang berulang-ulang dalam waktu yang
lama sehingga menetap dan menjadi kebiasaan. Sejalan dengan hal tersebut, perlu
penanaman nilai-nilai mulai dari masa anak-anak karena pada masa inilah dasar
karakter manusia terbentuk.
Pengembangan karakter kepemimpinan melalui kegiatan alam terbuka
dapat dikonstruksikan sebagai produk maupun sebagi proses pembelajaran. Sesuai
dengan pemikiran David A. Kolb tentang experiental learning yang terdiri dari
kompetisi afektif, persepsi simbolik, dan perilaku. Keterampilan lain yang
diperoleh melalui outbound adalah mengambil resiko dalam batas kewajaran.
Pengalaman di alam terbuka memungkinkan orang untuk mengembangkan
keberaniannya dalam rangka mempertahankan kelangsungan kelompoknya
sehingga dipaksa untuk bertindak berani dalam mengambil resiko (Ancok, 2002).
Alasan kenapa metode outbound digunakan antara lain (Ancok, 2002),
1. Metode ini sebagai sebuah simulasi kehidupan yang kompleks menjadi
sederhana
2. Metode ini menggunakan pendekataan metode belajar dari pengalaman
(experiential learning).
Dalam dunia pendidikan, pemilihan metode berkaitan langsung dengan
usaha guru dalam menampilkan pengajaran yang sesuai dengan kondisi, sehingga
pencapaian tujuan pembelajaran diperoleh secara optimal. Serta sebagi salah satu
hal yang mendasar dan komponen bagi berhasilnya KBM (kegiatan belajar
mengajar) yang sama pentingnya dengan komponen-komponen lain dalam
keseluruhan proses pendidikan. Menurut Djamarah (dalam Sutikno 1995), metode
memiliki kedudukan :
1. Sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam KBM
2. Menyiasati perbedaan individual anak didik
3. Untuk mencapai tujuan pembelajaran
Bila ditinjau secara teliti, sebenarnya keunggulan suatu metode terletak
pada beberapa faktor yang berpengaruh antara lain: tujuan, karakteristik siswa,
situasi dan kondisi, kemampuan dan pribadi guru, serta sarana dan prasarana yang
digunakan. (Basyirudin, Usman, 2002)
Cukup banyak metode pengajaran yang diterapkan di Indonesia yang
masing-masing memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Metode outbound
seperti yang dibahas dalam penelitian ini merujuk pada metode proses belajar dari
pengalaman(experiental learning)atau learning by doing.
Saat ini, dalam dunia pendidikan institusional di Indonesia mulai muncul
praktek-praktek metode pembelajaran yang berbeda-beda. Salah satu contoh yang
dapat dilihat adalah munculnya Sekolah Alam Indonesia, dimana sekolah ini
menekankan praktek dalam pembelajaran, sehingga proses kegiatan belajar
teori yang telah didapat kedalam suatu praktek, sehingga siswa lebih paham teori
dan alasan teori tersebut. Sekolah Alam Indonesia lebih mengedepankan
experiental learning dalam mendidik siswanya, yang paling konkret adalah
outbound. Dalam hal ini siswa tidak hanya dihadapkan tantangan kemampuan
intelegensi tapi juga fisik dan mental, dan diharapkan kemampuan tersebut bila
terus dilatih akan menjadi sebuah pengalaman yang membekali dirinya dalam
merngahadapi tantangan lebih nyata dalam persaingan di kehidupan sosial
masyarakat (yayasan@sekolahrakyat.org)
Asti (2009) juga memandang bahwa metode outbound dilirik dalam dunia
pendidikan dewasa ini di sekolah-sekolah yang sistem pendidikannya berbasis
alam, dimana proses pengajaran dilakukan di alam terbuka. Bahkan di sekolah
non-alam (umum) juga banyak yang menjadikan metode outbound sebagai variasi
pembelajaran.
Untuk mendukung hal tersebut hendaknya dalam setiap metode belajar
yang diberikan kepada setiap individu dalam proses pembelajarannya haruslah
mengedepankan empat pilar seperti yang dikemukakan oleh Jaques Delors (1983)
dalam pidatonya di UNESCO tentang pendidikan abad ke-21, yaitu Learnig to
know ; Learning to do ; Learning to be ; Learning to life together. Sehingga
pendidikan diharapkan dapat menyinergikan semangat kemajuan dan juga
kekokohan karakter.
Dari uraian di atas, secara umum dapat digambarkan bahwa metode belajar
intelektual saja melainkan juga perkembangan karakter dengan memperhatikan
keunikan setiap individu untuk mencapai hasil yang optimal.
2.2 Outbound
Setelah dijelaskan mengenai kepemimpinan, karakter kepemimpinan, hal yang
mempengaruhi pembentukan karakter dan metode outbound sebagai pembentuk
karakter, maka akan diuraikan tentang Outward Bound yang biasa disebut
outbound yakni penyampaian materi kepada siswa melalui kegiatan di alam
terbuka untuk merangsang pengembangan diri serta karakter kepemimpinan.
2.2.1. Pengertian Outbound
Inti dari Outward Bound program adalah “development by challenge” (perubahan berdasarkan pengalaman) seperti yang diungkapkan sang penggagas Kurt Hahn
dari hasil filosopi, buah pikir, dan kegigihannya akan pengembangan program
pendidikan yang cocok untuk generasi muda. Hahn menekankan bahwa outward
bound sebagai training yang melibatkan pikiran yang diteruskan ke tubuh dengan
berusaha memberikan pengalaman menantang kepada para pemuda dengan format
pengajaran yang merangsang inner strength, karakter dan perubahan. Program
yang diberikan meliputi kemampuan berorganisasi, rescue training, tantangan
pisik, dan adventurer. Selintas medium pengajaran yang digunakan menitik
beratkan pada fisik semata, tetapi dibalik itu sangat ber efek pada ranah psikologis
Berdasarkan pemikiran Hahn tersebut timbul berbagai macam penelitian
yang dilakukan banyak pihak dengan maksud melihat sejauh mana hubungan
pelatihan outward bound dengan perkembangan karakter.
Menurut Winarso (dalam Soebagio, 2002) mendefinisikan outbound
adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta untuk meningkatkan pemahaman
(insight) konsep pembinaan perilaku dan kepemimpinan di alam terbuka secara
sistematis, terencana, dan penuh kehati-hatian tanpa meninggalkan kemungkinan
mengembangkan kemampuan mengambil resiko yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin melalui kegiatan kelompok.
Simamora (2001) mendefinisikan pelatihan alam terbuka sebagai pelatihan
yang menggambarkan program-program pengembangan manajemen dan eksekutif
yang berlangsung di alam terbuka meliputi pendakian gunung, pelayaran,
berkano, arung jeram, sepeda gunung, dan lain-lain. Tujuan pelatihan alam
terbuka bukanlah pengembangan keahlian-keahlian teknis, melainkan lebih pada
pengembangan dan pengasahan keahlian-keahlian antar pribadi seperti keyakinan
diri, pengembangan diri, kerja sama tim, penetapan tujuan dan kepercayaan.
Sedangkan Atmodiwirio (2002) yang mengutip artikel Republika 1998,
mendefinisikan outbound adalah kegiatan belajar mandiri dalam arti
seluas-luasnya mulai dari mengatasi rasa takut, ketrgantungan pada orang lain, sampai
tidak percaya diri sehingga pada akhirnya menemukan jati dirinya, juga mau
Pembinaan manajerial dan kepemimpinan di alam terbuka dapat
dikonstruksikan sebagai produk maupun proses pembelajaran. Hal ini sejalan
dengan pemikiran teoritis.
Gardner (dalam Soebagio, 2002) mengemukakan adanya delapan unsur
kecerdasan yang dapat diperoleh melalui belajar di alam terbuka (outbound), yaitu
kecerdasan analitis, kecerdasan pola (pattern), kecerdasan matematika,
kecerdasan musik, kecerdasan spatial, kecerdasan praktis, kecerdasan
interpersonal, dan kecerdasan fisik.
Dalam penelitian yang dilakukan, Neill (1997) menemukan
pengembangan diri yang dapat didapat melalui outbound yang dirangkumnya
dalam life effectiveness yang meliputi domain pengembangan diri, sosial, dan
lingkungan.
Keterampilan yang didapat melalui out bound adalah mengambil resiko
dalam batas kewajaran. Pengalaman di alam terbuka memungkinkan seseorang
untuk mengembangkan keberaniannya dalam upaya mempertahankan
kelangsungan kelompoknya sehingga ”dipaksa” untuk bertindak berani dalam
mengambil resiko. Juga peserta dilatih untuk bebas dari rasa ketergantungan pada
batas-batas yang telah baku, konsep intelektual yang tidak terbatas kepada norma
tertentu.
Berdasarkan substansinya dan berdasarkan teori Kolb serta Gardner
tersebut, outbound yang dilakukan sebagai training mencakup pengembangan
berbagai informasi kepada individu atau kelompok sehingga mereka mendapatkan
sebagai sekumpulan kegiatan yang bertujuan memperbaiki pengetahuan dan skill
seseorang dalam waktu singkat dengan berdasar pada pertimbangan bahwa
kegiatan tersebut bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Ancok (2002) merujuk hasil penelitian De Potter tentang
quantum learning yang memasukkan unsur pelatihan alam terbuka dalam
pendekatannya yang diyakini memberikan kontribusi positif bagi kesuksesan
belajar peserta didik. Sehingga metode outbound tidak hanya digunakan dalam
dunia pelatihan tetapi dalam dunia pendidikan, termasuk Sekolah Alam Indonesia
yang telah menggunakan metode outbound sebagai media penanaman nilai-nilai
kepemimpinan dalam diri siswa semenjak awal berdirinya sekitar tahun 1998.
2.2.2. Sejarah Outbound
Proses mencari pengalaman melalui kegiatan alam terbuka sudah ada sejak jaman
Yunani kuno (Asti 2009). Kemudian pada tahun 1821 pendidikan melalui
kegiatan alam terbuka mulai dilakukan dengan berdirinya Round Hill School.
Secara sistematik, pendidikan melalui kegiatan outbound dimulai pada tahun 1941
di Inggris. Lembaga pendidikan outbound yang pertama ini dibangun oleh
seorang pendidik berkebangsaan Jerman bernama Kurt Hahn bekerja sama dengan
seorang pedagang Inggris bernama Lawrence holt. Lembaga pendidikan yang
terletak di Aberdovey, Wales diberi namaOutward Bound.
Pada saat itu, tujuan utama pendidikan ditujukan kepada pelaut muda
untuk melatih fisik dan terutama mental, guna menghadapi ganasnya pelayaran di
pendidikan tersebut, digunakan kegiatan mountaineering (mendaki gunung) dan
petualangan laut sebagai medianya. Dalam masing-masing kegiatan disertakan tim
penyelamat sebagai pendamping. Hahn beanggapan bahwa kegiatan bertualang
semata-mata bertujuan menjadikan seseorang terampil berpetualang, melainkan
sebagai wahana berlatih anak-anak muda menuju kedewasaan (Asti 2009). selain
itu, pendidikan outbound juga bertujuan menumbuhkan kesadaran dikalangan
kaum muda bahwa tindakan mereka membawa konsekuensi dan menumbuhkan
rasa kebersamaan serta kasih sayang pada orang lain.
Selanjutnya model ini banyak digunakan oleh angkatan bersenjata untuk
kepentingan mempersiapkan prajurit yang tangguh untuk mengatasi kesulitan
hidup baik dalam situasi aman maupun dalam situasi perang.
Mengingat media, metode, dan pendekatan yang digunakan dalam
Outward Bound, banyak ahli pendidikan yang mengklasifikasikan bentuk
pelatihan ini sebgai adventure education atau experiential learning. Sukses
Outward Bound dalam menerapkan sistem pendidikannya membuat banyak
lembaga serupa berkembang dan ditiru dibanyak tempat bahkan sampai
dikenalkan di luar Inggris. Setelah era Perang dunia II, lembaga outward bound
banyak didirikan tidak hanya di Inggris melainkan dinegara lain seperti Eropa,
Afrika, Asia, dan Australia.
Model pelatihan ini masuk ke Amerika sekitar tahun 1961, dengan nama
Collorado Outward Bound School (COBS) yang berbentuk yayasan nirlaba atau
foundation, para instrukturnya mendapatkan gaji dari para orang kaya yang
Outward bound Indonesia yang berlokasi di Jatiluhur, Jawa Barat. (jaelani, 2003).
Dalam perkembangannya di Indonesia, lembaga pendidikan seperti ini banyak
didirikan dengan berbagai level profesionalisme dan kelengkapan program serta
peralatan.
2.2.3 Metodelogi Pelatihan Outbound
Berdasarkan hasil penelitian dari John Dewey dan Kurt Lewin, David A Kolb
seorang teoritikus pendidikan Amerika pada tahun 1984, percaya bahwa belajar
adalah sebuah proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi
pengalaman. Teori ini menyajikan sebuah siklus model belajar sebagai berikut :
Keterangan :
1. Melakukan pengalaman konkret (DO)
2. Refleksi dari pengamatan (Observe)
3. Konseptualisasi abstrak (Think)
4. Percobaan aktif (Plan)
OBSERVE
PLAN DO
Empat tahapan siklus belajar Kolb menunjukkan bagaimana pengalaman
diterjemahkan melalui refleksi kedalam konsep, yang pada gilirannya digunakan
sebagai pedoman untuk percobaan aktif dalam pilihan pengalaman-pengalaman
baru. Pada tahap pertama, pelajar melaksanakan sebuah aktivitas yang langsung
dirasakan dengan terjun kelapangan. Pada tahap kedua, pelajar secara sadar
merefleksikan kembali pengalamannya (perenungan Pengalaman). Pada tahap
ketiga, pelajar mencoba mengkonseptualisasikan sebuah teori atau model dari apa
yang diamati. Pada tahap keempat, pelajar berusaha untuk merencanakan
bagaimana menguji sebuah teori atau model dan merencanakan pengalaman
selanjutnya (experential-learning.com)
Hal senada juga dikemukakan oleh banyak pakar pendidikan dan
pelatihan, salah satunya adalah menurut Boyett dan Boyett ( dalam Ancok, 2002)
bahwa proses belajar yang efektif memerlukan tahapan berikut ini :
1. Pembentukan Pengalaman(Experience)
Pada tahapan ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau permainan
bersama orang lain. Kegiatan atau permainan tersebut adalah salah satu bentuk
pemberian pengalaman langsung kepada peserta pelatihan. Pengalaman
langsung tersebut adalah sebuah wahana untuk menimbulkan pengalaman
intelektual, pengalaman emosional, dan pengalaman yang bersifat fisikal.
2. Perenungan Pengalaman(Reflect)
Kegiatan refleksi bertujuan memproses pengalaman yang diperoleh dari
kegiatan yang dilakukan. Setiap peserta pada tahapan ini melakukan refleksi
Apa yang dirasakan secara intelektual, emosional, dan fisikal. Dalam tahapan
ini fasilitator merangsang para peserta untuk menyampaikan pengalaman
pribadi masing-masing setelah terlibat didalam kegiatan tahapan pertama.
3. Pembentukan Konsep(Form Concept)
Pada tahapan ini peserta mencari makna dari pengalaman intelektual,
emosional, dan fisikal yang diperoleh dari keterlibatan dalam kegiatan.
4. Pengujian konsep(Test Concept)
Pada tahapan ini peserta diajak untuk merenungkan dan mendiskusikan sejauh
mana konsep yang telah terbentuk dalam tahapan tiga dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, maupun
bekerja dikantor atau dimana saja.
Sekolah alam dalam hal ini mengimplementasikan alur skema Kolb
dengan memberikan pengalaman nyata kepada para siswa misalnya dengan
melakukan kegiatan yang biasa disebut outing yaitu melakukan perjalanan yang
sesuai dengan tema pembelajaran (buku panduan masuk Sekolah Alam
Indonesia). Outing dilaksanakan dengan terlebih dahulu siswa aktif mencari tahu
hal seputar tema. Melalui kegiatan tersebut, siswa diharapkan mempunyai
pemahaman yang kemudian dikuatkan dengan keadaan langsung yang
ditemuinya. Setelah mengalami secara langsung siswa dirangsang untuk dapat
menginternalisasi pengalaman yang didapat dengan refleksi kegiatan yang
diberikan oleh guru. Pada refleksi ini setiap siswa mengungkapkan apa yang
dirasa dan didapatnya selama kegiatan dan guru memberikan umpan balik untuk
diterapkan hal yang sama sehingga dapat diketahui sejauh mana keefektifan suatu
proses pembelajaran.
2.2.4 Kriteria Outbound
Menilik dari sejarahnya, outbound sebenarnya adalah kegiatan pelatihan alam
terbuka yang memerlukan ketahanan pisik yang besar. Didalamnya peserta
menjalani petualangan (adventure), tidak hanya sekedar permainan (games) yang
berat dan penuh resiko. Didalam outbound, peserta benar-benar dididik untuk
menjadi manusia tangguh didalam menghadapi kesulitan hidup.
Karena itulah pada awal pengembangannya, kegiatan outbound banyak
dipakai oleh lembaga angkatan bersenjata untuk kepentingan mempersiapkan para
prajurit yang tangguh dalam menghadapi tantangan hidup baik dalam keadaan
aman maupun situasi perang. Pada perkembangannya, outbound memiliki
perluasan makna tidak hanya menunjuk pada suatu pelatihan dialam terbuka
dengan tantangan dan beresiko tinggi, tapi juga menunjuk pada suatu aktifitas
permainan yang ringan dan beresiko kecil (soft games) yang diadakan di luar
ruangan atau alam terbuka(outdoor) (Asti 2009).
Dengan alasan tersebut, banyak praktisi outbound yang mengklasifikasi
atau membagi kegiatan outbound dalam dua katagori, yaitureal outbound danfun
outbound
Real outbound menunjuk pada kegiatan menantang yang membutuhkan
ketahanan pisik yang besar. Para peserta menjalani petualangan (adventure) yang