• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengajaran Dharma Terhadap Sikap Keberagaman Umat Buhda di Lahat - Sumatera Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pengajaran Dharma Terhadap Sikap Keberagaman Umat Buhda di Lahat - Sumatera Selatan"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PENGAJARAN DHARMA

TERHADAP SIKAP KEBERAGAMAAN UMAT BUDDHA

DI LAHAT – SUMATERA SELATAN

Oleh

NANANG KHARIRI NIM: 103032127697

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : NANANG KHARIRI

N IM : 103032127697

Jurusan : Jurusan Perbandingan Agama

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi adalah hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata I (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penelitian ini, telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli

saya/merupakan hasil jiplakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Juni 2008

(3)

iii

PENGARUH PENGAJARAN DHARMA

TERHADAP SIKAP KEBERAGAMAAN UMAT BUDDHA

DI LAHAT – SUMATERA SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)

Oleh:

NANANG KHARIRI NIM : 103032127697

Di Bawah Bimbingan

Dra. Hermawati, MA

NIP. :150 227 408 150 289 320

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(4)

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul: “Pengaruh Pengajaran Dharma Terhadap Sikap Keberagamaan Umat Buddha di Lahat – Sumatera Selatan” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)

Jakarta, 17 Juni 2008

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Masri Mansoer, MA Maulana, MA NIP. : 150 283 228 NIP. : 150 244 493

Penguji I Penguji II

Drs. Roswen Dja’far, MA Dra. Siti Nadroh, MA NIP. : 150 222 782 NIP. : 150 282 310

Pembimbing

(5)

v ABSTRAK

Pengetahuan keagamaan dan internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi umat Buddha adalah menjadi sebuah keniscayaan. Kecenderungan sikap keberagamaan umat tidak bisa lepas dari pengaruh pengetahuan keagamaan, yaitu pengajaran Dharma. Dalam kaitan ini, baik “pengetahuan keagamaan” maupun “sikap keberagamaan umat” sama-sama mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis, utamanya sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan beragama.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengajaran Dharma. Selain itu, penelitian juga menelaah dan mengungkapkan pengaruh pengajaran Dharma terhadap sikap keberagamaan umat Buddha, tidak hanya menyangkut aspek iman (kepercayaan) dan ibadah (ritual), yang diatur secara khusus, melainkan menyangkut aspek hubungan sosial-kemanusiaan.

Penelitian dilaksanakan di Lahat Sumatera Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi sebagai alat dalam pengumpulan data.

(6)

vi ABSTRACT

Regarding applying of religion values in life of the follower of Buddha, its can be constructed and grow depend on quality of religious knowledge accepted. applying of religion values in life cannot get out of influence of religious knowledge (Dharma), In this bearing, goodness " religious knowledge" and also " applying of religion values" both of the same having to domicile and very strategic and important role, the core important as basis for spiritual, moral, and ethics in developing and improving the quality of life.

This research conduct to analyze and lay open influence among instruction of Dharma with Religious Attitude. To carry out this study, the writer decided to Lahat as the subject of the research. This research represents descriptive research. The data research is based on qualitative data which is collecting form interview, documentation, and observation. To analyze this paper, the writer uses “descriptive-analytic”. Descriptive explanation used to explore and describe some materials and perspectives. Analytic explanation used to analyze the object of the research.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

Alhamdulillah, puja dan puji syukur selalu dipanjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Karena dengan taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulisan tugas akhir strata satu ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam tidak lupa dihaturkan kepada kekasih Allah Swt, Baginda Rasulullah Muhammad Saw beserta para keluarga, sahabat dan dan para pengikutnya.

Disadari bahwa dalam proses waktu tidak sedikit bimbingan, pengarahan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya berpengaruh positif pada tulisan ini. Oleh karenanya, dengan kerendahan hati dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu, yaitu:

1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Pembantu Dekan I, II, dan III.

2. Ibu Dra. Ida Rasyida, MA, selaku Kepala Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak kepala Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta stafnya, Bapak Kepala Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas kepustakaan.

(8)

viii

5. Bapak Virya Chandra dan Bapak A'sun serta Keluarga Besar Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Tingkat II Lahat yang telah sudi memberikan data-data dan informasi dalam penyusunan skripsi ini.

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas wawasan pengetahuan yang telah diberikan.

7. Kedua orang tua, Bapak (Muhid Karejo), Ibu (Maryatun), yang tiada henti mencurahkan serta memberikan segala perhatian, cinta, kasih sayang, bimbingan dan motivasi baik spiritual maupun material. Sebagai wujud terima kasih penulis persembahkan skripsi ini untuk kedua orang tua. Serta Adinda Nunik Susilawati, semua Keluarga Besar Bapak Suwarno, Mas Gatot, Mas Totok, Mas Puji yang penulis cintai.

8. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan, khususnya PA/A 2003 yang telah bertahun-tahun bersama dengan penulis mengukir kenangan dan persahabatan. Temanku Fauzi yang selalu direpotkan dengan komputernya dan tak pernah mengeluh. Sahabat-sahabat penulis: Hamdie, Seid Chotob, Su'udi,. Kang Syafie yang selalu memberikan ide dalam penulisan skripsi ini.

9. Keluarga Besar Gg. Damai Sawangan dan Bapak Koshim, Mang Iwan, Mbak Merny, Amheng, Njay, Melky, yang sudi memberikan penulis tempat sebagai naungan penulis.

(9)

ix

Atas semua sumbangsih yang telah diberikan, semoga Allah Swt memberikan balasan yang berlipat ganda. Dan semoga karya sederhana ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 17 Juni 2008

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERNYATAAN... ii

HALAMAN PERSETUJUAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG DHARMA DAN SIKAP KEBERAGAMAAN ... 13

A. Dharma... 13

1. Pengertian Dharma ... 13

2. Hakekat Dharma dalam Agama Buddha ... 14

3. Kontekstualisasi Pengajaran Dharma ... 18

B. Sikap Keberagamaan... 22

1. Pengertian Sikap Keberagamaan ... 22

2. Teori Dasar Tentang Sikap Keberagamaan ... 24

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keberagamaan . 28 4. Keberagamaan dalam Perspektif Buddha... 29

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH LAHAT ... 42

A. Latar Belakang Sejarah ... 42

B. Faktor Geografi ... 45

C. Faktor Penduduk ... 46

(11)

xi

1. Agama... 47

2. Kebudayaan ... 52

3. Perekonomian ... 53

4. Pendidikan ... 56

BAB IV PENGAJARAN DHARMA DAN SIKAP KEBERAGAMAAN UMAT BUDDHA LAHAT ... 58

A. Peran Pengajaran Dharma dalam Kehidupan Keberagamaan .. 58

B. Relevansi Ajaran Dharma di Lahat ... 64

C. Problema dan Kritik dalam Pengajaran Dharma di Lahat... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran... 82 DAFTAR PUSTAKA

(12)

xii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama merupakan acuan dan pandangan hidup yang dipandang sakral oleh para pemeluknya. Karenanya, masalah pengetahuan keagamaan merupakan masalah yang senantiasa menarik perhatian, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan pemeluknya, selain juga faktor yang sangat penting dalam pembangunan manusia seutuhnya. Pengetahuan keagamaan dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual, yaitu pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan. Tujuan akhirnya adalah pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.

Apabila ditelaah secara kritis bahwa berbagai konflik sosial bernuansa keagamaan yang terjadi dalam masyarakat baik itu berkaitan dengan konflik antar umat yang berbeda agama dan sesama penganut agama, mempunyai kaitan dengan keberagamaan umat beragama di Indonesia. Diduga tidak sejalannya nilai-nilai agama dengan hidup keagamaan para penganutnya, karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai agama dan praktik keberagamaan umat.

Agama merupakan sumber kebenaran tertinggi bagi masyarakat. Sehingga faktor agama sering menjadi persoalan bagi pluralisme. Sementara pluralisme mengandalkan adanya “Relativitas kebenaran”, sebaliknya agama mengajarkan kebenaran tunggal, bahkan sering kali menjurus kepada pengkultusan (cultism) atas sebuah kebenaran. Kenyataan seperti ini menjadi problematik, karena pluralisme mengandalkan adanya koeksistensi antar agama, ras, suku, dan golongan apapun di dalam masyarakat sehingga dengan demikian mengakibatkan adanya pluralitas kebenaran.1

1

(13)

xiii

Dalam konteks bahwa agama dalam kehadirannya benar-benar menjadi pedoman bagi kehidupan bermasyarakat umat buddha, maka peran pengetahuan keagamaan dan internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi umat buddha menjadi sebuah keniscayaan. Dalam kaitan ini, adalah tidak bisa memisahkan “pengetahuan keagamaan” dan “sikap keberagamaan umat” sebagai “dua hal yang saling bertolak belakang”. Karena baik “pengetahuan keagamaan” maupun “sikap keberagamaan umat” sama-sama diperlukan oleh umat untuk bertumbuh ke arah kehidupannya yang lebih manusiawi untuk mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk beragama dalam praktik hidupnya, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial.

Kecenderungan sikap keberagamaan umat tidak bisa dilepas dari pengaruh pengetahuan keagamaan, yaitu pengajaran Dharma. Dalam pandangan ini, Dharma mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis, utamanya sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan beragama.

(14)

xiv

yang telah diajarkan Sang Buddha dan senantiasa berpedoman pada Dharma yang mengandung kebenaran sejati.

Namun yang ideal ini terkadang belum tampak dalam realitas. Hal ini dapat dijelaskan dengan memperhatikan keadaan bahwa praktek kriminalitas, perilaku asusila, dan perilaku permisif yang tidak lagi mengindahkan adab kesopanan dan kesantunan merupakan sebagian bukti rendahnya kualitas pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan umat terhadap ajaran agamanya.

Fenomena ini tentunya sangat memprihatinkan. Pada satu sisi, dalam kondisi demikian, pengajaran Dharma mendapat momentum untuk dapat dilaksanakan secara optimal, komprehensif dan lebih menitikberatkan pada pengembangan pribadi, watak, dan akhlak mulia umat. Di sisi lain, rendahnya penerapan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh umat merupakan indikasi kuatnya korelasi dengan pengetahuan keagamaan.

Jika ditelaah dengan seksama, tampak bahwa pengetahuan keagamaan umat tidak bisa lepas dari pengaruh Sangha (Bikkhu dan Bikkhuni, pendeta dan Dharmaduta) dan para tokoh agama. Bukan bermaksud menyatakan bahwa umat tidak memiliki kemandirian dalam menentukan dirinya, melainkan adanya suatu petunjuk bahwa kepatuhan kepada pemimpin agama masih cukup tinggi. Loyalitas ini salah satunya disebabkan oleh otoritas transenden (hak keagamaan) yang melekat pada Sangha (Bikkhu dan Bikkhuni, pendeta dan Dharmaduta) dan tokoh agama.

(15)

xv

awam. Kelompok pertama terdiri dari para Bikkhu dan Bikkhuni, samanera, dan samaneri. Mereka menjalani hidup keluarga. Kelompok masyarakat awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hidup berumah tangga.2

Hubungan antara Bikkhu dalam Sangha dan umat awam merupakan hubungan yang bersifat moral religius semata-mata dan bersifat hubungan timbal balik sebagaimana dijelaskan sang Buddha dan Sigalovada Sutta;

“Umat awam hendaknya menghormati Bikkhu dengan membantu dan memperlakukan mereka dengan perbuatan, kata-kata dan pikiran yang baik, membiarkan pintu terbuka bagi mereka dan memberikan makanan dan keperluan yang sesuai untuk mereka.”

“Sebaliknya Bikku yang mendapat penghormatan demikian mempunyai kewajiban terhadap umat awam, yaitu melindungi dan mencegah seseorang dari perbuatan jahat memberi petunjuk untuk melakukan perbuatan baik, mencintai mereka dengan hati tulus, menerangkan ajaran yang mereka belum dengar atau diketahui, menjelaskan apa yang belum dimengerti dan menunjukkan jalan untuk menuju pembebasan.”3

Agama Buddha berisikan kode moral yang baik sekali, termasuk satu untuk Bikkhu dan yang lain untuk umat awam, tetapi agama Buddha lebih dari satu ajaran biasa.4

Dalam tugas pribadi Bikkhu dalam Sangha tidak mengabaikan tugas sesamanya, dengan cara memberikan penerangan dan menolong orang lain. Dan Sangha juga sebagai pemeliharan ajaran, berkewajiban memberikan

2

H.A. Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta : PT. Hanindita Offset, 1998), Cet. I, h. 129

3

Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, (Jakarta : CV. Dewi Kuyuna Abadi, 2003), Cet . I, h. 29

4

(16)

xvi

contoh teladan kepada umat Buddha. Di dalam Sangha terdapat peraturan-peraturan untuk menjadi seorang Bikkhu, dan diharapkan umat Buddha yang lain mengikuti ajaran-ajaran murni yang merupakan jalan lurus yang dibawa oleh sang Buddha.

Secara umum, umat meniscayakan suatu keterarahan perkembangan spiritual kepada Sangha (Bikkhu dan Bikkhuni, pendeta dan Dharmaduta) dan tokoh agama, karena tanpanya masih banyak umat yang belum mampu memahami ajaran Dharma apalagi dalam memahami isi kandungannya. Pada tingkat tertentu, keterarahan tersebut memiliki konsekuensi yang menjadi landasan sikap keberagamaan umat. Sikap keberagamaan umat yang dimaksud tidak hanya menyangkut aspek iman (kepercayaan) dan ibadah (ritual), yang diatur secara khusus, melainkan menyangkut aspek hubungan sosial-kemanusiaan.

Di tengah arus keagamaan di Sumatra Selatan, khususnya di Lahat, komposisi agama terbanyak kedua adalah Buddha. Beragam kegiatan-kegiatan keagamaan yang dijalani di tengah-tengah masyarakat yang plural menuntut adanya keseimbangan tanpa merugikan agama-agama selain Buddha di sana. Sampai saat ini di Lahat belum terdengar konflik agama Buddha dengan agama yang lainnya.

(17)

xvii

sebenarnya pengajaran Dharma mesti diapresiasi dan dipertanyakan guna menangkap makna terdalamnya.

Pengajaran Dharma bukanlah akhir dari siklus keberagamaan, tetapi ia merupakan awal dari suatu siklus keberagamaan berikutnya. Dasar inilah yang melatarbelakangi untuk melakukan pengkajian dan penelitian secara lebih mendalam tentang pengajaran Dharma dan pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan umat Buddha di Lahat – Sumatera Selatan. Penelitian dan kajian ilmiah dimaksud sekaligus dijadikan pembahasan skripsi dengan judul: “Pengaruh Pengajaran Dharma Terhadap Sikap Keberagamaan Umat Buddha di Lahat – Sumatera Selatan

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka perlu adanya pembatasan masalah agar penelitian dapat lebih terarah serta mendekati pada fokus pencapaian tujuan. Kajian skripsi ini dibatasi hanya pada pengajaran Dharma dan pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan umat Buddha yang berada di Lahat Propinsi Sumatera Selatan.

2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah tersebut di atas, maka perumusan masalahnya sebagai berikut:

(18)

xviii

2. Bagaimana pengaruh pengajaran Dharma terhadap sikap keberagamaan umat Buddha di Lahat, Sumatera Selatan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui secara mendalam tentang bagaimana pengajaran Dharma di Lahat, Sumatera Selatan.

b. Menelaah dan mengungkapkan pengaruh pengajaran Dharma terhadap sikap keberagamaan umat Buddha di Lahat, Sumatera Selatan.

c. Memberikan penjelasan dan gambaran yang sejelas mungkin tentang faktor-faktor yang mendorong sikap keberagamaan umat Buddha di Lahat, Sumatera Selatan.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut: a. Memberikan Pengetahuan dan pemahaman bagi umat Budhha tentang

arti penting pengajaran dan perlunya penanaman ajaran Dharma serta manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

(19)

xix

c. Diharapkan menambah wawasan penulis berkaitan dengan sumber informasi dalam pelaksanaan nilai-nilai keagamaan sekaligus menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama kuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini merupakan suatu penelitian yang berusaha mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara holistik.5 Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Menurut Hadari Nawawi yang dimaksudkan dengan penelitian deskriptif adalah “prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat) sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat sekarang.”6

Pembahasan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis (descriptive analysis), yaitu salah satu metode yang dapat digunakan dalam prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subjek dan objek

5

Ali, H.M. Sayutji, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 58

6

(20)

xx

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.7 Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode deskriptif analisis merupakan langkah-langkah melakukan representasi objektif tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang diselidiki.8

2. Subjek Penelitian

Penelitian lapangan berlangsung terhadap satu lokasi/wilayah penelitian yang dibatasi pada wilayah Lahat. Subjek penelitian adalah Sangha/Vihara dan otoritas lainnya yang dapat dianggap mewakili agama Buddha khususnya pengajaran Dharma. Penelitian dilakukan terhadap 2 buah Vihara di Lahat dengan lebih mengfokuskan pada Vihara Padma Sari.

3. Objek Penelitian

Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah praktek pengajaran Dharma, meliputi penelitian terhadap sarana dan metode yang dipakai dalam pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai Dharma berikut pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan umat budhha lahat baik langsung maupun tidak langsung.

7

Hadawi Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1998), Cet ke-8, h. 63

8

(21)

xxi 4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dan informasi yang objektif, penelitian ini menggunakan instrumen pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi, merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematika fenomena-fenomena yang diselidiki.9 Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa “observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.”10 Melalui cara ini diharapkan dapat memperoleh data-data di lapangan yang tampak dan dapat diamati dengan seluruh panca indera. Data hasil observasi menjadi data penting, karena memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka berorientasi pada penemuan daripada pembuktian.

b. Wawancara (Interview), yaitu metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara dua orang atau lebih secara langsung.11 Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak terkait dengan memberikan pertanyaan tentang pendapat dan penilaiannya berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

9

Sutrisno Hadi, Methodologi Research II, (Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1984), h. 141

10

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung : Penerbit Alfabeta, 2005), Cet. ke-12, h. 166.

11

(22)

xxii

c. Studi dokumentasi, yaitu meneliti catatan-catatan tertulis yang dapat menunjang pembahasan yang diperoleh dari sumber utama mulai dari literatur-literatur yang berupa buku bacaan serta dokumen lain yang menjelaskan kerangka teoritis dan konseptual; dan sumber lain yang berkaitan dengan judul skripsi.

5. Teknik Analisa Data

Setelah pengumpulan data selesai, kemudian penulis menggambarkan objek penelitian secara jelas, sistematis, kritis dan objektif, di mana fakta atau data-data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis secara mendalam, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat umum (deduktif) lalu disistematisi ke dalam hal-hal yang bersifat khusus (induktif).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini disesuaikan dengan pokok masalah yang akan diteliti. Pembahasan skripsi ini dibagi dalam 5 bab, tiap-tiap bab dibagi lagi dalam sub-bab, dengan sistematika sebagai berikut:

(23)

xxiii

BAB II : Menjabarkan tentang ajaran Dharma yang terdiri dari pengertian berikut pembahasan hakikat ajaran Dharma. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang sikap keberagamaan.

BAB III : Mengungkapkan tentang wilayah Lahat yang mencakup, latar belakang sejarah, faktor geografi, faktor penduduk berikut faktor sosialnya. Juga uraian tentang sejarah dan perkembangan Buddha di Lahat.

BAB IV : Membicarakan analisis pengajaran Dharma terhadap sikap keberagamaan umat Buddha Lahat.

(24)

xxiv BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG DHARMA DAN SIKAP KEBERAGAMAAN

A. Dharma

1. Pengertian Dharma

Kata Dharma berasal dari kata bahasa Sanskerta12 “Dharma” atau “Dhamma” dari kata bahasa Pali,13 yang mempunyai arti “Kesunyataan mutlak, kebenaran mutlak atau hukum abadi”.14

Dharma menurut pengertian yang sederhana berarti ajaran agama. Karenanya seluruh ajaran dari sang Buddha Gotama dapat disarikan dalam Dharma. Secara tegas disebutkan dalam sejarah bahwa "setelah Sidharta Gotama mencapai samma-sambodhi, kemudian menjadi sama-sabuddha,

yang berarti Buddha yang menurunkan ajaran Dharma kepada dewa serta manusia".15 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Dhamma/Dharma tidak dapat dipisahkan dari Buddha Dhamma, yang berarti agama, filsafat,

12

Bahasa Sanskerta merupakan sebuah bahasa klasik India, sebuah bahasa liturgis dalam agama Hindu, Buddhisme, dan Jainisme dan salah satu dari 23 bahasa resmi India. Bahasa ini juga memiliki status yang sama di Nepal.Bahasa Sanskerta adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang masih dikenal dan sejarahnya termasuk yang terpanjang. Bahasa yang bisa menandingi 'usia' bahasa ini dari rumpun bahasa Indo-Eropa hanya bahasa Hitit. Kata Sansekerta, dalam bahasa Sanskerta Sanskrtabhāsa artinya adalah bahasa yang sempurna. Maksudnya, lawan dari bahasa Prakerta, atau bahasa rakyat.Posisinya dalam kebudayaan Asia Selatan dan Asia Tenggara

mirip dengan posisi bahasa Latin dan Yunani di Eropa.

13

Bahasa Pali adalah bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat di kerajaan Maghada (tempat sang Buddha Gotama menetap dan tinggal).

14

Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, (Jakarta, Majelis Budayana Indonesia, 1980), Cet. I. h. 9

15

(25)

xxv

pandangan hidup, ilmu jiwa, ilmu pengetahuan rohani, bahkan terlebih luas lagi.

Dharma dalam arti yang lain adalah:

Kebenaran semesta dari segala sesuatu yang berbentuk dan yang tak terbentuk. Dharma tidak hanya ada dalam hati sanubari manusia dan pikirannya, tetapi juga dalam seluruh alam semesta. Seluruh alam semesta terliputi olehnya. Terlebih luas lagi, Dhamma/Dharma adalah meliputi segala sesuatu yang dapat dipikirkan termasuk Nibbâna. 16

Dharma adalah abadi, ia tidak dapat berubah atau diubah. Ia akan tetap ada sepanjang zaman, sang Buddha bersabda:

“Uppada vadhikkhave tathagatham annuppada vatathagatanam thita vasa dhatu Dhammatthitata Dhammaniyamata”.

“O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul (di dunia) atau tidak, Dhamma akan tetap ada, merupakan hukum yang abadi”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, hal penting yang dipahami bahwa Dharma adalah jalan kehidupan yang berlandaskan kebenaran, merupakan perkembangan batin yang harus ditembus dan dibuktikan untuk diri melalui sila (latihan hidup susila), samadhi (latihan meditasi), dan pañña (pengembangan kebijakan) dengan tujuan akhir

Nibbâna/nirvana yang dicapai semasa hidup, bukan setelah meninggal. Ini berarti menunjukkan suatu proses untuk membangun kekuatan batin yang baik untuk diarahkan pada tujuan yang luhur dan suci.

2. Hakekat Dharma dalam Agama Buddha

16

(26)

xxvi

Buddha Dharma/Agama Buddha merupakan agama yang mengajarkan berbagai aspek kehidupan untuk memperoleh kebahagiaan tertinggi (Nibbâna/nirvana). Namun yang paling pokok untuk diperhatikan adalah Dharma.

Dharma pertama kali dibabarkan oleh Sang Buddha di Taman Rusa Isipatthana, Benares, yang dikenal dengan sebutan

Dhaznmacakkhapavatthana Sutta, sampai pada khotbah Beliau saat menjelang parinibbâna (Wafat) di Kusinara, yang mendapat sebutan Maha

PariNibbâna Sutta. Kendati demikian, Buddha Gotama sendiri tidak pernah menuliskan ajaran Beliau. Kesemuanya diberikan secara lisan. Penulisan ajaran Buddha Gotama atau kodifikasi ajaran Dharma ditulis setelah wafatnya yang dikenal dengan nama sidang muktamar pertama di Rajagraha.17

Bahwa dasarnya Dharma merupakan bagian dalam trimurti suci keimanan Buddha Dharma yang tidak bisa dipisah-pisahkan, yaitu Buddha Gotama, Dhamma, dan Sangha. Rumusan ini dalam bahasa Pali disebut Tiratana, Sementara dalam bahasa Sanskerta disebut Triratna, yang artinya Tiga Mestika (triple gems).18

Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam agama Buddha, Dharma mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Ia adalah pokok dasar agama Buddha, ajaran yang universal yang mengajarkan kepada umatnya

17

A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk mahasiswa, (Jakarta: CV Dewi Kayanya Abadi, 2003), h. 31

18

(27)

xxvii

mengenai berbagai aspek kehidupan. Kewajiban umat untuk melaksanakan Dharma merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan, dapat membebaskan manusia dari ketidaktahuan (avijja) dan penderitaan (dukkha). Sang Buddha bersabda:

"Mereka yang hidup sesuai dhamma yang telah diterangkan dengan baik akan mencapai pantai seberang, menyeberangi alam kematian yang amat sukar untuk diseberangi.”

Dharma sebagai ajaran dan pandangan hidup manusia merupakan sebuah alternatif bagi manusia untuk mengembangkan potensinya menuju kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi. Dharma merupakan sumber pengetahuan dan petunjuk yang akan membimbing manusia di dalam kehidupannya, tanpa mengabaikan fitrah kemanusiaan itu sendiri.

Dharma sebagai salah satu aspek dari ajaran Buddha bertujuan menciptakan pribadi-pribadi yang selalu berjalan pada Dharma dan dapat mencapai kehidupan yang bahagia dan sempurna (Nibbâna). Sang Buddha secara tegas menyebutkan tentang hal tersebut. sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab suci Dhammapada Vagga VII ayat 97 berikut:

"Orang yang telah bebas dan ketakhayulan, yang telah mengerti keadaan tidak tercipta (Nibbâna), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.”

(28)

xxviii

para ahli, Dhamma di sini berarti kebijaksanaan atau pengetahuan, dan cakka berarti mendirikan atau membangun. Dhammacakkappavattana

berarti penjelasan terinci dari pembangunan kebijaksanaan. Dhamma juga bisa diartikan sebagai kesunyataan, dan cakka sebagai roda. Oleh karena itu, Dhammacakkappavattana akan berarti pemutaran atau Pembangunan Roda Kesunyataan.19

Dalam khotbah yang sangat penting tersebut, sang Buddha menjelaskan jalan tengah (majhima patipada),20 serta menjadi intisari ajaran sang Buddha. sang Buddha mengawali khotbah dengan menasehati lima pertapa21 yang percaya pada pertapaan ketat agar menghindari dari pengumbaran nafsu dan penyiksaan diri yang ekstrim, karena keduanya tidak membawa pada perdamaian dan penerangan sempurna. Yang pertama menghalangi kemajuan batin seseorang, yang terakhir melemahkan kecerdasan seseorang. Sang Buddha mengkritik kedua pandangan tersebut karena dengan pengalaman pribadi beliau memahami kesia-siaan mereka dan menyampaikan jalan yang paling praktis, masuk akal dan membawa manfaat, satu-satunya jalan yang membawa pada kesucian sempurna dan pembebasan mutlak.

19

Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajaranya, (Jakarta: Upi Visakha GunaDharma, 1973), Cet. I. h. 54

20

Jalan tengah merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.

21

(29)

xxix

Buddha Dharma/Agama Buddha menganjurkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Mengajarkan cinta-kasih, kebijaksanaan, kesederhanaan. Dengan kata lain agama Buddha memiliki fungsi-fungsi profetik untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketakutan, kebiadaban, dan tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Buddha Dharma memberikan kepada penganutnya suatu pandangan tentang hukum abadi, yaitu hukum-hukum alam semesta sebagai kekuatan yang menguasai dan mengaturnya.

Buddha Dharma adalah ajaran yang berlandaskan cinta kasih tanpa mengenal dan menggunakan kekerasan. dengan mengikuti tuntunan bahwa Dharma diajarkan kepada manusia untuk mewujudkan manusia yang mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Di samping itu, Dharma mempunyai peranan yang sangat penting dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan, mendidik emosi, etika dan intelektual.

3. Kontekstualisasi Pengajaran Dharma

(30)

xxx

Sang Buddha menaruh perhatian mendalam terhadap kesejahteraan manusia, dan telah mengajarkan pedoman-pedoman untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan masyarakat. Melalui ajarannya yang realistik, rasional, pragmatis dan humanistik sang Buddha mencoba memberikan dasar-dasar etis yang diperlukan manusia dalam kehidupannya. Sang Buddha bersabda:

“Wahai para siswa, kami mengajarkan Dhamma untuk dipergunakan sebagai rakit, untuk menyeberang dan bukan untuk disimpan atau digantungi terus menerus”.

Sang Buddha merumuskan suatu cara hidup, yaitu kebudayaan budhis, dan menekankan latihan praktek yang benar. Mendorong untuk tidak hanya membincangkan masalah-masalah metafisika, melainkan mengutamakan usaha untuk meningkatkan etika masyarakat. Dalam kaitan ini, ketika ditanya oleh Brahmana Potthapada, mengapa beliau tak mengemukakan pandangan beliau mengenai kesepuluh masalah metafisika (antara lain: apakah alam ini kekal atau tidak; apakah jiwa itu dan sebagainya), sang Buddha menjawab; “masalah-masalah seperti itu tidak bermanfaat, tidak bersangkutan dengan Dharma, tidak menghasilkan kehidupan susila ataupun pelepasan...atau pengetahuan sejati...atau

Nibbâna.”22

Perspektif di atas memberikan pengertian bahwa hidup manusia ada dalam dan pada dunia. Karenanya, manusia tidak dapat melepaskan kediriannya dari dialog dengan dunia (sosial-kultural)-nya. Rumusan ini

22

(31)

xxxi

merupakan pandangan mendasar yang selalu digunakan Sang Buddha dalam seluruh refleksi dan perenungan mengenai eksistensi manusia. Pandangan mendasar tersebut menegaskan bahwa hidup manusia tidak berlangsung dalam suasana batin (tempat dan ruang) yang tertutup, melainkan dalam dialog dengan lingkungan dunianya.

Sebagai sebuah ajaran universal, pengajaran Dharma hadir dan menguat, terutama sejak perubahan dan hasil konstruksi pemikiran dan aktivitas Sang Buddha, melalui apa yang disebut

Dhammacakkhapavatthana sutta sebagai proses gelombang merasakan ajaran yang sangat agung yang berhembus dari Taman Rusa Isipatthana ke seantero dunia. Dharma dipandang sebagai satu komponen yang penting untuk mencapai keadilan sosial. Resonansi transformasi sosial di tingkat global ini, pada fase selanjutnya turut berpengaruh terhadap kondisi sosial- kultural Indonesia. Di masa kerajaan-kerajaan Nusantara kuno, optimisme terhadap Dharma, mulai menarik perhatian banyak kalangan dan masyarakat. Pada masa inilah, pengajaran Dharma mulai diidentifikasi dan dikontektualisasikan di Nusantara.

(32)

xxxii

pendirian candi Borobudur Abad VIII, IX, Abad VII, VIII, dan berdiri kerajaan Sriwijaya di Sumatera.23

Kedatangan Ajisaka pada Abad Idi samping sebagai dharmaduta, juga memperkenalkan aksara dan penanggalan tahun Saka (Candrasengkala).24 Dalam hal ini sangat jelas bahwa pengajaran Dharma tidak tertutup hanya memakai bahasa India (kuno) tetapi terbuka bagi bahasa apapun.

Pada suatu kesempatan sang Buddha ditanya oleh para muridnya mengenai pemakaian bahasa dalam pengajaran Dharma. Apakah tetap menggunakan bahasa India sesuai bahasa yang ada di sana atau disesuaikan dengan bahasa setempat. Menanggapi pertanyaan tersebut, Buddha bersabda :

“Para bhikkhu, aku ijinkan engkau sekalian mempelajari sabda-sabda bhagawa dalam bahasamu sendiri.”

Dalam pengertian ini, Dharma yang diajarkan adalah esensi (muatannya) bukan kepada pemakaian bahasa. Bahasa hanya sebagai pengantar mempermudah orang untuk memahaminya.

Gagasan mengenai negara kesatuan, telah memberikan pijakan baru untuk pengajaran Dharma. Hegemoni Sangha dalam lingkungan sosial-kultural, termasuk politik yang telah begitu menggurita pada masa kerajaan Nusantara kuno dan memiliki legitimasi historis dalam konteks keindonesiaan ditinggalkan untuk kemudian muncul sebagai organisasi

23

J. L Moens, Buddhisme di Jawa dan Sumatra, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986), h. 45

24

(33)

xxxiii

yang hidup sukarela, self-generating, sebagian besar self-supporting, otonomi dari negara, dan yang terikat oleh tata hukum atau norma-norma yang berlaku, yang berfungsi menjaga keseimbangan pada suatu kekuatan antara negara dan individu atau masyarakat secara umum.

Secara efektif, sangha kemudian melibatkan diri untuk mengembangkan dan memajukan pengajaran Dharma, membantu untuk menciptakan internalisasi nilai-nilai Dharma dalam kehidupan. Penjelasan ini berdasarkan rumusan trimurti suci keimanan Buddha, yaitu Buddha Gotama, Dharma, Sangha. Rumusan memberikan hak istimewa kepada sangha sebagai pengemban amanat sang Buddha Gotama sebagai pelindung dan penyebar Dharma.

Dalam hal ini, ekspresi keagamaan memberikan corak baru, yang secara nyata makin memacu pihak sangha untuk melakukan upaya-upaya strategis dan kreatif, terutama dalam rangka mensinergikan antara konteks historis dan realitas kekinian. Pada masa lalu ekspresi keagamaan sangat ditentukan oleh latar historis dan latar kultural, yang menyebabkan keragaman selalu hadir dan direkonsiliasikan melalui semangat kebangsaan.

(34)

xxxiv

negara serta adanya ruang publik yang bebas untuk memperjuangkan kepentingan publik.

B. Sikap Keberagamaan

1. Pengertian Sikap Keberagamaan

Secara etimologi sikap berarti “Pandangan atau perasaan yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tertentu”.25 Kata “Sikap” atau dalam bahasa Inggris disebut Attitude, yaitu “suatu cara bereaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus”,26 yang menurut istilah psikologi adalah satu pridisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau untuk menyaksikan dengan satu cara tertentu terhadap hal-hal tertentu pula.27 Sedangkan menurut terminologi sikap berarti “kesadaran individu yang menentukan perbuatan yang nyata”.28

Menurut Bruno, ”sikap adalah kecenderungan yang relatif menetap, untuk bereaksi dengan cara yang baik atau buruk, terhadap barang atau orang tertentu”.29 Sementara Abu Ahmadi mendefinisikan sikap sebagai “kesadaran individu yang menentukan perbuatan yang

25

R. Soetarno, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta : Kanisius, 1993), Cet. II, h. 41

26

Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. X, h. 141

27

J. P. Chaplin., Kamus Lengkap Psikologi, (Terj. Kartini Kartono), (Jakarta Raja Grafindo, 1997), Cet. VII, h. 43

28

Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979), h. 52

29

(35)

xxxv nyata”.30

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Sarlito Wirawan menyatakan bahwa Sikap adalah “Kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal tertentu”.31 Bimo Walgito menegaskan sikap adalah “kesadaran diri seseorang yang menggerakkan diri untuk bertindak dan melakukan perbuatan”.32

Berdasarkan beberapa pengertian dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam bersikap positif cenderung akan bertindak mendekati, menyukai, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu.

Sedangkan kata “Keberagamaan” berasal dari kata “beragama”,

Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan antara lain; Menganut (memeluk) agama, Beribadat, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama). Misalnya “Ia berasal dari keluarga yang taat beragama”.33

Berdasarkan uraian arti beragama tersebut, dapat dijelaskan yang dimaksud dengan keberagamaan adalah kondisi keimanan keyakinan seseorang yang terdalam terhadap ajaran-ajaran agama, yang kemudian direalisasikan dalam setiap sikap dan prilaku hidupnya. Semua yang

30

Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, h. 52

31

Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991), Cet. VI, h. 94

32

Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Surabaya: Andi Offset, 1980), h. 80

33

(36)

xxxvi

dilakukan berdasarkan keyakinan hatinya yang dilandasi dengan keimanan (keyakinannya).

Dari beberapa pengertian dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap keberagamaan adalah kondisi keimanan atau keyakinan terdalam seseorang terhadap ajaran agamanya yang kemudian diaktualisasikan dalam sikap dan prilaku hidupnya sehari-hari.

5. Teori Dasar Tentang Sikap Keberagamaan

Pembahasan tentang sikap keagamaan tidak terlepas dari sikap dan hal-hal yang menyertainya serta agama itu sendiri. Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu, juga bahwa sikap dapat bersifat relatif konsisten dalam sejarah hidup individu.

Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Ma'raf mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen sikap yaitu; (1) komponen kognisi yang berhubungan dengan

beliefs, ide dan konsep, (2) komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang, dan (3) komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.34

Sementara itu, Krech memaparkan bahwa ada empat faktor yang menentukan pembentukan sikap seseorang yaitu (1) keinginan, (2) informasi, (3) hubungan dalam kelompok, dan (4) kepribadian seseorang.35

34

Ma'raf, Sikap Manusia; Perubahan serta Pengukurannya, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1982), h. 20-21

-

35

David Krech, Richard S. Crutchfield dan Argenton L. Ballachey, Individual in Society,

(37)

xxxvii

Konsistensi antara kepercayaan sebagai komponen kognitif, perasaan sebagai komponen afektif, dan tendensi perilaku sebagai komponen konatif seperti itulah yang menjadi landasan dalam usaha penyimpulan sikap yang dicerminkan oleh jawaban terhadap skala sikap.

Pembentukan sikap dilatarbelakangi oleh persepsi, kesiapan, keyakinan, dan penilaian seseorang terhadap suatu obyek yang berada sepanjang rintangan kontinum antara titik ekstrem positif dan titik ekstrem negatif. Sikap yang cenderung pada titik positif akan melahirkan respons positif, sebaiknya sikap yang cenderung pada titik negatif akan melahirkan respons yang negatif.36

Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan kesediaan bereaksi terhadap suatu hal, obyek atau situasi tertentu. Hal ini menandakan sikap senantiasa diarahkan pada suatu obyek, dalam artian bukan sikap tanpa objek. Dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan sikap mempunyai peranan yang sangat penting. Hal ini karena sikap yang ada pada diri seseorang akan memberikan warna atau corak pada tingkah laku atau perbuatan orang tersebut. Sementara ada orang yang bersikap menerima dalam menanggapi gejala sosial di luar dirinya. Di pihak lain, ada pula orang yang bersikap menolak dalam menanggapi gejala sosial yang ada di luar dirinya.

Dengan demikian jelaslah bahwa pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Sikap dalam perkembangannya

36

(38)

xxxviii

banyak dipengaruhi oleh lingkungan, norma-norma, interaksi antar individu, perkembangan sarana komunikasi dan sebagainya.

Dalam studi mengenai perilaku, sikap merupakan konsep yang paling penting. Karena sikap dapat meramalkan perilaku seseorang. JP. Chaplin mengartikan sikap atau attitude sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku dan bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap pribadi lain; objek, lembaga atau personal tertentu.37

Mar’at dalam Walgito mengatakan bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi dibentuk sepanjang perkembangan individu yang bersangkutan. Sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikologis. Faktor eksternal dapat berupa situasi yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada seseorang.38

Sementara agama (religi) secara terminologi (bahasa), dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah suatu sistem prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa) dengan kebaktian atau kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan itu.39

37

J. P. Chaplin., Kamus Lengkap Psikologi, h. 48

38

Bimo, Walgito, Psikologi Sosial, (Surabaya: Andi Offset, 1980), h. 52

39

(39)

xxxix

Dalam pengertian lain dapat dijelaskan agama merupakan suatu ajaran yang bersumber kepada wahyu Tuhan dan berintikan moral dan etika bagi pemeluknya dalam kehidupan di dunia dan di akherat.40

Agama memiliki dua pengertian, secara subyektif (sosiologis psikologis) dan secara obyektif (doktriner):

a. Secara subyektif (sosiologis psikologis manusia). Agama adalah perilaku manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaannya, berupa getaran batin yang dapat mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya, baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maupun dengan Tuhannya serta makhluk lainnya. Sehingga dalam manifestasinya agama adalah sebuah pola hidup yang telah mengakar dalam batinnya.

b. Secara obyektif (doktriner). Agama adalah ajaran dari Tuhan yang menuntun dan menjadi petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya mencapai kebahagiaan. Agama dalam pengertian ini belum membudaya dalam batin dan perilaku manusia.41

Menurut pendapat Blok dan Stark, untuk mengukur tingkat religiusitas seseorang dapat dipakai kerangka sebagai berikut :

a. Keterlibatan tingkat ritual (ritual involvement), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual agama mereka.

b. Keterlibatan ideologis (ideological involvement), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatis dalam agama mereka.

c. Keterlibatan intelektual (intellectual involvement), yaitu yang menggambarkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran

40

Departemen Agama, Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila. Jakarta: Proyek Penelitian Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984-1985, h. 9

41

(40)

xl

agamanya, seberapa jauh aktivitasnya dalam menambah pengetahuan agama mereka.

d. Keterlibatan pengalaman (eksperiental involvement), yaitu yang menunjukkan apakah seseorang pernah mengalami pengalaman yang spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan.

e. Keterlibatan secara konsekuen (consequential involvement), yaitu tingkatan sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agamanya.42

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keberagamaan

Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi sikap keberagamaan yaitu, faktor intern dan faktor ekstern. Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang adalah faktor herialitas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang. Sedangkan faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: keluarga, institusi, masyarakat. 43

Sementara Robert H Thauless menyimpulkan beberapa faktor sikap keberagamaan, ia membaginya menjadi 4 faktor, yaitu:

a) Faktor sosial, mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan seperti pendidikan yang diterima sejak masa kanak-kanak.

b) Faktor moral, pengalaman konflik antara religius dan prilaku mengenai perpecahan, keselarasan dan kebaikan.

42

Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, h. 127

43

(41)

xli

c) Faktor emosional tertentu seperti rasa keamanan, cinta kasih, harga diri dan perasaan kematian.

d) Faktor intelektual, dari hasil pemikiran manusia ia akan menentukan keyakinan yang harus diterimanya. 44

Sedangkan Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keberagamaan dibagi menjadi dua faktor, yaitu:

a) Faktor Intern

(1) Faktor hereditas (sifat pembawaan/keturunan) (2) Tingkat usia

(3) Kepribadian

(4) Kondisi jiwa seseorang b) Faktor Ekstern

(1) Keluarga (2) Institusi (3) Masyarakat45

7. Keberagamaan dalam Perspektif Buddha

Ajaran Sang Buddha pada dasarnya menginginkan kehidupan yang dinamis dan ideal, sehingga pada prakteknya mengajarkan suatu disiplin menuju tujuan akhir hidup manusia yaitu mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati46 berikut melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk.

Keberagamaan dipahami sebagai kondisi keimanan atau keyakinan terdalam seseorang terhadap ajaran agamanya yang kemudian

44

Robert H. Thauless, Pengantar Psikologi Agama, (terj. Muchmun Husein), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 3, h. 34

45

Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, h. 241

46

(42)

xlii

diaktualisasikan dalam sikap dan prilaku hidupnya sehari-hari. Dalam bahasa yang lain, sikap keagamaan memiliki arti suatu perbuatan yang berdasarkan pada pendirian, pendapat atau keyakinan seseorang, mengenai ajaran agamanya. Seorang yang menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan.

Sikap keberagamaan umat Buddha adalah Dharma, yang mengandung pengertian kesucian pikiran, kesucian ucapan dan kesucian tindakan badan.47 Walaupun Dharma memiliki manifestasi yang bermacam-macam, akan tetapi pada hakikatnya semua yang dikandung oleh Dharma tersebut menunjukkan kepada yang umum, mendasar, lengkap, dan mengarah kepada tujuan yang satu, yaitu penyampaian diri kepada Pencerahan Sempurna, sebagaimana yang dijelaskan Sang Buddha dalam kitab suci TriPitaka bagian Dhammapada Vagga VI ayat 79 berikut:

"Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barang siapa hidup sesuai dengan Dhamma, maka ia akan hidup bahagia di dunia maupun di dunia selanjutnya.”

Dengan demikian, sikap keberagamaan umat Buddha adalah suatu perwujudan dan keseluruhan totalitas manusia, baik sikap dan karakternya, tabiat, dan tindakannya sesuai dengan ajaran-ajaran Buddha. Oleh karena Buddha merupakan suatu sistem yang menyeluruh, maka keberagamaan dalam Buddha bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja. tapi juga dalam bentuk aktivitas lainnya.

47

(43)

xliii

Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa Buddha memandang hidup dalam Dharma (Dhammacariyaca) sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek rohani dan berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu suatu kematangan yang bertitik akhir pada Nibbâna baru dapat dicapai melalui satu proses. Dan proses yang diinginkan dalam usaha mencapai Nibbâna adalah proses yang mengarahkan seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Buddha.

Proses keberagamaan dalam Buddha dibuktikan melalui 4 tahapan, diperlukan tekad kuat (adhitthãna) untuk mengikuti Jalan yang ditunjukkan oleh YMS Buddha Gotama yang meliputi; “sila, samadhi, dan pana dengan tujuan akhir Nibbâna/nirvana”.48

a. Sila

Kata sila berasal dari kata bahasa Sanskerta yang mempunyai arti “norma (kaidah), peraturan, perlaku, sopan santun, dan sebagainya”.49 Sila merupakan latihan hidup susila dan merupakan dasar penting di dalam agama Buddha. Pelaksanaan sila dalam Buddha berupa kebijakan moral, etika dalam menjalani kehidupan sehingga mampu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta. Sang Buddha bersabda sebagaimana yang dijelaskan dalam theragatha, 612 sebagai berikut:

48

Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 35

49

(44)

xliv

“Kebijakan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang menyempurnakan kebijakan moral (sila).”

Dalam agama Buddha, dikenal banyak sila mulai sila bagi sangha dan di luar sangha. Buddhisme mahayana mengenal sad paramita (sila paramita) sebagaimana yang dijelaskan dalam dasabhumika sutra, satasaharrika prajnaparamita, dan maha vyutpatti sebagai berikut:

1) Pantangan membunuh 2) Pantangan mencuri

3) Pantangan melakukan perbuatan perjinahan

4) Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh ucapan 5) Pantang berdusta dan menyebarkan isyu yang tidak benar 6) Pantangan mengucapkan kata-kata kotor

7) Pantangan melakukan pembicaraan sia-sia 8) Pantangan memikirkan nafsu serakah 9) Pantangan berniat jahat dan;

10)Pantangan berpandangan sesat.50

Berkaitan dengan pelaksanaan sila, siapa yang melaksanakan dengan sempurna akan melepaskan diri dari belenggu keduniawian, mencapai Nibbâna. Sesuai dengan sabda Sang Buddha:

"Silena sugatim yanti, silena bhogasampada, silena nibutim yanti, tasma silam visodaye".

“Dengan melaksanakan sila berakibat terlahir di alam bahagia, dengan melaksanakan sila berakibat memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma, dengan melaksanakan sila berakibat tercapainya Nibbâna, sebab itu laksanakan sila dengan sempurna”. b. Samadhi

50

(45)

xlv

Samadhi (latihan meditasi) dapat ditempuh apabila seseorang telah memiliki sila. Dalam pengertian luas, Samadhi dapat diartikan sebagai “bersama-sama mengumpulkan atau memusatkan pikiran pada satu obyek tertentu mencakup kegiatan batin yang menimbulkan pikiran baik dan terarah”.51

Satu segi yang penting dari Samadhi yaitu, sati pathana. Sati pathana merupakan ekayano magga (salah satu jalan untuk membersihkan batin, melenyapkan penderitaan). Terdapat empat pelaksanaan perhatian yang benar dalam mencapai hal tersebut, yaitu: “a). Perenungan terhadap jasmani (kayanupasana), b). Perenungan terhadap perasaan (vedananupasana), c). Perenungan terhadap gerak pikiran (citranupasana), d). Perenungan terhadap bentuk-bentuk batin (Dhammanupasana).”52

Sang Buddha memberikan kerangka dan panduan bagi semua umat Buddha tentang pentingnya Samadhi sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci Dhammapada bab VIII ayat 110 berikut:

"Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki

sila dan tekun bersamadhi.” c. Pañña

51

A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h. 81

52

(46)

xlvi

Pañña berarti pengembangan kebijakan atau kebijaksanaan (pañña), Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk membedakan apa yang baik, apa yang tidak baik, apa yang terpuji, apa yang tercela dan apa yang didukung oleh para bijaksana dan apa yang dihindari.53

Pañña merupakan bagian dari Delapan Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa ke Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha, meliputi :

1) Pengertian Benar (sammä-ditthi)

Pengertian Benar (sammä-ditthi) menembus arti dari 1). Empat Kesunyataan Mulia, 2). Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum), 3). Hukum Paticca-Samuppäda, 4). Hukum Kamma. 2) Pikiran Benar (sammä-sankappa)

Meliputi 1). Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa). 2). Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa), 3). Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa)

d. Nibbâna/Nirvana

Nibbâna adalah kebahagiaan tertinggi (Nibbânam paramam sukkham). Nibbâna bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Nibbâna adalah suatu "keadaan", seperti diajarkan Sang Buddha, Nibbâna adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap, bebas dari segala bentuk ikatan indera dan

53

(47)

xlvii

keinginan rendah (tanhâ). Pengertian Nibbâna yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses "menjadi" (dumadi)54

Dengan demikian, Nibbâna adalah Kesunyataan Abadi, tidak dilahirkan (na uppado-pafinayati), tidak termusnah (na vayopannayati), ada dan tidak berubah (nathitassaññahattan panñayati). Nibbâna

disebut Asankhata-Dhamma (keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi, yaitu Nibbâna). Keadaan ini dapat dialami jika dukkha telah disadari. Dalam Abhidharnmatthasangaha, dijelaskan sebagai berikut:

"Vana sankhataya tanhaya nikkhan tatta Nibbânam"

“Keadaan yang terbebas dan tanhâ (keinginan rendah), disebut Nibbãna”.

Sementara itu, Nibbãna juga mengandung arti terbebas dan kilesa sebagaimana disebutkan dalam Paramatthadipanitika sebagai berikut:

"Tayidam santi lakkhanam"

Nibbâna adalah kebahagiaan yang terbebas dan kilesa (kekotoran bathin)”.

"Natthi vanam etthani Nibbânam"

“Keadaan ketenangan yang timbul dengan terbebasnya dan Tanhâ (keinginan rendah), disebut Nibbâna”.

Apabila diperhatikan ketiga definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama sekalipun dalam masalah redaksi yang berbeda. Sebab ketiganya menguraikan bahwa Nibbâna adalah merupakan

54

(48)

xlviii

cita yang kelak akan dicapai, entah dalam kehidupan sekarang atau pun yang akan datang yang dilaksanakan dalam membantu perkembangan rohaninya agar menjadi manusia yang utama dan sempurna.

Nibbâna memiliki dua tingkatan, Sa-upâdisesa-Nibbâna dan An-upâdisesa-Nibbâna:

1. Sa-upâdisesa-Nibbâna adalah padamnya kilesa (kekotoran bathin) secara total, tetapi pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) masih ada.

2. An-upâdisesa-Nibbâna adalah padamnya kilesa (kekotoran bathin) secara total dan padamnya juga pañcakkhandha (lima kelompok kehidupan).55

Secara umum cerminan sikap keagamaan dalam Buddha dapat dinyatakan dalam tiga hal, yang meliputi “Pariyatti-Dhamma, Patipatti-Dhamma, dan Pativedha-Dhamma”.56 Tindakan penilaian tentang apakah seseorang mempunyai sikap keberagamaan atau tidak dapat dilihat dari tiga dimensi tersebut. Apabila seseorang telah dinyatakan mempunyai keyakinan keagamaan, pengamalan ajaran-ajaran agama, pengalaman keagamaan dan pengetahuan agama, berarti orang tersebut dapat disebut mempunyai sikap keagamaan. Uraian secara jelas dapat dirinci sebagai berikut:

a. Pariyatti-Dhamma

Belajar Dhamma-vinaya secara tekun. Artinya, belajar dengan tekun teori Dhamma sesuai Kitab Suci Tipitaka. Belajar merupakan

55

Panjika, Rampaian Dhamma, (Jakarta: DPP Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia (PERVITUBI), 2004), Cet. Ke.2, h. 72

56

(49)

xlix

suatu terminologi yang menggambarkan suatu proses perubahan melalui pengalaman. Proses tersebut mempersyaratkan perubahan yang relatif permanen pada aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik sehingga perubahan tersebut tidaklah hanya sementara tetapi berlangsung terus-menerus. Dalam pengertian ini, belajar Dhamma dapat diartikan sebagai kegiatan menuju ke perkembangan pribadi yang seutuhnya.57

Bagi orang yang baru mengenal Dharma, hal ini akan menjadi sebuah tantangan yang sangat berat, mengingat belajar Dharma memerlukan ketekunan dan keuletan. Secara garis besarnya, agar dapat memahami Dharma dengan baik tanpa adanya banyak kendala-kendala diperlukan sesuatu yang menjadi pendorong timbulnya minat agar aktivitas dalam belajar memberikan kontribusi optimal di akhir kegiatan belajarnya.

Salah satu pendorong dimaksud adalah motivasi. Terdapat beberapa motivasi yang dapat mendorong seseorang dalam mempelajari pengetahuan tentang Agama Buddha, yaitu “alagaddupama pariyatti, Nittharana Pariyatti, dan Bhandagarika Partyarti”.58

1) Alagaddupama pariyatti

57

Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 28

58

(50)

l

Yaitu belajar Dharma bukan untuk mencari kedudukan, kehormatan, ketenaran, popularitas, dan lain sebagainya. Dalam arti dimaksudkan sebagai usaha memperoleh manfaat dan kemajuan dalam Dharma, mampu memahami serta menembus makna sejati yang terkandung dalam ajaran yang dipelajarinya. 2) Nittharana Pariyatti

Belajar Dharma merupakan sebagai kegiatan menuju pembebasan dari roda samsara (lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang). Dengan ini niscaya seseorang cepat atau lambat, akan meraih kebahagiaan sejati.

3) Bhandagarika Partyarti

Belajar Dharma semata-mata dimaksudkan sebagai usaha melestarikan ajaran-ajaran Sang Buddha Gotama untuk mempertahankan eksistensi Agama Buddha demi memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan.

b. Patipatti-Dhamma

(51)

li

lain sebagainya. Kedua, Atradipateya Pattipati. Mempraktekkan Dhamma tetapi sifat ke - Aku - annya masih sangat kuat, sering menganggap rendah orang lain. Dan ketiga, Dhammadipareya Pattipati. Mempraktekkan Dhamma secara sungguh-sungguh, sehingga senantiasa diarahkan merealisasi “Delapan Jalan Utama” yang selanjutnya akan mencapai Penembusan / Penerangan sejati.59

Sang Buddha dalam Kitab Suci Dhammapada Bab XX, Magga Vagga, Ayat 273 menjelaskan:

“Di antara semua jalan, maka jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang terbaik. Di antara semua kebenaran, maka Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik Kebebasan dan nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang `melihat' adalah yang terbaik."

c. Pativedha-Dhamma

Melaksanakan vipassana-bhavana sehinga mencapai Nibbâna. Artinya, hasil menganalisa kejadian-kejadian hidup melalui pelaksanaan Delapan Jalan Utama dan Meditasi Vipassana Bhavana sehingga mencapai Kebebasan Mutlak (Nibbâna).

Namun demikian, untuk menjadikan manusia yang memiliki sikap keberagamaan, diperlukan bimbingan dan pengembangan. Bentuk sikap keberagamaan seseorang dapat dilihat dari seberapa jauh keterikatan komponen kognisi, afeksi dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut agama. Karena bagaimanapun hal tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat melainkan sebagai hubungan

59

(52)

lii

proses, sebab pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman.

Berdasarkan penjelasan di atas, sang Buddha secara sistematis dan pragmatis membimbing ajaran-ajaran Buddha dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga umat benar-benar dapat menjiwai, menjadi bagian integral dalam pribadinya, di mana ajaran-ajaran Buddha benar-benar dipahami, diyakini kebenar-benarannya, diamalkan menjadi pedoman hidupnya, menjadi pengontrol terhadap perbuatan, pemikiran dan sikap mentalnya.

Namun demikian, perlu disadari bahwa Sang Buddha hanyalah sebagai petunjuk jalan yang mengarahkan umatnya menuju pada Pembebasan Sempurna, terbebas dari penderitaan, baik jasmani maupun rohani. Sebagaimana disebutkan secara tegas dalam Kitab Suci Dhammapada Bab XX, Magga Vagga, Ayat 276 berikut:

"Engkau sendirilah yang harus berusaha, Para Tathagata hanyalah menunjukkan jalan. Mereka yang tekun bersamadhi dan memasuki jalan ini, akan terbebas dan belenggu mara".

(53)

liii

Dalam melaksanakan Dharma sesuai dengan ajaran Buddha, agama Buddha mengenal tiga kelompok utama, sangha, upasaka dan upasaki, serta umat Buddha awam.60

Sangha merupakan tingkatan tertinggi sekaligus penjaga Dharma. Sangha dibagi menjadi 2 kelompok. Pertama, sammuti- sangha. Yaitu persaudaraan bhikkhu biasa (belum mencapai kesucian). Kedua, arya-sangha. Persaudaraan bhikkhu suci yang telah mencapai kesucian, yaitu sotapanna, sakadagami, angani, dan arahat. Sementara upasaka dan upasaki adalah bhikkhu yang hidup di tengah-tengah umat. Sang Buddha menjelaskan bahwa umat Buddha yang disebut upasaka dan upasika hendaknya memiliki lima macam Dharma yang disebut upasaka Dhamma 5, sebagaimana disebutkan dalam Anguttara Nikaya III : 206, berikut:

Dhamma bagi Upasaka dan Upasika:

1. Mempunyai keyakinan (saddha) terhadap Sang Tiratana/Tri Ratna.

2. Mempunyai Kesucian Sila.

3. Tidak percaya akan perbuatan takhayul dan kabar angin atau desas-desus yang belum diselidiki kebenarannya.

4. Tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dhamma. 5. Berbuat kebaikan sesuai Dhamma.61

Sementara itu, kelompok ketiga merupakan umat Buddha awam. Umat dimaksud dapat menerapkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam segala corak kehidupan walaupun tingkat kemampuan praktek diri tiap-tiap individu mungkin sesuai dengan tingkat kebijaksanaan dan kedudukan sosial mereka masing-masing.

Pada akhirnya, pada tingkatan apapun, sebagai umat Buddha tentu ingin hidup bahagia, damai dan sejahtera, baik dalam kehidupan sekarang

60

Panjika, Rampaian Dhamma, h. 124

61

(54)

liv

(55)

lv BAB III

GAMBARAN UMUM WILAYAH LAHAT

A. Latar Belakang Sejarah

Sejarah kehidupan ketatanegaraan pemerintah daerah Kabupaten Lahat sekarang telah mempunyai rentang perjalanan sejarah yang panjang. Cikal bakal adanya Pemerintah dimulai sejak zaman kesultanan Palembang sekitar tahun 1830 yaitu dengan dibentuknya marga. Marga merupakan pemerintahan bagi sumbai dan suku-suku. marga-marga ini terbentuk dari sumbai-sumbai dan suku-suku yang ada pada waktu itu seperti : Lematang, Pasemahan, Lintang, Gumai, Tebing Tinggi dan Kikim.

Pada masa bangsa Inggris berkuasa di Indonesia, Marga tetap ada. Kemudian pada zaman pendudukan Belanda sesuai dengan kepentingan Belanda di Indonesia pada waktu itu, pemerintahan di Kabupaten Lahat dibagi dalam afdelling (Keresidenan) dan onder afdelling (kewedanan). Dari 7

(56)

lvi

Lematang Ilir,serta Pasemah beribu kota di Lahat dipimpin oleh PP Ducloux dan posisi marga pada saat itu sebagai bagian dari afdelling.62

Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, kehidupan ketatanegaraan (afdelling) yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda tetap berlanjut, namun diubah menjadi sidokan dengan pemimpin orang pribumi yang ditunjuk oleh pemerintah militer Jepang dengan nama Gunco dan Fuku Gunco. Kekalahan Jepang pada tentara sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Kabupaten Lahat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948, Kepres No. 141 Tahun 1950, PP Pengganti UU No. 3 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950.

Kabupaten Lahat pertama dipimpin oleh R. Sukarta Marta Atmajaya, kemudian diganti oleh Surya Winata dan Amaludin dan dengan PP No. 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dalam Tingkat I provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Lahat resmi sebagai daerah Tingkat II hingga sekarang dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otda, dan dirubah UU No. 32 Tahun 2004 menjadi Kabupaten Lahat.63

Sejak saat itu, Kabupaten Lahat berdiri sebagai entitas regional yang memiliki pemerintahan sendiri lengkap dengan kewenangan otonomi daerah beserta dengan perangkat kelengkapannya. Status tersebut sungguh telah

62

Kabupaten Lahat, Profil Desa dan Kelurahan Kabupaten Lahat Tahun 2006, (Lahat, Pemerinth Kabupaten Lahat, 2006),h. 6

63

(57)

lvii

menjadi faktor penentu yang sangat dominan dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan dinamika sosial politik Kabupaten Lahat. Sebagai daerah otonom, Kabupaten Lahat telah tumbuh sebagai pusat aktivitas sosial ekonomi regional dan lokal yang sangat potensial dan prospektif. Jumlah penduduk meningkat secara sangat signifikan.

Melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No. 008/SK/1998 tanggal 6 Januari 1988. Tanggal 20 Mei akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Lahat.64

Kabupaten Lahat memiliki motto “Seganti Setungguan” yang merupakan falsafah hidup masyarakat dan rakyat daerah yang melambangkan pengertian persatuan dan kesatuan yang kokoh, semangat gotong-royong, setia kawan yang mendalam, setia kata dan berpendirian teguh serta bertanggung jawab.

Sementara itu, kecamatan Lahat merupakan sebuah kecamatan di

Kabupaten Lahat dengan beberapa desa Melalui PP No. 43 tahun 1981.

Kecamatan ini adalah satu-satunya kecamatan di kabupaten Lahat yang paling potensial untuk dikembangkan. Kecamatan Lahat memiliki fungsi penyangga sekaligus menerima dampak pertumbuhan dan pembangunan yang terjadi di wilayah sekitarnya. Kenyataan ini mendorong pemerintah Lahat untuk meningkatkan dapat memberikan pelayanan yang lebih sesuai dengan denyut pertumbuhan ekonomi lokal.

64

(58)

lviii B. Faktor Geografi

Wilayah Kabupaten Lahat adalah salah satu kabupaten yang berada di dalam wilayah poros Propinsi Sumatera Selatan Republik Indonesia yang Secara astronomis Lahat terletak antara 3,25° - 4,5° LS 102,37° - 103,45° BT. Wilayah yurisdiksi administratif Kabupaten Lahat mencakup 24 wilayah kecamatan yang mencakup 528 wilayah desa/kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Lahat tercatat lebih kurang 6.618,27 kilometer persegi.

Batas wilayah Kabupaten Lahat:

Sebelah utara : Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi Rawas

Sebelah selatan : Kota Pagar Alam dan Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu

Sebelah barat : Kabupaten Rejang Lebung Provinsi Bengkulu Sebelah timur : Kabupaten Muara Enim

Gambar

Tabel 1 Jumlah Penduduk Lahat Menurut Agama

Referensi

Dokumen terkait

belum mematuhi standar operasional prosedur (SOP) yang dibuat untuk memperlancar penyelesaian pelayanan. selain itu badan Lingkungan Hidup Kota Semarang belum dalam

Jika Anda memerlukan bantuan, layanan, bantuan teknis, atau informasi lebih lanjut tentang produk Lenovo, ada sejumlah sumber dari Lenovo yang dapat digunakan untuk membantu

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang pelaksanaan pencatatan akta kelahiran dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan di

Pemertahanan bahasa yang dimaksud penulis adalah upaya-upaya mempertahankan bahasa Jawa ngoko dan krama inggil sekelompok minoritas keluarga Pacitan yang ada di

• Profilaksis intermitten.. Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus

Wang Sutrisno, September 2000 Pengaruh Stock Split terhadap Likuiditas dan Return Saham -Likuiditas -Return Saham -Uji Beda Dua Rata – Rata -Regresi Berganda

Setinggi-tinggi penghargaan diucapkan kepada semua pihak yang terlibat dalam penjajaran kandungan DSKP KSSM bagi semua mata pelajaran pendidikan Islam dan bahasa Arab kegunaan

AUTO HI-IS menjadi solusi cerdas budidaya jamur konsumsi yang dapat mengatur suhu dan kelembaban dalam kumbung secara otomatis. Pembudidaya jamur dapat dimana saja