SENGKETA PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL
WALIKOTA TANGERANG 2013: Masalah dan Penyelesaian
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana sosial (S. Sos)
Oleh:
Sopian Hadi Permana
1110112000012
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang melatar belakangi KPUD Kota Tangerang tidak meloloskan pasangan Arief R Wismansyah-Sachrudin dan pasangan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto, bagaimana peran Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang dalam sengketa tersebut, dan Bagaimana proses penyelesaiannya. Kerangka teoritis dan konseptual yang digunakan dalam skripsi adalah konsep dan regulasi Pemilihan Kepala Daerah, sengketa Pemilihan Kepala Daerah, dan teori dilema dan pilihan rasional politisi. Dalam penelitian skripsi ini menggunakan metodologi kualitatif. Penelitian dilakukan di wilayah Kota Tangerang selatan secara bertahap sejak bulan Maret sampai Desember 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara dan studi dokumentasi.
Berdasarkan studi lapangan dalam bentuk wawancara dan studi dokumentasi seperti dokumen KPUD, artikel, berita, dan foto-foto peneliti menemukan bahwa Pasangan Arief-Sachrudin dinyatakan tidak lolos sebagai pasangan calon pada Pilwalkot karena Sachrudin tidak melampirkan surat pengunduran diri sebagai Camat Pinang yang disetujui oleh atasannya yaitu Wahidin Halim.Sedangkan pasangan AMK-Gatot dinyatakan tidak lolos karena jumlah partai pengusungnya kurang setelah partai Hanura melakukan perpindahan dukungan kepada pasangan HMZ-Iskandar. Keputusan KPUD tersebut adalah penyebab terjadinya sengketa pada Pilwalkot Tangerang 2013, hal tersebut karena KPUD telah salah menafsirkan regulasi sehingga keputusan yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum dan keputusan tersebut sarat akan kepentingan.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, nikmat sehat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan
kepada Rasullullah Muhammad SAW, yang telah berjasa besar membentuk
peradaban Islam dan dunia, pembawa jalan kebenaran hingga akhir zaman.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana sosial
(S.Sos) di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Syukur alhamdulillah dengan
keyakinan dan usaha serta atas segala petunjuk dan kemudahan yang diberikan
Allah SWT kepada penulis akhirnya Skripsi ini dapat terselesaikan.
Dalam proses penyelesaian Skripsi ini tentunya tidak terlepas dari
bimbingan, peranan, dan bantuan serta doa dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ungkapan terima
kasih kepada :
1. Kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr, Bahtiar Effendy, M.A.
2. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Bapak Ali Munhanif, Ph.D.,
3. Kepada Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah yang sekaligus menjadi Dosen
pembimbing skripsi, Bapak M. Zaki Mubarak, M. Si,. Terima kasih telah
meluangkan waktu, membimbing, memberi nasehat, masukan dan
motivasi tanpa henti sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
4. Seluruh Dosen dan staf pengajar pada Program Studi Ilmu Politik di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, terimakasih atas pengorbanan waktu dan ilmu
yang diberikan kepada penulis. Semoga Allah SWT mencatat semuanya
sebagai amal ibadah yang tidak akan terputus hingga akhir zaman.
5. Kepada Bapakku Abdul Jalal M dan Ibuku Rodiah yang tidak
vii
kepadaku. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan,
kesehatan dan umur panjang kepada mereka.
6. Kepada Kakaku Nurjanah, Abangku Ade Wahyu Hidayat dan adikku
Noeroel Hikmah yang selalu memberikan support dan semangat.
7. Kawan-kawan seperjuangan Ilmu Politik angkatan 2010, ade mulyawan,
Ramdhani, Astlusani, Imam Utomo, Ichwan, Abdurahman Abudan,
Angga, Aris Setiyawan, Maulana, Masrizal, Novian Dwi Cahyo, Sandi
Lasmana, Yosep Saepullah. Terimakasih semangat dan motivasinya.
8. Kawan-kawan seperjuangan dan sahabat-sahabatku tercinta, Faisal Husen,
Fadil Arrosyad, Hari Dona Finanda, Aisyah, Adis Puji Astuti, M. Indra
Giri, Erwin Saputra, Fathi Andini, Ferdian Ramadhani, Miftahul Choir,
Dewi Pratiwi dan Rifai Tobri.
9. Kawan seperjuangan dalam menyusun skripsi, Dinar Annisa Susanti.
Akhirnya selesai juga skripsi ini mba setelah perjuangan panjang.
10.Fanny Fatwati Putri yang selalu menjadi penyemangat dalam penyusunan
skripsi ini. Terimakasih untuk doa, semangat dan kebahagiaannya. Aku
menyayangimu.
11.Kanda dan Yunda tercinta keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam.
Yunda Yeni Safitri, Yunda Chitra Dea Gemala, Yunda Elva Farhi
Qolbina, Kanda M. Yan Anwar, Kanda Ahmad Fanani, Kanda Kholil dll.
12. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fisip Cabang
Ciputat. Irfan Zharfandy, Gerry Novandika, Alfrad Rusyd, Ahmad Fatoni,
Afina, Aulia Akbar, Rizki Ahmad, Rahmat Syahputra, Dara Amalia,
Atina, Hijri Prakarsa, Afdal Fitrah, Bayu Nanda Permana, Alfira,
Mutiarani Zahara, Fadli Noor, Fajar Fachrian, Tadzkira, Robiyatul
Adawiyah, Aldo, Hervi, Dhoni dan seluruh kader HMI Komfisip.
13.Kawan sekaligus guru Spiritual Kanda Satyawan Pari Kresno,
Terimakasih wan atas konsultasinya selama ini.
14.Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Kota Tangerang Selatan.
viii
16.Kawan-kawan LEPPAMI yang menjadi teman Mendaki disaat penulis
membutuhkan penyegaran.
17.Lisanul Fikri dan Sri Handayani, terimakasih selalu meluangkan waktunya
untuk mendengarkan curhatan dan terimakasih sudah membantu
perjuanganku.
18.Kepada Kanda Sanusi Ketua KPUD Kota Tangerang 2013-2018 yang
telah membantu dan memudahkan proses pencarian data Skripsi ini
19.Bapak Sachrudin Wakil Walikota Tangerang, Bapak Safril Elain mantan
Ketua KPUD Kota Tangerang, Bapak Arief Fadilah Sekjen DPC Hanura
Kota Tangerang, Bapak Dasep Ketua Teamsus Pasangan Arief-Sahcrudin
dan Bapak Syahrul Effendi Kasubag Tekpem KPUD Kota Tangerang
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber
dalam penyusunan skripsi ini
18.Seluruh pihak yang turut memberikan dukungannya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu yang telah ikut serta memberikan semangat
sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak mungkin dapat dilaksanakan
tanpa bantuan, petunjuk, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Semoga
Allah SWT melimpahkan karunia serta anugrah-Nya atas segala bantuan yang
telah diberikan, Amin. Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki, penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pikiran bagi
para pembaca sekalian.
Jakarta, 19 Desember 2014
ix DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Peryataan Masalah ... 1
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
C. Tinjauan Pustaka ... 11
D. Metode Penelitian ... 13
E. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II KERANGKA TEORITIS & KONSEPTUAL A. Pemilihan Kepala Daerah ... 19
1. Asas Pemilihan Kepala Daerah ... 24
2. Asas dan Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah .. 24
3. Persyaratan Bakal Calon dan Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ... 25
B. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah dan Proses Penyelesaian ... 29
1. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah ... 29
2. Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah ... 33
C. Dilema Politisi dan Pilihan Rasional Politisi ... 42
BAB III GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG & PELAKSANAAN PILWALKOT TANGERANG 2013 A. Gambaran Umum Kota Tangerang ... 44
1. Kondisi Geografis ... 45
2. Kondisi Ekonomi ... 46
x
B. Dinamika Sosial Politik Kota Tangerang ... 48
1. Pemilu 2004 ... 49
2. Pilkada 2008 ... 50
3. Pemilu 2009 ... 54
C. Tahapan & Jadwal Penyelenggaraan Pilwalkot Tangerang 2013 ... 55
1. Tahapan Persiapan ... 55
2. Tahapan Pelaksanaan ... 56
BAB IV SENGKETA PILWALKOT TANGERANG 2013 A. Latar Belakang Sengketa Pilwalkot Tangerang 2013 ... 65
1. Perpindahan Dukungan Partai Hanura & Tidak Lolosnya Pasangan AMK-Gatot Sebagai Kandidat Pilwalkot 2013 ... 66
2. Tidak Lolosnya Pasangan Arief-Sachrudin Sebagai Kandidat Pada Pilwalkot 2013 ... 69
3. Netralitas dan Lemahnya Pemahaman KPUD Terhadap Regulasi ... 72
4. Respon Pasangan Arief-Sachrudin dan AMK-Gatot ... 78
B. Peran Wahidin Halim dalam Sengketa Pilwalkot Kota Tangerang 2013 ... 80
1. Usaha Wahidin Halim Menjegal Pasangan Arief-Sachrudin ... 1
2. Posisi Dilematis dan Netralitas Wahidin Halim ... 84
C. Proses Penyelesain Sengketa Pilwalkot Tangerang 2013 ... 86
1. Arief-Sachrudin Melapor ke Panwaslu dan Menggugat ke PTUN ... 86
2. Pasangan Arief-Sachrudin dan AMK-Gatot Melapor ke DKPP ... 88
3. Sidang Pelanggaran Kode Etik KPUD Kota Tangerang oleh DKPP ... 90
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... xii
xi
DAFTAR TABEL
Tabel III.I. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Tangerang ... 46
Tabel III.II. Kependudukan Kota Tangerang ... 48
Tabel III.III. Perolehan Kursi Partai Politik di DPRD
Kota Tangerang Tahun 2004 ... 49
Tabel III.IV. Perolehan Suara Pilkada Kota Tangerang 2008 ... 52
Tabel III.V. Perolehan Kursi Partai Politik di DPRD
Kota Tangerang 2009 ... 54
Tabel III.VI. Hasil Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Pilwalkot Tangerang 2013... 62
Tabel III.VII. Hasil Perolehan Suara Pilwalkot Tangerang 2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Sejak gelombang reformasi bergulir, tuntutan akan terlaksananya proses
demokratisasi yang lebih baik dan terlaksananya otonomi daerah terdengar
disana-sini. Ini menjadi euforia yang wajar, mengingat pemerintahan sebelumnya yang
dipimpin oleh rezim otoritarian telah menciderai proses berdemokrasi dan sangat
memonopoli Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang
mengatur tentang Pemerintah Daerah, telah membawa angin segar bagi
terlaksananya otonomi daerah dan proses demokrasi yang lebih bermutu di
Indonesia. 1 Perubahan format Pemerintah Daerah setelah berlakunya
undang-undang tersebut telah mengakhiri pengaruh Pemerintah Pusat yang begitu
dominan terhadap Pemerintah Daerah.
Sejalan dengan semangat desentralisasi, pada tanggal 15 Oktober 2004
disahkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
merupakan perubahan atas UU No. 22 tahun 1999.2 Dengan demikian, terjadi
perubahan terhadap sistem pemilihan Kepala Daerah di Indonesia yang pada
awalnya Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan melalui
sistem perwakilan (dipilih oleh DPRD) berubah menjadi sistem pemilihan
langsung (dipilih langsung oleh rakyat). Pilkada langsung sebagai implementasi
1
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 67.
2
2
UU No. 32 tahun 2004 pertama kali diselenggarakan di Kabupaten Kutai
Kartanegara pada tanggal 1 Juni 2005.3
Mekanisme pendaftaran calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dalam sistem Pilkada langsung menggunakan jalur partai politik. Dimana setiap
pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang ingin berkontestasi
dalam Pilkada langsung harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Namun pada tahun 2007 seorang calon Gubernur dari NTB melakukan uji
materi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
persyaratan pencalonan Kepala Daerah yang hanya lewat partai politik.4
Permohonan pengujian yang dilakukan oleh Lalu Ranggalawe (anggota
DPRD kabupaten Lombok Tengah) tersebut telah memberikan secercah harapan
bagi masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada kedepan yang lebih demokratis
setelah MK mengabulkan adanya calon independen atau perseorangan dalam
proses pencalonan Kepala Daerah.5 Keputusan tersebut kemudian dikuatkan
dengan keluarnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.
32 Tahun 2004.6
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut tentunya telah
menambah angin segar bagi perjalanan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
3
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta:LEMLIT-UIN Jakarta, 2011), h. 117.
4
Teuku Kemal Fasya, ”TantanganDemokrasi Calon Independen”, artikel diakses pada 21 Januari 2014 dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/03/29/02044581/Tantangan. Demokrasi.Calon.Independen
5
Yasir Fatahillah, “Calon Independen dalam Pilkada”, artikel diakses pada 21 Januari 2014 dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/01/15/calon-independen-dalam-pilkada/
6
3
kearah yang lebih demokratis. Selama ini banyak putra-putri terbaik yang gagal
maju sebagai calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah akibat tidak adanya
dukungan dari partai politik dan keterbatasan finansial. Namun, setelah adanya
keputusan tersebut banyak calon dari independen atau perseorangan yang ikut
berkontestasi dalam Pilkada. Walaupun memang tidak banyak dari calon
perseorangan yang terpilih menjadi Kepala Daerah.7
Pilkada secara langsung merupakan sebuah bentuk pembangunan
demokrasi di Indonesia kearah yang lebih baik. Banyak kalangan yang
berpendapat dengan berubahnya sistem Pilkada menjadi pemilihan langsung, akan
lebih mendekati makna demokrasi yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) UUD
1945.8 Pilkada secara langsung telah menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan
dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Hal itu karena, Pilkada langsung
merupakan sebuah bentuk konsolidasi demokrasi di tingkat lokal yang diyakini
menjadi bagian yang sangat penting dalam mewujudkan konsolidasi tingkat
nasional secara lebih kokoh dan demokratis.9
Walaupun sistem Pilkada langsung merupakan bentuk peningkatan kadar
demokratisasi dan transparansi, serta dapat terpilihnya figur-figur yang mampu
menyelenggarakan Pemerintahan Daerah dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi pada pelaksanaan Pilkada langsung sejak
7
Diakses pada 21 Januari 2014 dari http://www.antaranews.com/print/71463/ artikel diakses pada 21 Januari 2014.
8
Khazanah Peradaban Hukum dan Konstitusi (konstitusi Press), Demokrasi lokal: Evaluasi Pemilukada DI Indonesia (Jakarta: Konpress, 2012), h. 7.
9
4
Juni 2005 hingga pertengahan tahun 2013 yang sudah dilaksanakan sebanyak
1.026 pilkada (Provinsi 63, Kabupaten 776, dan Kota 187) terdapat banyak
problem-problem dalam proses pelaksanaannya.10
Selama hampir satu dekade pelaksanaan Pilkada secara langsung di
Indonesia terdapat banyak sekali permasalahan yang muncul, antara lain: daftar
pemilih yang tidak akurat, penyelenggara yang tidak adil dan netral, politisisasi
birokrasi, biaya pelaksanaan yang sangat besar, praktik politik uang, pelanggaran
kampanye (curi strart kampanye, pelaporan dana kampanye dan kampanye diluar
jadwal, serta black campaign), proses pencalonan yang bermasalah, masalah
pemungutan dan penghitungan suara, penetapan calon terpilih, tingkat partisispasi
yang rendah dan tindak kekerasan. Permasalahan yang ada ini melahirkan
ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas keputusan yang
dikeluarkan oleh penyelenggara Pilkada dan hasil Pilkada ke pengadilan dengan
alasan yang beragam.
Berdasarkan data rekapitulasi perkara PHPUD yang dimuat oleh MK sejak
tahun 2008 sampai tahun 2013 terdapat 719 gugatan Pilkada ke MK. Dari total
tersebut sebanyak 14 gugatan ditarik kembali, 1 dinyatakan gugur, 106 tidak
diterima, 318 ditolak, dan hanya 54 yang diterima.11 Sejak tahun 2005 sampai
dengan pertengahan tahun 2013 ini, tercatat terjadi kekerasan dalam Pemilihan
10
Diakses pada 26 Agustus 2014 dari Web Resmi Direktorat Jendral Otda Kemendagri RI http://otda.kemendagri.go.id/
11
5
Kepala Daerah langsung di 104 lokasi. Dari total 104 lokasi terjadi 585 insiden
kekerasan dan 58 persen telah menyebabkan rusaknya sarana fisik.12
Beberapa daerah yang mengalami konflik atau sengketa pada pelaksanaan
Pilkada langsung diantaranya Kabupaten Gowa (2010), Kabupaten Ilaga (2011),
Provinsi Aceh (2012), Kota Jaya Pura (2010), Kabupaten Lamongan (2010), Kota
Tangerang Selatan (2010), Kabupaten Buton (2011) dan yang baru-baru ini terjadi
adalah Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang (2013).13 Sengketa
yang terjadi pada Pilwalkot Tangerang tahun 2013 silam diawali dengan gugurnya
dua pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013 (Arief R
Wismansyah-Sachrudin dan Ahmad Marju Kodri-Gatot) oleh KPUD Kota
Tangerang. Sengketa yang terjadi pada pelaksanaan Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Tangerang tersebut telah menyita perhatian banyak orang.
Perlu diketahui pada proses pendaftaran Pilwalkot Kota Tangerang
setidaknya ada lima bakal calon Walikota dan Wakil Walikota yang mendaftarkan
diri ke KPUD Kota Tangerang. Mereka adalah H. Arief R. Wismansyah, Bsc.
M.kes-Drs. H. Sachrudin (Demokrat, Gerindra, dan PKB), H. Abdul
Syukur-Hilmi Fuad ST.M.Kom (Golkar dan PKS), TB Dedy Suwandi Gumelar-Ir.
Suratno Abubakar, MM (PDI-P dan PAN), Dr. HM. Harry Mulya Zein
M.Si-Iskandar S.Ag (PPP, PKNU dan Gerindra), dan Ir. H. Ahmad Marju Kodri-Drs.
12
Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Konflik dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Problematika dan Penanganan (Kajian dan Diskusi Interaktif Strategi Antara)
(Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri, 2013), h. 7.
13
6
Gatot Suprijanto (Hanura, PDP, PPRN, PKPI, PBR, PDS, PNI Marhaenisme,
Partai Patriot dan 15 partai politik non parlemen lainnya).14
Selanjutnya pada pleno tahapan Pilwalkot Kota Tangerang, KPUD Kota
Tangerang menetapkan hanya tiga pasangan yang lolos dan ditetapkan sebagai
calon Walikota dan Wakil Walikota pada Pilwalkot Kota Tangerang. Ketiga
pasangan calon tersebut adalah, Abdul Syukur-Hilmi Fuad, Dedi
Gumelar-Suratno Abubakar, Harry Mulya Zein (HMZ)-Iskandar Zulkarnanen. Pasangan
Arief R. Wismansyah-Sachrudin dinyatakan tidak lolos karena mereka terganjal
masalah administratif yaitu tidak dilengkapinya surat pengunduran diri Sachrudin
yang menjabat sebagai Camat Pinang, lantaran Walikota Tangerang Wahidin
Halim tidak mengeluarkan surat persetujuan pengunduran dirinya. Sedangkan
pasangan Ahmad Marju Kodri-Gatot dinyatakan tidak lolos karena tidak
memenuhi syarat dukungan partai politik, yaitu partai pengusungnya kurang dari
15% total raihan suara pada Pileg 2009 setelah partai Hanura menarik
dukungannya.15
Keputusan ini tentu sangat mengejutkan banyak pihak, salah satunya
adalah pendukung pasangan bakal calon Arief R Wismansyah-Sachrudin. Setelah
mendengar keputusan KPUD Kota Tangerang bahwa pasangan yang mereka
usung tidak lolos, pada tanggal 25 Juli 2013 ribuan orang pendukung pasangan
14
Himah Komariah, “Pilkada Kota Tangerang: Aksi Pilih Kasih Sang Walikota”, artikel diakses pada 06 Februari 2014 dari http://politik.kompasiana.com/2013/07/27/pilkada-kota-tangerang-aksi-pilih-kasih-sang-walikota-580220.html
15
7
calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang, Arief R Wismansyah-Sachrudin
melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor KPUD Kota Tangerang.16 Kemudian
pada tanggal 29 Juli 2013, pendukung Arief R Wismansyah-Sahcrudin kembali
menduduki kantor KPUD Kota Tangerang.17 Pada hari yang sama para pendukung
Arief R Wismansyah-Sachrudin juga melakukan aksi di Kantor KPUD Banten.18
Selain itu, Arief R Wismansyah-Sachrudin dan juga Ahmad Marju
Kodri-Gatot mengadukan KPUD Kota Tangerang ke DKPP atas dugaan pelanggaran
kode etik. Pada sidang pelanggaran kode etik KPUD Kota Tangerang, DKPP
mengabulkan seluruh pengaduan dan menjatuhkan sanksi kepada KPUD Kota
Tangerang dan memutuskan agar KPUD Provinsi Banten mengambil alih tugas
KPUD Kota Tangerang. Dilain sisi, DKPP memutuskan agar KPUD Provinsi
Banten untuk mengembalikan hak atas Ahmad Marju Kodri-Gatot serta Arief R
Wismansyah-Sachrudin untuk maju menjadi pasangan calon Walikota dan Wakil
Walikota Tangerang 2013.19
Terlepas dari permasalahan yang ada, pada 31 Agustus 2013 proses
pemungutan suara dilaksanakan. Pelaksanaan pemungutan suara Pilwalkot Kota
16
Amba Dini Sekarningrum, “Pendukung Arif-Sachrudin Demo KPUD Kota
Tangerang”, Artikel diakses pada 07 Februari 2014 dari http://jakarta.okezone.com/read 2013/07/25/501/ 842291/pendukung-arif-sachrudin-demo-kpud-kota-tangerang
17
Amba Dini Sekarningrum, “Demo Sunyi Pendukung Arief-Sachrudin”, Artikel diakses pada 12 Desember 2013 dari http://ekbis.sindonews.com/read/2013/07/29/31/766653/demo-sunyi-pendukung-arief-sachrudin
18
Artikel diakses pada 07 Februari 2014 dari http://www.beritasatu.com/nasional/ 128861-massa-pendukung-pasangan-ariefsachrudin-demo-di-kantor-kpu-banten.html
19
8
Tangerang di ikuti oleh 1.161.855 pemilih di 2.938 TPS.20 Berdasarkan rapat
pleno penghitungan suara tingkat KPU, pasangan Arief R Wismansyah-
Sachrudin memperoleh suara terbanyak dengan meraih 340.810 suara. Sementara,
pasangan Harry Mulya Zein-Iskandar meraih 45.627 suara, pasangan Abdul
Syukur-Hilmi Fuad meraih 187.003 suara, pasangan Deddy Gumelar-Suratno Abu
Bakar memeroleh 121.375 suara, dan pasangan Ahmad Marju Kodri-Gatot
Suprijanto memperoleh 15.060 suara.21
Akan tetapi sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pilwalkot Kota
Tangerang belum juga usai, sengketa harus berakhir di PTUN dan Mahkamah
Konstitusi. Setalah proses pemungutan suara ada gugatan yang dilakukan oleh
pasangan Harry Mulya Zein–Iskandar, Abdul Syukur–Hilmi Fuad, dan Dedi Gumelar-Suratno Abu Bakar ke PTUN terkait keputusan KPUD Provinsi Banten
yang meloloskan pasangan Ahmad Marju Kodri-Gatot dan Arief-Sachrudin.
Namun PTUN akhirnya menolak gugatan tersebut, karena putusan KPUD
Provinsi Banten dianggap tidak merugikan penggugat secara nyata sebagai akibat
adanya keputusan KPUD Provinsi Banten.22
Merasa tidak puas dengan keputusan PTUN, pasangan Harry Mulya
Zein-Iskandar dan Abdul Syukur-Hilmi Fuad kemudian menggugat KPUD Provinsi
20
Laksono Hari Wiwoho, “KPU Banten Siap Ambil Alih Pelaksanaan Pilkada Tangerang”.
21
Eri Komar Sinaga, “PTUN Banten Tolak gugatan Miing”, artikel diakses pada 09 Februari 2014 dari http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/10/31/ptun-bantentolak-gugatan-miing-pilkada-tangerang-kini-di-tangan-mk
22
Amba Dini Sekarningrum, “PTUN Tolak Gugatan 3 Paslon di Pilkada Kota
9
Banten dan Kota Tangerang ke MK. Kemudian dalam putusan yang dikeluarkan
pada 19 November 2013 MK mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut
empat, Ir. H. Ahmad Marju Kodri-Drs. Gatot Suprijanto sebagai pasangan calon
Walikota dan Wakil Walikota Tangerang dan memerintahkan KPUD Provinsi
Banten untuk menetapkan pasangan nomor urut lima Arief R
Wismansyah-Sachrudin sebagai pasangan calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota
Tangerang 2013-2018.23
Berdasarkan pernyataan diatas mengenai sengketa yang terjadi pada tahap
pencalonan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013 saya tertarik
melakukan penelitian mengenai sengketa yang terjadi pada tahapan
penyelenggaraaan Pilwalkot di Kota Tangerang tersebut, adapun judul penelitian
saya adalah “Sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013: Masalah dan Penyelesaian”.
B. Pertanyaan Penelitian
Penelitian skripsi ini secara umum ingin memberikan analisa terhadap
sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Tangerang 2013. Adapun untuk membatasi ruang lingkup penelitian ini,
peneliti memiliki beberapa pertanyaan yang menjadi fokus peneliti dalam
penelitian ini, yaitu:
23
10
1. Apakah yang menyebabkan pasangan Arief R Wismansyah–Sachrudin dan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto tidak lolos sebagai kandidat pada
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013 oleh KPUD
Kota Tangerang?
2. Bagaimana Posisi Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang dalam
sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013?
3. Bagaimana proses penyelesaian sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Tangerang 2013?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui menyebabkan pasangan Arief R Wismansyah– Sachrudin dan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto tidak lolos sebagai
kandidat pada Pilwalkot Tangerang 2013 oleh KPUD Kota Tangerang?
b. Untuk mengetahui Posisi Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang
dalam sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota 2013?
c. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota Tangerang 2013?
2. Manfaat Penelitian
Manfaat Akademis
a. Memperkaya studi tentang politik lokal terutama mengenai Pemilihan
11
b. Memberikan gambaran mengenai sengketa yang terjadi pada Pilwakot
Kota Tangerang pada tahun 2013.
Manfaat Praktis
a. Memberikan kontribusi literatur keilmuan serta menjadikan penelitian
ini sebagai literatur dalam bidang Ilmu Politik.
b. Menambah informasi bagi penelitian skripsi yang serupa di waktu yang
akan datang.
D. Tinjauan Pustaka (Literatur Riview)
Dalam penelitian yang telah dilakukan, telah terdapat penelitian terdahulu
yang mengkaji mengenai mengenai pelanggaran, permasalahan, dan sengketa atau
konflik yang terjadi pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah langsung di
Indonesia. Ada beberapa penelitian yang berhasil ditemukan sebagai
perbandingan dalam melakukan penelitian skripsi ini, yaitu:
Pertama, Tesis hasil penelitian dari Radian Syam Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2005 dengan
judul “Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus Sengketa Hasil Pilkada Di Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Radia Syam peneliti menemukan perbedaan
dengan penelitian ini. Dimana dalam penelitian tersebut lebih terfokus kepada
kendala yang dihadapi oleh MA dalam hal terjadinya sengketa terhadap penetapan
hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan penerapan
12
secara langsung pada kasus sengketa hasil Pilkada di Kabupaten Melawi, Provinsi
Kalimantan Barat. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan lebih terfokus
kepada sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Kota Tangerang 2013 serta bagimana proses penyelesaiannya.
Kedua, Skripsi hasil penelitian dari Mishbah Jamal Al-Islamy Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang ditulis pada tahun 2013 dengan judul “Politisasi
Birokrasi: Studi Politisasi Birokrasi pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Tangerang Selatan, Banten Tahun 2010-2011”. Peneliti menemukan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Mishbah dengan yang peneliti lakukan, dimana
penelitian tersebut terfokus pada politisasi Birokrasi yang dilakukan oleh salah
satu pasangan calon pada pelaksanaan Pilkada Kota Tangerang Selatan, dimana
permasalahan atau pelanggaran tersebut menyebabkan sengketa di MK dan
membuat pelaksanaan Pilkada harus diulang. Sedangkan Penelitian yang peneliti
lakukan terfokus pada peran Walikota dan penyelenggara Pilwalkot pada sengketa
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Tangerang 2013.
Ketiga, skripsi hasil penelitian dari Halim Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
ditulis pada tahun 2013 dengan judul “Konflik Pemilihan Umum Kepala Daerah
Kabupaten Bangkalan Jawa Timur (Studi Kasus Pembatalan Pasangan calon Imam Bukhori Kholil-Zainal Alim Dalam Pemilukada 2013)”. Dalam penelitian tersebut, peneliti menemukan perbedaan dengan yang peneliti lakukan. Dimana
13
disebabkan oleh pembatalan salah satu pasangan calon pada H-6 pemungutan
suara Pilkada Bangkalan 2012. Penelitiannya terfokus pada konflik yang
melibatkan pasangan Calon Imam Bukhori Kholil-Zainal Alim, DPC PPD, KPUD
bangkalan, dan PTUN.
Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan terfokus pada sengketa tahap
pencalonan Pilwalkot Tangerang 2013 yang disebabkan oleh netralitas KPUD
Kota Tangerang dalam penetapan pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota
Tangerang 2013, lemahnya pemaham KPUD Tangerang tentang regulasi, peran
Wahidin Halim sebagai Walikota Tangerang dalam sengketa dan bagaimana
proses penyelesaian sengketanya.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam mengkaji permasalahan
ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Lexy Moleong, metode
penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata dan bahasa, yang pada suatu kontak khusus yang alamiah. 24
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian yang akan
peneliti lakukan lebih cenderung memahami fenomena dan mengeksplorasi
24
14
sedetail mungkin sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan Walikota dan
Wakil Walikota Tangerang 2013 serta proses penyelesaiannya.
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah administrasi Kota Tangerang, sedangkan
untuk waktu penelitian dilakukan secara bertahap mulai dari bulan Maret sampai
dengan bulan Desember 2014.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data penulis menggunakan 2 buah teknik
pengumpulan data, yaitu:
a. Studi Dokumentasi
Peneliti mengumpulkan dokumentasi yang digunakan sebagai literatur
penelitian berupa: buku, jurnal, dokumen hasil penelitian, artikel, foto-foto, video,
dan segala macam benda yang dapat memberikan keterangan yang tertulis
ataupun tidak. Dokumetasi diperlukan untuk mempermudah peneliti menemukan
jawaban dari permasalahan tersebut dan juga peneliti dapat menjelaskan secara
detail dan jelas terkait dengan sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan
pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang 2013.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka dengan maksud
15
informasi (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan sumber informasi (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.25 Selain itu wawancara didefinisikan juga sebagai sebuah proses interaksi dan komunikasi
verbal dengan tujuan untuk mendapatkan sebuah informasi yang di inginkan.26
Wawancara juga merupakan metode tepat untuk pengumpulan data tentang subjek
kontemporer yang belum dikaji secara ekstensif dan tidak banyak literatur yang
membahasnya.27
Peneliti melakukan wawancara kepada mantan Ketua KPUD Kota
Tangerang (Safril Elain), Kasubag Tekpem KPUD Kota Tangerang (Syahrul
Effendi), Wakil Walikota Tangerang terpilih (Sachrudin), Ketua Tim Sukses
Pasangan Arief-Sachrduin (Dasep), dan Sekjen DPC Hanura Kota Tangerang
(Arief Fadillah).
4. Sumber dan Jenis Data
Sumber data diperoleh dari dokumen-dokumen yang peneliti masukan
serta hasil dari wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti. Sebelum digunakan
dalam proses analisis, data dikelompokan terlebih dahulu sesuai dengan jenis dan
karakteristik yang menyertainya. Berdasarkan sumber pengambilannya, data
dibedakan atas dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.
25
Iin Tri Rahayu dan Tristiadi Ardi Ardani, Obsevasi & Wawancara, h. 63.
26
Nurul Zurihah, Metode Penulisan Sosial dan Pendidikan: Teori dan Aplikasi (Jakarta: PT. Bumi Perkasa, 2007), h. 197.
27
16
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung
dilapangan dari sumber asli oleh orang yang melakukan penelitian.28 Data
sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang
melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada.29
5. Teknik Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, selanjutnya yang dipelukan adalah kegiatan
pengolahan data (data prcessing). Pengolahan data mencakup kegiatan menyunting dan mengklasifikasikan data. Menyunting data merupakan kegiatan
memeriksa dan yang terkumpul, termasuk kelengkapan dan keperluannya untuk
penelitian. Sedangkan mengklasifikasikan atau mengelompokan data berguna
untuk memfokuskan spesifikasi dalam penelitian. Tahap pengelolaan data ini
kemudian dilanjutkan dengan menganalisis dan menginterpretasikan data.
Analisis data merujuk kepada kegiatan pengorganisasian data ke dalam
susunan-susunan tertentu dalam rangka interpretasi data untuk menjawab pertanyaan
penelitian.30
Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan dijelaskan menggunakan
teknik analisis deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang
diupayakan untuk mencandera atau mengamati permasalahan secara sistematis
dan akurat mengenai fakta dan sifat objek tertentu.31 Dengan menggunakan teknik
28
Pupuh Fathurahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 146.
29
Pupuh Fathurahman, Metode Penelitian Pendidikan, h.147.
30
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial: Dasar-Dasar dan Aplikasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 33-34.
31
17
analisis ini penulis berharap mampu memberikan gambaran suatau fenomena atau
permasalahan yang terjadi secara sistematis, faktual, aktual, akurat, dan jelas
berdasarkan data yang diperoleh mengenai problematika yang terjadi pada
pelaksanaan Pemilukada langsung di Indonesia khususnya pada penyelenggaraan
Pemilukada kota Tangerang 2013.
Adapun sebagai pedoman penelitian karya ilmiah ini, peneliti
menggunakan buku pedoman “Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Negeri Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya menjadi 5 Bab, yaitu:
Bab I : Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan permasalahan yang
melatar belakangi pembahasan dan perumusan masalah serta manfaat dan tujuan
dari penulisan itu sendiri. Selain itu pada bab ini akan dipaparkan juga mengenai
tinjauan pustaka dan metodologi penelitian skripsi ini.
Bab II : Kerangka teoretis dan konseptual, pada bab ini menjelaskan
mengenai teori dan konsep yang digunakan dalam pendekatan yang menjelaskan
pokok permasalahan skripsi ini, yaitu sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Kota Tangerang 2013: masalah dan penyelesaian. Adapun kerangka
18
Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, dan Teroi Dilema dan Pilihan
Rasional Politisi.
Bab III : Pada bab ini peneliti menjelaskan mengenai gambaran umum,
dinamika sosial-politik di Kota Tangerang dan penyelenggaraan Pilwalkot
Tangerang 2013.
Bab IV : Pada bab ini merupakan bagian yang berisi tentang permasalahan
yang peneliti angkat. Peneliti menjelaskan mengenai penyebab pasangan Arief R
Wismansyah–Sachrudin dan Ahmad Marju Kodri-Gatot Suprijanto tidak lolos verifikasi oleh KPUD Kota Tangerang, peran Wahidin Halim sebagai Walikota
Tangerang dalam sengketa Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota
Tangerang 2013 dan bagaimana proses penyelesaian sengketa yang terjadi.
Bab V : Pada bab ini peneliti menyimpulkan pembahasan mengenai skripsi
ini sekaligus menjadi penutup pada pokok permasalahan sengketa Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Kota Tangerang 2013 dan selanjutnya di bab
penutup ini terdapat juga saran yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi
agar memperoleh sebuah solusi untuk meminimalisir atau mencegah
19
BAB II
KERANGKA TEORETIS & KONSEPTUAL
A. Pemilihan Kepala Daerah
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar", ini berarti rakyat memiliki kedaulatan, tanggung
jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan
membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan
masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Perwujudan kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui Pemilu secara
langsung.1
Secara sederhana, pemilihan umum didefinisikan sebagai sarana atau suatu
cara untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam
menjalankan pemerintahan. Pemilihan umum didefinisikan juga sebagai sebuah
kesempatan ketika warga memilih pejabatnya dan memutuskan apa yang mereka
ingin pemerintah lakukan untuk mereka.2 Selanjutnya, dalam UU No. 8 Tahun
2012:
“Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.3
1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2
Diakses pada 30 Mei 2014 dari http://sospol.pendidikanriau.com/2009/12/definisi-pemilihan-umum-secara.html.
3
20
Sedangkan menurut Dr. Indria Samego, Pemilihan Pmum disebut sebagai
”Political Market”. Jadi, Pemilihan Umum adalah pasar politik tempat individu
ataupun masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial antara peserta
pemilu dengan pemilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas
politik yang meliputi: kampanye, propaganda, iklan politik melalui media cetak,
audio maupun audio visual serta media lainnya seperti spanduk, pamflet,
selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face atau lobby
yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platfrom, asas, ideologi serta
janji-janji politik lainnya untuk meyakinkan para pemilih sehingga pada
pencoblosan dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang
menjadi peserta Pemilihan Umum untuk mewakili dalam badan legislatif ataupun
eksekutif.4
Di Indonesia Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara efektif
dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk
memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
selanjutnya disebut Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati/Walikota dan Wakil
Bupati/Walikota untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemilihan tersebut
4
21
dilakukan oleh penduduk daerah setempat yang telah memenuhi syarat. 5
Sedangkan dalam PP 49 Tahun 2008:
“Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.6
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia merupakan kelanjutkan atas
dikeluarkannya ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
otonomi daerah, dilanjutkan dengan UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 dan
UU No. 25 Tahun 1999, serta UU No. 32 Tahun 2004.7 Berdasarkan UU No. 22
Tahun 1999, Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan, dimana calon Kepala
Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahap
pencalonan dan pemilihan.8 Dalam peraturan ini jelas bahwa pengesahan dan
pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara prosedural
kewenangannya berada ditangan anggota DPRD.
Kewenangan yang sangat luas tersebut tidaklah diimbangi oleh
keterampilan untuk mengartikulasi dan mengagresikan aspirasi masyarakat daerah
secara optimal, hal ini terbukti dengan banyaknya praktik politik uang, politik
ansich, dukungan irasional partai politik, dan adanya campur tangan elit pejabat
5
KPU Provinsi Banten, “Buku Peraturan tentang Pemilukada” (Serang: T.tp, 2011), h. 04.
6
Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
7
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: LEMLIT-UIN Jakarta, 2011), h. 117.
8
22
dalam pelaksanaan Pilkada.9 Selain itu adanya tuntutan dari masyarakat yang
menginginkan Kepala Daerah dipilih secara langsung, karena masyarakat yakin
bahwa pemimpin yang terpilih nanti adalah pemimpin yang arif dan bijak serta
mampu membawa masyarakat daerah menuju perbaikan dan kemakmuran turut
mendorong lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang merubah sistem Pilkada
menjadi sistem pemilihan langsung.
Dasar hukum secara umum bagi pelaksanaan Pilkada secara langsung yang
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah adanya amandemen UUD 1945 yang
telah mengubah bab IV tentang pemerintah daerah dan perubahan UU No. 4
Tahun 1999 menjadi UU No. 22 Tahun 2003 yang didalamnya tidak disebutkan
lagi kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah. Pilkada Langsung juga
dijiwai oleh pasal 1 ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang
berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.10
Pilihan untuk memaknai UUD 1945 dengan memilih mekanisme
pemilihan secara langsung sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
merupakan pilihan yang sangat tepat dalam mengelola masa transisi Indonesia
dari era otoritarian ke era demokratisasi yang sesungguhnya.11 Kehadiran UU
tersebut tentunya membuka peluang untuk mewujudkan aspirasi daerah, yaitu
keinginan untuk memiliki pemimpin lokal yang disepakati oleh rakyat melalui
9
Prof. Drs. HAW. Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 120-121.
10
Prof. Drs. HAW. Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, h. 121.
11
23
proses Pilkada secara langsung.12 Pilkada langsung atas implementasi dari UU
No. 22 Tahun 2004 pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005 di
Kabupaten Kutai Kartanegara.13
Seiring berjalannya waktu, Pilkada langsung semakin baik kualitasnya
setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi UU No. 32 tahun 2004
yang mengatur persyaratan pencalonan Kepala Daerah hanya lewat parpol oleh
seorang calon Gubernur dari NTB Pada tahun 2007.14 MK mengabulkan adanya
calon independen dalam proses pencalonan Kepala Daerah. Hal itu tertuang dalam
Keputusan MK No. 5/PUU-V/2007 yang menggugurkan Pasal 56, 59, dan 60 UU
No. 32/2004 yang memuluskan calon independen maju dalam Pilkada dengan
acuan Pilkada Aceh.15 Keputusan MK itu kemudian dilegalisasi ke dalam UU No.
12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari
pasangan calon independen yang didukung oleh sejumlah orang.
Dalam perjalanannya, telah terjadi beberapa kali perubahan mengenai
istilah Pemilihan Kepala Daerah. Pertama Pilkada, lalu Pemilukada, kemudian
Pilgub/Pilbup/Pilwalkot. Ketiganya terasa sama, tapi sebetulnya berbeda.
Pertama, Pemilihan Kepala Daerah merupakan bagian dari Otonomi Daerah yang
ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka istilahnya Pilkada. Akan tetapi,
dalam UU No. 22 Tahun 2007 dijelaskan Pemilihan Kepala Daerah merupakan
12 Irtanto, Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 71.
13
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, h. 117.
14
Teuku Kemal Fasya,”Tantangan Demokrasi Calon Independen”, artikel diakses pada 10 Februari 2014 dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/03/29/02044581/Tantangan. Demokrasi.Calon.Independen
15
24
bagian dari rezim Pemilu, sehingga istilah Pilkada diubah menjadi Pemilukada.
Selanjutnya pada 2011 di sahkan UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilu, dalam Undang - Undang ini tidak lagi disebut sebagai
Pemilukada melainkan Pilgub/Pilbup/Pilwalkot.16
1. Asas Pemilihan Kepala Daerah
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diusung oleh partai politik
maupun melalui jalur perseorangan (Independen) dipilih dalam satu pasangan
calon, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,rahasia, jujur, dan adil.17
2. Asas dan Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah
Penyelenggara Pilkada adalah lembaga yang menyelenggarakan Pilkada
untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil
Bupati/Walikota secara demokratis yang terdiri dari KPU, KPU Provinsi/ KIP
Aceh dan KPU Kabupaten/Kota/KIP Kabupaten/Kota Aceh. Kemudian untuk
membantu KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan
Pilkada di tingkat Kecamatan, Kelurahan/Desa, dan di TPS dibentuklah PPK,
PPS, dan KPPS yang merupakan panitia yang bersifat sementara. Selanjutnya,
Bawaslu membentuk Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten Kota sebagai
16
M. Iqbal, “Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, Sekarang Pilgub”, artikel diakses pada 15 Februari 2014 dari http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub.
17
25
panitia yang bersifat sementara untuk mengawasi penyelenggaraan Pilkada di
wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota.18
Penyelenggara Pilkada berpedoman pada asas: mandiri, jujur, adil,
kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas.19 Sedangkan untuk menjaga
kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota penyelenggara Pemilu/Pilkada,
ada Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Kode Etik adalah satu kesatuan landasan
norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku
penyelenggara Pemilu/Pilkada yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut
dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan.20 Kode Etik tersebut bersifat
mengikat dan setiap Penyelenggara Pilkada wajib mematuhinya, Penegakan
pelanggaran Kode Etik dilaksanakan oleh DKPP.21
3. Persyaratan Bakal Calon dan Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah
a. Persyaratan Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan
sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang dan dilaksanakan secara
18
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu.
19
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011.
20
KPUD Kab. Gunung Kidul, “Kode Etik Penyelenggara Pemilu”, diakses pada 9 Juni 2014 dari www.kpu-gunungkidulkab.go.id.
21
26
demokratis. Persyaratan pencalonan melalui partai politik atau gabungan partai
politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan
perolehan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari
akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah
yang bersangkutan. Selanjutnya partai politik hanya bisa mengusung 1 calon
Kepala Daerah atau Wakil Kepala daerah.22 Selain itu partai politik tidak
dibenarkan melakukan penarikan dukungan seperti yang diatur dalam Peraturan
KPU:
“Partai politik atau gabungan partai politik yang sudah mengajukan bakal pasangan calon dan sudah menandatangani kesepakatan pengajuan bakal pasangan calon, tidak dibenarkan menarik dukungan kepada bakal pasangan calon yang bersangkutan, dengan ketentuan apabila partai politik atau gabungan partai politik tetap menarik dukungan terhadap bakal pasangan calon yang bersangkutan, partai politik atau gabungan partai politik tersebut dianggap tetap mendukung bakal pasangan calon yang telah diajukan”.23
Sedangkan peryaratan pencalonan melalu jalur perseorangan untuk calon
Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota dapat dilakukan dengan
syarat dukungan dengan ketentuan: Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 250.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5%,
250.000-500.000 jiwa 5%, 250.000-500.000-1.000.000 jiwa 4%, dan 1.000.000 jiwa harus didukung
sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).24
22
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
23
Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2012 Tentang Pedeoman Teknis Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
24
27
1) Persyaratan Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dan
Pendaftaran Bakal Calon yang di Usung oleh Partai Politik.
Persyaratan yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh Calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah adalah warga Negara Republik Indonesia serta:25
a) “Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b) Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17Agustus 1945, dan kepada NKRI.
c) Berpendidikan sekurang-kurangnya SMA atau sederajat.
d) Berusia sekurang-kurangnya 25 tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
e) Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter.
f) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
g) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
h) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di Daerahnya. i) Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan.
j) Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara. k) Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
l) Memiliki (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak.
m) Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri.
n) Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
o) Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah dan mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah atau wakil yang masih menduduki jabatannya”.
Selanjutnya pada saat mendaftarkan diri, calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah yang melalui Partai politik atau gabungan partai politik wajib
menyerahkan:26
a) Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik.
b) Kesepakatan tertulis antar partai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon.
25
Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
26
28
c) Surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau gabungan.
d) Surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan.
e) Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon.
f) Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
g) Surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD.
h) Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
i) Visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis”.
2) Persyaratan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
Menjabat Sebagai PNS
Bagi seorang PNS (pegawai negeri sipil) yang ingin mencalonkan diri
sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah berdasarkan UU No. 12 Tahun
2008 dijelaskan bahwa mereka harus membuat Surat pernyataan mengundurkan
diri dari jabatan PNS. Hal ini dijelaskan juga didalam PKPU, dimana bagi setiap
calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang berasal dari PNS, TNI dan
anggota Kepolisian wajib melampirkan surat pernyataan pengunduran diri sejak
pendaftaran dari jabatannya dalam surat pencalonannya. Surat yang dimaksud
adalah adalah surat pernyataan yang bersangkutan tidak aktif dalam jabatan
struktural atau jabatan fungsional yang disampaikan kepada atasan langsungnya
untuk diketahui.27
Sedangkan dalam peraturan BKN Nomor 10 Tahun 2005 dijelaskan bahwa
PNS yang akan didaftarkan menjadi calon Kepala Daerah atau calon wakil Kepala
Daerah wajib mengajukan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan
negeri. Surat pernyataan yang dimaksud diatas dibuat dalam rangkap 2,
27
29
masing diberi materai dan disampaikan kepada atasan langsung dengan ketentuan
: pertama, 1 surat pernyataan dikembalikan kepada PNS yang bersangkutan setelah diberi tandatangan atasan langsung dan stempel dinas. Kedua, 1 surat pernyataan diteruskan kepada pejabat yang berwenang sesuai peraturan
perundang-undangan melalui saluran hierarki, sebagai bahan penetapan keputusan
pemberhentian dari jabatan PNS.28
Pejabat yang berwenang tersebut setelah menerima surat pernyataan PNS
yang bersangkutan, menetapkan keputusan pemberhentian dari jabatan negeri
yang dibuat menurut contoh dalam lampiran II peraturan kepala BKN.
Pemberhentian dari jabatan PNS tersebut berlaku mulai tanggal PNS yang
bersangkutan ditetapkan oleh KPUD sabagai calon Kepala daerah atau calon
Wakil Kepala Daerah.29
B.Sengketa Pemilihan Kepala Daerah dan Proses Penyelesaian
1. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah sebagai bagian dari sistem demokrasi adalah
sebuah keniscayaan. Karena melalui Pilkada tidak hanya menjamin
berlangsungnya proses sirkulasi dan regenerasi kekuasaan di tingkat daerah. Akan
tetapi partisipasi dan representasi atas kepentingan rakyat terhadap terpenuhinya
pemerintahan yang baik, akan senantiasa terwujud. Kepentingan rakyat sebagai
bagian dari hak-hak konstitusional yang harus selalu dijamin, dilindungi dan
28
Peraturan kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Calon Kepala daerah/calon wakil Kepala Daerah.
29
30
dijunjung tinggi. Oleh sebab itu sistem Pilkada yang dibangun, hendaknya
dikreasikan dengan tujuan dan maksud tersebut. Selain itu, setiap
penyelenggaraan Pilkada diharapkan mampu berjalan secara jujur dan adil (free and fair election) serta transparan. Namun tidak bisa pungkiri, bahwa dalam setiap penyelenggaraan Pilkada sering kali muncul permasalahan atau sengketa.30
Dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada terdapat beberapa masalah
hukum yang berpotensi muncul, misalnya pelanggaran pidana dan administrasi.
Pelanggaran pidana adalah perbuatan yang melanggar ketentuan dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dikategorikan sebagai tindak pidana.
Sementara pelanggaran administrasi adalah semua pelanggaran kecuali
pelanggaran pidana sebagaimana yang ditetepkan dalam Undang-Undang
tersebut. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada
adalah bentuk pelanggaran kode etik penyelenggara.31
Sengketa menurut KBBI diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat, perbantahan, pertikaian, perselisihan, atau perkara di
pengadilan.32 Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, antara kepentingan
dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.33
Sengketa Pilkada dapat diartikan sebagai sebuah perselisihan antara peserta
Pilkada dengan penyelenggara Pilkada, penyelenggara Pilkada dengan warga
30
Yulianto dan Veri Junaidi, Pelanggaran Pemilu 2009 dan Tata cara Penyelesaiannya
(Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2009), h. 3.
31
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, 2th ed. (Depok: Themis Books, 2013), h. 87
32
Diakses pada 30 Mei 2014 dari http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/ .php?keyword= sengketa&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all&varkelas=all&submit=tabe
33Tri Cahyo Wibowo, “Sengketa Pemilukada”,
31
Negara yang memiliki hak pilih yang diakibatkan dikeluarkannya keputusan atau
tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada.34
Ketentuan mengenai sengketa Pilkada diatur dalam pasal 66 ayat (4c) UU
No. 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, didalam Undang-undang tersebut hanya
menyebutkan bahwa salah satu tugas dan kewenangan Panwaslu adalah untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada. Namun tidak
dijelaskan definisi atau pengertian tentang sengketa Pilkada itu sendiri.35
Permasalahan dan pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada
yang kemudian menyebabkan sengketa diantaranya adalah: 1. Daftar Pemilih
tidak akurat, 2. Proses pencalonan yang bermasalah (munculnya dualisme
pencalonan dalam tubuh partai politik, berpindah-pindahnya dukungan patai
politik dan KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon), 3. Pemasalahan
pada masa kampanye (Money politics, pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi, kampanye negatif/ terselubung/ di luar waktu yang telah
ditetapkan dan curi start), 4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan
rekapitulasi hasil penghitungan, 5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral
(keberpihakan anggota KPUD dan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon,
kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon, tidak adanya
34
Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014 (Jakarta: Perludem, 2006), h. 96.
35
32
ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi
persyaratan calon, 6. Kandidat yang kalah tidak siap menerima kekalahannya.36
Dalam penyelenggaraan Pilkada setidaknya ada dua jenis Sengketa, yaitu
Sengketa Pelaksanaan Pilkada dan Sengketa Hasil Pilkada.37Pertama, sengketa pelaksanaan Pilkada atau yang biasa dikenal dengan perselisihan administrasi
Pilkada. Perselisihan administrasi Pilkada yaitu perselisihan yang timbul akibat
dikeluarkannya keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara
Pilkada yang dianggap merugikan Warga negara yang memiliki hak memilih dan
dipilih, partai peserta Pilkada, dan bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah, serta Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang terjadi dalam
tahapan-tahapan Pilkada.38
Kedua, Sengketa hasil Pilkada. Sengketa hasil Pilkada adalah sengketa terhadap keputusan KPUD menyangkut hasil Pilkada. Sedangkan dalam UU No.
12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah sengketa hasil Pilkada adalah yang berkenaan dengan
perselisihan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan
calon. 39
36
Ramlan Surbakti, dkk, Penanganan Sengketa Pemilu (Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011), h. 7.
37
Panwaslu Purwakarta, “Pelanggaran Pemilu dan Penanganannya” artikel diakses pada 24 April 2014 dari http://panwaslupurwakarta.blogspot.com/2012/09/bagaimana-anda-harus-melaporkan.html
38
Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014.
39
33
2. Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah tidak hanya
ditentukan dari terlaksananya pemungutan suara dan terpilihnya Kepala Daerah,
tetapi juga dilihat dari penyelesaian sengketa yang terjadi. Masalah penyelesaian
sengketa Pilkada di Indonesia mulai ramai dibahas khususnya sejak diterapkannya
sistem pemilihan langsung pada tahun 2005.40 Dalam penyelesaian sengketa
Pemilu dan Pilkada, ada prinsip-prinsip penyelesaian sengketa yang diterapkan
sebagai instrumen yang digunakan untuk menegakkan keadilan Pemulu dan
Pilkada. Prinsip-prinsip tersebut diperlukan agar dapat mewujudkan paradigma
keadilan Pemilu/Pilkada. Melalui mekanisme tersebut, hak pilih masyarakat dapat
dikembalikan kepada kehendak semula.41
Menurut International Foundation For Electoral (IFES), tujuh standar penyelesaian sengketa yang efektif dalam menjamin integritas dan legitimasi
Pemilu/Pilkada adalah: Pertama, Hak untuk memperoleh pemulihan pada keberatan dan sengketa pemilu. Kedua, Sebuah rezim standar dan prosedur pemilu yang didefinisikan secara jelas. Ketiga, Abiter yang tidak memihak dan memiliki pengetahuan. Keempat, Sebuah sistem peradilan yang mampu menyelesaikan putusan dengan cepat. Kelima, penentuan beban pembuktian dan standar bukti yang jelas. Keenam, Ketersediaan tindakan perbaikan yang berarti dan efektif.
Ketujuh, pendidikan yang efektif bagi para pemangku kepentingan.42
40
Ramlan Surbakti, dkk, Penanganan Sengketa Pemilu, h. 2.
41
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, h. 45.
42