SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
SkripsiDiajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
OLEH:
ZUL HAMDI BAKRI TANJUNG 105044101394
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Oleh:
Zul Hamdi Bakri Tanjung NIM : 105044101394
Pembimbing
Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 195505051982031012
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr Wb
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah senantiasa memberikan rahmat ynng berlimpah kepada penulis, sehinnga penulis diberikan kemampuan, kekuatan, serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan shalawat beriring salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan besar kita Baginda Rasulullah SAW yang telah membawa kita dari alam gelap yang nista ke alam yang penuh limpahan cahaya.
Kini adalah saat yang dinanti-nanti, sebuah perjalanan panjang penuh perjuangan, dan dengan pengorbanan, serta kesabaran, penulis mampu menyelesaikan kuliah di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalamnya dan masih jauh dari kesempurnaan dalam hal ini tidak terlepas dari sifat manusia yang penuh salah dan lupa.
Selanjutnya penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis yaitu kepada:
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H. M.A, dan Bapak Kamarusdiana S.Ag. Masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Al-ahwal Al-syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menularkan ilmunya.
4. Seluruh staf karyawan dan karyawati Fakultas Syariah dan Hukum, Akademik Pusat, Perpustakaan Syariah dan Hukum, dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, yang selalu memberikan kasih sayang dan ridhonya serta tak henti-hentinya memberikan motivasi. Tarimo Kasih Umak... Tarimo Kasih Ayak…
6. Kepada kakakku Khoiriyah Shofiyah, dan kedua adikku Ahmad Iqbal dan Irham Fuadi jadilah orang yang berguna, dan raihlah mimpi-mimpi kalian serta tunjukkan yang terbaik buat keluarga, agama, dan negara.
7. Kepada Uda Hasyim dan Nanguda, Uda Fakhruddin dan Nanguda, Amangboru
Sahrul, Bou Nanni, Bou Nisma, terimakasih atas dukungan kalian baik moril ataupun materi. Dan kepada koum-koum sudena na mandukung parjuangan on.
kawan di IKA-DM, Bang Yasser, Bang Taufik, Fai, Imam, Hendra Sakti, KM, Ismar, Affan Icha, Ade, May, dan Aniyah terima kasih atas support dan doanya. Dan kepada kawan-kawan IKA-MAN 1 Padangsidimpuan Bre Zaki, Erpina, Erviani, Dewi, Indra, Izhari, Capin, dan lain-lain terimakasih atas supportnya. Serta kepada seluruh kawan-kawan KOMPASS, HIMLAB, HIMAPALAS, HM-MADINA, terima kasih atas dukungannya.
Dan kepada semua pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehinnga tulisan ini selesai. Hanya doa dan ucapan terima kasih yang bisa penulis lakukan. Semoga segala bantuannya diterima sebagai amal ibadah disisi Allah SWT. Dan memperoleh balasan pahala yang berlipat ganda. Dan mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr,Wb
Jakarta: 6 Agustus 2010 M
26 Sya’ban 1431 H
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Metode Penelitian ... 6
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II PEMERKOSAAN DALAM RUMAH TANGGA A. Pengertian Pemerkosaan ... 10
B. Macam-macam Pemerkosaan... 23
C. Sebab Pemerkosaan dan Dampaknya... 26
D. Penanggulangan Pemerkosaan ... 35
BAB III PEMERKOSAAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG B. Pengertian dan Macam-macam Perceraian ... 41
C. Tata Cara dan Prosedur Perceraian ... 54
D. Pemerkosaan Sebagai Alasan Perceraian dan Cara Penanggulangannya ... 60
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 69
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sebuah pernikahan, setiap pasangan suami istri selalu mendambakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Karena tujuan pernikahan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang kekal tentu harus didasari oleh rasa kasih sayang dan saling pengertian antara suami dan istri. Akan tetapi pada kenyataannya banyak terlihat fenomena-fenomena di masyarakat, sering terjadi pertengkaran antara suami istri yang mungkin karena masalah kecil seperti, tidak saling memahaminya antara pihak, sehingga menimbulkan perceraian (talak), yang tidak disukai oleh Allah SWT.
Dalam setiap perceraian pasti ada alasan yang menjadi faktor penyebabnya. Dalam beberapa tahun belakangan ini, banyak terjadi perceraian akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang sering disebut (KDRT). Ada pun pengelompokan dari kekerasaan dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Dalam istilah yang berkembang di masyarakat akhir-akhir ini, kekerasan seksual bisa juga disebut, marital rape, pemerkosaan dalam perkawinan, pemerkosaan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk pembahasan ini, kami memfokuskannya dalam istilah pemerkosaan dalam rumah tangga saja.
Pemerkosaan dalam rumah tangga adalah hal yang masih belum banyak dikenal oleh sebagian masyarakat. Mungkin hal ini didasari oleh kebiasaan dan kultur budaya di sebagian masyarakat Indonesia yang belum memahami secara jelas apa itu pemerkosaan dalam rumah tangga. Pada dasarnya pemerkosaan ialah suatu bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki atau perempuan. Kekerasan seksual ini bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Namun yang umum terjadi pelakunya adalah lelaki1.
Perkosaan merupakan perbuatan memaksa dalam melakukan hubungan senggama, baik dengan cara persuasif maupun represif. Singkat kata, perkosaan adalah persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, antara laki-laki dengan laki-laki (homoseksual), perempuan dengan perempuan (lesbian), yang dilakukan tidak atas dasar kesukarelaan dan sarat dengan pemaksaan.
Perkosaan bisa diidentifikasi setidaknya menjadi empat macam yaitu:
Pertama, perkosaan dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban, bisa teman, pacar, rekan kerja, anggota keluarga maupun tetangga. Namun bukan berarti tertutup kemungkinan perkosaan dilakukan oleh orang asing yang tidak dikenal korban. Kedua, perkosaan saat kencan. Perkosaan yang dilakukan oleh pacar atau teman dekat saat sedang kencan. Ketiga, perkosaan dengan ancaman halus. Perkosaan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada korban. Seperti majikan terhadap pembantu, atasan terhadap
1
bawahan, guru terhadap murid, polisi terhadap tahanan dan lain sebagainya. Dan, biasanya, perkosaan itu dilakukan dengan cara bujuk rayu, mengumbar janji dan tipu muslihat. Keempat, perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau mungkin juga sebaliknya, dengan cara memaksa untuk minta dilayani melakukan hubungan badan, tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan pasangannya2.
Perkosaan dalam perkawinan atau lazim juga disebut dengan "marital rape" dalam kebiasaan dan budaya hubungun seksual di Indonesia relatif tidak begitu populer. Perkosaan diasumsikan dengan perbuatan cabul seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara memaksa untuk melampiaskan dorongan hawa nafsu seks. Perbuatan itu dilakukan tidak dengan kesediaan dan juga tidak dalam konteks rumah tangga. Terlihat sekali bahwa definisi perkosaan mengalami reduksi. Dan perkosaan dalam rumah tangga tidak dimasukkan dalam kategori perbuatan ini. Maka dari itu, perkosaan dalam rumah tangga masih tergolong kontroversial.
Walaupun demikian, dewasa ini ada di antara kaum perempuan Indonesia cukup gigih untuk memperjuangan wacana bahwa jika suami yang memaksa istri melayani nafsu birahinya padahal istri tidak bersedia melakukannya dengan sukarela dengan alasan isteri mempunyai uzur, maka hal itu termasuk perkosaan
2
dalam rumah tangga. Pemekaran definisi tersebut berangkat dari rumusan bahwa segala hubungan seksual yang ditandai dengan pemaksaan adalah perkosaan.
Menyikapi permasalahan pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian, dan bagaimana Fikih dan Undang-Undang menanggapinya dan adakah solusi tentang penanggulangan dan penyelesaiannya.
Maka untuk itu, penulis tertarik untuk membahas masalah ini dengan penelitian skripsi berjudul: “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMERKOSAAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, perlu dibatasi masalah yang akan diteliti, sehingga pembatasan permasalahan yang akan dibahas, tidak keluar dari sasaran yang hendak dicapai. Dalam penulisan skripsi ini hanya meneliti tentang apakah pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan perceraian menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Sedangkan akibat dari perceraian dan lainnya tidak menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini. 2. Perumusan Masalah
dikategorikan ke dalam kekerasan seksual, yang diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Serta di dalam KHI dan Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur alasan pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian. Dan dalam kenyataannya, sebagian masyarakat sudah menganggap ini sebagai masalah, dan sebagian lagi belum mengerti akan hal ini. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas masalah ini.
Dan rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa faktor penyebab pemerkosaan dalam rumah tangga dan dampak negatifnya ?
2. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian ?
3. Bagaimana cara menanggulangi pemerkosaan dalam rumah tangga ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
b. Untuk mengetahui faktor penyebab dan dampak negatif dari pemerkosaan dalam rumah tangga .
c. Unutuk mengetahui cara menanggulangi pemerkosaan dalam rumah tangga.
d. Untuk mengetahui cara penyelesaian atau perdamaian perceraian.
e. Disamping tujuan yang bersifat akademisi, skripsi ini juga menjadi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Syariah pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
a. Perkembangan Hukum Islam dan Hukum Positif dibidang perkawinan dan perceraian.
b. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan golongan akademisi pada khususnya dalam memahami tentang masalah perceraian akibat pemerkosaan dalam rumah tangga.
c. Bermanfaat bagi penulis guna menambah wawasan dan pemahaman tentang masalah perkawinan dan perceraian.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian, yaitu:
Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur dan yang ada relevasinya dengan judul skripsi ini.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, dalam pengertiannya tidak sekedar menyimpulkan dan menyusun data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi dari data-data yang berhubungan dengan pemerkosaan dalam rumah tangga. 3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan yuridis yang peneliti gunakan dalam melihat obyek hukum ialah yang berkaitan dengan produk perundang-undangan yaitu UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Adapun pendekatan normatif dilakukan dengan mendasarkan Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang menjelaskan tentang masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga. 4. Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:
a. Data Primer
Data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan, seperti buku buku, majalah, surat kabar, internet, dan referensi lain yang mendukung judul skripsi ini.
5. Analisis Data
Dalam proses analisa data, penulis menggunakan metode induktif yaitu pengkajian yang bertitik tolak dari kaidah-kaidah yang bersifat khusus yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
Mengenai tekhnik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 cet.1, dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan dan dengan beberapa pengecualian:
1. Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an tidak memakai foot note, hanya menyebutkan nama surat dan ayatnya serta diberi syakal dan diberi arti atau terjemahan. 2. Kutipan-kutipan yang diambil dari ejaan lama disesuaikan dengan ejaan yang
disempurnakan, kecuali nama orang ditulis sesuai dengan aslinya. 3. Setiap terjemahan Al-Qur’an dan Al-Hadits diketik satu spasi.
E. Sistematika Penulisan
BAB I Adalah bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan
BAB II Bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum pemerkosaan dalam rumah tangga yang di dalamnya terdapat; pengertian pemerkosaan, macam-macam pemerkosaan, sebab dan dampaknya, serta penanggulangannya.
BAB III Bab ini menjelaskan tentang pemerkosaan sebagai alasan perceraian menurut Fikih dan Undang-Undang yang di dalamnya terdapat pengertian dan macam-macam perceraian, syarat sah dan tata cara perceraian, dan pemerkosaan sebagai alasan perceraian dan penanggulangannya.
A. Pengertian Pemerkosaan
A.1. Pemerkosaan dalam rumah tangga menurut pandangan hukum Islam
Di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan istilah yang menunjukkan pemerkosaan,
baik itu perkosaan di luar perkawinan maupun dalam perkawinan. Al-Qur’an hanya
mengenal istilah zina, yakni hubungan seks dengan selain pasangan yang sah secara
hukum. Istilah ini mengakomodasi pemerkosaan dalam arti umum karena sama-sama
dilakukan di luar nikah dengan tingkat ancaman yang lebih berat karena pemaksaan
yang menyertainya dianggap satu bentuk kejahatan. Tetapi tidak menjangkau
pemaksaan oleh seorang suami.1
Dalam ikatan perkawinan hubungan suami istri (seks) adalah suatu yang halal
tetapi tidak sampai membolehkan kekerasan-kekerasan yang kemungkinan dapat
menyertainya. Kedua hal ini harus dipisahkan, karena sangat jauh berbeda.
Membolehkan hubungan seks dalam ikatan perkawinan adalah mendukung
kelangsungan hidup manusia dan sangat manusiawi, sementara membolehkan
kekerasan bukan hanya tidak manusiawi akan tetapi pada tingkat kualitasnya yang
tertinggi ia menghentikan derap langkah manusia itu sendiri. Dengan pandangan ini,
dapat diduga bentuk ancaman sanksi yang dapat diterapkan. Apabila hal itu terjadi,
1
Alimin M, Bercinta Dalam Ungkapan Kitab Suci (Titik temu Konsep Marital Rape dengan Gagasan Qur’ani), Ahkam VII, No.15 (2005), h.66.
maka pelakunya semestinya diancam karena kekerasan atau pemaksaan yang
dilakukannya. Hal ini dapat dianalogikan dengan tindakan pemerkosaan. Dalam
mayoritas pandangan ulama, pelaku tindak pidana pemerkosaan diancam dengan
hukuman: Pertama, pelaku tindak pemerkosaan diancam dengan rajam, karena ia
telah melakukan zina (apabila dia sudah menikah, sedangkan yang belum menikah di
cambuk). Kedua, ia diancam hukuman karena tindak pidana pemaksaan. Dari kedua
ancaman tersebut ancaman pertama tentu saja tidak mungkin dijatuhkan kepada
suami, sebab hubungan mereka adalah sah dan legal dan tidak mungkin dikategorikan
zina. Namun pemaksaannya, tidak berbeda dengan pemaksaan yang dilakukan dalam
sebuah pemerkosaan.2
Dalam buku Marital Rape (kekerasan seksual terhadap isteri) yang ditulis
oleh Milda Marlia, pemerkosaan dalam rumah tangga harus dilihat dari dua segi,
yaitu:
1. Kesamaan hak laki-laki dan perempuan
Terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan, Islam mengakui dan
mengajarkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan (sexual equality).
Sejumlah ayat Al-Qur’an menegaskan tentang hal ini:
QS Al-Hujurat: 13:
⌧
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dan, QS An-Nahl ayat 97:
☺ ☯
⌦
☺
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas dapat diambil pelajaran bahwasanya
Islam sangat menjunjung tinggi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ia
tidak hendak melestarikan tatanan kesadaran dan sosial masyarakat Arab, tetapi justru
mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, dan tradisi
diskriminatif-misioginis yang sekian lama diprektikkan.
Dalam banyak praktik hukum, perempuan dinilai separo dari harga laki-laki.
dengan pandangan dan praktik yang adil dan manusiawi. Islam secara bertahap
mengembalikan otonomi perempuan sebagai manusia merdeka.3
Para ahli tafsir menyatakan, qawwam berarti pemimpin, penanggung jawab,
atau, pengatur dan pendidik. Penafsiran semacam ini memang tidak perlu kita
persoalkan lagi. Akan tetapi, secara umum, para ahli tafsir berpendapat, superioritas
laki-laki adalah mutlak. Superioritas ini diciptakan Tuhan hingga tidak bisa diubah.
Kelebihan laki-laki atas perempuan, menurut ahli tafsir dikarenakan kapasitas akal
dan fisiknya.4
Superioritas tersebut kini tidak bisa dipertahankan sebagai suatu yang berlaku
pada umum dan mutlak. Artinya, tidak setiap laki-laki pasti lebih berkualitas
ketimbang perempuan. Superioritas laki-laki atas perempuan tidak saja dipandang
sebagai bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan
universal, melainkan juga ditentang oleh fakta-fakta sosial, dan ini menjadi
keniscayaan tak terbantahkan.5
Zaman sudah berubah, kini jumlah perempuan lebih banyak dari pada
laki-laki dan tugas yang dianggap dulu hanya bisa dikerjakan dan milik lelaki-laki sudah bisa
dikerjakan oleh perempuan. Di berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi,
dan sosial banyak perempuan yang berhasil dalam karir kepemimpinan domestik
maupun publik. Oleh karena itu, karekteristik yang menjadi dasar argumen bagi
3
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKIS, 2001), h.19.
4
Ibid, h.20-21. 5
superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku terus. Ia merupakan
produk satu episode saja dari proses sejarah yang terus berkembang dan bergerak dari
nomaden menjadi menuju kehidupan tetap (modern), dari ketertutupan menuju
keterbukaan, dari kebudayaan yang tradisional menuju kebudayaan yang rasional, dan
dari pemahaman tekstual menuju pemahaman substansial.6
2. Seksualitas
Di antara yang diberikan Allah kepada manusia adalah potensi seksual yaitu
kekuatan untuk melakukan hubungan seksual, termasuk juga nafsu seks. Nafsu
sahwat tercipta seiring dengan penciptaan manusia, dan karenanya ia menjadi sesuatu
yang alami dan naluriah dalam diri manusia. Sebagai naluri, nafsu seks ini tentunya
akan mendorong pemiliknya untuk memiliki orientasi dan prilaku seksual.7 Akan
tetapi, Islam tidak membiarkan begitu saja dorongan seks ini terpenuhi tanpa
terkendali. Ada lembaga perkawinan yang melegitimasi aktivitas seksual, agar
pelaksanaannya mempunyai nilai tersendiri ketimbang sebuah pelampiasan.8
Secara umum bisa dikatakan, pernikahan laki-laki dan perempuan adalah
membina rumah tangga yang bahagia yang berdasarkan pada prinsip yang mulia.
Pertama, dalam rangka membangun ketaatan kepada Allah, sehingga di sini seks
6 Ibid 7
Hamim Ilyas, Orientasi Seksual dari Kajian Islam, dalam S. Edy Santosa, Islam dan Konstruksi Seksualitas, (Yogya: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, The Ford Foundation dan Pustaka Pelajar, 2002), h.81-82.
8
menjadi sebuah ibadah. Kedua, pernikahan adalah untuk mewujudkan ketentraman
(sakinah), rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah), dan seks di sini
menjadi kebahagian bersama yang manusiawi. Dan ketiga, saran menciptakan
kehidupan yang bersih dari prilaku yang hanya menuruti hawa nafsu belaka, sehingga
seks di sini mempunyai makna membangun kualitas komunikasi. Jadi selain
berorientasi ibadah, seks juga dimaknai sarana membangun generasi yang baik. Seks
adalah sesuatu yang bersih dan bertujuan mulia.9
Dalam kehidupan berumah tangga, tidak hanya suami yang membutuhkan
seks, isteri pun tidak bisa membunuh naluri dasariahnya tersebut. Pada dasarnya, seks
adalah kebahagian bersama. Salah besar bila menempatkan perempuan (isteri) hanya
sebagai objek seks semata.10 Kondisi sakit, capek, tidak mood, dan bahkan
menstruasi bukanlah alasan membenarkan penolakan isteri atas ajakan suami untuk
berhubungan badan. Diakui atau tidak, suami relatif kurang begitu
mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi fisik dan psikis isteri saat hendak
mengaj
ak isteri bersetubuh.11
Di sinilah kita harus memperbaharui pemahaman dan penafsiran kita terhadap
Al-Qur’an dan Hadis agar lebih mendekati pesan sejati keduanya. Terkait hubungan
seksual suami isteri, Al-Qur’an melalui pilihan kata dalam tiap kalimat yang
dipakainya, memberi arahan dan metode yang lebih manusiawi. Ada norma dan nilai
yang mesti diperhatikan saat melakukan hubungan seksual yang pada dasarnya sakral.
9 Ibid 10
Andy Dermawan, Marital Rape, h.311-312. 11
Seorang suami digambarkan sebagai petani yang cerdas, dan kecerdasannya itu
terbukti dengan tidak menaburkan benihnya keladang secara asal dan sembarangan.
Sedangkan seorang isteri digambarkan sebagai ladang, dimana tingkat kesuburannya
selain ditentukan oleh diri sendiri, juga oleh ketekunan dan kecerdasan suami sebagai
pengga
abaikan kondisi isteri saat
melaku
rap.12
Dengan demikian, tragis dan salah kaprah apabila Al-Qur’an, tepatnya surat
Al-Baqarah ayat 223 dipahami secara harfiah. Jika kita memahaminya secara
skriptual, ia akan tampak kasar, tak manusiawi, dan meng
kan hubungan yang sejatinya bernilai ibadah ini.13
Dalam pernyataan Al-Qur’an pada surah An-Nisa ayat 19, Al-Baqarah ayat
223, dan Al-Baqarah ayat 187, bisa ditarik pelajaran: pertama, di dalam hubungan
seksual, terkandung hak sekaligus kewajiban kedua belah pihak. Sebagai hak
hubungan seksual harus bisa diakses dan dinikmati oleh keduanya (suami-isteri). Tak
hanya itu, aktivitas senggama, baik suami maupun isteri berkewajiban untuk saling
melayani dan memuaskan. Kedua, isteri maupun suami dituntut untuk saling
berdandan agar masing-masing bisa saling tertarik. Jika sama-sama tertarik, hampir
bisa dipastikan dalam persenggamaan tersebut tidak ada pihak yang merasa dipaksa
atau dirugikan. Ketiga, isteri adalah ladang untuk menanam benih dan menyambung
keturunan. Oleh karena itu, bila ingin memetik hasil atau keturunan keturunan yang
berkualitas, cara bertanamnya pun harus tepat dan benar. Keempat, pakaian adalah
12
Ibid, h.323. 13
lambang kesopanan, kerapian, kenyamanan dan perasaan aman. Suami dan isteri
harus saling menjadi pakaian buat pasangannya. Artinya, saling memberi dan
memenuhi apabila salah satunya membutuhkan. Juga saling berbagi pengertian, kasih
sayang
ntangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam
tentang seksualitas dalam perkawinan.
esusuilaan karenanya berarti
, dan tenggang rasa.14
Dari sini jelaslah, persfektif Al-Qur’an melarang adanya pemaksaan hubungan
seksual atau pemerkosaan dalam rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh suami
terhadap isteri. Karena hal ini berte
A.2. Pemerkosaan dalam rumah tangga menurut hukum Positif
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian
pemerkosaan tidak terlepas dari pengertian kesusilaan karena pemerkosaan
merupakan salah satu bagian kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Pasal
285, 286, 287, dan 288 KUHP. Istilah kesusilaan berasal dari kata susila yang berarti
beradab, sopan, tertib, atau adat istiadat yang baik. K
sesuatu yang terkait dengan adab atau sopan santun.15
Sedangkan delik kesusilaan ialah segala perbuatan yang dapat dikenai
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap aturan undang-undang. Dari
pengertian kesusilaan ini bisa dikatakan, nilai-nilai kesusilaan tidak hanya terkait
14
Alimatul Qibtiyah, Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual, dalam Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah (ed), Perempuan Tertindas?, Kajian Hadits-hadits ”Misoginis”, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan The Ford Foundation, 2003), h.233-234.
15
dengan perkara seksual yang bersifat pribadi, tetapi juga pergaulan rumah tangga,
pergaulan orang lain dimasyarakat, dan bahkan kehidupan bermasyarakat dan
berneg
HP. Oleh karena itu, perbuatan pemerkosaan disebut jika didalamnya terdapat
atau ancaman kekerasan yang membuat si korban tidak mampu
n biologis.
3.
berusia 15 tahun. KUHP, dengan demikian tidak mengenal pemerkosaan dalam
ara secara luas.16
Pemerkosaan sebagai delik kesusilaan diartikan: pertama, kekerasan atau
ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan untuk bersetubuh diluar
perkawinan. Kedua, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan
yang bukan isterinya untuk melakukan hubungan seksual sebagaimana dalam pasal
285 KU
unsur:
1. kekerasan
menolak.
2. keterpaksaan korban dalam melakukan hubunga
hubungan biologis yang terjadi secara nyata.17
Pasal 285,.286, dan 287 KUHP menegaskan, yang disebut pemerkosaan
adalah pemaksaan hubungan seksual pada perempuan bukan isteri yang sedang sadar,
pingsan, maupun belum genap 15 tahun. Pasal 288 KUHP menyebutkan pemerkosaan
terhadap isteri, namun terbatas pada isteri yang belum waktunya dikawin atau belum
16
Muyassarotussolichah, Marital Rape, Persfektif Yuridis Viktimologis, dalam Mochamad Sodik, ed. Telaah Ulang Wacana Seksualitas, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI, dan McGill-IISEP-CIDA, 2004), h.343.
17
rumah tangga atau marital rape. Bagi KUHP, yang disebut pemerkosaan hanyalah
pemaksaan hubungan seksual pada perempuan bukan isteri.18
Reformasi hukum di Indonesia terjadi dengan dikeluarkan dan dibahasnya
RUU KUHP 2000. Akan tetapi, pasal-pasal pemerkosaannya belum juga
menunjukkan pembelaannya pada kesederajatan laki-laki dan perempuan.19
Pasal 423 RUU KUHP Tahun 2000, sebagaimana dikutip Aroma Elmina
Martha, menyebutkan ketentuan-ketentuan pemerkosaan sebagai berikut:
(1) Tindak pidana pemerkosaan dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun dan
paling singkat 3 tahun. Sedangkan tindak pidana pemerkosaan yang dimaksud
adalah:
a. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan
kehendak si perempuan.
b. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan tanpa persetujuan.
c. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, sedang persetubuhan
itu terwujud lewat ancaman pembunuhan atau paksaan.
d. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan karena si perempuan
percaya bahwa ia suaminya yang sah.
e. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan berusia 14 tahun, meski
dengan persetujuan.
18
Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual terhadap Istri, h.34. 19
f. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui si
perempuan tidak berdaya dan pingsan.
(2) Dianggap juga melakukan tindak pidana pemerkosaan, bila dalam keadaan
sebagaimana dimaksud ayat (1):
a. Laki-laki memasukkan penisnya ke anus atau mulut si perempuan.
b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuh ke
vagina atau anus si perempuan.20
Meskipun Pasal 423 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2000 menyebutkan
seseorang dipidana karena memerkosa, dengan penjara paling lama 12 tahun dan
paling singkat 3 tahun, namun penjelasan Pasal 423 ayat (1) menyatakan ayat ini
tidak berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan karena pada
hakikatnya dalam sebuah perkawinan tidak mungkin terjadi pemerkosaan suami
terhadap isteri.21
Alhasil, RUU KUHP paling baru ini sebetulnya tidak mengakui pemerkosaan
dalam rumah tangga yang bisa dikenai sanksi pidana. Carol Smart, seperti dikutip
Nursyahbani Karjasungkana, berpendapat, lemahnya kedudukan perempuan
sesungguhnya merupakan konsekuensi perbedaan seksualitas manusia.22
Oleh karena itu, diperlukan rumusan baru tentang tindak pidana pemerkosaan
yang berorientasi pada relasi pada relasi berkeadilan dan esensi hubungan seksual
20
Aroma Elmina Martha, Perempuan: Kekerasan dan Hukum, Yogyakarta: UII Press), h.55-56.
21
Muyassarotussolichah, Marital Rape, h.350. 22
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak tanpa melihat status perkawinannya.
Setiap hubungan seksual dilakukan tanpa persetujuan (consent), menurut
Nursyahbani Karjasungkana, haruslah dianggap sebagai pemerkosaan.23 Meskipun
demikian, perlu disadari apa yang disebut consent tersebut, dalam praktiknya,
menjadi sangat problematik dan kompleks bila dihubungkan dengan kemampuan
perempuan menggunakan kekuasaanya untuk menyatakan persetujuannya atau tidak,
khususnya bila dihubungkan dengan masalah ketidakberdayaan terkait gender dan
status sosial (gender and social powerlessness).24
Dan untuk mengakomodir keinginan masyarakat yang menginginkan adanya
undang-undang tentang pemerkosaan dalam rumah tangga, maka pada tanggal 17
September 2004, Indonesia telah memiliki Undang-Undang RI tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU RI PKDRT). Dalam undang-undang ini pasal
yang mengatur tentang pemerkosaan dalam rumah tangga terdapat pada Pasal 8 yang
berbunyi, “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (c)
meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu”.25
23 Ibid 24
Ibid 25
Sehubungan dengan hal tersebut, dinyatakan dalam penjelasan Pasal 8: yang
dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan
yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara
tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.26
Adapun mengenai hukuman bagi para pelakunya terdapat dalam pasal 46
yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf (a) dipidana dengan pidana paling lama 12
tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”.27
Meskipun telah ada undang-undang yang dapat digunakan untuk menuntut
suami yang melakukan pemerkosaan dalam rumah tangga. Akan tetapi pada
prakteknya pemerkosaan dalam rumah tangga mengalami kendala untuk diproses
secara hukum. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Terjadi diruang yang sangat privat sehingga pada umumnya tidak ada orang
yang mengetahui selain pelaku dan korban.
2. Sebagaimana bentuk kekerasan dalam rumah tangga lainnya, pemerkosaan
dalam rumah tangga masih dianggap sebagai aib keluarga yang tabu untuk
diceritakan pada orang lain.
3. Terjadi pada pasangan yang sah untuk melakukan hubungan seksual, baik
menurut hukum Negara, maupun hukum Agama.
26
Ibid, h.11. 27
4. Sebagaimana perkosaan diatur diluar perkawinan, unsur paksaan pada
pemerkosaan dalam perkawinan seringkali sulit dibuktikan secara fisik.28
Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan
seksual yang terjadi dalam relasi antara suami isteri, maka yang berlaku adalah delik
aduan. Dimana korban itu sendiri yang melaporkan secara langsung kepada
kepolisian, atau memberi kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkannya.
B. Macam-macam Pemerkosaan
Perbedaan antara pemerkosaan didalam dan diluar perkawinan hanyalah
terletak pada ada atau tidaknya status perkawinan antara pelaku dan korban. Oleh
karena itu, semua bentuk pemerkosaan diluar perkawinan dapat pula terjadi didalam
perkawinan. Steven Bek dalam bukunya Power, Crime, Wistification, sebagaimana
dikutip oleh Nur Rofiah, membagi jenis perkosaan menjadi lima, yaitu:
1. Sadistic Rape
Yaitu perkosaan dimana pelaku menikmati kesenangan erotik bukan melalui
hubungan seksual, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin
dan tubuh korban. Contohnya: isteri yang suaminya mengalami gangguan kejiwaan
dan kelainan seks.
28
2. Anger Rape
Yaitu perkosaan dimana pelaku menganiaya secara seksual dengan
menjadikan korban sebagai objek untuk melampiaskan perasaan geram dan marah
yang tertahan. Contohnya: suami mendapatkan tekanan di tempat kerjanya atau
bermasalah dengan saudara isteri, dan amarahnya itu dia lampiaskan terhadap
isterinya.
3. Domination Rape
Yaitu perkosaan dimana pelaku menganiaya secara seksual untuk
menunjukkan superioritas atas korban. Contohnya: isteri yang kedudukan ekonomi,
intelektual dan sosialnya lebih rendah dari suami.
4. Sudektive Rape
Yaitu perkosaan yang terjadi setelah pelaku dan korban sama-sama
menciptakan situasi meransang, namun karena alasan tertentu, seperti tidak siap
untuk hamil, korban tetap tidak menghendaki persetubuhan. Contohnya: isteri yang
belum siap hamil dikarenakan masalah ekonomi, kesehatan fisik atau masalah
kejiwaan isteri yang tidak memungkinkan. Isteri yang sebenarnya hanya ingin
bermesraan dengan suami. Karena suami terangsang akhirnya memaksa isteri untuk
melakukan persetubuhan.
5. Exploitation Rape
Yaitu perkosaan yang terjadi dimana pelaku diuntungkan oleh lemahnya
pada pelaku, juga suami yang diuntungkan oleh tidak adanya perlindungan hukum
bagi isteri yang diperkosa oleh suami29.
Nurul Ilmi Idrus dalam sebuah penelitiannya, membagi macam-macam
pemerkosaan dalam rumah tangga, yaitu:
1. Hubungan seksual dengan ancaman.
Yaitu berhubungan seksual denagan cara mengancam dengan senjata tajam
tapi tidak melukai, atau dengan kekerasan psikologis dan ancaman sosial, misalnya
dengan cara mencaci-maki yang menimbulkan penghancuran kepribadian.
2. Hubungan seksual dengan paksaan.
Yaitu berhubungan seksual dengan cara memukul atau menghempaskan
korban ketempat tidur apabila korban menolaknya atau pemaksaan hubungan seksual
berkali-kali dalam waktu yang bersamaan akan tetapi korban tidak menyanggupinya.
3. Hubungan seksual dengan pemaksaan selera sendiri
Yaitu pemaksaan hubungan seksual sesuai selera yang tidak disukai korban,
misalnya, korban dipaksa melakukan anal seks (memasukkan venis kedalam anus),
atau oral seks (memasukkan venis kedalam mulut).
4. Hubungan seksual dibawah pengaruh obat-obat terlarang dan minuman keras.
Yaitu sebelum melakukan hubungan seksual suami atau isteri memakai
obat-obatan atau minuman keras sehingga akal dan pikiran mereka tidak sadar ketika
melakukan hubungan tersebut atau bahkan timbul prilaku-prilaku yang tidak normatif
dalam berhubungan30.
29
Nur Rofiah, “Larangan Islam atas Perkosaan dalam Perkawinan”, h.2. 30
C. Sebab Pemerkosaan dan Dampaknya C.1. Sebab pemerkosaan dalam rumah tangga
Berdasarkan penelitian Nurul Ilmi Idrus, diketahui beberapa penyebab
pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape) yang secara garis besar bisa
dikelompokkan menjadi dua macam yaitu penyebab langsung dan tidak langsung.
Penyebab langsung pemerkosaan dalam rumah tangga ialah:
1. Libido yang tidak berimbang. Dorongan seksual dimiliki setiap individu, tetapi
kadar dan sifatnya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki biasanya
lebih bisa dan berani mengekspresikannya ketimbang perempuan.
2. Penolakan isteri. Penolakan yang antara lain didorong oleh cara suami
memperlakukan isteri saat melakukan senggama (misalnya, disertai kekerasan dan
ketidakwajaran) atau kondisi isteri yang memang tengah tidak bergairah.
Penolakan ini yang biasanya diartikan suami sebagai pembangkangan karena
telah menancap kuat keyakinan bahwa melayani suami adalah kewajiban isteri.
3. Suami terpengaruh oleh alkohol atau obat-obatan. Orang mabuk akan bertindak
berlebihan dan tidak terkontrol.31
Sementara penyebab tidak langsungnya ialah:
1. Kurangnya komunikasi. Kebahagian suami isteri terletak pada keterbukaan
diantara mereka. Sayangnya seks dalam rumah tangga kurang dibicarakan
terang-terangan, hal ini belum lagi diperparah oleh budaya yang menganggap perempuan
31
(isteri) hanya berkewajiban melayani suami, tidak kurang tidak lebih. Hal ini
menbuat isteri seringkali malu mengambil inisiatif lebih dahulu dalam masalah
seks, meski saat itu ia betul-betul sedang menginginkannya. Maka, ia tampak
menerima diri sebagai objek pemenuhan seks suami belaka.
2. Suami pernah diketahui nyeleweng. Selingkuhnya seorang suami dengan
perempuan lain, secara tidak langsung memicu kekerasan seksual dalam
perkawinan. Isteri akan dengan sendirinya ogah-ogahan saat berhubungan seks
dengan suami karena terbayang perbuatan sang suami dengan “simpanannya”.
Sikap dingin isteri ini, pada gilirannya, membuat suami agresif, kasar, dan bahkan
eksesif (keterlaluan). Atau bisa jadi, suami akan memaksakan cara berhubungan
seks yang tidak bisa dilakukan isterinya.
3. Ketergantungan ekonomi. isteri yang tidak mandiri secara ekonomi hanya
bersandar kepada suami memiliki posisi tawar (bargaining position) lemah dalam
urusan rumah tangga, pun dalam seks. Isteri rentan dipojokkan lagi posisinya bila
menolak paksaan suami demi berhubungan intim, lebih-lebih saat disertai
ancaman pemutusan suplai ekonomi. Isteri tampak akan mengiyakan, meskipun ia
sedang tidak menghendaki.
4. Kawin paksa. Kawin paksa lumrah membuat komunikasi yang baik dan wajar
antara suami dan isteri sulit terjalin, persoalan-persoalan rumah tangga pun
kemudian jarang dibicarakan secara terbuka, termasuk persoalan seksualitas.32
32
Patricia Mahoney, sebagaimana dikutip Siti ‘Aisyah, memaparkan sebab-sebab
pemerkosaan dalam rumah tangga sebagai berikut:
1. Pengukuhan ulang sebuah kuasa, dominasi, dan kendali. Pemaksaan hubungan
intim tidak selalu digerakkan hasrat seksual, ia kerap juga dilakukan sebagai
pengukuhan kembali kuasa, dominasi, dan kendali suami terhadap isteri.
2. Wujud kemarahan. Pemaksaan hubungan seksual dilakukan sebagai wujud
kemarahan suami terhadap isteri saat ia tidak memenuhi permintaan atau
perintahnya.
3. Stereotip atau “konsepsi” tentang bagaimana seorang isteri atau perempuan
bersikap. Misalnya melayani ajakan suami senggama adalah kewajiban isteri,
isteri dianggap bisa menikmati senggama yang dipaksakan, atau stereotip
perempuan berkata “tidak” meskipun hatinya “iya”.33
Dan pemerkosaan dalam rumah tangga terjadi karena rentannya posisi
perempuan dalam masyarakat terhadap kekerasaan, yang antara lain didukung oleh:
1. Masih dominannya nilai patriarki dalam masyarakat kita. Nilai inilah yang
membentuk aturan tidak tertulis “istri adalah milik suami”. Dengan kata lain,
pernikahan dipandang sebagai penyerehan diri sepenuhnya oleh istri terhadap
suaminya, dan sudah menjadi tugas istri melayani suami dalam segala hal. Hal
inilah yang menjadi sebab bahwa suami itu berhak untuk melakukan kekerasan
seperti pemukulan, melukai tubuh, hati atau jiwa istri, melalui bentakan hinaan,
33
dan bentuk-bentuk kekerasaan lainnya jika istri menolak keinginan suami untuk
berhubungan seksual. Disisi lain, istri yang cara pandangnya sudah dibentuk oleh
masyarakat yang mengutamakan kepentingan laki-laki, merasa sudah menjadi
kewajiban bagi mereka untuk tetap siap sedia melayani suaminya, sehingga
mereka tidak mampu menolaknya ketika mereka sedang tidak inign atau tidak
bisa. Akibatnya hubungan seksual sering kali berlangsung dingin dan tidak
dinikmati bahkan menyakiti istri, meskipun tanpa perlawanan dan penolakan
langsung dari istri.
2. Pemahaman keliru mengenai penafsiran ajaran agama. Sering kali ajaran agama
disalah tafsirkam yang berdampak pada perbedaan posisi antara perempuan dan
laki-laki atau menghadirkan perlakuan diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai
contoh dalam hadits riwayat Imam Muslim:
ﺔﻜﺋ
ﻼ ا
ﺎﻬﺘﻨ
نﺎ ﻀﻏ
ﻮهو
ﺑﺄﻓ
ﻪﺳاﺮﻓ
ﻰ ا
ﻪ اﺮ ا
ﺟرﺎ داذا
ﺼ
ﻰﺘﺣ
Artinya: ”jika suami mengajak isterinya senggama, dan isterinya menolak maka para malaikat mengutuk isteri tadi sampai pagi”34.
Apabila hadis ini diartikan secara harfiah, maka menimbulkan ketakutan yang
yang besar bagi istri untuk menolak keinginan suami. Padahal menurut Forum
Kajian Kitab Kuning (FK 3) yang menelaah Kitab U’qud al Lujjayn (mengatur
relasi suami-istri) dalam hadis diatas terdapat kata al-la’anah yang seringkali
dipahami secara kurang tepat. Sebaiknya kata laknat dipahami dalam konteks
34
sosial kemanusian, kasih sayang dan kedamaian dalam kehidupan. Jika diartikan
secara kontekstual, hadis ini tidak hanya ditujukan kepada istri saja melainkan
juga kepada suami.
KH Muhyiddin Abdusshomad berpendapat bahwa hadis-hadis laknat bagi istri
yang tidak melayani suami, itu harus diinterpretasikan sebagai motivasi terhadap
istri agar selalu berusaha melakukan penyesuaian dengan suami, dan begitu juga
sebaliknya. Istilah laknat itu sendiri tidak berarti haram. Buktinya para ulama
fikih masih memberi batas apabila tidak ada udzur syar’i seperti sakit atau capek
yang luar biasa.35
Adapun Mustafa Muhammad Imarah mengatakan, bahwa laknat malaikat itu
muncul bila penolakan istri dilakukan ”tanpa alasan”. Sedangkan Wahbah
az-Zuhaili berpendapat bahwa laknat itu terjadi apabila istri menolak senggama,
padahal ia ”sedang lonngar dan tidak takut disakiti”.36
C.2. Dampak negatif pemerkosaan dalam rumah tangga
Dampak negatif yang timbul dari pemerkosaan dalam rumah tangga ini dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: dampak medis dan dampak psikis.37
1. Dampak Medis
35
KH. Mahyuddin Abdusshomad, ”Perkosaan dalam Rumah Tangga?”, artkel diakses pada 20 September 2009 dari http//www.rahima.or.id
36
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, cet.VII, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 335.
37
Adapun dampak medis yang terjadi dalam pemerkosaan dalam rumah tangga
ialah luka pada vagina dan luka fisik lain yang menyakitkan apabila dalam hubungan
suami istri terlalu lama dan dipaksakan misalnya suami masih dalam pengaruh obat
terlarang atau minuman keras atau suami melakuakan kekerasan fisik saat senggama.
Dan dalam beberapa kasus lain, istri bahkan bisa mengalami memar di wajah, luka
kepala, pecah bibir, patah gigi, dan perihnya pendarahan vagina. Ini biasanya
diakibatkan dari perlakuan kasar suami ketika berhubungan seks yang dipaksakan
ketika istri sedang kelelahan dan ketiduran. Adapun akibat lain dari hubungan seks
yang dipaksakan saat istri kelelahan dan ketiduran ialah sulitnya proses persalinan,
bayi lahir prematur, dan keguguran.38
Dan akibat yang ditimbulkan apabila suami memaksakan selera seksualnya
ialah luka pada dubur (bila hubungan itu dilakukan secara anal), muntah-muntah,
penyakit kelamin menular, bahkan AIDS. Adapun istri korban pemerkosaan dalam
rumah tangga biasanya tidak mau berobat ke dokter atau tabib dikarenakan malu.
Kalaupun ke dokter ia enggan menjelaskan sebab sebenarnya dari penyakitnya karena
tidak ingin kehidupan pribadinya diketahui orang lain
2. Dampak Psikis
Dampak psikis yang terjadi dalam pemerkosaan dalam rumah tangga ini ialah
dapat menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan atau ketakutan, dan trauma
berhubungan seks. Adapun akibat lain, istri tidak lagi percaya diri karena tidak
38
mampu melayani suami dengan baik, bahkan merasa dirinyalah penyebab masalah
ini. Dan pada tingkat yang parah istri akan mengalami ketakutan yang luar biasa
(paranoia), sampai-sampai ia merasa terus terancam oleh lingkungannya.39
Selanjutnya, dampak psikis ini juga terbagi dalam dua kategori yaitu, dampak
psikis jangka pendek (sort term effect) dan dampak psikis jangka panjang (long term
effect). Damapak psikis jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari
setelah kejadian. Korban biasanya marah, jengkel, terhina, dan merasa malu.
Gangguan emosional ini, pada banyak kasus, ditandai dengan gejala sulit tidur
(imsomnia) dan berkurangnya selera makan (lost apatite).40
Adapun dampak psikis jangka panjangnya ialah timbulnya sikap atau persepsi
negatif terhadap laki-laki (suami) dan seks karena trauma yang ia tanggung. Trauma
adalah luka jiwa yang dirasakan oleh korban usai mengalami hal-hal yang dirasanya
diluar batas wajar dan abnormal. Dan apabila mengalami gejal-gejala khas, seperti
mimpi-mimpi buruk (nightmares) atau ingat-ingatan mendadak akan
kejadian-kejadian sebelumnya (flashback), yang berlanjut terus hingga lebih dari 30 hari, maka
sangat mungkin korban menderita stres pasca taruma (post-traumatic stress
disorder).41
Menurut Elli Nurhayati, ada tiga kategori gejala paling umum stres pasca
trauma yaitu:
39
Milda Marlia, Marital Rape (kekerasan seksual terhadap istri), h. 24. 40
Elli Nur Hayati, Paduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan: Konseling Berwawasan Gender, (Yogyakarta: Rifka Annisa dan Pustaka Pelajar, 2000), h. 45-46.
41
a. Hyper aruosal: gejala ini dipengaruhi oleh kerja hormonal tubuh yang ikut
berubah seiring perubahan kondisi psikis. Gejala paling sering adalah agresi,
insomnia, dan reaksi emosional yang intens, seperti depresi yang bisa
membuat korban ingin bunuh diri. Gejala ini indikasinya persistant continuing
espectatiaon of danger atau perasaan seakan-akan sebuah kejadian buruk
terus-menerus terjadi.
b. Intrusion: dalam diri korban terjadi contant reliving of the traumatic event
(korban tidak mampu lagi menghentikan munculnya ingatan-ingatan akan
peristiwa mengerikan yang ia alami). Gejala ini biasanya berupa nigtmares
(mimpi-mimpi buruk) dan flashback (ingatan-ingatan yang terus berulang
seperti kilas balik), dan pada tingkat parah berupa kekacauan ingatan.
c. Numbing: mati rasa. Gejala ini wajar adanya, namun tidak wajar bila terus
menerus berlangsung hingga si korban menjadi indefferent (dingin dan acuh
tak acuh) dan pada akhirnya detached (memencil dan terpencil) dari interaksi
sosial.42
Lebih jauh lagi, apabila hal ini terus terjadi secara berkelanjutan dan terus
menerus, maka korban akan dihinggapi karakter sebagai berikut yaitu : rendah diri,
tidak percaya diri, selalu menyalahkan diri sendiri, dan mengalami gangguan
reproduksi (misalnya infertilitas dan ganguan siklus haid) hal ini disebabkan karena
merasa tertekan atau stres.43
42
Ibid h. 47-49. 43
Jadi secara garis besar, dampak pemerkosaan dalam rumah tangga dapat kita
simpulkan sebagai berikut:
1. Penderitaan fisik. Hubungan badan yang dipaksakan atau tanpa melalui
“pemanasan” (foreplay) terlebih dahulu, biasanya mengakibatkan rasa sakit
pada istri diwilayah reproduksinya, hingga ia tak bisa menikmati hubungan
seks itu.
2. Penderitaan batin. Karena trauma, korban akan takut melakukan aktivitas
seksual. Hubungan seksual bagi korban bukan lagi kebutuhan atau ibadah,
tetapi siksaan tak terperi. Pada kasus pemerkosaan dalam rumah tangga ini,
biasanya istri yang dijadikan objek seksual yang tidak mempunyai hak secuil
pun untuk menunda atau menolak sebuah hubungan seks.
3. Korban pemerkosaan ini sering merasa terasing dari masyarakat. Ia merasa
bahwa tindakan suaminya disebabkan kesalahannya. Sebab, menanggung rasa
bersalah berlebihan, istri tidak mampu melakukan aktivitas positif untuk masa
depan keluarganya. Hal ini tentu mengganggu kelangsungan dan keutuhan
keluarga sendiri.
4. Timbulnya konflik yang berakhir dengan perceraian. Karena terus dikerasi
dan dikasari oleh pelaku, maka korban terdorong untuk memberontak dan
menentang. Dari sini timbul masalah besar yang bisa mengarah pada
perceraian.44
44
Dan dari uraian diatas bisa kita tegaskan bahwa problem pemerkosaan dalam
rumah tangga adalah problem kekerasan seksual. Sebab, pada pemerkosaan dalam
rumah tangga terdapat unsur-unsur pemaksaan seksual sebagaimana yang terjadi
pada tindak pemerkosaan reguler. Meskipun pada pemerkosaan reguler si pelaku dan
si korban bukan pasangan suami istri, tapi esensinya sama, yakni pemaksaan
hubungan seksual.45
D. Penanggulangan Pemerkosaan
Sebuah pepatah mengatakan ”lebih baik mencegah dari pada mengobati”.
Mungkin demikianlah kata-kata yang cocok untuk kasus ini. Sebelum semuanya
menjadi masalah alangkah baiknya bila dilakukan usaha-usaha pencegahan agar tidak
terjadi pemerkosaan dalam rumah tangga yang tidak diinginkan oleh siapa pun,
karena apabila ini terjadi, dampak negatifnya sangat berbahaya. Oleh karena itu setiap
orang baik itu masyarakat ataupun pemerintah wajib melakukan pencegahan dan
penanggulangan agar kasus pemerkosaan dalam rumah tangga ini tidak terjadi.
Sebelum membahas upaya pencegahan yang diatur undang-undang, ada
baiknya penanggulangannya melalui pendekatan agama dan ilmu pengetahuan,
misalnya memberi pemahaman kepada suami isteri bahwa persamaan hak seks antara
suami dan isteri adalah sama, karena seks adalah natur, naluri, dan sarana regenerasi
manusia. Keberadaanya melekat dalam nadi kehidupan. Dan tak seorang pun bisa
mengintervensi soal urusan seks manusia, sebagaimana juga tak mungkin mengatur
45
arah kehidupannya. Seks merupakan kedaulatan diri, harga diri, dan mahkota
kehidupan. Ia hanya bisa diberikan dan dilakukan lewat kesadaran diri dan lewat
kontak (al-’aqd) atau kesepakatan bersama (’an taradh). Perlakuan diluar ini adalah
pemerkosaan, pengekangan, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang
didalam bahasa Al-Qur’an disebut az-zina.46
Pada dasarnya seks menganut kebebasan. Manusia memiliki hak penuh untuk
menikmati dan memperlakukan organ-organ seksnya tersebut sesuai dengan
kehendak dan kesadarannya, yang tentu saja diharapkan tidak mengabaikan
norma-norma yang telah digariskan oleh ajaran agama.47
Islam pada dasarnya, menganut prinsip kesetaraan, dan keadilan dalam hal
hubungan seksual laki-laki dan perempuan.48 Inilah yang dinyatakan Al-Qur’an
secara metaforik:
...
Artinya:
“…mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…”
Pakaian adalah merupakan simbol kebutuhan dasar laki-laki dan perempuan.
Kebutuhan dasar yang penulis maksud adalah ketentraman, kedamaian, ketenangan.
Dalam diri laki-laki, ada ketentraman bagi perempuan, pun sebaliknya, dalam diri
perempuan ada kedamaian bagi laki-laki.
46
Marzuki Wahid, “Mendaulatkan Seksualitas Perempuan”, Swara Rahima, no.5. Th ke-2 (Juli 2002), h.35.
47
Milda Marlia, Marital Rape: Kekerasan Seksual terhadap Isteri, h.54. 48
Disamping itu juga ayat diatas secara langsung juga mengisyaratkan bahwa
suami isteri harus sejajar dan bermitra. Tujuan perkawinan akan tercapain apabila
pasangan suami isteri berkedudukan sejajar dan saling memosisikan diri sebagai
mitra. Pasangan yang sejajar dan bermitra adalah pasangan yang:
1. Saling mengerti, yakni saling mengerti latar pribadi pasangan dan diri sendiri.
2. Saling menerima, yakni menerima kelebihan dan kekurangan pasangan dan
diri sendiri.
3. Saling mempercayai.
4. Saling mencintai. Dalam pergaulan dan pembicaraan, saling menunjukkan
cinta, perhatian, dan sikap bijak. Tidak saling egois dan mudah tersinggung.49
Dan untuk mencegah terjadinya pemerkosaan dalam rumah tangga perlu
adanya relasi yang baik atau dalam kitab Fikih biasa disebut mu’asyarah bil ma’ruf
atau yang biasa diartikan pergaulan, persahabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan
yang dibangun secara bersama-sama dengan cara-cara yang baik dan sesuai tradisi
dan situasi masyarakat, serta tidak menyalahi norma-norma agama, akal sehat, dan
fitrah manusia.
Mu’asyarah bil ma’ruf dalam kehidupan perkawinan ditandai oleh adanya
sikap saling memberi dan menerima antara suami dan isteri, juga sikap saling
mengasihi dan menyayangi. Kedua belah pihak tidak saling meperlihatkan kebencian,
dan tidak saling mengabaikan hak dan kewajiban masing-masing.50
49
Khoiruddin Nasution, Islam tentang Relasi, h.61. 50
Dan prinsip relasi yang baik adalah menuntut adanya kebersamaan dalam
banyak hal, termasuk dalam hal hubungan seksual antara suami isteri. Yang satu
harus memperhatikan yang lain, begitu juga sebaliknya. Hubungan seksual yang
menyenangkan satu pihak dan merugikan pihak lain yang tentunya bertentangan
dengan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf ini. Alhasil, terkait relasi seksual suami isteri,
Islam mengajarkan kesetaraan dan kepatutan.51
Adapun dalam Undang-Undang RI No.23 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga. Kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam
penanggulangannya diatur dalam bab V yang terdiri dari bab 11-15 yaitu:
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah
tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksakan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 11,
pemerintah:
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan
dalam rumah tangga;
51
c. menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga;
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
mentri.
(3) Menteri dapat melakukan kordinasi dengan instansi terkait dalam melakukan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan daerah sesuai
dengan fungsinya dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program
pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman
korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing,
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjdinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya
untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Mudah-mudahan dengan pendekatan secara agama, ilmu pengetahuan dan
hukum positif bisa menimalisir kejadian-kejadian atau kasus-kasus tentang
pemerkosaan dalam rumah tangga. Karena bukan kalangan orang awam saja atau
orang buta tentang agama atau ilmu pengetahuan yang mengalami kasus ini akan
tetapi kalangan berpendidikan tinggi juga mengalami kasus ini.52
52
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
A. Pengertian dan Macam-macam Perceraian
“Perceraian” berasal dari kata “cerai” yang artinya “putus ikatan hubungan
rumah tannga (suami istri; pisah, lepas, dan sebagainya)”. Sedangkan “perceraian”
berarti “hal yang berkenaan dengan cerai (tentang hubungan suami istri), memisahkan
sesuatu dengan lainnya”.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “cerai” diartikan
“pisah, putus hubungan sebagai suami istri; talak”. Sedangkan “perceraian” diartikan
sebagai “perpisahan, perihal bercerai (antara suami istri), perpecahan, atau proses,
perbuatan, cara menceraikan”.
Dalam Hukum Islam dikenal beberapa macam perceraian yaitu talak, khulu’,
zihar, ila’, dan li’an.
1. Talak
a. Pengertian talak
Talak berasal dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan.
Dalam istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya
hubungan perkawinan.2 Sedangkan menurut istilah syara’, ada beberapa defenisi
yang dilontarkan oleh beberapa ulama yaitu:
Abdurrahman al-Jaziri:
1
Amran YS Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, cet V, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 121.
2 Ibid
إ
ز
ا
ﺔ
ﻨ ا
ﻜ
حﺎ
أ
ْو
ْ
ﺼ
نﺎ
ﺣ
ﻪ
ﺑ
ْﻔ
ﻆ
ْ
ﺼ
ْﻮ
ص
Artinya:“Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan) pelepasan dengan menggunakan kata-kata tertentu”.
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya mendefenisikan talak dengan:
ﺣ
ر
ﺑا
ﻄ
ﺔ
ﺰ ا
و
جا
و
أْ
ﻬ
ءﺎ
ْا
ﺔ
ﺰ ا
ْو
ﺟ
ﻴﺔ
.
Artinya:“Talak artinya lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan atau hubungan suami istri”.
Abu Zakaria al-Anshari mengartikan talak dengan :
ﺣ
ْﺪ
ا
ﻨﻜ
حﺎ
ﺑ
ْﻔ
ﻆ
ﻄ ا
قﺎ
Artinya:“Melepaskan ikatan nikah dengan menggunakan lafadz talak”.
Dari beberapa defenisi talak diatas tersebut, maka dapat kita ambil kesimpulan
bahwa talak adalah hilangnya atau lepasnya ikatan perkawinan, hanya saja ada
beberapa mainstream yang mengakibatkan perbedaan dalam mendefenisikan arti
talak. Sebagian ulama menekankan talak pada akibat hukumnya, yaitu hilangnya
hubungan suami istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
suami istri. Sedangkan sebagian ulama lainnya berorientasi pada tindakan seseorang
yang bertujuan untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan lafadz
tertentu. Adapun arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan yang dikemukakan
oleh Abdurrahman al-Jaziri adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang
dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu yang
terjadi dalam talak raji’.
b. Macam-macam Talak
Ditinjau dari segi dijatuhkannya, talak dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah
Rasulullah SAW. Dikatakan sunni jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a. Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri
yang belum pernah digauli, maka tidak termasuk talak sunni.
b. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam
keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyyah, perhitungan iddah
bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak
terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid,
atau sedang hamil, atau ketika istri sedang haid, semuanya tidak termasuk
dalam kategori talak sunni.
c. Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik dipermulaan,
dipertengahan, maupun diakhir suci, walaupun beberapa saat lalu datang
haid.
d. Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu
dijatuhkan.3
2. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak atau bertentangan dengan
tuntutan sunnah dan tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.
3
Yang termasuk talak bid’i:
a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik dipermulaan haid
maupun dipertengahannya.
b. Talak yan dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli
oleh suaminya dalam keadaan suci yang dimaksud.
3. Talak la sunni wa la bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni
dan tidak pula termasuk talak bid’i yaitu:
a. talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
b. talak yang dijatuhkan terhadap istri yang pernah haid, atau istri yang telah
lepas haid.
c. talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.4
Adapun talak ditinjau dari tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan
sebagai ucapan talak, maka talak terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Talak sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan
tegas. Talak dengan kata-kata yang jelas misalnya mencakup perkataan
seperti: talak, firaq, dan sarah. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad seperti disebutkan dalam al-Qur’an. Adapun beberapa contoh talak
sharih sebagai berikut:
• engkau saya talak sekarang juga, engkau saya cerai sekarang juga
• engkau saya firaq sekarang juga, engkau saya pisahkan sekarang juga
• engkau saya sarah sekarang juga, engkau saya lepaskan sekarang juga
4
2. Talak kinayah, yaitu talak dengan memggunakan kata-kata sindiran atau
samara, seperti suami berkata pada istrinya:
• Engkau sekarang telah jauh dari diriku
• Selesaikan sendiri segala urusanmu
• Janganlah engkau mendekati aku lagi
Mengenai kedudukan talak dengan kata-kata kinayah ini, bergantung kepada
niat si suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan
talak, maka jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut tidak
bermaksud menjatuhkan talak, maka talak tidak jatuh.5
Kemudian jika kita tinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas
suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Talak Raji’, yaitu talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada
istrinya (rujuk) sepanjang istrinya tesebut masih dalam masa iddah. Salah satu
diantara syaratnya adalah bahwa si istri sudah pernah digauli, sebab istri yang
dicerai sebelum dicampuri tidak mempunyai masa iddah, berdasarkan firman
Allah SWT yang berbunyi:
☺
☺
☺ ☺
☺
☯ ⌧
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
5
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”.
Adapun syarat lainnya adalah, talak tersebut tidak menggunakan uang pengganti
dan tidak termasuk syarat untuk melengkapi talak tiga.6
Setelah terjadi talak raj’i maka istri wajib beriddah, dan apabila dikemudian hari
suami ingin kembali kepada bekas istrinya sebelum berakhir masa iddahnya,
maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa
iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka
dengan berakhirnya masa iddah tersebut, maka kedudukan talak berubah dari
talak raj’i berubah menjadi talak ba’in. dan bila sesudah berakhirnya masa iddah
itu suami ingin kembali, maka wajib hukumnya melakukan akad nikah baru dan
dengan mahar yang baru pula. Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan
kedua saja, hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat
229:
⌧
...
Artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan Allah ialah talak yang
dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh
memelihara kembali bekas istrinya setelah talak pertama dengan cara yang baik,
6
dan demikian juga dengan talak yang kedua. Arti memelihara kembali inilah yang
disebut dengan merujuknya dan mengembalikannya ke dalam ikatan perkawinan
dan berhak mengumpulinya dengan cara yang baik. Hak merujuk hanya terdapat
dalam talak raj’i.
2. Talak Ba’in, yaitu talak yangi tidak memiliki hak untuk rujuk kepada wanita yang
ditalaknya. Mengenai talak ba’in ini. Para fuqaha telah sependapat bahwa talak
tersebut karena belum ada pergaulan, karena adanya bilangan tertentu, dan karena
adanya penerimaan ganti pada khulu’, meski masih diperselisihkan diantara
fuqaha, apakah khulu’ itu talak atau fasakh.7
Talak ba’in terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak Ba’in Sughra, adalah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya, bekas
suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam
masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya.
b. Talak Ba’in Kubra, yaitu talak tiga dimana dalam talak tersebut suami
tidak bisa rujuk kembali kepada bekas istrinya dan tidak boleh menikah
kembali, kecuali bekas istri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain,
dan telah bercampur dengan laki tersebut, kemudian diceraiakan
laki-laki tersebut, serta masa iddahnya juga telah habis dengan laki-laki-laki-laki
7