• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI

DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

PUTRI KOMALASARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PUTRI KOMALASARI. Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh AHMAD BUDIAMAN.

Selama ini industri mebel Indonesia setiap tahunnya kekurangan bahan baku kayu jati, karena pasokan kayu jati hanya berasal dari Perum Perhutani dan kayu rakyat. Sementara itu, pemanfaatan jati masih belum dilakukan secara optimal, hal ini ditunjukkan oleh adanya kayu sisa di lokasi tebangan. Melihat kondisi seperti ini, inisiatif untuk memanfaatkan kayu sisa penebangan jati diharapkan dapat mengatasi kekurangan pasokan bahan baku tanpa mengorbankan sumberdaya hutan yang kita miliki.

Informasi mengenai tingkat pemanfaatan dan potensi kayu sisa pemanenan jati di Indonesia, terutama pada hutan rakyat masih sangat minim. Guna mendapatkan data potensi kayu sisa penebangan jati di lokasi tebangan pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan Metode Pohon Penuh (Whole Tree Method). Berdasarkan metode ini, seluruh sortimen kayu bulat (tunggak, batang, cabang dan ranting).yang dihasilkan oleh tiap pohon yang dipanen diukur dimensinya, kemudian diklasifikasikan menurut persyaratan pemotongan panjang sortimen kayu bundar jati pada SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 mengenai klasifikasi limbah pemanenan kayu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volume total 30 pohon termasuk kulit berdasarkan pengukuran sampai diameter 3 cm adalah 34,98 m³ dengan nilai rata-rata per pohon 1,17 m³. Sejumlah 23,32 m³ (66,57%) berupa kayu sisa dan kulit yang belum termanfaatkan dengan nilai rata-rata per pohon 0,78 m³. Volume terbesar berasal dari sebetan dengan nilai 8,26 m³ dan presentase dari total kayu sisa sebesar 35,44% dan volume terkecil berasal dari tunggak yaitu 0,73 m³ (3,12%). Sejumlah 68,31% masih berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai sortimen kayu bulat, yaitu sebesar 0,16 m³/pohon dengan proporsi cabang dan ranting 47,20%, 46,98% batang atas dan sisanya (5,82%) merupakan potongan pendek.Tingginya presentase kayu sisa disebabkan oleh pemanfaatan kayu yang hanya sampai pada ukuran yang dibutuhkan untuk pembuatan kayu persegian.

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kuantifikasi Kayu Sisa

Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi

di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara adalah benar-benar hasil karya

saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan

sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2009

Putri Komalasari

(4)

Judul Skripsi : Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe

Selatan, Sulawesi Tenggara

Nama : Putri Komalasari

NIM : E24104075

Menyetujui:

Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop.

NIP. 131 878 495

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr. NIP : 131 578 788

(5)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan

bimbingan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi dengan judul Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi

Tenggara di bawah bimbingan Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop.

Skripsi ini merupakan karya ilmiah dari hasil penelitian di Koperasi Hutan

Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang dilaksanakan

dari bulan Mei 2008 sampai dengan Juni 2008.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah (Ir. Ismail TA, Dipl. HE), Nyak (Cut Nursafrina), serta seluruh keluarga atas

dorongan, dukungan, doa dan kasih sayangnya.

2. Bapak Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop. selaku pembimbing atas segala

dukungan, arahan, bantuan dan bimbingannya.

3. Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho

Nurrochmat, M. Sc. F. Trop selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif.

4. Bapak Warma S. selaku Ketua KHJL, Bapak Nirwan, Bapak Khalik, Bapak Tilu

dan rekan-rekan dari LSM JAUH-Sultra, Bapak Sugeng dan Bapak Arlan dari

Tropical Forest Trust, Bapak Onte dari Perkumpulan Telapak, Bapak Rahman,

Bapak Siong, pengurus dan semua anggota KHJL, keluarga Bapak Hendro dan

keluarga Bapak Husen atas segala bantuan, perhatian, persahabatan dan

keramahannya.

5. Rekan-rekan Pemanenan Hasil Hutan, THH, BDH, KSHE dan MNH angkatan 41,

40, 39 dan 38 untuk kebersamaannya.

6. Rekan, teman, sahabat dan keluarga: Aswita Lewenussa, Indri Rezania, Yolanda

Anastatica, Maya Rahmahwati, Akhmad Fauzi Nurulhamzah, Mohammad

Ramadhon dan Gita Ardhia Kusuma untuk cinta bersama setiap langkah dan

warna-warna yang indah dalam setiap jejak yang tertinggal.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan dalam kesempatan ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Februari 2009

(6)

Penulis dilahirkan di Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 24

Agustus 1986 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Ir. Ismail TA,

Dipl. HE dan Cut Nursafrina.

Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Banda Aceh dan pada

tahun yang sama lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih

Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB sebagai pilihan

pertama dan pada semester tiga penulis mengambil Sub Program Studi Pemanenan

Hasil Hutan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif menjadi anggota Unit Kegiatan

Mahasiswa Uni Konservasi Fauna IPB. Penulis pernah menjadi asisten pada mata

kuliah Pembukaan Wilayah Hutan dan Pemanenan Hasil Hutan pada tahun ajaran

2007/2008. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan

Hutan (P3H) di Sancang, Kamojang dan Cianjur, Jawa Barat, serta Praktek Kerja

Lapang (PKL) di Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi

Tenggara

Dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis

melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Kuantifikasi Kayu Sisa

Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi

di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara di bawah bimbingan Dr. Ir.

(7)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang ... 1

1. 2. Tujuan Penelitian ... 2

1. 3. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pemanenan Hutan ... 3

2. 2. Kayu Sisa Pemanenan Hutan ... 3

2. 3. Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn. f)... 6

2. 4. Sertifikasi SLIMF FSC ... 9

III. METODE PENELITIAN 3. 1. Lokasi dan Waktu ... 11

3. 2. Bahan dan Alat... 11

3. 3. Metode Penelitian... 11

3. 4. Analisis Data ... 15

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1. Letak dan Luas... 17

4. 2. Topografi ... 17

4. 3. Iklim ... 17

4. 4. Kondisi Hutan ... 17

4. 5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 18

4. 6. Sejarah Singkat Perolehan Sertifikasi ... 18

4. 7. Sistem Pemanenan Jati... 19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1. Pemanfaatan Hasil Tebangan ... 24

5. 2. Prospek Pemanfaatan Kayu Sisa dan Kulit Jati ... 33

5. 3. Faktor Residu dan Faktor Pemanfaatan... 35

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1. Kesimpulan... 36

6. 2. Saran... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Produksi dan ekspor tahunan kayu bulat jati dan kayu gergajian

Jati (m3)... 8 2. Klasifikasi sortimen berdasarkan SNI 01-5007.17-2001 dan

SNI 01-5007.1-2003... 14

3. Pembagian kawasan hutan Konawe Selatan bedasarkan fungsi

lahan ... 18

4. Kuantifikasi kayu dan kulit sisa penebangan jati di Koperasi Hutan

Jaya Lestari... 25

5. Perbandingan persentase kayu sisa pemanenan jati di KHJL

dengan KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa

Timur... 25

6. Potensi sortimen kayu bulat batang atas ... 28

7. Potensi sortimen kayu bulat potongan pendek ... 29

8. Potensi sortimen kayu bulat pada batang atas, potongan pendek,

(9)

iii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Perkiraan bentuk kayu persegian dan sebetan pada kayu bulat... 12

2. Distribusi sortimen kayu pada pohon yang ditebang... 12

3. Pengukuran dimensi kayu bulat dan tunggak ... 14

4. Pembuatan takik rebah oleh chainsawman (a) dan pencabangan (b) ... 20

5. Proses pembuatan kayu persegian (a) dan kayu persegian (b)... 21

6. Penomoran pada tunggak, kayu bulat dan kayu persegian/balok... 22

7. Sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan dan kayu sisa ... 24

8. Kayu sisa tunggak setinggi 10 cm (a) dan 54 cm (b) ... 26

9. Kayu sisa cabang dan ranting... 27

10. Potensi sortimen kayu bulat cabang dan ranting ... 28

11. Kayu sisa potongan pendek antara batang utama dan batang atas (a) dan antara tunggak dan batang utama (b) ... 29

12. Jumlah sortimen kayu bulat tiap kelas diameter ... 31

13. Distribusi jumlah dan volume sortimen kayu sisa berdasarkan Kepmenhut Nomor: 6886/Kpts-II/2002 ... 31

14. Proporsi kayu persegian dan sebetan dalam satu sortimen kayu bulat... 32

14. Sortimen kayu bulat dengan gubal yang tebal (a) dan kayu sisa sebetan yang dihasilkan (b) ... 33

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Rekapitulasi volume kayu sisa per jenis (m³) ... 40

2. Rekapitulasi volume sortimen kayu bulat yang memenuhi klasifikasi

(m³)... 42

3. Rekapitulasi jumlah sortimen kayu bulat yang memenuhi klasifikasi ... 44

(11)

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI

DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

PUTRI KOMALASARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PUTRI KOMALASARI. Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh AHMAD BUDIAMAN.

Selama ini industri mebel Indonesia setiap tahunnya kekurangan bahan baku kayu jati, karena pasokan kayu jati hanya berasal dari Perum Perhutani dan kayu rakyat. Sementara itu, pemanfaatan jati masih belum dilakukan secara optimal, hal ini ditunjukkan oleh adanya kayu sisa di lokasi tebangan. Melihat kondisi seperti ini, inisiatif untuk memanfaatkan kayu sisa penebangan jati diharapkan dapat mengatasi kekurangan pasokan bahan baku tanpa mengorbankan sumberdaya hutan yang kita miliki.

Informasi mengenai tingkat pemanfaatan dan potensi kayu sisa pemanenan jati di Indonesia, terutama pada hutan rakyat masih sangat minim. Guna mendapatkan data potensi kayu sisa penebangan jati di lokasi tebangan pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan Metode Pohon Penuh (Whole Tree Method). Berdasarkan metode ini, seluruh sortimen kayu bulat (tunggak, batang, cabang dan ranting).yang dihasilkan oleh tiap pohon yang dipanen diukur dimensinya, kemudian diklasifikasikan menurut persyaratan pemotongan panjang sortimen kayu bundar jati pada SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 mengenai klasifikasi limbah pemanenan kayu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volume total 30 pohon termasuk kulit berdasarkan pengukuran sampai diameter 3 cm adalah 34,98 m³ dengan nilai rata-rata per pohon 1,17 m³. Sejumlah 23,32 m³ (66,57%) berupa kayu sisa dan kulit yang belum termanfaatkan dengan nilai rata-rata per pohon 0,78 m³. Volume terbesar berasal dari sebetan dengan nilai 8,26 m³ dan presentase dari total kayu sisa sebesar 35,44% dan volume terkecil berasal dari tunggak yaitu 0,73 m³ (3,12%). Sejumlah 68,31% masih berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai sortimen kayu bulat, yaitu sebesar 0,16 m³/pohon dengan proporsi cabang dan ranting 47,20%, 46,98% batang atas dan sisanya (5,82%) merupakan potongan pendek.Tingginya presentase kayu sisa disebabkan oleh pemanfaatan kayu yang hanya sampai pada ukuran yang dibutuhkan untuk pembuatan kayu persegian.

(13)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kuantifikasi Kayu Sisa

Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi

di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara adalah benar-benar hasil karya

saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan

sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2009

Putri Komalasari

(14)

Judul Skripsi : Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe

Selatan, Sulawesi Tenggara

Nama : Putri Komalasari

NIM : E24104075

Menyetujui:

Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop.

NIP. 131 878 495

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr. NIP : 131 578 788

(15)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan

bimbingan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi dengan judul Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi

Tenggara di bawah bimbingan Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop.

Skripsi ini merupakan karya ilmiah dari hasil penelitian di Koperasi Hutan

Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang dilaksanakan

dari bulan Mei 2008 sampai dengan Juni 2008.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah (Ir. Ismail TA, Dipl. HE), Nyak (Cut Nursafrina), serta seluruh keluarga atas

dorongan, dukungan, doa dan kasih sayangnya.

2. Bapak Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop. selaku pembimbing atas segala

dukungan, arahan, bantuan dan bimbingannya.

3. Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho

Nurrochmat, M. Sc. F. Trop selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif.

4. Bapak Warma S. selaku Ketua KHJL, Bapak Nirwan, Bapak Khalik, Bapak Tilu

dan rekan-rekan dari LSM JAUH-Sultra, Bapak Sugeng dan Bapak Arlan dari

Tropical Forest Trust, Bapak Onte dari Perkumpulan Telapak, Bapak Rahman,

Bapak Siong, pengurus dan semua anggota KHJL, keluarga Bapak Hendro dan

keluarga Bapak Husen atas segala bantuan, perhatian, persahabatan dan

keramahannya.

5. Rekan-rekan Pemanenan Hasil Hutan, THH, BDH, KSHE dan MNH angkatan 41,

40, 39 dan 38 untuk kebersamaannya.

6. Rekan, teman, sahabat dan keluarga: Aswita Lewenussa, Indri Rezania, Yolanda

Anastatica, Maya Rahmahwati, Akhmad Fauzi Nurulhamzah, Mohammad

Ramadhon dan Gita Ardhia Kusuma untuk cinta bersama setiap langkah dan

warna-warna yang indah dalam setiap jejak yang tertinggal.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan dalam kesempatan ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Februari 2009

(16)

Penulis dilahirkan di Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 24

Agustus 1986 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Ir. Ismail TA,

Dipl. HE dan Cut Nursafrina.

Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Banda Aceh dan pada

tahun yang sama lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih

Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB sebagai pilihan

pertama dan pada semester tiga penulis mengambil Sub Program Studi Pemanenan

Hasil Hutan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif menjadi anggota Unit Kegiatan

Mahasiswa Uni Konservasi Fauna IPB. Penulis pernah menjadi asisten pada mata

kuliah Pembukaan Wilayah Hutan dan Pemanenan Hasil Hutan pada tahun ajaran

2007/2008. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan

Hutan (P3H) di Sancang, Kamojang dan Cianjur, Jawa Barat, serta Praktek Kerja

Lapang (PKL) di Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi

Tenggara

Dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis

melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Kuantifikasi Kayu Sisa

Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi

di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara di bawah bimbingan Dr. Ir.

(17)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang ... 1

1. 2. Tujuan Penelitian ... 2

1. 3. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pemanenan Hutan ... 3

2. 2. Kayu Sisa Pemanenan Hutan ... 3

2. 3. Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn. f)... 6

2. 4. Sertifikasi SLIMF FSC ... 9

III. METODE PENELITIAN 3. 1. Lokasi dan Waktu ... 11

3. 2. Bahan dan Alat... 11

3. 3. Metode Penelitian... 11

3. 4. Analisis Data ... 15

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1. Letak dan Luas... 17

4. 2. Topografi ... 17

4. 3. Iklim ... 17

4. 4. Kondisi Hutan ... 17

4. 5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 18

4. 6. Sejarah Singkat Perolehan Sertifikasi ... 18

4. 7. Sistem Pemanenan Jati... 19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1. Pemanfaatan Hasil Tebangan ... 24

5. 2. Prospek Pemanfaatan Kayu Sisa dan Kulit Jati ... 33

5. 3. Faktor Residu dan Faktor Pemanfaatan... 35

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1. Kesimpulan... 36

6. 2. Saran... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(18)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Produksi dan ekspor tahunan kayu bulat jati dan kayu gergajian

Jati (m3)... 8 2. Klasifikasi sortimen berdasarkan SNI 01-5007.17-2001 dan

SNI 01-5007.1-2003... 14

3. Pembagian kawasan hutan Konawe Selatan bedasarkan fungsi

lahan ... 18

4. Kuantifikasi kayu dan kulit sisa penebangan jati di Koperasi Hutan

Jaya Lestari... 25

5. Perbandingan persentase kayu sisa pemanenan jati di KHJL

dengan KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa

Timur... 25

6. Potensi sortimen kayu bulat batang atas ... 28

7. Potensi sortimen kayu bulat potongan pendek ... 29

8. Potensi sortimen kayu bulat pada batang atas, potongan pendek,

(19)

iii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Perkiraan bentuk kayu persegian dan sebetan pada kayu bulat... 12

2. Distribusi sortimen kayu pada pohon yang ditebang... 12

3. Pengukuran dimensi kayu bulat dan tunggak ... 14

4. Pembuatan takik rebah oleh chainsawman (a) dan pencabangan (b) ... 20

5. Proses pembuatan kayu persegian (a) dan kayu persegian (b)... 21

6. Penomoran pada tunggak, kayu bulat dan kayu persegian/balok... 22

7. Sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan dan kayu sisa ... 24

8. Kayu sisa tunggak setinggi 10 cm (a) dan 54 cm (b) ... 26

9. Kayu sisa cabang dan ranting... 27

10. Potensi sortimen kayu bulat cabang dan ranting ... 28

11. Kayu sisa potongan pendek antara batang utama dan batang atas (a) dan antara tunggak dan batang utama (b) ... 29

12. Jumlah sortimen kayu bulat tiap kelas diameter ... 31

13. Distribusi jumlah dan volume sortimen kayu sisa berdasarkan Kepmenhut Nomor: 6886/Kpts-II/2002 ... 31

14. Proporsi kayu persegian dan sebetan dalam satu sortimen kayu bulat... 32

14. Sortimen kayu bulat dengan gubal yang tebal (a) dan kayu sisa sebetan yang dihasilkan (b) ... 33

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Rekapitulasi volume kayu sisa per jenis (m³) ... 40

2. Rekapitulasi volume sortimen kayu bulat yang memenuhi klasifikasi

(m³)... 42

3. Rekapitulasi jumlah sortimen kayu bulat yang memenuhi klasifikasi ... 44

(21)

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Kebutuhan bahan baku kayu jati untuk sekitar 1.500 perusahaan furnitur di

Indonesia pada tahun 2000 adalah 2 juta m³ per tahun, sementara pada tahun yang

sama Perum Perhutani hanya memproduksi kayu jati dalam bentuk log sebesar

726.654 m³. Hal ini cukup mengganggu pertumbuhan dan perkembangan

industri-industri furnitur Indonesia, karena selama ini pasokan kayu jati hanya berasal dari

Perum Perhutani dan kayu rakyat (Asmindo 2001 diacu dalam Siregar 2005).

Kekurangan kebutuhan bahan baku ini diatasi dengan impor yang tercatat sebanyak

1.000 m³ setiap bulannya dalam bentuk kayu olahan (Rambu Kota 2007). Perlu

diberikan perhatian yang serius untuk menjamin kelangsungan industri-industri

perkayuan Indonesia, mengingat industri mebel memberikan kontribusi yang cukup

besar bagi pemasukan devisa negara, yaitu sebesar 1,45 milyar US$ dari total 8

milyar US$ untuk seluruh produk kehutanan (Asmindo 2001 diacu dalam Siregar

2005).

Di sisi lain, kayu sisa yang timbul dari kegiatan penebangan jati masih cukup

besar. Kayu sisa pemanenan jati di Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara

mencapai 0,12 m3/pohon (22,67%) yang berupa kayu pecah (1,77%); kayu lapuk (0,48%); potongan pendek (1,4%); cabang dan ranting (91,35%); tunggak (2,91%)

dan kayu tak beraturan (2,08%) (Anggoro 2007).

Peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu sisa pemanenan jati yang ada di areal

tebang diharapkan dapat mengurangi permasalahan kekurangan pasokan bahan

baku tanpa mengorbankan sumberdaya hutan. Selain itu, inisiatif ini dapat

meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar hutan terutama petani pemilik hutan.

Informasi mengenai tingkat pemanfaatan dan potensi limbah tebangan jati di

Indonesia, terutama pada hutan rakyat masih sangat minim, sehingga perlu

dilakukan penelitian yang mendalam mengingat nilai kayu jati masih cukup tinggi,

baik di pasar domestik maupun internasional. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan data dasar mengenai potensi kayu sisa tebangan jati di hutan rakyat

yang masih dapat dimanfaatkan dan mengidentifikasi dimensi sortimen kayu sisa

(22)

1. 2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi jenis kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan penebangan jati

di pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

2. Menghitung tingkat pemanfaatan penebangan jati pada pengelolaan hutan jati

berbasis masyarakat.

1. 3. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai upaya penyediaan data dasar

(baseline) usaha pemanfaatan kayu sisa penebangan jati, serta bahan pertimbangan

dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kelestarian produksi jati di

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Pemanenan Hutan

Pemanenan kayu merupakan suatu rangkaian kegiatan pemindahan kayu

dari hutan ke tempat pengolahan melalui tahapan kegiatan penebangan,

penyaradan, pengangkutan dan pengujian (Conway 1982).

Kegiatan pemanenan hutan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan dari

segi ekonomi, ekologi, dan sosial. Sedangkan tujuan dari kegiatan ini adalah

memaksimalkan nilai kayu, mengoptimalkan pasokan bahan baku industri,

meningkatkan kesempatan kerja dan mengembangkan ekonomi daerah. Pemanenan

merupakan tahapan yang sangat penting dalam pengelolaan hutan, karena kegiatan

ini memiliki andil dalam menentukan volume dan mutu kayu yang dihasilkan.

Sistem pemanenan hutan yang diterapkan oleh Perum Perhutani untuk

tanaman jati adalah sistem pemanenan manual dan semi mekanis. Untuk tebangan

A (tebang habis) dan tebangan E (tebang penjarangan) pada KU IV sebagian besar

dilakukan menggunakan chainsaw, sedangkan tebangan E pada KU III dan KU II

menggunakan gergaji manual. Kegiatan penyaradan dilakukan oleh tenaga manusia

dengan cara memikul kayu ke jalan angkutan atau jalan sogokan, kemudian kayu

diangkut ke lokasi TPK dengan menggunakan truk (Anggoro 2007).

2. 2. Kayu Sisa Pemanenan Hutan

2. 2. 1. Definisi Kayu Sisa Pemanenan

Menurut Widarmana et al. (1973), kayu sisa adalah sisa-sisa atau

bagian-bagian kayu yang dianggap tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu,

pada waktu dan tempat tertentu, tetapi masih mungkin untuk dimanfaatkan pada

proses, waktu dan tempat yang berbeda.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 Tentang Pedoman

dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) pada Hutan Produksi

menggunakan istilah limbah tebang atau yang disebut juga limbah pembalakan untuk

kayu sisa yang tidak dimanfaatkan lagi oleh pemegang izin yang sah pada kegiatan

penebangan/ pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang. Menimbang

bahwa dalam peraturan tersebut kayu jati dianggap tidak memiliki limbah, maka

(24)

2. 2. 2. Klasifikasi Kayu Sisa Pemanenan

Proses pemanenan dapat menghasilkan kayu sisa dalam beberapa tahapan

kegiatannya. Tahapan pemanenan yag umumnya menimbulkan kayu sisa antara lain

adalah kegiatan penebangan, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan

pengangkutan

Berdasarkan tempat terjadinya, Sastrodimedjo dan Sampe (1978) dalam

Puspitasari (2005) mengelompokkan kayu sisa/limbah pemanenan menjadi:

a. Kayu sisa yang terjadi di areal tebangan (Cutting Area), berupa kelebihan

tunggak dari yang diijinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat,

potongan-potongan akibat pembagian batang dan sisa cabang dan ranting.

b. Kayu sisa yang terjadi di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), batang-batang yang

tidak memenuhi syarat, baik kualitas maupun ukurannya.

c. Kayu sisa yang terjadi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK). Umumnya terjadi

karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan

sehingga busuk, pecah dan terserang jamur.

Puspitasari (2005) menunjukkan bahwa kayu sisa terbesar yang berasal dari

HTI (Hutan Tanaman Industri) terjadi pada kegiatan penebangan, yaitu sebesar

1,67%. Presentase kayu sisa kegiatan penyaradan sebesar 1,25%, pemuatan 0,92%

dan yang terkecil adalah kayu sisa akibat kegiatan pengangkutan (0,52%).

Budiaman (2000) menyebutkan bahwa kayu sisa pemanenan dapat berupa

semua kayu bulat yang terdiri dari batang komersial, potongan kecil, tunggak,

cabang dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

1. Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau

batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan

alam.

2. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang

merupakan perpanjangan dari batang utama (komersial).

3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang

berada di atas cabang pertama.

4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan

takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik

balas.

5. Potongan kecil adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung cacat

dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat

nampak, pecah, busuk dan jenis cacat fisik lainnya yang mengurangi nilai fisik

(25)

5

Sisa-sisa kayu hasil proses pemanenan yang disebut limbah tebang dalam

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 dapat berupa sisa

pembagian batang termasuk cabang, ranting, pucuk, tunggak atau kayu bulat yang

mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 cm atau panjang tidak lebih dari 2 meter

atau kayu cacat/ gerowong lebih dari 40%.

2. 2. 3. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kayu Sisa

Menurut Dulsalam (1995) dalam Anggoro (2007), faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya kayu sisa pemanenan adalah :

1. Tidak diterapkannya teknik pemanenan hutan yang baik

2. Kebijakan perusahaan

Perusahaan yang hanya mengutamakan produksi log dengan kualitas baik akan

mengakibatkan banyak bagian kayu yang ditinggalkan di hutan. Para pekerja

hutan pada dasarnya hanya mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh

mandor dan pengawas mereka.

3. Topografi

Pada topografi yang berat, penebang sulit mengendalikan arah rebah pohon yang

ditebang.

4. Kerapatan tegakan

5. Sistem upah

Sistem upah borongan merangsang pekerja-pekerja hutan untuk memperoleh

produksi yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kerusakan pohon yang

dikerjakan maupun kerusakan tegakan tinggal. Sebagai akibatnya, banyak

dijumpai kayu yang mungkin masih dapat dimanfaatkan ditinggalkan di hutan.

6. Keterampilan tenaga kerja

Tenaga kerja yang memempunyai keterampilan tinggi akan mengakibatkan limbah

penebangan relatif kecil, demikian juga sebaliknya. Keterampilan ini sangat

dipengaruhi oleh motivasi dan pengalaman kerja.Tenaga kerja yang mempunyai

motivasi tinggi biasanya cenderung bekerja lebih giat dan lebih sungguh-sungguh.

Tenaga yang mempunyai pengalaman kerja yang lebih lama biasanya lebih

terampil.

7. Pengawasan

Endom (1996) menyatakan bahwa dengan penurunan tinggi takik rebah

sebesar 30 – 60% diperoleh tambahan volume sekitar 1%. Penambahan biaya

dengan memperhitungkan perbedaan waktu kerja efektif sebanyak 0, 58

menit/kegiatan penebangan dengan asumsi harga bensin Rp. 1000, 00/liter

(26)

Simarmata dan Haryono (1986) menyebutkan bahwa volume kayu sisa dari

pohon yang ditebang lebih besar bila dibandingkan dengan kayu sisa akibat kegiatan

penyaradan dan penebangan. Hal ini umumnya disebabkan karena batang pecah

dan rusak pada waktu rebah dan dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pasar

atau tidak efisien apabila diangkut seperti batang yang memenuhi syarat. Kejadian

batang pecah bisa terjadi karena menimpa batu atau permukaan tanah yang tidak

rata, serta teknik penebangan yang salah sehingga batang pecah saat direbahkan.

Anggoro (2007) menguatkan dalam penelitiannya di tegakan jati KPH Banyuwangi

Utara bahwa kegiatan penyaradan, muat-bongkar dan pengangkutan tidak

menghasilkan kayu sisa pemanenan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh nilai kayu

jati yang cukup mahal, sehingga efisiensi pemanenan yang dilakukan oleh pihak

Perum Perhutani untuk jenis kayu ini cukup tinggi dibandingkan dengan jenis kayu

lainnya.

2. 3. Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn. f.)

2. 3. 1. Sifat Ekologis dan Penyebaran

Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad

ke-9 telah dikenal sebagai pohon yang memilki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi.

Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memilki kelas

awet (mampu bertahan hingga 500 tahun) (Sumarna 2003).

Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai

berikut (Sumarna 2003):

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Sub-kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Verbenales

Famili : Verbenaceae

Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn. f.

Jati umumnya tumbuh baik pada tanah yang banyak mengandung Fosfor (P)

dan Kalsium (Ca), dengan pH sekitar 6 , dan biasanya kondisi lingkungan terbaik

untuk jati adalah lingkungan dengan musim kering yang nyata dengan curah hujan

antara 750 – 2500 mm per tahun (Sumarna 2003). Umumnya jati tumbuh dengan

(27)

7

pertumbuhannya antara 13º - 17ºC dan suhu maksimum antara 39ºC - 43ºC (Pandey

& Brown 2000).

Hutan alam jati biasanya tumbuh pada tanah yang bergelombang dengan

basal, granit, schist, gneiss, limestone dan sandstone sebagai batuan bawahnya.

Hutan jati terbaik, baik hutan alam maupun hutan tanaman tumbuh pada tanah

aluvium dalam dengan drainase yang memadai, dan akan menghasilkan jati

berkualitas buruk bila tumbuh pada tanah liat (Seth & Yadav 1989 dalam Pandey &

Brown 2000).

Umumnya, menurut Sumarna (2003), tanaman jati dapat mencapai tinggi

30-45 m dengan tinggi bebas cabang antara 15-20 m dan di hutan alam diameter

batang dapat mencapai 220 cm.

2. 3. 2. Sifat-sifat Kayu Jati dan Pengerjaan

Martawidjaja et al. (1981) menyebutkan bahwa kayu jati memiliki kelas awet

dan kelas kuat II. Jati memiliki permukaan kayu yang agak licin dan pola lingkaran

tahunnya terlihat jelas, sehingga sering dimanfaatkan sebagai venir, keping-keping

parket penutup lantai, dan produk lain yang menuntut keindahan tampilan. Kayu jati

juga disukai untuk pembuatan furnitur dan kerajinan ukir-ukiran karena mudah

dipotong dan diolah, meski memiliki kelas kuat II.

2. 3. 3. Sekilas Fakta Jati Dunia

Jati tumbuh secara alami hanya di India, Myanmar, Laos dan Thailand dan

juga ditumbuhkan secara alami di Indonesia yang diperkirakan merupakan hasil

introduksi 400 sampai 600 tahun yang silam. Disamping itu, jati telah menyebar ke

seluruh Asia tropis seperti juga Afrika tropis (Côte d'Ivoire, Nigeria, Sierra Leone,

United Republic of Tanzania dan Togo) dan Amerika Latin dan Karibia (Costa Rica,

Colombia, Ecuador, El Salvador, Panama, Trinidad dan Tobago dan Venezuela). Jati

juga diperkenalkan ke beberapa pulau di daerah Pasifik (Papua Nugini, Fiji dan

Kepulauan Solomon) dan di utara Australia dalam tahap percobaan (Pandey &

Brown 2000).

Pandey dan Brown (2000) menyebutkan bahwa perdagangan ekspor jati

dunia didominasi oleh Myanmar dengan Cina dan Thailand sebagai pengimpor

utama. Dapat dilihat dari Tabel 1 bahwa sebagian kayu gergajian jati dunia diekspor

oleh Indonesia dan Myanmar, dengan Thailand dan Côte d'Ivoire di posisi ketiga

dengan jumlah yang cukup signifikan. Negara-negara lain seperti Ghana, Cina,

United Republic of Tanzania dan Ekuador, mengekspor dalam jumlah sedang,

(28)

Tabel 1 Produksi dan ekspor tahunan kayu bulat jati dan kayu gergajian jati (m3) Negara Produksi Log Jati Ekspor Log Jati Ekspor Kayu Gergajian

Jati

Myanmar 358 000 179 200 33 100

India 250 000 0 0

Indonesia 750 000 0 35 000

Thailand 12 900 0 5000

Negara lain 424 100 134 300 14 800

Total 1 795 000 313 500 87 900

Sumber: (Pandey & Brown 2000).

Menurut Pandey dan Brown (2000) pula, produsen produk jati terbesar

adalah Indonesia, Thailand, India dan Cina. India memproduksi kayu gergajian untuk

bahan baku konstruksi dan dekorasi, dan kayu lapis dekoratif, semuanya secara

eksklusif diolah untuk konsumsi pasar dalam negerinya. Industri-industri jati Cina dan

Thailand memakai bahan baku log impor, sementara Indonesia memiliki hutan

tanaman jatinya sendiri. Sebagian besar hasil produksi ini kemudian diekspor ke

Eropa dan Amerika Utara dalam bentuk furnitur atau kayu gergajian. Umumnya,

volume impor (dan seringnya ekspor) produk jati tidak terdokumentasikan dengan

layak atau tidak dapat diakses.

Di Laos, jati memiliki peran penting dalam kehidupan petaninya. Mereka

mendapatkan pendapatan tinggi dari penjualan kayu baik ke pasar lokal maupun

pasar luar. Jati memberikan masing-masing sekitar 27%, 15% dan 14% pendapatan

rumah tangga bagi keluarga kaya, menengah dan miskin. Sayangnya, sebagian

besar penjualan dilakukan melalui pedagang lokal dan luar, dan petani tidak mampu

mengakses unit pengolahan kayu secara langsung. Diperkirakan 99% kayu bulat jati

dibeli oleh pedagang luar dan hanya 1% oleh pedagang lokal. Sekitar 95% dari

produksi diekspor, dan 5% dalam bentuk limbah digunakan untuk konsumsi lokal

(Keonakhone 2006).

Lain halnya dengan Myanmar, di negara ini pemerintahan yang berbasis

militer mempekerjakan penduduknya secara paksa dalam kegiatan pemanenan jati,

termasuk memanfaatkan gajah-gajah yang dieksploitasi sampai mati. Sepanjang

akhir tahun 1990-an jati Myanmar diboikot oleh dunia internasional. Boikot juga

mengancam kayu ekspor dari Thailand, Singapura dan Taiwan yang bahan bakunya

berasal dari Myanmar. Hal ini terjadi karena isu deforestasi di Myanmar akibat

produksi jati dari hutan alam. Jati tumbuh menyebar di dalam hutan, sehingga

penebang harus menempuh jarak yang jauh ke dalam hutan primer untuk

mendapatkannya, maka jalan sarad dan jalan angkut dibuat bermil-mil jauhnya. Jalur

angkut ini memainkan peran penting dalam proses deforestasi di Myanmar, Laos,

(29)

9

penduduk asli, baik dalam bentuk penambangan logam dan mineral, pendudukan

lahan oleh penduduk luar, maupun (khususnya di Myanmar) penempaan penduduk

asli menjadi tenaga budak dalam proses pemanenan jati (Johansen 2003).

Di Indonesia, umumnya tanaman jati berada pada kawasan hutan yang

dikelola oleh Perum Perhutani, kawasan hutan yang direboisasi dan hutan-hutan

komunitas di lahan-lahan pribadi milik masyarakat. Perum Perhutani memiliki hak

pengelolaan penuh terhadap tegakan jati yang berada di kawasan hutan produksi

millik negara di Pulau Jawa, sedangkan tegakan jati rakyat biasanya dikelola secara

pribadi dan digunakan sebagai “tabungan” oleh pemiliknya. Pohon jati rakyat

umumnya tidak sampai berumur tua sudah ditebang karena kebutuhan akan kayu

pertukangan ataupun kebutuhan akan uang bagi pemiliknya (Hadikusumo 2001).

Pohon jati yang belum cukup tua ini memiliki kandungan kayu juvenil yang cukup

besar. Padahal menurut Hadikusumo (2001), apabila suatu sortimen mengandung

kayu juvenil yang bercampur dengan kayu dewasa, maka sortimen tersebut akan

mengalami pelengkungan setelah kering.

2. 4. Sertifikasi SLIMF FSC

Sertifikasi hutan merupakan usaha untuk memberikan dukungan bagi

komunitas dalam pengelolaan hutan rakyat termasuk jati dan guna memperkenalkan

produk-produk hutan rakyat di tingkat nasional dan internasional. Di Indonesia

terdapat dua lembaga pemberi sertifikat, yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)

dan Forest Stewardship Council (FSC). Kedua lembaga ini telah berhasil melakukan

sertifikasi terhadap lebih dari satu juta hektar hutan produksi maupun hutan alam

Indonesia dalam rentang waktu 10 tahun terakhir. Untuk Konawe Selatan dalam hal

ini Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), FSC mengeluarkan sertifikat SLIMF (Small

and Low Intensity Managed Forests) yang khusus diperuntukkan bagi hutan-hutan

yang dikelola dengan luasan kurang dari 1.000 Ha dengan nilai tebangan dibawah

20 % dari riap keseluruhan produksi dan total tebangan per tahun tidak lebih dari

5000 m³ (Hinrichs et al. 2008).

Upaya sertifikasi ini diharapkan dapat memudahkan pemasaran bagi

produk-produk hutan KHJL, sekaligus memberikan tambahan pasokan bagi permintaan

kayu-kayu bersertifikat di pasar dunia, terutama Eropa yang merupakan pasar

strategis bagi banyak negara berkembang untuk memasarkan produk kayu mereka,

dan memiliki tuntutan yang relatif tinggi dalam hal sertifikasi. Banyak pembeli kayu

hanya mau membeli kayu jati yang bersertifikasi meski dengan harga yang lebih

(30)

yang dibelinya, sehingga dapat dipastikan bila kayu tersebut berasal dari hutan

(31)

III. METODE PENELITIAN

3. 1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di hutan jati yang dikelola oleh Koperasi Hutan Jaya

Lestari Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Penelitian dilakukan selama satu bulan terhitung mulai tanggal 5 Mei 2008 – 1 Juni

2008.

3. 2. Bahan dan Alat

Obyek penelitian adalah tegakan jati dan hasil tebangan di petak tebang.

Alat-alat yang digunakan adalah meteran, kaliper, tally sheet, komputer dan kamera.

3. 3. Metode Penelitian

3. 3. 1. Batasan Masalah

Kayu sisa penebangan jati yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kayu-kayu sisa akibat kegiatan penebangan dan pembagian batang yang tidak

dimanfaatkan lagi oleh pemegang izin yang sah pada kegiatan penebangan/

pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang dan terdiri atas batang

atas, cabang dan ranting, dan potongan pendek yang berdiameter ≥ 3 cm dengan

panjang ≥ 0, 40 m (SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003) serta tunggak

yang berada di atas permukaan tanah. Klasifikasi kedua yang digunakan adalah

berdasarkan definisi limbah penebangan menurut Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor: 6886/Kpts-II/2002, yaitu mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 cm atau

panjang tidak lebih dari 2 meter atau kayu cacat/ gerowong lebih dari 40%.

Koperasi Hutan Jaya Lestari memiliki sistem pembagian batang yang

berbeda dengan sistem pembagian batang yang umum diterapkan di pengusahaan

hutan. Setelah pohon direbahkan, sortimen kayu bulat dari pembagian batang

kemudian dibentuk menjadi kayu persegian sehingga menghasilkan hasil sampingan

(32)

Sebetan Sebetan

[image:32.595.163.480.95.252.2]

Kayu Persegian Kayu Bulat

Gambar 1 Ilustrasi bentuk kayu persegian dan sebetan pada kayu bulat.

Batasan jenis sortimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Batang utama adalah batang dari atas takik rebah dan takik balas sampai

cabang pertama.

2. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang

merupakan perpanjangan dari batang utama (komersial).

3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang

berada di atas cabang pertama.

4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan

takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik

balas.

5. Potongan pendek adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung

cacat dan perlu dipotong.

6. Sebetan (Slab) adalah bagian dari batang utama yang merupakan limbah dari

kegiatan pemotongan kayu persegian.

[image:32.595.137.489.571.703.2]

.

(33)

13

3. 3. 2. Metode Kuantifikasi

Metode kuantifikasi limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode pohon penuh (Whole Tree Method). Dalam metode ini setiap pohon yang

dipanen dihitung seluruh sortimen kayu bulat yang dihasilkan (batang utama, batang

atas, cabang dan ranting) termasuk tunggak yang berada di atas permukaan tanah.

Seluruh sortimen kemudian diukur dimensi panjang dan diameternya kemudian

ditentukan volumenya. Metode ini dapat menentukan jumlah keseluruhan sortimen

kayu bulat dari setiap individu pohon, sehingga memberikan hasil yang lebih

komprehensif tentang sebaran sortimen kayu bulat (Gambar 2).

3. 3. 3. Metode Pengambilan Contoh

Pohon contoh yang diambil ditentukan berdasarkan rencana penebangan

yang telah disahkan oleh Koperasi Hutan Jaya Lestari. Pohon contoh ditentukan

sejumlah 30 pohon dan diambil dari lahan milik anggota koperasi dengan nomor

keanggotaan KHJL_HM_01_001 (lahan 1 dan 10), dan KHJL_HM_01_02 (lahan 3).

Lahan contoh dipilih berdasarkan rencana tebangan tahun berjalan KHJL.

3. 3. 4. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data

primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengamatan langsung di

lapangan. Data primer yang dikumpulkan meliputi data volume kayu sisa yang

berasal dari kegiatan penebangan dan pembagian batang yang merupakan bagian

dari batang utama, batang atas, cabang dan ranting, tunggak, potongan pendek dan

sebetan dengan klasifikasi dimensi berdasarkan SNI 5007.17-2001 dan SNI

01-5007.1-2003.

Sedangkan data sekunder merupakan data tambahan untuk mendukung

penelitian yang diperoleh melalui wawancara atau pengutipan data dari koperasi.

Data yang dimaksud antara lain adalah kondisi umum lokasi penelitian, luas dan

letak petak tebang, sistem pemanenan kayu yang digunakan dan kebijakan

pembagian batang yang diberlakukan.

3. 3. 5. Pengukuran Dimensi Sortimen Kayu Bulat

Semua sortimen kayu bulat (batang utama, batang atas, cabang dan ranting)

berdiameter ≥ 3 cm diukur diameter dan panjangnya. Batasan diameter terkecil ini

(34)

Tabel 2 Klasifikasi sortimen berdasarkan SNI 5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003

No. Sortimen Kelas Diameter (cm) Selang Diameter (cm) Panjang (m)

1. KBK (A I) 4

7 10 13 16 19

3,00 - 5,99 6,00 - 8,99 9,00 - 11,99 12,00 - 14,99 15,00 - 17,99 18,00 - 20,99

≥2,00 ≥1,00 ≥0,70 ≥0,70 ≥0,40 ≥0,40

2. KBS (A II) 22

25 28

21,00 – 23,99 24,00 – 26,99 27,00 – 29,99

≥0,40

≥0,40

≥0,40

3. KBB (A III) ≥ 30 ≥ 30 ≥0,40

Sumber: SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003 dengan sedikit penyesuaian

Pengukuran diameter dilakukan dua kali pada masing-masing ujung dan

pangkal kemudian dihitung rata-ratanya. Sedangkan untuk tunggak, diameter yang

digunakan adalah diameter pangkal. Panjang adalah jarak terpendek antara kedua

[image:34.595.170.469.401.603.2]

bontos sejajar dengan sumbu kayu (Gambar 3).

Gambar 3 Pengukuran dimensi sortimen kayu bulat dan tunggak.

Klasifikasi limbah menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

6886/Kpts-II/2002 adalah sebagai berikut:

a) Diameter ≤ 30 cm

b) Panjang ≤ 2 m

c) Kayu cacat atau gerowong ≥ 40 %

(35)

15

3. 3. 6. Perhitungan Volume Sebetan

Volume sebetan dapat ditentukan berdasarkan selisih dari volume kayu bulat

dan volume kayu persegian yang dihasilkannya.

3. 4. Analisis Data

3. 4. 1. Perhitungan Diameter

Diameter sortimen kayu bulat ditetapkan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut (SNI 01-5007.2-2000):

(

) (

)

2

4

3

2

1

2

1

d

d

d

d

d

=

+

+

+

Keterangan:

d

: diameter rata-rata sortimen (cm)

d1 : diameter terpendek pada pangkal sortimen(cm)

d2 : diameter terpanjang pada pangkal sortimen(cm)

d3 : diameter terpendek pada ujung sortimen (cm)

d4 : diameter terpanjang pada ujung sortimen (cm)

3. 4. 2. Perhitungan Volume

Volume sortimen kayu bulat diukur menggunakan rumus:

10000

4

1

d

2

p

V

=

π

×

×

Dimana:

V : volume sortimen (m3)

d

: diameter rata-rata sortimen (cm)

p : panjang sortimen (m)

π

: konstanta = 3,14

10.000 = konstanta

Volume kayu persegian ditentukan dengan rumus berikut:

t

l

p

V

=

×

×

Keterangan:

V : volume kayu persegian (m3)

p : panjang kayu persegian (m)

l : lebar kayu persegian (m)

(36)

Volume sebetan ditentukan dari selisih antara volume kayu bulat dan volume

kayu persegian yang dihasilkan.

3. 4. 3. Faktor pemanfaatan (recovery rate) dan faktor residu

Faktor pemanfaatan dan faktor residu dihitung dengan menggunakan

persamaan berikut :

%

100

×

=

Vt

Vm

fm

keterangan :

fm = faktor pemanfaatan (%)

Vm = volume kayu yang dimanfaatkan (m3)

Volume kayu yang dimanfaatkan adalah berupa volume kayu

persegian.

Vt = volume total pohon (m3)

Volume total pohon diperoleh dengan menjumlahkan volume kayu

yang dimanfaatkan dengan volume kayu sisa dari masing-masing

pohon.

%

100

×

=

Vt

Vr

fr

keterangan :

fr = faktor residu (%)

Vr = volume kayu sisa (m3)

Volume kayu sisa diperoleh dengan menjumlahkan volume semua

bentuk kayu sisa yang dihasilkan dari masing-masing pohon.

(37)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. 1. Letak dan Luas

Kabupaten Konawe Selatan ibukotanya Andoolo, secara geografis terletak di

bagian Selatan Khatulistiwa, melintang dari Utara ke Selatan antara 30.58.56’ dan

40.31.52’ dan 40.31.16’ lintang Selatan, membujur dari Barat ke Timur antara

121.58’ dan 123.16’ bujur Timur (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara 2006).

Luas wilayah daratan Kabupaten Konawa Selatan 451.421 Ha atau 11,83%

dari luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan (laut)

±9.268 Km² (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara 2006).

4. 2. Topografi

Pada umumnya lahan didominasi oleh bukit kecil atau datar dengan

kemiringan kurang dari 15 %. Sebagian areal memiliki kelerengan terjal antara 25 –

40 % namun total areal ini kurang dari 20 % (Koperasi Hutan Jaya Lestari 2005).

4. 3. Iklim

Seperti halnya daerah lain di Indonesia, daerah Konawe Selatan beriklim

tropis dengan dua musim dalam setahunnya, yaitu musim hujan dan musim

kemarau.

Curah hujan di Konsel rata-rata pertahun dibagi atas 3 bagian yaitu (Koperasi

Hutan Jaya Lestari 2005):

a) Pola curah hujan tahunan antara 0-1500 mm terdapat di bagian selatan,

meliputi kecamatan Andoolo, Tinanggea, Lamea dan Palanga.

b) pola curah hujan 1500-1900 mm terdapat dibagian tengah dan utara, meliputi

Moramo, Ranomeeto, Landono dan Angata

c) pola curah hujan > 1900 mm pertahun terdapat dibagian barat dan Timur

4. 4. Kondisi Hutan

Menurut Koperasi Hutan Jaya Lestari (2005), seluas 212.097 Ha, 50.38%

dari areal lahan yang ada saat ini dinyatakan sebagai Kawasan Hutan dan 208.906

(49.62%) digolongkan sebagai Kawasan Budidaya. Daerah kerja kehutanan sosial

KHJL meliputi lahan yang dialokasikan sebagai Hutan Produksi (General Production

Forest), Jati rakyat KHJL berasal dari lahan yang ditetapkan sebagai Area Budaya,

(38)
[image:38.595.118.505.95.212.2]

Tabel 3 Pembagian kawasan hutan Konawe Selatan bedasarkan fungsi lahan Tahun 2003 Fungsi Lahan

Ha %

1. Kawasan Hutan 212.097 50.38

a. Kawasan Suaka dan Pelestarian Alam 79.540 37.5

b. Hutan Lindung 42.759 20.2

c. Hutan Produksi Terbatas 3.705 1.7

d. Hutan Produksi Biasa 86.093 40.6

e. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonservasi 0 0

2. Kawasan Budidaya Non Kehutanan 208.909 49.62

Jumlah 421.006 100

Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan (2003) dalam Koperasi Hutan Jaya Lestari (2005)

Petani jati dalam KHJL memiliki satu hingga beberapa plot yang berkisar

antara 0,1 hingga 1 hektar. Kawasan jati dewasa merupakan tegakan monokultur

dan tegakan campuran, misal disela dengan tanaman coklat, lada, kopi, kacang

mede, sagu dan berbagai pohon buah. Kawasan yang baru ditanami sekarang sering

ditanam bersamaan dengan tanaman pangan misalnya seperti singkong, jagung,

padi kering, cabe. Petani jati juga memiliki sawah, ternak khususnya sapi (Koperasi

Hutan Jaya Lestari 2005).

4. 5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Berdasarkan hasil sensus tahun 2005, penduduk yang berusia 10 tahun

keatas berjumlah sekitar 75,09% yang terdiri dari angkatan kerja yang bekerja

59,85% dan yang mencari kerja sebesar 40,15% (Pemerintah Propinsi Sulawesi

Tenggara 2006).

Jenis komoditi yang diperdagangkan di Kab. Konawe Selatan adalah hasil

produksi sektor pertanian yang meliputi tanaman bahan makanan, perkebunan,

peternakan, perikanan dan kelautan. Volume ekspor tahun 2004 mencapai 18.858.214 US$. Sekitar 52.89% atau sebesar 9.974.613 US$ adalah hasil

pertanian, 46.90% atau 8.845.567 US$ merupakan hasil kayu dan 0.20% atau

38.034 US$ merupakan hasil rotan (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara 2006).

4. 6. Sejarah Singkat Perolehan Sertifikasi

Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) merupakan unit usaha pengelolaan

hutan yang mengelola hutan tanaman jati berskala kecil di Kabupaten Konawe

Selatan, Sulawesi Tenggara. Pada bulan Juni tahun 2004 KHJL menandatangani

Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tropical

Forest Trust (TFT). TFT memfasilitasi KHJL untuk memperoleh serftifikat FSC, juga

membantu dalam penjualan kayu jati yang mereka produksi. Dengan pendampingan

(39)

19

masyarakat, dan TFT, KHJL berhasil memperoleh sertifikasi untuk pengelolaan hutan

secara lestari pada tanggal 20 Mei 2005. Uji sertifikasi dilakukan oleh SmartWood,

sebuah organisasi dunia anggota Forest Stewardshift Council (FSC), organisasi

jaringan international yang mempromosikan manajemen hutan dan menaruh

perhatian pada pengelolaan hutan secara lestari.

Penilaian dilakukan terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Dengan

mendapatkan sertifikasi ini KHJL menerima pengakuan sekaligus kehormatan

sebagai koperasi pertama untuk ketegori koperasi milik masyarakat di Asia Tenggara

yang berhasil mendapatkan sertifikasi FSC. Sertifikat ini adalah untuk kelompok

Hutan yang dikelola dengan intensitas kecil dan rendah (Small and Low Intensity

Managed Forests, SLIMFs).

Tanaman jati yang dikelola oleh KHJL adalah milik petani-petani pemilik

lahan sebagai anggota koperasi. Sejak diresmikan pada tahun 2003, KHJL telah

mampu menjual kayu persegian sejumlah 1-2 kontainer per bulan dengan volume

masing-masing sekitar 18 m³. Kayu-kayu tersebut umumnya dibeli oleh

perusahaan-perusahaan furnitur dari Jawa dengan harga tinggi karena sertifikat SLIMF FSC yang

telah dimiliki KHJL sejak tahun 2005. Hingga data terakhir saat tulisan ini dibuat,

luasan hutan yang dikelola telah mencapai 657 ha dengan unit pengelolaan sejumlah

25 unit.

4. 7. Sistem Pemanenan Jati

Jika dilihat dari sumber energinya, sistem pemanenan yang diterapkan di

KHJL merupakan sistem pemanenan semi mekanis, yaitu sistem pemanenan yang

menggunakan kombinasi alat mekanis dan alat manual dalam setiap tahapan

kegiatannya. Kegiatan penebangan menggunakan chainsaw untuk merebahkan

pohon; penyaradan dilakukan menggunakan tenaga manusia; dan pengangkutan

kayu menggunakan truk. Jika didasarkan pada ukuran sortimen, maka sistem

pemanenan KHJL dapat digolongkan ke dalam Shortwood System, yaitu sistem

pemanenan yang melakukan pembagian batang di lokasi tebangan, sehingga

sortimen yang kemudian disarad telah berupa kayu bulat pendek. Di KHJL, ada

sedikit tambahan perlakuan pada sortimen kayu bulat tersebut sebelum disarad,

yaitu dibentuk menjadi kayu persegian.

Tahapan kegiatan pemanenan yang diterapkan oleh KHJL meliputi

kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

4. 7. 1. Penebangan

Metode penebangan dan persiapannya ditentukan sendiri oleh pemilik

(40)

tebang biasanya berjumlah 2 orang yang terdiri dari chainsawman dan helper

(pembantu/asisten). Regu tebang ini dipilih dan disewa oleh pemilik tegakan tanpa

campur tangan dari pihak koperasi. Penebang merupakan masyarakat sekitar hutan

yang beroperasi menggunakan chainsaw milik pribadi. Pengamatan di lapangan

menunjukkan bahwa umumnya para penebang menggunakan chainsaw STIHL S70

yang memiliki kekuatan besar dan bilah sepanjang satu meter. Biasanya jenis ini

digunakan untuk pohon-pohon berdiameter besar di hutan-hutan alam. Fakta bahwa

para penebang memiliki chainsaw jenis ini kemungkinan disebabkan oleh latar

belakang mereka yang dulunya merupakan pelaku-pelaku pembalakan liar di hutan

negara Konawe Selatan.

Kegiatan penebangan dimulai dengan persiapan areal di sekitar pohon yang

akan ditebang, berupa pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan oleh helper.

Setelah menentukan arah rebah, chainsawman membuat takik rebah dan takik balas

(Gambar 4a) kemudian melakukan penebangan. Pohon yang rebah selanjutnya

dibersihkan dari cabang dan ranting (Gambar 4b) yang diperkirakan akan

mengganggu proses pembagian batang. Kegiatan ini disebut pencabangan, dan

dilakukan oleh chainsawman dengan menggunakan chainsaw dan helper dengan

parang.

[image:40.595.112.506.427.605.2]

(a) (b)

Gambar 4 Proses pembuatan takik rebah (a) dan pencabangan (b).

Pengukuran dilakukan kemudian oleh helper, dengan berpedoman pada

klasifikasi sortimen kayu persegian yang ditentukan oleh KHJL. Diameter rata-rata

kayu bulat yang dimanfaatkan adalah 38,25 cm termasuk kulit, dengan diameter

terkecil adalah 19,5 cm dan diameter terbesar 57 cm. Panjang sortimen berkisar

antara 110 – 210 cm. Pada setiap batasan panjang diberi tanda torehan pada kulit

(41)

21

oleh chainsawman dalam membagi batang. Saat pembagian batang, bagian-bagian

kayu yang memiliki cacat dibuang karena akan mengurangi kualitas sortimen yang

dihasilkan

4. 7. 2. Pembuatan Kayu Persegian

Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan kayu persegian (Gambar 5a). Kayu

persegian (Gambar 5b) ini dibentuk menurut klasifikasi sortimen kayu persegian yang

ditetapkan oleh KHJL dengan didasarkan pada keinginan pembeli kayu yang telah

melakukan kontrak dengan KHJL. Klasifikasi yang digunakan adalah:

a. Lebar 13 cm – 14 cm, panjang ≥ 110 cm, ≥ 210 cm.

b. Lebar 15 cm – 19 cm, panjang ≥ 110 cm, ≥ 210 cm.

[image:41.595.137.482.323.582.2]

c. Lebar ≥ 20 cm, panjang ≥ 210 cm

Gambar 5 Proses pembuatan kayu persegian (a) dan kayu persegian (b).

Dalam pelaksanaannya, kadangkala pembuatan kayu persegian dilakukan

per satu pohon, maksudnya, setelah satu pohon ditebang, kemudian dilakukan

pencabangan, pengukuran dan pembagian batang, lalu langsung dipotong menjadi

kayu persegian. Adakalanya juga beberapa pohon ditebang dan dibagi batangnya

terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemotongan kayu persegian untuk semua

sortimen tersebut sekaligus. Hal ini tergantung kepada kebijaksanaan dari

chainsawman yang bersangkutan.

(b)

(42)

01/2/54/14 KHJL-HM-24-1

Tunggak

1216 2. S 1 KHJL/HM/

1-24-1

1216 48 – 32

225

Pangkal balok

Ujung balok

4. 7. 3. Penomoran (Lacak Balak)

Sebagai komitmen dari sertifikasi SLIMFs (Small and Low Intensity Managed

Forests) yang telah didapatkan, KHJL diwajibkan melaksanakan sistem lacak balak.

Sistem ini bertujuan memudahkan pelacakan jejak sumber kayu untuk memastikan

legalitasnya.

Setelah kegiatan penebangan selesai dan sebelum kayu persegian disarad,

dilakukan penomoran pada pangkal dan ujung kayu. Tim grading membubuhkan

nomor pada penampang kayu dan penampang tunggak. Nomor pada kayu persegian

berisi informasi nomor anggota (pemilik tegakan), nomor unit, nomor lahan, nomor

pohon, nomor sortimen, urutan potongan, dan ukuran dimensinya. Nomor pada

tunggak berisi informasi nomor anggota, nomor unit, nomor lahan, nomor pohon,

[image:42.595.131.494.317.535.2]

tinggi bebas cabang dan diameter pohon (Gambar 6).

Gambar 6 Penomoran pada tunggak dan kayu persegian.

4. 7. 4. Penyaradan, Pemuatan dan Pengangkutan

Kayu-kayu yang telah dibubuhkan nomor kemudian disarad ke lokasi TPn.

Penyaradan yang diterapkan oleh KHJL menggunakan metode manual, yaitu

menggunakan tenaga manusia sebagai penyarad. Biaya sarad ditanggung oleh

pemilik kayu, dan para penyarad yang disewa biasanya berasal dari desa-desa di

sekitar hutan. Penyewaan tenaga kerja penyaradan biasanya menjadi hak penuh

pemilik kayu, karena KHJL tidak menyediakan sumberdaya manusia untuk itu.

Kegiatan penyaradan menggunakan alat-alat sederhana yaitu kayu, tali atau

(43)

23

sekitar mereka dan mudah ditemukan. Masyarakat lebih memilih menggunakan karet

ban bekas dibandingkan tali karena ban bekas lebih stabil dalam menopang beban

yang besar dan tidak licin. Ada tradisi unik yang dimiliki oleh penyarad di KHJL, yaitu

adanya alat berupa bantalan yang terbuat dari kain yang digulung maupun bantalan

yang berisi serbuk kayu yang berfungsi sebagai pelapis antara kayu dan bahu untuk

mengurangi rasa sakit saat menyarad. Umumnya 1 regu penyarad berjumlah 6 orang

dan dibayar berdasarkan volume yang diangkut.

Di lahan yang memiliki topografi landai, jarang timbul kendala dalam kegiatan

penyaradan ini, selain cuaca yang tidak menentu. Tetapi di daerah yang topografinya

lebih curam, para penyarad terkadang menemui kesulitan dalam menyarad kayu,

ditambah lagi karena alat sarad yang masih sederhana. Di lapangan pernah

ditemukan kayu persegian yang berukuran cukup besar nyaris ditinggalkan oleh

penyarad, karena mengingat sulitnya jalur sarad dikhawatirkan apabila dipaksakan

dapat menimbulkan kecelakaan bagi penyarad. Kendala ini lalu dipecahkan dengan

jalan membagi kayu persegian tersebut menjadi dua bagian sejajar sumbu kayu,

tetapi hal ini tentu saja menurunkan kelas kualitas kayu.

Pemuatan atau loading adalah kegiatan memuat kayu persegian dari lokasi

TPn ke alat angkut. Kegiatan pemuatan di KHJL menggunakan tenaga manusia, alat

angkut yang dipakai berupa truk, dan biaya pemuatan/angkut dari TPn ke TPK

ditanggung oleh pemilik kayu. Kendala yang terjadi dalam proses pengangkutan

terjadi ketika lokasi penebangan berada jauh dari akses jalan dan kondisinya

berbukit sehingga menyulitkan truk untuk masuk dan mengeluarkan kayu dari TPn.

Dikarenakan akses jalan pendukung yang kurang baik menyebabkan kegiatan

pengangkutan sangat tergantung kepada cuaca. Pembongkaran kayu (unloading)

dilakukan di lokasi TPK. Saat pembongkaran, seringkali kayu diturunkan dengan

cara dilemparkan dari truk ke tanah. Hal ini mengakibatkan kayu-kayu bertumpuk

tidak beraturan di TPK dan beberapa kayu mengalami retak pada penampangnya.

Kadang susunan kayu tersebut kemudian dirapikan kembali.

Kayu-kayu persegian yang telah dipilih untuk dikirimkan ke pembeli kemudian

dimuat ke dalam truk kontainer, untuk selanjutnya diturunkan di pelabuhan.

Pemuatan dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia, dan biaya pemuatan

sekaligus pengangkutan ke pelabuhan ditanggung oleh pihak koperasi. Proses

pemuatan dilakukan secara manual dengan alat bantu sederhana yang tersedia di

lokasi pemuatan. Karena terbatasnya fasilitas, tingkat keamanan dan kesehatan

pekerja dalam kegiatan pemuatan kurang diperhatikan, hal tersebut terlihat dari tidak

(44)

5. 1. Pemanfaatan Hasil Tebangan 5. 1. 1. Kayu yang Dimanfaatkan

KHJL memproduksi kayu persegian dari sortimen kayu bulat yang berasal

dari bagian batang utama dan batang atas. Panjang sortimen kayu bulat yang

dimanfaatkan berkisar antara 110 – 210 cm dan diameter rata-rata adalah 38,25 cm

termasuk kulit, dengan diameter terbesar adalah 57 cm dan diameter terkecil 19,5

[image:44.595.132.498.242.412.2]

cm (Gambar 7).

Gambar 7 Sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan dan kayu sisa.

Sortimen batang dengan diameter yang lebih kecil tidak dimanfaatkan dan

ditinggalkan di lokasi tebang dalam kondisi menyatu dengan tajuk. Bagian inilah

yang disebut dengan kayu sisa. Rata-rata jumlah sortimen kayu persegian yang

dihasilkan per pohon adalah 5,43 batang (0,39 m³) dengan volume rata-rata per

sortimen 0,07 m³.

5. 1. 2. Kayu Sisa

Karena tidak adanya pemanfaatan tajuk oleh KHJL, sebagian besar kayu

sisa batang atas, cabang dan ranting masih berada dalam kondisi menyatu. Kondisi

ini tidak diperkirakan sebelumnya, sehingga metode pengukuran harus sedikit

disesuaikan. Berdasarkan metode awal, sortimen kayu sisa yang ditemukan di

lapangan hanya diukur dimensinya saja, namun setelah mempertimbangkan kondisi

kayu sisa di lapangan, maka dilakukan juga simulasi pembagian sortimen. Mula-mula

keliling/diameter pangkal sortimen diukur, kemudian ditentukan kelas diameternya,

lalu sortimen dibagi dengan memberikan torehan pada kulit menurut batasan

panjang terpendek dalam kelas diameter tersebut. Hal ini dilakukan terus sampai

19,5 cm 57 cm

(45)

25

pada batas bawah dari kelas diameter, kemudian dilanjutkan untuk kelas diameter

berikutnya.

Volume total 30 pohon termasuk kulit berdasarkan pengukuran sampai

diameter 3 cm adalah 34,98 m³ dengan nilai rata-rata per pohon 1,17 m³. Sejumlah

23,32 m³ (66,57%) berupa kayu sisa dan kulit yang belum termanfaatkan dengan

nilai rata-rata per pohon 0,78 m³. Volume terbesar berasal dari sebetan dengan nilai

8,26 m³ dan presentase dari total kayu sisa sebesar 35,44% dan volume terkecil

berasal dari tunggak yaitu 0,73 m³ (3,12%). Tingginya presentase kayu sisa

disebabkan oleh pemanfaatan kayu yang hanya sampai pada ukuran yang

dibutuhkan untuk pembuatan kayu persegian. Data masing-masing jenis kayu sisa

[image:45.595.114.509.317.417.2]

dan kulit disajikan oleh Tabel 4.

Tabel 4 Kuantifikasi kayu dan kulit sisa penebangan jati di Koperasi Hutan Jaya Lestari

Jenis Limbah

Parameter

Tunggak Pot. Pendek

Batang

Atas

Cabang

& Ranting Sebetan Kulit Total

Volume (m³) 0,72 1,22 2,49 3,45 8,26 7,17 23,32

Presentase

(%) 3,12 5,21 10,68 14,79 35,44 30,75 100

Kayu sisa penebangan yang masih berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai

sortimen kayu bulat berdasarkan SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003

yaitu sejumlah 4,89 m³ yang merupakan 17,59% dari volume pohon tanpa kulit dan

terdiri dari batang atas, potongan pendek dan cabang dan ranting dengan jumlah

total 634 sortimen. Jumlah ini didominasi oleh kelas diameter 7 cm, 4 cm dan 10 cm

yang sebagian besar berupa cabang dan ranting.

Tabel 5 Perbandingan persentase kayu sisa pemanenan jati di KHJL dengan KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

Persentase (%)

Lokasi Jenis Pohon

Komersial Limbah Total

KHJL Tectona grandis 33,43 66,57 100

BKPH Ketapang KPH BWU * Tectona grandis KU II 82,23 17,77 100 BKPH Ketapang KPH BWU * Tectona grandis KU III 68,79 31,21 100 BKPH Watudodol KPH BWU * Tectona grandis KU IV 79,99 20,01 100 BKPH Watudodol KPH BWU * Tectona grandis KU V 78,29 21,71 100

[image:45.595.118.511.591.711.2]
(46)

Dapat dilihat dalam Tabel 5, potensi kayu sisa penebangan jati yang

didapatkan di KHJL jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kayu sisa yang terjadi

di KPH Banyuwangi Utara, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Perbedaan yang

besar ini terutama disebabkan oleh perbedaan dalam aturan pembagian batang

(bucking policy). Perum Perhutani menghasilkan sortimen dalam bentuk kayu bulat,

sehingga kegiatan pembagian batang tidak menghasilkan kayu sisa sebetan seperti

yang terjadi di KHJL. Sementara berdasarkan pengamatan di lapangan, kayu sisa

sebetan merupakan kayu sisa dengan presentase terbesar dari seluruh jenis kayu

sisa. Bila dianalogikan KHJL memanfaatkan sortimen dalam bentuk kayu bulat, maka

kayu sisa yang terjadi adalah sebesar 31,25%. Nilai ini tidak berbeda jauh

dibandingkan dengan Perum Perhutani, mengingat batas bawah diameter sortimen

yang digunakan oleh Anggoro (2007) adalah ≥ 4 cm. Kondisi ini kemungkinan

disebabkan oleh sistem penebangan yang tidak jauh berbeda antara KHJL dan

Perum Perhutani. Keduanya sama-sama menerapkan sistem semi mekanis dalam

rangkaian kegiatannya, dan alat yang digunakan untuk menebang pun sama, yaitu

chainsaw.

5. 1. 2. 1. Kayu Sisa Tunggak

Tinggi tunggak adalah jarak antara permukaan tanah dan dasar takik rebah

(Husch 2003). Di KHJL batasan maksimal tinggi tunggak belum diatur dalam SOP

Pemanenan KHJL. Namun karena umumnya seluruh bagian kayu jati dapat

dimanfaatkan termasuk tunggaknya, maka dalam penelitian ini keseluruhan tunggak

yang berada di atas permukaan tanah dianggap sebagai kayu sisa. Bagian tunggak

yang berada di dalam tanah tidak ikut dikuantifikasi karena KHJL tidak melakukan

pedongkelan tunggak.

[image:46.595.112.506.550.738.2]

(a) (b)

(47)

27

Ketinggian tunggak rata-rata per pohon adalah 22,43 cm dengan tinggi

terendah yang didapati di lapangan 10 cm dan tertinggi 54 cm (Gambar 9). Volume

kayu sisa tunggak tanpa kulit sebesar 0,73 m³ dengan nilai rata-rata 0,02 m³/pohon

(2,62%) dengan asumsi tebal kulit

Gambar

Tabel 1 Produksi dan ekspor tahunan kayu bulat jati dan kayu gergajian jati (m3)
Gambar 1  Ilustrasi bentuk kayu persegian dan sebetan pada kayu bulat.
Gambar 3  Pengukuran dimensi sortimen kayu bulat dan tunggak.
Tabel 3  Pembagian kawasan hutan Konawe Selatan bedasarkan fungsi lahan Tahun 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait