• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

PUTRI KOMALASARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PUTRI KOMALASARI. Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh AHMAD BUDIAMAN.

Selama ini industri mebel Indonesia setiap tahunnya kekurangan bahan baku kayu jati, karena pasokan kayu jati hanya berasal dari Perum Perhutani dan kayu rakyat. Sementara itu, pemanfaatan jati masih belum dilakukan secara optimal, hal ini ditunjukkan oleh adanya kayu sisa di lokasi tebangan. Melihat kondisi seperti ini, inisiatif untuk memanfaatkan kayu sisa penebangan jati diharapkan dapat mengatasi kekurangan pasokan bahan baku tanpa mengorbankan sumberdaya hutan yang kita miliki.

Informasi mengenai tingkat pemanfaatan dan potensi kayu sisa pemanenan jati di Indonesia, terutama pada hutan rakyat masih sangat minim. Guna mendapatkan data potensi kayu sisa penebangan jati di lokasi tebangan pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan Metode Pohon Penuh (Whole Tree Method). Berdasarkan metode ini, seluruh sortimen kayu bulat (tunggak, batang, cabang dan ranting).yang dihasilkan oleh tiap pohon yang dipanen diukur dimensinya, kemudian diklasifikasikan menurut persyaratan pemotongan panjang sortimen kayu bundar jati pada SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 mengenai klasifikasi limbah pemanenan kayu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volume total 30 pohon termasuk kulit berdasarkan pengukuran sampai diameter 3 cm adalah 34,98 m³ dengan nilai rata-rata per pohon 1,17 m³. Sejumlah 23,32 m³ (66,57%) berupa kayu sisa dan kulit yang belum termanfaatkan dengan nilai rata-rata per pohon 0,78 m³. Volume terbesar berasal dari sebetan dengan nilai 8,26 m³ dan presentase dari total kayu sisa sebesar 35,44% dan volume terkecil berasal dari tunggak yaitu 0,73 m³ (3,12%). Sejumlah 68,31% masih berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai sortimen kayu bulat, yaitu sebesar 0,16 m³/pohon dengan proporsi cabang dan ranting 47,20%, 46,98% batang atas dan sisanya (5,82%) merupakan potongan pendek.Tingginya presentase kayu sisa disebabkan oleh pemanfaatan kayu yang hanya sampai pada ukuran yang dibutuhkan untuk pembuatan kayu persegian.

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2009 Putri Komalasari NRP E24104075

(4)

Judul Skripsi : Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

Nama : Putri Komalasari NIM : E24104075

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop. NIP. 131 878 495

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr. NIP : 131 578 788

(5)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara di bawah bimbingan Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop.

Skripsi ini merupakan karya ilmiah dari hasil penelitian di Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang dilaksanakan dari bulan Mei 2008 sampai dengan Juni 2008.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah (Ir. Ismail TA, Dipl. HE), Nyak (Cut Nursafrina), serta seluruh keluarga atas dorongan, dukungan, doa dan kasih sayangnya.

2. Bapak Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F. Trop. selaku pembimbing atas segala dukungan, arahan, bantuan dan bimbingannya.

3. Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M. Sc. F. Trop selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif. 4. Bapak Warma S. selaku Ketua KHJL, Bapak Nirwan, Bapak Khalik, Bapak Tilu

dan rekan-rekan dari LSM JAUH-Sultra, Bapak Sugeng dan Bapak Arlan dari Tropical Forest Trust, Bapak Onte dari Perkumpulan Telapak, Bapak Rahman, Bapak Siong, pengurus dan semua anggota KHJL, keluarga Bapak Hendro dan keluarga Bapak Husen atas segala bantuan, perhatian, persahabatan dan keramahannya.

5. Rekan-rekan Pemanenan Hasil Hutan, THH, BDH, KSHE dan MNH angkatan 41, 40, 39 dan 38 untuk kebersamaannya.

6. Rekan, teman, sahabat dan keluarga: Aswita Lewenussa, Indri Rezania, Yolanda Anastatica, Maya Rahmahwati, Akhmad Fauzi Nurulhamzah, Mohammad Ramadhon dan Gita Ardhia Kusuma untuk cinta bersama setiap langkah dan warna-warna yang indah dalam setiap jejak yang tertinggal.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan dalam kesempatan ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Februari 2009 Penulis

(6)

Penulis dilahirkan di Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 24 Agustus 1986 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Ir. Ismail TA, Dipl. HE dan Cut Nursafrina.

Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Banda Aceh dan pada tahun yang sama lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB sebagai pilihan pertama dan pada semester tiga penulis mengambil Sub Program Studi Pemanenan Hasil Hutan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif menjadi anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna IPB. Penulis pernah menjadi asisten pada mata kuliah Pembukaan Wilayah Hutan dan Pemanenan Hasil Hutan pada tahun ajaran 2007/2008. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Sancang, Kamojang dan Cianjur, Jawa Barat, serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

Dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Kuantifikasi Kayu Sisa Penebangan Jati pada Areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara di bawah bimbingan Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M Sc. F. Trop.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang ... 1

1. 2. Tujuan Penelitian ... 2

1. 3. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pemanenan Hutan ... 3

2. 2. Kayu Sisa Pemanenan Hutan ... 3

2. 3. Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn. f)... 6

2. 4. Sertifikasi SLIMF FSC ... 9

III. METODE PENELITIAN 3. 1. Lokasi dan Waktu ... 11

3. 2. Bahan dan Alat... 11

3. 3. Metode Penelitian... 11

3. 4. Analisis Data ... 15

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1. Letak dan Luas... 17

4. 2. Topografi ... 17

4. 3. Iklim... 17

4. 4. Kondisi Hutan ... 17

4. 5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 18

4. 6. Sejarah Singkat Perolehan Sertifikasi ... 18

4. 7. Sistem Pemanenan Jati... 19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1. Pemanfaatan Hasil Tebangan ... 24

5. 2. Prospek Pemanfaatan Kayu Sisa dan Kulit Jati ... 33

5. 3. Faktor Residu dan Faktor Pemanfaatan... 35

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1. Kesimpulan... 36

6. 2. Saran... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Produksi dan ekspor tahunan kayu bulat jati dan kayu gergajian

Jati (m3)... 8 2. Klasifikasi sortimen berdasarkan SNI 01-5007.17-2001 dan

SNI 01-5007.1-2003... 14 3. Pembagian kawasan hutan Konawe Selatan bedasarkan fungsi

lahan ... 18 4. Kuantifikasi kayu dan kulit sisa penebangan jati di Koperasi Hutan

Jaya Lestari... 25 5. Perbandingan persentase kayu sisa pemanenan jati di KHJL

dengan KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa

Timur... 25 6. Potensi sortimen kayu bulat batang atas ... 28 7. Potensi sortimen kayu bulat potongan pendek ... 29 8. Potensi sortimen kayu bulat pada batang atas, potongan pendek,

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Perkiraan bentuk kayu persegian dan sebetan pada kayu bulat... 12

2. Distribusi sortimen kayu pada pohon yang ditebang... 12

3. Pengukuran dimensi kayu bulat dan tunggak ... 14

4. Pembuatan takik rebah oleh chainsawman (a) dan pencabangan (b) ... 20

5. Proses pembuatan kayu persegian (a) dan kayu persegian (b)... 21

6. Penomoran pada tunggak, kayu bulat dan kayu persegian/balok... 22

7. Sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan dan kayu sisa ... 24

8. Kayu sisa tunggak setinggi 10 cm (a) dan 54 cm (b) ... 26

9. Kayu sisa cabang dan ranting... 27

10. Potensi sortimen kayu bulat cabang dan ranting ... 28

11. Kayu sisa potongan pendek antara batang utama dan batang atas (a) dan antara tunggak dan batang utama (b) ... 29

12. Jumlah sortimen kayu bulat tiap kelas diameter ... 31

13. Distribusi jumlah dan volume sortimen kayu sisa berdasarkan Kepmenhut Nomor: 6886/Kpts-II/2002 ... 31

14. Proporsi kayu persegian dan sebetan dalam satu sortimen kayu bulat... 32

14. Sortimen kayu bulat dengan gubal yang tebal (a) dan kayu sisa sebetan yang dihasilkan (b) ... 33

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Rekapitulasi volume kayu sisa per jenis (m³) ... 40

2. Rekapitulasi volume sortimen kayu bulat yang memenuhi klasifikasi (m³)... 42 3. Rekapitulasi jumlah sortimen kayu bulat yang memenuhi klasifikasi ... 44

4.

Rekapitulasi dimensi kayu persegian... 45

(11)

1. 1. Latar Belakang

Kebutuhan bahan baku kayu jati untuk sekitar 1.500 perusahaan furnitur di Indonesia pada tahun 2000 adalah 2 juta m³ per tahun, sementara pada tahun yang sama Perum Perhutani hanya memproduksi kayu jati dalam bentuk log sebesar 726.654 m³. Hal ini cukup mengganggu pertumbuhan dan perkembangan industri-industri furnitur Indonesia, karena selama ini pasokan kayu jati hanya berasal dari Perum Perhutani dan kayu rakyat (Asmindo 2001 diacu dalam Siregar 2005). Kekurangan kebutuhan bahan baku ini diatasi dengan impor yang tercatat sebanyak 1.000 m³ setiap bulannya dalam bentuk kayu olahan (Rambu Kota 2007). Perlu diberikan perhatian yang serius untuk menjamin kelangsungan industri-industri perkayuan Indonesia, mengingat industri mebel memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pemasukan devisa negara, yaitu sebesar 1,45 milyar US$ dari total 8 milyar US$ untuk seluruh produk kehutanan (Asmindo 2001 diacu dalam Siregar 2005).

Di sisi lain, kayu sisa yang timbul dari kegiatan penebangan jati masih cukup besar. Kayu sisa pemanenan jati di Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara mencapai 0,12 m3/pohon (22,67%) yang berupa kayu pecah (1,77%); kayu lapuk (0,48%); potongan pendek (1,4%); cabang dan ranting (91,35%); tunggak (2,91%) dan kayu tak beraturan (2,08%) (Anggoro 2007).

Peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu sisa pemanenan jati yang ada di areal tebang diharapkan dapat mengurangi permasalahan kekurangan pasokan bahan baku tanpa mengorbankan sumberdaya hutan. Selain itu, inisiatif ini dapat meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar hutan terutama petani pemilik hutan.

Informasi mengenai tingkat pemanfaatan dan potensi limbah tebangan jati di Indonesia, terutama pada hutan rakyat masih sangat minim, sehingga perlu dilakukan penelitian yang mendalam mengingat nilai kayu jati masih cukup tinggi, baik di pasar domestik maupun internasional. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar mengenai potensi kayu sisa tebangan jati di hutan rakyat yang masih dapat dimanfaatkan dan mengidentifikasi dimensi sortimen kayu sisa untuk memberikan gambaran kemungkinan penggunaan limbah tersebut.

(12)

1. 2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi jenis kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan penebangan jati di pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

2. Menghitung tingkat pemanfaatan penebangan jati pada pengelolaan hutan jati berbasis masyarakat.

1. 3. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai upaya penyediaan data dasar (baseline) usaha pemanfaatan kayu sisa penebangan jati, serta bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kelestarian produksi jati di Indonesia, khususnya di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

(13)

2. 1. Pemanenan Hutan

Pemanenan kayu merupakan suatu rangkaian kegiatan pemindahan kayu dari hutan ke tempat pengolahan melalui tahapan kegiatan penebangan, penyaradan, pengangkutan dan pengujian (Conway 1982).

Kegiatan pemanenan hutan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial. Sedangkan tujuan dari kegiatan ini adalah memaksimalkan nilai kayu, mengoptimalkan pasokan bahan baku industri, meningkatkan kesempatan kerja dan mengembangkan ekonomi daerah. Pemanenan merupakan tahapan yang sangat penting dalam pengelolaan hutan, karena kegiatan ini memiliki andil dalam menentukan volume dan mutu kayu yang dihasilkan.

Sistem pemanenan hutan yang diterapkan oleh Perum Perhutani untuk tanaman jati adalah sistem pemanenan manual dan semi mekanis. Untuk tebangan A (tebang habis) dan tebangan E (tebang penjarangan) pada KU IV sebagian besar dilakukan menggunakan chainsaw, sedangkan tebangan E pada KU III dan KU II menggunakan gergaji manual. Kegiatan penyaradan dilakukan oleh tenaga manusia dengan cara memikul kayu ke jalan angkutan atau jalan sogokan, kemudian kayu diangkut ke lokasi TPK dengan menggunakan truk (Anggoro 2007).

2. 2. Kayu Sisa Pemanenan Hutan 2. 2. 1. Definisi Kayu Sisa Pemanenan

Menurut Widarmana et al. (1973), kayu sisa adalah sisa-sisa atau bagian-bagian kayu yang dianggap tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu, pada waktu dan tempat tertentu, tetapi masih mungkin untuk dimanfaatkan pada proses, waktu dan tempat yang berbeda.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 Tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) pada Hutan Produksi menggunakan istilah limbah tebang atau yang disebut juga limbah pembalakan untuk kayu sisa yang tidak dimanfaatkan lagi oleh pemegang izin yang sah pada kegiatan penebangan/ pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang. Menimbang bahwa dalam peraturan tersebut kayu jati dianggap tidak memiliki limbah, maka dalam penelitian ini istilah kayu sisa digunakan untuk menggantikannya.

(14)

2. 2. 2. Klasifikasi Kayu Sisa Pemanenan

Proses pemanenan dapat menghasilkan kayu sisa dalam beberapa tahapan kegiatannya. Tahapan pemanenan yag umumnya menimbulkan kayu sisa antara lain adalah kegiatan penebangan, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan

Berdasarkan tempat terjadinya, Sastrodimedjo dan Sampe (1978) dalam Puspitasari (2005) mengelompokkan kayu sisa/limbah pemanenan menjadi:

a. Kayu sisa yang terjadi di areal tebangan (Cutting Area), berupa kelebihan tunggak dari yang diijinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat, potongan-potongan akibat pembagian batang dan sisa cabang dan ranting. b. Kayu sisa yang terjadi di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), batang-batang yang

tidak memenuhi syarat, baik kualitas maupun ukurannya.

c. Kayu sisa yang terjadi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK). Umumnya terjadi karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan sehingga busuk, pecah dan terserang jamur.

Puspitasari (2005) menunjukkan bahwa kayu sisa terbesar yang berasal dari HTI (Hutan Tanaman Industri) terjadi pada kegiatan penebangan, yaitu sebesar 1,67%. Presentase kayu sisa kegiatan penyaradan sebesar 1,25%, pemuatan 0,92% dan yang terkecil adalah kayu sisa akibat kegiatan pengangkutan (0,52%).

Budiaman (2000) menyebutkan bahwa kayu sisa pemanenan dapat berupa semua kayu bulat yang terdiri dari batang komersial, potongan kecil, tunggak, cabang dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam.

2. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (komersial).

3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama.

4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas.

5. Potongan kecil adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis cacat fisik lainnya yang mengurangi nilai fisik kayu.

(15)

Sisa-sisa kayu hasil proses pemanenan yang disebut limbah tebang dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 dapat berupa sisa pembagian batang termasuk cabang, ranting, pucuk, tunggak atau kayu bulat yang mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 cm atau panjang tidak lebih dari 2 meter atau kayu cacat/ gerowong lebih dari 40%.

2. 2. 3. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kayu Sisa

Menurut Dulsalam (1995) dalam Anggoro (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kayu sisa pemanenan adalah :

1. Tidak diterapkannya teknik pemanenan hutan yang baik 2. Kebijakan perusahaan

Perusahaan yang hanya mengutamakan produksi log dengan kualitas baik akan mengakibatkan banyak bagian kayu yang ditinggalkan di hutan. Para pekerja hutan pada dasarnya hanya mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh mandor dan pengawas mereka.

3. Topografi

Pada topografi yang berat, penebang sulit mengendalikan arah rebah pohon yang ditebang.

4. Kerapatan tegakan 5. Sistem upah

Sistem upah borongan merangsang pekerja-pekerja hutan untuk memperoleh produksi yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kerusakan pohon yang dikerjakan maupun kerusakan tegakan tinggal. Sebagai akibatnya, banyak dijumpai kayu yang mungkin masih dapat dimanfaatkan ditinggalkan di hutan. 6. Keterampilan tenaga kerja

Tenaga kerja yang memempunyai keterampilan tinggi akan mengakibatkan limbah penebangan relatif kecil, demikian juga sebaliknya. Keterampilan ini sangat dipengaruhi oleh motivasi dan pengalaman kerja.Tenaga kerja yang mempunyai motivasi tinggi biasanya cenderung bekerja lebih giat dan lebih sungguh-sungguh. Tenaga yang mempunyai pengalaman kerja yang lebih lama biasanya lebih terampil.

7. Pengawasan

Endom (1996) menyatakan bahwa dengan penurunan tinggi takik rebah sebesar 30 – 60% diperoleh tambahan volume sekitar 1%. Penambahan biaya dengan memperhitungkan perbedaan waktu kerja efektif sebanyak 0, 58 menit/kegiatan penebangan dengan asumsi harga bensin Rp. 1000, 00/liter didapatkan hanya sebesar Rp. 10, 00/menit atau Rp. 344, 13/m³.

(16)

Simarmata dan Haryono (1986) menyebutkan bahwa volume kayu sisa dari pohon yang ditebang lebih besar bila dibandingkan dengan kayu sisa akibat kegiatan penyaradan dan penebangan. Hal ini umumnya disebabkan karena batang pecah dan rusak pada waktu rebah dan dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau tidak efisien apabila diangkut seperti batang yang memenuhi syarat. Kejadian batang pecah bisa terjadi karena menimpa batu atau permukaan tanah yang tidak rata, serta teknik penebangan yang salah sehingga batang pecah saat direbahkan. Anggoro (2007) menguatkan dalam penelitiannya di tegakan jati KPH Banyuwangi Utara bahwa kegiatan penyaradan, muat-bongkar dan pengangkutan tidak menghasilkan kayu sisa pemanenan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh nilai kayu jati yang cukup mahal, sehingga efisiensi pemanenan yang dilakukan oleh pihak Perum Perhutani untuk jenis kayu ini cukup tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya.

2. 3. Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn. f.) 2. 3. 1. Sifat Ekologis dan Penyebaran

Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 telah dikenal sebagai pohon yang memilki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memilki kelas awet (mampu bertahan hingga 500 tahun) (Sumarna 2003).

Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut (Sumarna 2003): Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona Spesies : Tectona grandis Linn. f.

Jati umumnya tumbuh baik pada tanah yang banyak mengandung Fosfor (P) dan Kalsium (Ca), dengan pH sekitar 6 , dan biasanya kondisi lingkungan terbaik untuk jati adalah lingkungan dengan musim kering yang nyata dengan curah hujan antara 750 – 2500 mm per tahun (Sumarna 2003). Umumnya jati tumbuh dengan baik pada ketinggian dibawah 1000 mdpl, dan suhu minimum untuk

(17)

pertumbuhannya antara 13º - 17ºC dan suhu maksimum antara 39ºC - 43ºC (Pandey & Brown 2000).

Hutan alam jati biasanya tumbuh pada tanah yang bergelombang dengan basal, granit, schist, gneiss, limestone dan sandstone sebagai batuan bawahnya. Hutan jati terbaik, baik hutan alam maupun hutan tanaman tumbuh pada tanah aluvium dalam dengan drainase yang memadai, dan akan menghasilkan jati berkualitas buruk bila tumbuh pada tanah liat (Seth & Yadav 1989 dalam Pandey & Brown 2000).

Umumnya, menurut Sumarna (2003), tanaman jati dapat mencapai tinggi 30-45 m dengan tinggi bebas cabang antara 15-20 m dan di hutan alam diameter batang dapat mencapai 220 cm.

2. 3. 2. Sifat-sifat Kayu Jati dan Pengerjaan

Martawidjaja et al. (1981) menyebutkan bahwa kayu jati memiliki kelas awet dan kelas kuat II. Jati memiliki permukaan kayu yang agak licin dan pola lingkaran tahunnya terlihat jelas, sehingga sering dimanfaatkan sebagai venir, keping-keping parket penutup lantai, dan produk lain yang menuntut keindahan tampilan. Kayu jati juga disukai untuk pembuatan furnitur dan kerajinan ukir-ukiran karena mudah dipotong dan diolah, meski memiliki kelas kuat II.

2. 3. 3. Sekilas Fakta Jati Dunia

Jati tumbuh secara alami hanya di India, Myanmar, Laos dan Thailand dan juga ditumbuhkan secara alami di Indonesia yang diperkirakan merupakan hasil introduksi 400 sampai 600 tahun yang silam. Disamping itu, jati telah menyebar ke seluruh Asia tropis seperti juga Afrika tropis (Côte d'Ivoire, Nigeria, Sierra Leone, United Republic of Tanzania dan Togo) dan Amerika Latin dan Karibia (Costa Rica, Colombia, Ecuador, El Salvador, Panama, Trinidad dan Tobago dan Venezuela). Jati juga diperkenalkan ke beberapa pulau di daerah Pasifik (Papua Nugini, Fiji dan Kepulauan Solomon) dan di utara Australia dalam tahap percobaan (Pandey & Brown 2000).

Pandey dan Brown (2000) menyebutkan bahwa perdagangan ekspor jati dunia didominasi oleh Myanmar dengan Cina dan Thailand sebagai pengimpor utama. Dapat dilihat dari Tabel 1 bahwa sebagian kayu gergajian jati dunia diekspor oleh Indonesia dan Myanmar, dengan Thailand dan Côte d'Ivoire di posisi ketiga dengan jumlah yang cukup signifikan. Negara-negara lain seperti Ghana, Cina, United Republic of Tanzania dan Ekuador, mengekspor dalam jumlah sedang, sedangkan India menggunakan seluruh produksinya untuk konsumsi dalam negeri.

(18)

Tabel 1 Produksi dan ekspor tahunan kayu bulat jati dan kayu gergajian jati (m3) Negara Produksi Log Jati Ekspor Log Jati Ekspor Kayu Gergajian Jati

Myanmar 358 000 179 200 33 100 India 250 000 0 0 Indonesia 750 000 0 35 000 Thailand 12 900 0 5000 Negara lain 424 100 134 300 14 800 Total 1 795 000 313 500 87 900

Sumber: (Pandey & Brown 2000).

Menurut Pandey dan Brown (2000) pula, produsen produk jati terbesar adalah Indonesia, Thailand, India dan Cina. India memproduksi kayu gergajian untuk bahan baku konstruksi dan dekorasi, dan kayu lapis dekoratif, semuanya secara eksklusif diolah untuk konsumsi pasar dalam negerinya. Industri-industri jati Cina dan Thailand memakai bahan baku log impor, sementara Indonesia memiliki hutan tanaman jatinya sendiri. Sebagian besar hasil produksi ini kemudian diekspor ke Eropa dan Amerika Utara dalam bentuk furnitur atau kayu gergajian. Umumnya, volume impor (dan seringnya ekspor) produk jati tidak terdokumentasikan dengan layak atau tidak dapat diakses.

Di Laos, jati memiliki peran penting dalam kehidupan petaninya. Mereka mendapatkan pendapatan tinggi dari penjualan kayu baik ke pasar lokal maupun pasar luar. Jati memberikan masing-masing sekitar 27%, 15% dan 14% pendapatan rumah tangga bagi keluarga kaya, menengah dan miskin. Sayangnya, sebagian besar penjualan dilakukan melalui pedagang lokal dan luar, dan petani tidak mampu mengakses unit pengolahan kayu secara langsung. Diperkirakan 99% kayu bulat jati dibeli oleh pedagang luar dan hanya 1% oleh pedagang lokal. Sekitar 95% dari produksi diekspor, dan 5% dalam bentuk limbah digunakan untuk konsumsi lokal (Keonakhone 2006).

Lain halnya dengan Myanmar, di negara ini pemerintahan yang berbasis militer mempekerjakan penduduknya secara paksa dalam kegiatan pemanenan jati, termasuk memanfaatkan gajah-gajah yang dieksploitasi sampai mati. Sepanjang akhir tahun 1990-an jati Myanmar diboikot oleh dunia internasional. Boikot juga mengancam kayu ekspor dari Thailand, Singapura dan Taiwan yang bahan bakunya berasal dari Myanmar. Hal ini terjadi karena isu deforestasi di Myanmar akibat produksi jati dari hutan alam. Jati tumbuh menyebar di dalam hutan, sehingga penebang harus menempuh jarak yang jauh ke dalam hutan primer untuk mendapatkannya, maka jalan sarad dan jalan angkut dibuat bermil-mil jauhnya. Jalur angkut ini memainkan peran penting dalam proses deforestasi di Myanmar, Laos, Kamboja dan Thailand. Jalan juga membuka peluang untuk menginvasi lahan-lahan

(19)

penduduk asli, baik dalam bentuk penambangan logam dan mineral, pendudukan lahan oleh penduduk luar, maupun (khususnya di Myanmar) penempaan penduduk asli menjadi tenaga budak dalam proses pemanenan jati (Johansen 2003).

Di Indonesia, umumnya tanaman jati berada pada kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani, kawasan hutan yang direboisasi dan hutan-hutan komunitas di lahan-lahan pribadi milik masyarakat. Perum Perhutani memiliki hak pengelolaan penuh terhadap tegakan jati yang berada di kawasan hutan produksi millik negara di Pulau Jawa, sedangkan tegakan jati rakyat biasanya dikelola secara pribadi dan digunakan sebagai “tabungan” oleh pemiliknya. Pohon jati rakyat umumnya tidak sampai berumur tua sudah ditebang karena kebutuhan akan kayu pertukangan ataupun kebutuhan akan uang bagi pemiliknya (Hadikusumo 2001). Pohon jati yang belum cukup tua ini memiliki kandungan kayu juvenil yang cukup besar. Padahal menurut Hadikusumo (2001), apabila suatu sortimen mengandung kayu juvenil yang bercampur dengan kayu dewasa, maka sortimen tersebut akan mengalami pelengkungan setelah kering.

2. 4. Sertifikasi SLIMF FSC

Sertifikasi hutan merupakan usaha untuk memberikan dukungan bagi komunitas dalam pengelolaan hutan rakyat termasuk jati dan guna memperkenalkan produk-produk hutan rakyat di tingkat nasional dan internasional. Di Indonesia terdapat dua lembaga pemberi sertifikat, yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC). Kedua lembaga ini telah berhasil melakukan sertifikasi terhadap lebih dari satu juta hektar hutan produksi maupun hutan alam Indonesia dalam rentang waktu 10 tahun terakhir. Untuk Konawe Selatan dalam hal ini Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), FSC mengeluarkan sertifikat SLIMF (Small and Low Intensity Managed Forests) yang khusus diperuntukkan bagi hutan-hutan yang dikelola dengan luasan kurang dari 1.000 Ha dengan nilai tebangan dibawah 20 % dari riap keseluruhan produksi dan total tebangan per tahun tidak lebih dari 5000 m³ (Hinrichs et al. 2008).

Upaya sertifikasi ini diharapkan dapat memudahkan pemasaran bagi produk-produk hutan KHJL, sekaligus memberikan tambahan pasokan bagi permintaan kayu-kayu bersertifikat di pasar dunia, terutama Eropa yang merupakan pasar strategis bagi banyak negara berkembang untuk memasarkan produk kayu mereka, dan memiliki tuntutan yang relatif tinggi dalam hal sertifikasi. Banyak pembeli kayu hanya mau membeli kayu jati yang bersertifikasi meski dengan harga yang lebih mahal, karena dengan sertifikasi itu para pembeli dapat melacak jejak sumber kayu

(20)

yang dibelinya, sehingga dapat dipastikan bila kayu tersebut berasal dari hutan lindung atau hutan produksi.

(21)

3. 1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di hutan jati yang dikelola oleh Koperasi Hutan Jaya Lestari Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan selama satu bulan terhitung mulai tanggal 5 Mei 2008 – 1 Juni 2008.

3. 2. Bahan dan Alat

Obyek penelitian adalah tegakan jati dan hasil tebangan di petak tebang. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, kaliper, tally sheet, komputer dan kamera.

3. 3. Metode Penelitian 3. 3. 1. Batasan Masalah

Kayu sisa penebangan jati yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kayu-kayu sisa akibat kegiatan penebangan dan pembagian batang yang tidak dimanfaatkan lagi oleh pemegang izin yang sah pada kegiatan penebangan/ pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang dan terdiri atas batang atas, cabang dan ranting, dan potongan pendek yang berdiameter ≥ 3 cm dengan panjang ≥ 0, 40 m (SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003) serta tunggak yang berada di atas permukaan tanah. Klasifikasi kedua yang digunakan adalah berdasarkan definisi limbah penebangan menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002, yaitu mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 cm atau panjang tidak lebih dari 2 meter atau kayu cacat/ gerowong lebih dari 40%.

Koperasi Hutan Jaya Lestari memiliki sistem pembagian batang yang berbeda dengan sistem pembagian batang yang umum diterapkan di pengusahaan hutan. Setelah pohon direbahkan, sortimen kayu bulat dari pembagian batang kemudian dibentuk menjadi kayu persegian sehingga menghasilkan hasil sampingan berupa sebetan (slab) (Gambar 1).

(22)

Sebetan Sebetan

Kayu Persegian Kayu Bulat

Gambar 1 Ilustrasi bentuk kayu persegian dan sebetan pada kayu bulat. Batasan jenis sortimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Batang utama adalah batang dari atas takik rebah dan takik balas sampai cabang pertama.

2. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (komersial).

3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama.

4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas.

5. Potongan pendek adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong.

6. Sebetan (Slab) adalah bagian dari batang utama yang merupakan limbah dari kegiatan pemotongan kayu persegian.

.

(23)

3. 3. 2. Metode Kuantifikasi

Metode kuantifikasi limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pohon penuh (Whole Tree Method). Dalam metode ini setiap pohon yang dipanen dihitung seluruh sortimen kayu bulat yang dihasilkan (batang utama, batang atas, cabang dan ranting) termasuk tunggak yang berada di atas permukaan tanah. Seluruh sortimen kemudian diukur dimensi panjang dan diameternya kemudian ditentukan volumenya. Metode ini dapat menentukan jumlah keseluruhan sortimen kayu bulat dari setiap individu pohon, sehingga memberikan hasil yang lebih komprehensif tentang sebaran sortimen kayu bulat (Gambar 2).

3. 3. 3. Metode Pengambilan Contoh

Pohon contoh yang diambil ditentukan berdasarkan rencana penebangan yang telah disahkan oleh Koperasi Hutan Jaya Lestari. Pohon contoh ditentukan sejumlah 30 pohon dan diambil dari lahan milik anggota koperasi dengan nomor keanggotaan KHJL_HM_01_001 (lahan 1 dan 10), dan KHJL_HM_01_02 (lahan 3). Lahan contoh dipilih berdasarkan rencana tebangan tahun berjalan KHJL.

3. 3. 4. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Data primer yang dikumpulkan meliputi data volume kayu sisa yang berasal dari kegiatan penebangan dan pembagian batang yang merupakan bagian dari batang utama, batang atas, cabang dan ranting, tunggak, potongan pendek dan sebetan dengan klasifikasi dimensi berdasarkan SNI 5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003.

Sedangkan data sekunder merupakan data tambahan untuk mendukung penelitian yang diperoleh melalui wawancara atau pengutipan data dari koperasi. Data yang dimaksud antara lain adalah kondisi umum lokasi penelitian, luas dan letak petak tebang, sistem pemanenan kayu yang digunakan dan kebijakan pembagian batang yang diberlakukan.

3. 3. 5. Pengukuran Dimensi Sortimen Kayu Bulat

Semua sortimen kayu bulat (batang utama, batang atas, cabang dan ranting) berdiameter ≥ 3 cm diukur diameter dan panjangnya. Batasan diameter terkecil ini mengacu pada SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003 (Tabel 2).

(24)

Tabel 2 Klasifikasi sortimen berdasarkan SNI 5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003

No. Sortimen Kelas Diameter (cm) Selang Diameter (cm) Panjang (m)

1. KBK (A I) 4 7 10 13 16 19 3,00 - 5,99 6,00 - 8,99 9,00 - 11,99 12,00 - 14,99 15,00 - 17,99 18,00 - 20,99 ≥2,00 ≥1,00 ≥0,70 ≥0,70 ≥0,40 ≥0,40 2. KBS (A II) 22 25 28 21,00 – 23,99 24,00 – 26,99 27,00 – 29,99 ≥0,40 ≥0,40 ≥0,40 3. KBB (A III) ≥ 30 ≥ 30 ≥0,40

Sumber: SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003 dengan sedikit penyesuaian

Pengukuran diameter dilakukan dua kali pada masing-masing ujung dan pangkal kemudian dihitung rata-ratanya. Sedangkan untuk tunggak, diameter yang digunakan adalah diameter pangkal. Panjang adalah jarak terpendek antara kedua bontos sejajar dengan sumbu kayu (Gambar 3).

Gambar 3 Pengukuran dimensi sortimen kayu bulat dan tunggak.

Klasifikasi limbah menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 adalah sebagai berikut:

a) Diameter ≤ 30 cm b) Panjang ≤ 2 m

c) Kayu cacat atau gerowong ≥ 40 %

D2 D1 D4 D3 L H D1 D2 Permukaan Tanah

(25)

3. 3. 6. Perhitungan Volume Sebetan

Volume sebetan dapat ditentukan berdasarkan selisih dari volume kayu bulat dan volume kayu persegian yang dihasilkannya.

3. 4. Analisis Data

3. 4. 1. Perhitungan Diameter

Diameter sortimen kayu bulat ditetapkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (SNI 01-5007.2-2000):

(

) (

)

2

4

3

2

1

2

1

d

d

d

d

d

=

+

+

+

Keterangan:

d

: diameter rata-rata sortimen (cm)

d1 : diameter terpendek pada pangkal sortimen(cm) d2 : diameter terpanjang pada pangkal sortimen(cm) d3 : diameter terpendek pada ujung sortimen (cm) d4 : diameter terpanjang pada ujung sortimen (cm)

3. 4. 2. Perhitungan Volume

Volume sortimen kayu bulat diukur menggunakan rumus:

10000

4

1

d

2

p

V

=

π

×

×

Dimana: V : volume sortimen (m3)

d

: diameter rata-rata sortimen (cm) p : panjang sortimen (m)

π

: konstanta = 3,14 10.000 = konstanta

Volume kayu persegian ditentukan dengan rumus berikut:

t

l

p

V

=

×

×

Keterangan:

V : volume kayu persegian (m3) p : panjang kayu persegian (m) l : lebar kayu persegian (m) t : tebal kayu persegian (m)

(26)

Volume sebetan ditentukan dari selisih antara volume kayu bulat dan volume kayu persegian yang dihasilkan.

3. 4. 3. Faktor pemanfaatan (recovery rate) dan faktor residu

Faktor pemanfaatan dan faktor residu dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

%

100

×

=

Vt

Vm

fm

keterangan : fm = faktor pemanfaatan (%)

Vm = volume kayu yang dimanfaatkan (m3)

Volume kayu yang dimanfaatkan adalah berupa volume kayu persegian.

Vt = volume total pohon (m3)

Volume total pohon diperoleh dengan menjumlahkan volume kayu yang dimanfaatkan dengan volume kayu sisa dari masing-masing pohon.

%

100

×

=

Vt

Vr

fr

keterangan : fr = faktor residu (%) Vr = volume kayu sisa (m3)

Volume kayu sisa diperoleh dengan menjumlahkan volume semua bentuk kayu sisa yang dihasilkan dari masing-masing pohon.

(27)

4. 1. Letak dan Luas

Kabupaten Konawe Selatan ibukotanya Andoolo, secara geografis terletak di bagian Selatan Khatulistiwa, melintang dari Utara ke Selatan antara 30.58.56’ dan 40.31.52’ dan 40.31.16’ lintang Selatan, membujur dari Barat ke Timur antara 121.58’ dan 123.16’ bujur Timur (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara 2006).

Luas wilayah daratan Kabupaten Konawa Selatan 451.421 Ha atau 11,83% dari luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan (laut) ±9.268 Km² (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara 2006).

4. 2. Topografi

Pada umumnya lahan didominasi oleh bukit kecil atau datar dengan kemiringan kurang dari 15 %. Sebagian areal memiliki kelerengan terjal antara 25 – 40 % namun total areal ini kurang dari 20 % (Koperasi Hutan Jaya Lestari 2005).

4. 3. Iklim

Seperti halnya daerah lain di Indonesia, daerah Konawe Selatan beriklim tropis dengan dua musim dalam setahunnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Curah hujan di Konsel rata-rata pertahun dibagi atas 3 bagian yaitu (Koperasi Hutan Jaya Lestari 2005):

a) Pola curah hujan tahunan antara 0-1500 mm terdapat di bagian selatan, meliputi kecamatan Andoolo, Tinanggea, Lamea dan Palanga.

b) pola curah hujan 1500-1900 mm terdapat dibagian tengah dan utara, meliputi Moramo, Ranomeeto, Landono dan Angata

c) pola curah hujan > 1900 mm pertahun terdapat dibagian barat dan Timur

4. 4. Kondisi Hutan

Menurut Koperasi Hutan Jaya Lestari (2005), seluas 212.097 Ha, 50.38% dari areal lahan yang ada saat ini dinyatakan sebagai Kawasan Hutan dan 208.906 (49.62%) digolongkan sebagai Kawasan Budidaya. Daerah kerja kehutanan sosial KHJL meliputi lahan yang dialokasikan sebagai Hutan Produksi (General Production Forest), Jati rakyat KHJL berasal dari lahan yang ditetapkan sebagai Area Budaya, bukan-hutan. Pembagian lahan di areal ini ditunjukkan oleh Tabel 3.

(28)

Tabel 3 Pembagian kawasan hutan Konawe Selatan bedasarkan fungsi lahan Tahun 2003 Fungsi Lahan

Ha %

1. Kawasan Hutan 212.097 50.38

a. Kawasan Suaka dan Pelestarian Alam 79.540 37.5 b. Hutan Lindung 42.759 20.2 c. Hutan Produksi Terbatas 3.705 1.7 d. Hutan Produksi Biasa 86.093 40.6 e. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonservasi 0 0

2. Kawasan Budidaya Non Kehutanan 208.909 49.62

Jumlah 421.006 100

Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan (2003) dalam Koperasi Hutan Jaya Lestari (2005)

Petani jati dalam KHJL memiliki satu hingga beberapa plot yang berkisar antara 0,1 hingga 1 hektar. Kawasan jati dewasa merupakan tegakan monokultur dan tegakan campuran, misal disela dengan tanaman coklat, lada, kopi, kacang mede, sagu dan berbagai pohon buah. Kawasan yang baru ditanami sekarang sering ditanam bersamaan dengan tanaman pangan misalnya seperti singkong, jagung, padi kering, cabe. Petani jati juga memiliki sawah, ternak khususnya sapi (Koperasi Hutan Jaya Lestari 2005).

4. 5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Berdasarkan hasil sensus tahun 2005, penduduk yang berusia 10 tahun keatas berjumlah sekitar 75,09% yang terdiri dari angkatan kerja yang bekerja 59,85% dan yang mencari kerja sebesar 40,15% (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara 2006).

Jenis komoditi yang diperdagangkan di Kab. Konawe Selatan adalah hasil produksi sektor pertanian yang meliputi tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan. Volume ekspor tahun 2004 mencapai 18.858.214 US$. Sekitar 52.89% atau sebesar 9.974.613 US$ adalah hasil pertanian, 46.90% atau 8.845.567 US$ merupakan hasil kayu dan 0.20% atau 38.034 US$ merupakan hasil rotan (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara 2006).

4. 6. Sejarah Singkat Perolehan Sertifikasi

Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) merupakan unit usaha pengelolaan hutan yang mengelola hutan tanaman jati berskala kecil di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Pada bulan Juni tahun 2004 KHJL menandatangani Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tropical Forest Trust (TFT). TFT memfasilitasi KHJL untuk memperoleh serftifikat FSC, juga membantu dalam penjualan kayu jati yang mereka produksi. Dengan pendampingan oleh JAUH-Sultra, sebuah LSM lokal pemerhati lingkungan dan pemberdayaan

(29)

masyarakat, dan TFT, KHJL berhasil memperoleh sertifikasi untuk pengelolaan hutan secara lestari pada tanggal 20 Mei 2005. Uji sertifikasi dilakukan oleh SmartWood, sebuah organisasi dunia anggota Forest Stewardshift Council (FSC), organisasi jaringan international yang mempromosikan manajemen hutan dan menaruh perhatian pada pengelolaan hutan secara lestari.

Penilaian dilakukan terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Dengan mendapatkan sertifikasi ini KHJL menerima pengakuan sekaligus kehormatan sebagai koperasi pertama untuk ketegori koperasi milik masyarakat di Asia Tenggara yang berhasil mendapatkan sertifikasi FSC. Sertifikat ini adalah untuk kelompok Hutan yang dikelola dengan intensitas kecil dan rendah (Small and Low Intensity Managed Forests, SLIMFs).

Tanaman jati yang dikelola oleh KHJL adalah milik petani-petani pemilik lahan sebagai anggota koperasi. Sejak diresmikan pada tahun 2003, KHJL telah mampu menjual kayu persegian sejumlah 1-2 kontainer per bulan dengan volume masing-masing sekitar 18 m³. Kayu-kayu tersebut umumnya dibeli oleh perusahaan-perusahaan furnitur dari Jawa dengan harga tinggi karena sertifikat SLIMF FSC yang telah dimiliki KHJL sejak tahun 2005. Hingga data terakhir saat tulisan ini dibuat, luasan hutan yang dikelola telah mencapai 657 ha dengan unit pengelolaan sejumlah 25 unit.

4. 7. Sistem Pemanenan Jati

Jika dilihat dari sumber energinya, sistem pemanenan yang diterapkan di KHJL merupakan sistem pemanenan semi mekanis, yaitu sistem pemanenan yang menggunakan kombinasi alat mekanis dan alat manual dalam setiap tahapan kegiatannya. Kegiatan penebangan menggunakan chainsaw untuk merebahkan pohon; penyaradan dilakukan menggunakan tenaga manusia; dan pengangkutan kayu menggunakan truk. Jika didasarkan pada ukuran sortimen, maka sistem pemanenan KHJL dapat digolongkan ke dalam Shortwood System, yaitu sistem pemanenan yang melakukan pembagian batang di lokasi tebangan, sehingga sortimen yang kemudian disarad telah berupa kayu bulat pendek. Di KHJL, ada sedikit tambahan perlakuan pada sortimen kayu bulat tersebut sebelum disarad, yaitu dibentuk menjadi kayu persegian.

Tahapan kegiatan pemanenan yang diterapkan oleh KHJL meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

4. 7. 1. Penebangan

Metode penebangan dan persiapannya ditentukan sendiri oleh pemilik tegakan yang umumnya cenderung menyerahkannya kepada regu tebang. Regu

(30)

tebang biasanya berjumlah 2 orang yang terdiri dari chainsawman dan helper (pembantu/asisten). Regu tebang ini dipilih dan disewa oleh pemilik tegakan tanpa campur tangan dari pihak koperasi. Penebang merupakan masyarakat sekitar hutan yang beroperasi menggunakan chainsaw milik pribadi. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa umumnya para penebang menggunakan chainsaw STIHL S70 yang memiliki kekuatan besar dan bilah sepanjang satu meter. Biasanya jenis ini digunakan untuk pohon-pohon berdiameter besar di hutan-hutan alam. Fakta bahwa para penebang memiliki chainsaw jenis ini kemungkinan disebabkan oleh latar belakang mereka yang dulunya merupakan pelaku-pelaku pembalakan liar di hutan negara Konawe Selatan.

Kegiatan penebangan dimulai dengan persiapan areal di sekitar pohon yang akan ditebang, berupa pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan oleh helper. Setelah menentukan arah rebah, chainsawman membuat takik rebah dan takik balas (Gambar 4a) kemudian melakukan penebangan. Pohon yang rebah selanjutnya dibersihkan dari cabang dan ranting (Gambar 4b) yang diperkirakan akan mengganggu proses pembagian batang. Kegiatan ini disebut pencabangan, dan dilakukan oleh chainsawman dengan menggunakan chainsaw dan helper dengan parang.

(a) (b)

Gambar 4 Proses pembuatan takik rebah (a) dan pencabangan (b).

Pengukuran dilakukan kemudian oleh helper, dengan berpedoman pada klasifikasi sortimen kayu persegian yang ditentukan oleh KHJL. Diameter rata-rata kayu bulat yang dimanfaatkan adalah 38,25 cm termasuk kulit, dengan diameter terkecil adalah 19,5 cm dan diameter terbesar 57 cm. Panjang sortimen berkisar antara 110 – 210 cm. Pada setiap batasan panjang diberi tanda torehan pada kulit kayu dengan menggunakan parang, yang selanjutnya dijadikan sebagai patokan

(31)

oleh chainsawman dalam membagi batang. Saat pembagian batang, bagian-bagian kayu yang memiliki cacat dibuang karena akan mengurangi kualitas sortimen yang dihasilkan

4. 7. 2. Pembuatan Kayu Persegian

Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan kayu persegian (Gambar 5a). Kayu persegian (Gambar 5b) ini dibentuk menurut klasifikasi sortimen kayu persegian yang ditetapkan oleh KHJL dengan didasarkan pada keinginan pembeli kayu yang telah melakukan kontrak dengan KHJL. Klasifikasi yang digunakan adalah:

a. Lebar 13 cm – 14 cm, panjang ≥ 110 cm, ≥ 210 cm. b. Lebar 15 cm – 19 cm, panjang ≥ 110 cm, ≥ 210 cm. c. Lebar ≥ 20 cm, panjang ≥ 210 cm

Gambar 5 Proses pembuatan kayu persegian (a) dan kayu persegian (b).

Dalam pelaksanaannya, kadangkala pembuatan kayu persegian dilakukan per satu pohon, maksudnya, setelah satu pohon ditebang, kemudian dilakukan pencabangan, pengukuran dan pembagian batang, lalu langsung dipotong menjadi kayu persegian. Adakalanya juga beberapa pohon ditebang dan dibagi batangnya terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemotongan kayu persegian untuk semua sortimen tersebut sekaligus. Hal ini tergantung kepada kebijaksanaan dari chainsawman yang bersangkutan.

(b)

(32)

01/2/54/14 KHJL-HM-24-1 Tunggak 1216 2. S 1 KHJL/HM/ 1-24-1 1216 48 – 32 225 Pangkal balok Ujung balok

4. 7. 3. Penomoran (Lacak Balak)

Sebagai komitmen dari sertifikasi SLIMFs (Small and Low Intensity Managed Forests) yang telah didapatkan, KHJL diwajibkan melaksanakan sistem lacak balak. Sistem ini bertujuan memudahkan pelacakan jejak sumber kayu untuk memastikan legalitasnya.

Setelah kegiatan penebangan selesai dan sebelum kayu persegian disarad, dilakukan penomoran pada pangkal dan ujung kayu. Tim grading membubuhkan nomor pada penampang kayu dan penampang tunggak. Nomor pada kayu persegian berisi informasi nomor anggota (pemilik tegakan), nomor unit, nomor lahan, nomor pohon, nomor sortimen, urutan potongan, dan ukuran dimensinya. Nomor pada tunggak berisi informasi nomor anggota, nomor unit, nomor lahan, nomor pohon, tinggi bebas cabang dan diameter pohon (Gambar 6).

Gambar 6 Penomoran pada tunggak dan kayu persegian.

4. 7. 4. Penyaradan, Pemuatan dan Pengangkutan

Kayu-kayu yang telah dibubuhkan nomor kemudian disarad ke lokasi TPn. Penyaradan yang diterapkan oleh KHJL menggunakan metode manual, yaitu menggunakan tenaga manusia sebagai penyarad. Biaya sarad ditanggung oleh pemilik kayu, dan para penyarad yang disewa biasanya berasal dari desa-desa di sekitar hutan. Penyewaan tenaga kerja penyaradan biasanya menjadi hak penuh pemilik kayu, karena KHJL tidak menyediakan sumberdaya manusia untuk itu.

Kegiatan penyaradan menggunakan alat-alat sederhana yaitu kayu, tali atau ban bekas sepeda. Pemilihan benda-benda tersebut karena alat tersebut ada di

(33)

sekitar mereka dan mudah ditemukan. Masyarakat lebih memilih menggunakan karet ban bekas dibandingkan tali karena ban bekas lebih stabil dalam menopang beban yang besar dan tidak licin. Ada tradisi unik yang dimiliki oleh penyarad di KHJL, yaitu adanya alat berupa bantalan yang terbuat dari kain yang digulung maupun bantalan yang berisi serbuk kayu yang berfungsi sebagai pelapis antara kayu dan bahu untuk mengurangi rasa sakit saat menyarad. Umumnya 1 regu penyarad berjumlah 6 orang dan dibayar berdasarkan volume yang diangkut.

Di lahan yang memiliki topografi landai, jarang timbul kendala dalam kegiatan penyaradan ini, selain cuaca yang tidak menentu. Tetapi di daerah yang topografinya lebih curam, para penyarad terkadang menemui kesulitan dalam menyarad kayu, ditambah lagi karena alat sarad yang masih sederhana. Di lapangan pernah ditemukan kayu persegian yang berukuran cukup besar nyaris ditinggalkan oleh penyarad, karena mengingat sulitnya jalur sarad dikhawatirkan apabila dipaksakan dapat menimbulkan kecelakaan bagi penyarad. Kendala ini lalu dipecahkan dengan jalan membagi kayu persegian tersebut menjadi dua bagian sejajar sumbu kayu, tetapi hal ini tentu saja menurunkan kelas kualitas kayu.

Pemuatan atau loading adalah kegiatan memuat kayu persegian dari lokasi TPn ke alat angkut. Kegiatan pemuatan di KHJL menggunakan tenaga manusia, alat angkut yang dipakai berupa truk, dan biaya pemuatan/angkut dari TPn ke TPK ditanggung oleh pemilik kayu. Kendala yang terjadi dalam proses pengangkutan terjadi ketika lokasi penebangan berada jauh dari akses jalan dan kondisinya berbukit sehingga menyulitkan truk untuk masuk dan mengeluarkan kayu dari TPn. Dikarenakan akses jalan pendukung yang kurang baik menyebabkan kegiatan pengangkutan sangat tergantung kepada cuaca. Pembongkaran kayu (unloading) dilakukan di lokasi TPK. Saat pembongkaran, seringkali kayu diturunkan dengan cara dilemparkan dari truk ke tanah. Hal ini mengakibatkan kayu-kayu bertumpuk tidak beraturan di TPK dan beberapa kayu mengalami retak pada penampangnya. Kadang susunan kayu tersebut kemudian dirapikan kembali.

Kayu-kayu persegian yang telah dipilih untuk dikirimkan ke pembeli kemudian dimuat ke dalam truk kontainer, untuk selanjutnya diturunkan di pelabuhan. Pemuatan dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia, dan biaya pemuatan sekaligus pengangkutan ke pelabuhan ditanggung oleh pihak koperasi. Proses pemuatan dilakukan secara manual dengan alat bantu sederhana yang tersedia di lokasi pemuatan. Karena terbatasnya fasilitas, tingkat keamanan dan kesehatan pekerja dalam kegiatan pemuatan kurang diperhatikan, hal tersebut terlihat dari tidak diterapkannya penggunaan alat-alat pelindung diri pada para pekerja.

(34)

5. 1. Pemanfaatan Hasil Tebangan 5. 1. 1. Kayu yang Dimanfaatkan

KHJL memproduksi kayu persegian dari sortimen kayu bulat yang berasal dari bagian batang utama dan batang atas. Panjang sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan berkisar antara 110 – 210 cm dan diameter rata-rata adalah 38,25 cm termasuk kulit, dengan diameter terbesar adalah 57 cm dan diameter terkecil 19,5 cm (Gambar 7).

Gambar 7 Sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan dan kayu sisa.

Sortimen batang dengan diameter yang lebih kecil tidak dimanfaatkan dan ditinggalkan di lokasi tebang dalam kondisi menyatu dengan tajuk. Bagian inilah yang disebut dengan kayu sisa. Rata-rata jumlah sortimen kayu persegian yang dihasilkan per pohon adalah 5,43 batang (0,39 m³) dengan volume rata-rata per sortimen 0,07 m³.

5. 1. 2. Kayu Sisa

Karena tidak adanya pemanfaatan tajuk oleh KHJL, sebagian besar kayu sisa batang atas, cabang dan ranting masih berada dalam kondisi menyatu. Kondisi ini tidak diperkirakan sebelumnya, sehingga metode pengukuran harus sedikit disesuaikan. Berdasarkan metode awal, sortimen kayu sisa yang ditemukan di lapangan hanya diukur dimensinya saja, namun setelah mempertimbangkan kondisi kayu sisa di lapangan, maka dilakukan juga simulasi pembagian sortimen. Mula-mula keliling/diameter pangkal sortimen diukur, kemudian ditentukan kelas diameternya, lalu sortimen dibagi dengan memberikan torehan pada kulit menurut batasan panjang terpendek dalam kelas diameter tersebut. Hal ini dilakukan terus sampai

19,5 cm 57 cm

(35)

pada batas bawah dari kelas diameter, kemudian dilanjutkan untuk kelas diameter berikutnya.

Volume total 30 pohon termasuk kulit berdasarkan pengukuran sampai diameter 3 cm adalah 34,98 m³ dengan nilai rata-rata per pohon 1,17 m³. Sejumlah 23,32 m³ (66,57%) berupa kayu sisa dan kulit yang belum termanfaatkan dengan nilai rata-rata per pohon 0,78 m³. Volume terbesar berasal dari sebetan dengan nilai 8,26 m³ dan presentase dari total kayu sisa sebesar 35,44% dan volume terkecil berasal dari tunggak yaitu 0,73 m³ (3,12%). Tingginya presentase kayu sisa disebabkan oleh pemanfaatan kayu yang hanya sampai pada ukuran yang dibutuhkan untuk pembuatan kayu persegian. Data masing-masing jenis kayu sisa dan kulit disajikan oleh Tabel 4.

Tabel 4 Kuantifikasi kayu dan kulit sisa penebangan jati di Koperasi Hutan Jaya Lestari Jenis Limbah Parameter Tunggak Pot. Pendek Batang Atas Cabang

& Ranting Sebetan Kulit Total Volume (m³) 0,72 1,22 2,49 3,45 8,26 7,17 23,32

Presentase

(%) 3,12 5,21 10,68 14,79 35,44 30,75 100

Kayu sisa penebangan yang masih berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sortimen kayu bulat berdasarkan SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003 yaitu sejumlah 4,89 m³ yang merupakan 17,59% dari volume pohon tanpa kulit dan terdiri dari batang atas, potongan pendek dan cabang dan ranting dengan jumlah total 634 sortimen. Jumlah ini didominasi oleh kelas diameter 7 cm, 4 cm dan 10 cm yang sebagian besar berupa cabang dan ranting.

Tabel 5 Perbandingan persentase kayu sisa pemanenan jati di KHJL dengan KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

Persentase (%)

Lokasi Jenis Pohon

Komersial Limbah Total

KHJL Tectona grandis 33,43 66,57 100 BKPH Ketapang KPH BWU * Tectona grandis KU II 82,23 17,77 100 BKPH Ketapang KPH BWU * Tectona grandis KU III 68,79 31,21 100 BKPH Watudodol KPH BWU * Tectona grandis KU IV 79,99 20,01 100 BKPH Watudodol KPH BWU * Tectona grandis KU V 78,29 21,71 100

(36)

Dapat dilihat dalam Tabel 5, potensi kayu sisa penebangan jati yang didapatkan di KHJL jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kayu sisa yang terjadi di KPH Banyuwangi Utara, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Perbedaan yang besar ini terutama disebabkan oleh perbedaan dalam aturan pembagian batang (bucking policy). Perum Perhutani menghasilkan sortimen dalam bentuk kayu bulat, sehingga kegiatan pembagian batang tidak menghasilkan kayu sisa sebetan seperti yang terjadi di KHJL. Sementara berdasarkan pengamatan di lapangan, kayu sisa sebetan merupakan kayu sisa dengan presentase terbesar dari seluruh jenis kayu sisa. Bila dianalogikan KHJL memanfaatkan sortimen dalam bentuk kayu bulat, maka kayu sisa yang terjadi adalah sebesar 31,25%. Nilai ini tidak berbeda jauh dibandingkan dengan Perum Perhutani, mengingat batas bawah diameter sortimen yang digunakan oleh Anggoro (2007) adalah ≥ 4 cm. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh sistem penebangan yang tidak jauh berbeda antara KHJL dan Perum Perhutani. Keduanya sama-sama menerapkan sistem semi mekanis dalam rangkaian kegiatannya, dan alat yang digunakan untuk menebang pun sama, yaitu chainsaw.

5. 1. 2. 1. Kayu Sisa Tunggak

Tinggi tunggak adalah jarak antara permukaan tanah dan dasar takik rebah (Husch 2003). Di KHJL batasan maksimal tinggi tunggak belum diatur dalam SOP Pemanenan KHJL. Namun karena umumnya seluruh bagian kayu jati dapat dimanfaatkan termasuk tunggaknya, maka dalam penelitian ini keseluruhan tunggak yang berada di atas permukaan tanah dianggap sebagai kayu sisa. Bagian tunggak yang berada di dalam tanah tidak ikut dikuantifikasi karena KHJL tidak melakukan pedongkelan tunggak.

(a) (b)

(37)

Ketinggian tunggak rata-rata per pohon adalah 22,43 cm dengan tinggi terendah yang didapati di lapangan 10 cm dan tertinggi 54 cm (Gambar 9). Volume kayu sisa tunggak tanpa kulit sebesar 0,73 m³ dengan nilai rata-rata 0,02 m³/pohon (2,62%) dengan asumsi tebal kulit tunggak sama dengan tebal kulit batang yaitu 1,5 cm.

Di Perum Perhutani, tinggi tunggak dibuat serendah mungkin, bahkan dianjurkan untuk melakukan penggalian tunggak agar didapatkan volume kayu yang lebih besar.

5. 1. 2. 2. Kayu Sisa Cabang dan Ranting

Berdasarkan pengamatan, tebal kulit pada bagian cabang umumnya ± 1 cm, dan pada bagian ranting ± 0,5 cm. Hasil pengukuran pada 30 pohon contoh menunjukkan volume kayu sisa cabang dan ranting tanpa kulit sampai dengan diameter 3 cm didapatkan sebesar 3,45 m³ dengan volume per pohon sebesar 0,11 m³ (12,39% dari volume pohon), namun sejumlah 1,13 m³ diantaranya tidak memenuhi persyaratan klasifikasi dikarenakan oleh dimensi panjang yang tidak mencukupi dan/atau memiliki cacat berupa pecah dan lengkung. Sisanya sebesar 2,31 m³ dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kayu sisa cabang dan ranting.

Dari Gambar 10 dapat diketahui bahwa potensi cabang dan ranting terbesar termasuk ke dalam kelas diameter 7 cm dengan selang diameter 6 cm - 8,99 cm dan

(38)

108 145 92 44 5 6 0,4139 0,7589 0,6289 0,3914 0,0580 0,0580 0 20 40 60 80 100 120 140 160 4 7 10 13 16 19 22 25 28 ≥ 30 Kelas Diameter (cm) 0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000 0,6000 0,7000 0,8000 Jumlah Sortimen Volume Sortimen (m3)

Ju m lah so rt im en V o lu m e s o rt im en (m ³)

panjang ≥ 1 meter yang berjumlah 145 batang (0,76 m³). Potensi terkecil berada pada kelas diameter 16 cm (15 cm – 17,99 cm) dan kelas 19 cm (18 cm – 20,99 cm) dengan panjang minimal 40 cm dan jumlah masing-masing 5 dan 6 batang (0,06 m³).

Gambar 10 Potensi sortimen kayu bulat cabang dan ranting.

5. 1. 2. 3. Kayu Sisa Batang Atas

Kayu sisa batang atas didapatkan sebesar 2,49 m³ atau 0,08 m³/pohon (8,95%). Dari total 2,49 m³, 0,19 m³ memiliki cacat berupa pakah dan pecah serta dimensi panjang yang tidak mencukupi persyaratan klasifikasi.

Tabel 6 Potensi sortimen kayu bulat batang atas

Sortimen Kelas Ø (cm) Selang Ø (cm) Panjang (cm) Sortimen Jumlah Volume (m³) Persentase (%)

4 3,00 – 5,99 ≥ 200 - - - 7 6,00 – 8,99 ≥100 6 0,04 1,77 10 9,00 – 11,99 ≥ 70 31 0,23 9,92 13 12,00 – 14,99 ≥ 70 32 0,33 14,54 16 15,00 – 17,99 ≥ 70 91 0,87 37,82 KBK (AI) 19 18,00 – 20,99 ≥ 40 45 0,61 26,54 22 21,00 – 23,99 ≥ 40 8 0,15 6,36 25 24,00 – 26,99 ≥ 40 3 0,07 3,05 KBS (AII) 28 27,00 – 29,99 ≥ 40 - - - KBB (AIII) ≥ 30 ≥ 30 ≥ 40 - - - Total 216 2,30 100

Dapat dilihat pada Tabel 6 bahwa pengelompokan sortimen kayu sisa batang atas berdasarkan tabel klasifikasi menunjukkan potensi terbesar dari sortimen dengan persentase volume 37,82% berada pada kelas diameter 16 cm dengan jumlah sortimen 91 batang (0,87 m³), dan potensi terkecil pada kelas diameter 25 cm sebanyak 3 batang (0,07 m³).

(39)

5. 1. 2. 4. Kayu Sisa Potongan Pendek

Kayu sisa potongan pendek berasal dari batang utama yang tidak dimanfaatkan karena ukurannya tidak memenuhi standar KHJL, cacat, pecah ataupun karena pertimbangan lainnya.

Volume kayu sisa potongan pendek yang didapatkan adalah sebesar 1,22 m³ dengan nilai rata-rata per pohon 0,04 m³ (4,37%). Sebesar 0,93 m³ diantaranya tidak memenuhi persyaratan klasifikasi. Sebagian besar dari sortimen yang tidak memenuhi persyaratan klasifikasi merupakan bagian batang yang berada antara tunggak dan batang komersil, yang dibuang karena rusak akibat pembuatan takik rebah dan takik balas (Gambar 11).

(a) (b)

Gambar 11 Kayu sisa potongan pendek antara batang utama dan batang atas (a) dan antara tunggak dan batang utama (b)

Tabel 7 Potensi sortimen kayu bulat potongan pendek

Sortimen Kelas Ø (cm) Selang Ø (cm) Panjang (cm) Sortimen Jumlah Volume (m³) Persentase (%)

4 3,00 – 5,99 ≥ 200 - - - 7 6,00 – 8,99 ≥100 - - - 10 9,00 – 11,99 ≥ 70 - - - 13 12,00 – 14,99 ≥ 70 5 0,06 21,15 16 15,00 – 17,99 ≥ 70 1 0,004 1,55 KBK (AI) 19 18,00 – 20,99 ≥ 40 8 0,13 44,61 22 21,00 – 23,99 ≥ 40 - - - 25 24,00 – 26,99 ≥ 40 1 0,03 10,61 KBS (AII) 28 27,00 – 29,99 ≥ 40 1 0,06 22,09 KBB (AIII) ≥ 30 ≥ 30 ≥ 40 - - - Total 16 0,28 100

Sebanyak 23,43% (0,28 m³) dari total sortimen potongan pendek memenuhi syarat klasifikasi (Tabel 7), dengan volume terbesar (0,06 m³) dimiliki oleh sepotong sortimen kelas diameter 28 cm, dan volume terkecil (0,004 m³) termasuk ke dalam

(40)

kelas diameter 16 cm yang juga berjumlah satu batang. Menurut banyaknya sortimen, limbah potongan pendek didominasi oleh kelas diameter 19 cm dengan jumlah sortimen sebanyak 8 batang yang merupakan separuh dari jumlah total sortimen.

5. 1. 2. 5. Kayu Sisa Batang Atas, Cabang dan Ranting dan Potongan Pendek

Bila tiga tipe kayu sisa yang berupa sortimen kayu bulat yaitu batang atas, potongan pendek dan cabang dan ranting disatukan, maka didapatkan volume keseluruhan sebesar 7,15 m³ (0,24 m³/pohon) yang merupakan 25,71% dari total volume pohon sampai dengan diameter 3 cm. Dari jumlah ini, sebesar 68,31% (4,89 m³) masih dapat dimanfaatkan berdasarkan klasifikasi dimensi sortimen kayu bulat SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003. Sejumlah 47,20% berupa cabang dan ranting, 46,98% batang atas dan sisanya (5,82%) merupakan potongan pendek (Tabel 8).

Tabel 8 Potensi sortimen kayu bulat pada batang atas, potongan pendek, cabang dan ranting

Sortimen Kelas Ø (cm) Selang Ø (cm) Panjang (cm) Sortimen Jumlah Volume (m³) 4 3,00 – 5,99 ≥ 200 108 0,41 7 6,00 – 8,99 ≥100 151 0,80 10 9,00 – 11,99 ≥ 70 124 0,86 13 12,00 – 14,99 ≥ 70 81 0,79 16 15,00 – 17,99 ≥ 70 97 0,93 KBK (AI) 19 18,00 – 20,99 ≥ 40 59 0,80 22 21,00 – 23,99 ≥ 40 9 0,15 25 24,00 – 26,99 ≥ 40 4 0,10 KBS (AII) 28 27,00 – 29,99 ≥ 40 1 0,06 KBB (AIII) ≥ 30 ≥ 30 ≥ 40 - - Total 634 4,89

Gambar 12 menunjukkan perbandingan jumlah sortimen tiap kelas diameter. Sortimen terbanyak merupakan KBK (AI) yang berada pada kisaran kelas diameter 7 cm, dan diikuti oleh kelas diameter 13 cm dan 4 cm. Sedangkan proporsi terkecil merupakan KBB (AIII), yaitu sejumlah 0 sortimen.

(41)

0 100 200 300 400 500 600 Jenis sortimen 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00

Jumlah sortimen D ≤ 30 cm Jumlah sortimen l ≤ 2 m

Volume sortimen D ≤ 30 cm Volume sortimen l ≤ 2 m

Jumlah sortimen D ≤ 30 cm 5 31 244 401 481 Jumlah sortimen l ≤ 2 m 29 57 243 372 388 Volume sortimen D ≤ 30 cm 0,10 0,37 2,49 2,06 1,32 Volume sortimen l ≤ 2 m 0,71 1,17 2,42 1,93 0,95 Tunggak Batang utama Batang

atas Cabang Ranting

Ju m lah so rt im en V o lu m e s o rt im en (m ³) 108 151 124 81 97 59 9 4 1 0 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Kelas Diameter (cm) 4 cm 7 cm 10 cm 13 cm 16 cm 19 cm 22 cm 25 cm 28 cm > 30 cm Ju m lah ( b at an g )

Gambar 12 Jumlah sortimen kayu bulat tiap kelas diameter.

5. 1. 2. 6. Sortimen Kayu Sisa Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002

Berdasarkan persyaratan diameter ≤ 30 cm, volume kayu sisa yang didapatkan adalah sebesar 6,34 m³ atau 0,21 m³/pohon (22,78% dari volume pohon), dan volume sortimen dengan panjang ≤ 2 m yaitu sejumlah 7,18 m³ atau 0,24 m³/pohon (25,80%). Sedangkan kayu gerowong tidak ditemukan pada pohon-pohon contoh. Baik berdasarkan persyaratan diameter maupun panjang, volume terbesar berasal dari sortimen batang atas (2,49 m³ dan 2,42 m³), dan jumlah sortimen terbanyak ada pada sortimen ranting (481 dan 388 batang) (Gambar 13).

Gambar 13 Distribusi jumlah dan volume sortimen kayu sisa berdasarkan Kepmenhut Nomor: 6886/Kpts-II/2002

5. 1. 2. 7. Kayu Sisa Sebetan

Kayu sisa sebetan berasal dari sisa kayu hasil pemotongan kayu bulat menjadi kayu persegian. Dari 30 pohon contoh, volume kayu komersil yang masih

(42)

B 41%

A 59%

berbentuk log diperoleh sebesar 19,94 m³ tanpa kulit (0,66 m³/pohon) dengan jumlah sortimen sebanyak 163 batang, dan volume kayu persegian yang dihasilkan kemudian didapatkan sebesar 11,68 m³ dengan nilai rata-rata per pohon 0,39 m³ (41,99% dari volume pohon). Selisih volume antara kedua jenis sortimen diatas digolongkan ke dalam kayu sisa sebetan dengan jumlah 8,26 m³ (0,28 m³/pohon). Proporsi kayu persegian dan sebetan dalam satu sortimen kayu bulat adalah 59%:41% (Gambar 14).

Keterangan:

A : Kayu persegian (59 %) B : Kayu sisa sebetan (41 %)

Gambar 14 Proporsi kayu persegian dan sebetan dalam satu sortimen kayu bulat Dari klasifikasi kayu persegian yang telah disebutkan di atas, sebanyak 67,48% dari total kayu persegian yang dihasilkan merupakan kelas 15 – 19 cm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh ketebalan kayu gubal yang cukup besar pada sortimen kayu bulat (Gambar 15 a), akan tetapi pembeli hanya mau membeli kayu teras, sehingga kayu bulat yang memiliki diameter ≥ 20 cm pun sebanyak 41% -nya akan terbuang menjadi kayu sisa sebetan dan diameter kayu persegian yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Berdasarkan proporsi kayu sisa sebetan yang dihasilkan, kelas diameter 15 – 19 cm juga berada pada urutan pertama dengan persentase kayu sisa sebetan 42,66%. Dengan demikian, kelas diameter inilah yang menyumbang kayu sebetan dalam proporsi yang paling besar (62,86%).

Pada Gambar 15 (b) dapat dilihat bentuk kayu sebetan yang dihasilkan di lapangan. Kayu sebetan tersebut biasanya dibiarkan tertinggal di lokasi tebangan, dan umumnya masyarakat sekitar hutan diperbolehkan untuk mengambil dan memanfaatkannya untuk keperluan sehari-hari, seperti untuk pagar kebun, dinding rumah, kandang ayam dan sebagainya.

(43)

A 79,51%

B 20,49%

(a) (b)

Gambar 15 Sortimen kayu bulat dengan gubal yang tebal (a) dan kayu sisa sebetan yang dihasilkan (b)

5. 1. 2. 8. Kulit

Berdasarkan pengamatan, jati di lokasi penelitian memiliki rata-rata ketebalan kulit sekitar 1,5 cm pada bagian batang, 1 cm pada cabang, dan 0,5 cm pada ranting. Data yang didapatkan dari 30 pohon contoh menunjukkan total volume kulit adalah sebesar 7,17 m³ dengan nilai rata-rata per pohon ialah 0,24 m³. Nilai ini merupakan 20,49% dari volume kayu total (Gambar 16).

Keterangan: A : Kayu jati B : Kulit jati

Gambar 16 Proporsi kulit dan kayu dalam satu pohon.

5. 2. Prospek Pemanfaatan Kayu Sisa dan Kulit Jati 5. 2. 1. Kayu Sisa

Potensi kayu sisa dari kegiatan penebangan jati pada 30 pohon contoh besarnya mencapai 46,08% (16,12 m³) yang berupa batang atas, potongan pendek, cabang dan ranting, tunggak dan sebetan, dan jenis kayu sisa yang memiliki volume terbesar adalah sebetan (8,26 m³). Volume kayu sisa yang berbentuk sortimen kayu bulat adalah sebesar 7,15 m³ yang merupakan 25,71% dari total volume pohon sampai dengan diameter 3 cm. Jumlah yang masih berpotensi untuk dimanfaatkan berdasarkan klasifikasi SNI 01-5007.17-2001 dan SNI 01-5007.1-2003 sebanyak

(44)

4,89 m³ (68,31%). Dari jumlah ini, sebanyak 47,20% adalah cabang dan ranting. Berdasarkan klasifikasi kayu sisa menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6886/Kpts-II/2002 dengan persyaratan diameter ≤ 30 cm, volume kayu sisa yang didapatkan adalah sebesar 6,34 m³ atau 0,21 m³/pohon (22,78% dari volume pohon), dan volume sortimen dengan panjang ≤ 2 m yaitu sejumlah 7,18 m³ atau 0,24 m³/pohon (25,80%). Sedangkan kayu gerowong tidak ditemukan pada pohon-pohon contoh. Baik berdasarkan persyaratan diameter maupun panjang, volume terbesar berasal dari sortimen batang atas (2,49 m³ dan 2,42 m³), dan jumlah sortimen terbanyak ada pada sortimen ranting (481 dan 388 batang).

Kayu sisa tebangan jati antara lain dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerajinan, flooring, papan partikel, inti papan blok, briket arang, bahkan dapat digunakan sebagai bahan campuran anti nyamuk bakar berbahan alami (Zulnely dan Martono 2003). Konversi kayu menjadi arang diharapkan dapat meminimalkan emisi, dibanding dengan membakarnya langsung. Inisiatif ini pun dapat menambah penghasilan masyarakat. Menurut Heriansyah (2005), selain digunakan sebagai sumber panas, arang pun dapat digunakan sebagai kondisioner tanah untuk mempercepat terjadinya simbiotik antara akar dengan mikoriza, yang berkontribusi pada percepatan pertumbuhan tanaman dan penyerapan emisi CO2 di atmosfir. Selain itu, karbon pada arang dapat disimpan dalam durasi yang lama jika dibandingkan dengan karbon dalam bentuk kayu, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar karbon di atmosfiir. Zulnely dan Martono (2003) menyatakan bahwa campuran kulit gemor (Alseodaphne sp) dan serbuk gergaji kayu jati dapat dibuat anti nyamuk bakar dengan komposisi serbuk gergajian kayu jati sebanyak 50 %. Serbuk gergajian jati dipakai untuk mempermudah anti nyamuk bakar dicetak, dan zat ekstraktif tectoquinon dari serbuk kayu jati juga bersifat insektisida.

5. 2. 2. Kulit

Kemungkinan pemanfaatan kulit kayu jati adalah sebagai berikut: 1) Bahan perekat

Kulit kayu jati dapat digunakan sebagai perekat karena tanin yang terkandung di dalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Linggawati et al. (2002) menunjukkan bahwa tanin mampu mensubsitusi gugus fenol dari resin fenol formaldehid guna mengurangi pemakaian fenol sebagai sumberdaya alam tak terbarukan. Berdasarkan uji coba yang dilakukan oleh Kliwon et al. (1999) diacu dalam Kartika (2004), perekat tanin fenol formaldehida memenuhi persyaratan keteguhan rekat kayu lapis tipe I menurut standar Jepang.

Gambar

Tabel 1 Produksi dan ekspor tahunan kayu bulat jati dan kayu gergajian jati (m 3 )  Negara  Produksi Log Jati  Ekspor Log Jati  Ekspor Kayu Gergajian
Gambar 1  Ilustrasi bentuk kayu persegian dan sebetan pada kayu bulat.
Gambar 3  Pengukuran dimensi sortimen kayu bulat dan tunggak.
Tabel 3  Pembagian kawasan hutan Konawe Selatan bedasarkan fungsi lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Kristen

bassiana yang diperoleh kemudian diamati menunjukan hasil sebagai yakni warna koloni jamur pada media PDA di cawan petri tampak berwarna putih (Ligozzi, 2013), spora berbentuk

Sejalan dengan perkembangan pendidikan pada masa Iskandar Muda, berkembang pula kebudayaan di kerajaan Aceh, terutama dalam bidang kesusastraan. Di bidang ini, Aceh telah menjadi

Kadar air cookies tertinggi adalah pada perlakuan P2 (9,41%) Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa penggunaan

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan dapat disimpulkan bahwa persepsi bobotoh PERSIB Bandung tentang perilaku kekerasan penonton pada pertandingan

Tujuh mantri berbahagia, ayo kawan sekarang pergi, karena sudah pasti yang dituju, tidak akan kernana perginya, sekarang oleh kita tentu tertangkap, saat itu

Rancangan basis data sistem informasi ini memakai basis data MySql pada sebuah basis data dan sebagian tabel, tabel-tabel itu akan dipakai untuk menyimpan data yang

Guru PAUD yang mempunyai kualifikasi akademik S1 pendidikan lain yang relevan, seperti PGSD, BK, PLB, dan PLS tidak mendapatkan bekal yang cukup tentang pengembangan keterampilan