• Tidak ada hasil yang ditemukan

24

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "24"

Copied!
464
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ACEH SERAMBI

MEKKAH

(4)

iv Daftar Isi Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)

Tsunami Aceh, - Cet. I, Yogyakarta: Multi Solusindo Press ISBN: 979-992419-7

Hak cipta @ ada pada pengarang, terpelihara oleh undang-undang.

Copy reights reserved ada pada penerbit buku ini. Diterbitkan Oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam

Cetakan Pertama November 2008 Layout/Setting

Alwahidi Ilyas Desain Cover Tim CV. Citra Kreasi Utama

Jln. Tgk. Imuem Lueng Bata No. 3, Banda Aceh

PEMERINTAH

PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008

(5)
(6)
(7)

PENGANTAR

KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM

(8)
(9)

SEKAPUR SIRIH

Aceh telah mengalami pasang surut sejarah keberadaannya dari masa ke masa. Dalam pasang surutnya yang sangat dinamis, Aceh telah mencatat tonggak-tonggak sejarah penting dan meninggalkan warisan budaya yang sangat kaya dan membanggakan.

Berangkat dari kenyataan sejarah tersebut, seiring dengan aktivitas menjalankan rode pemerintahan sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari 31 Desember 2005 – 7 Februari 2007, kami tergugah untuk menggagas suatu kodifikasi fakta-fakta sejarah, warisan budaya Aceh, dan dinamika masyarakat Aceh dalam bentuk buku-buku tentang Aceh dari berbagai aspeknya yang meliputi Aceh Serambi Mekkah, Aceh Tanah Rencong, Aceh Bumi Srikandi, Aceh Bumi Iskandar Muda, Aceh Daerah Modal, Budaya Aceh, Aceh Dari Konflik Ke Damai, dan Tsunami Aceh.

Pada saat gagasan penulisannya diwujudkan, sebenamya kami berharap buku-buku tersebut dapat segera diselesaikan dan dapat diterbitkan sebelum masa tugas kami sebagai Penjabat Gubernur berakhir. Akan tetapi, kenyataannya untuk mempersiapkan, menulis, mengedit, dan menyempurnakan draf buku-buku tersebut sehingga siap cetak memerlukan waktu agak panjang, bahkan melampaui masa jabatan kami sebagai Penjabat Gubernur sehingga buku-buku tersebut tidak sempat diterbitkan sesuai tenggat waktu yang ditetapkan. Dalam pada itu, usaha-usaha penyempurnaan drafnya tidak pernah berhenti sampai akhirnya buku-buku tentang dinamika sejarah Aceh ini siap diterbitkan.

Adalah suatu kenyataan bahwa suatu gagasan berjalan berkesinambungan dari priode ke priode selajutnya, seperti buku-buku ini yang digagas pada priode kami menjabat Gubernur, tetapi selesai dan dapat diterbitkan pada masa Gubernur Irwandi Yusuf. Karna itu, seyogyanyalah kami menyampaikan terima kasih yang tak terbingga kepada Bapak Irwandi Yusuf, Gebernur Nanggroe Aceh Darussalam yang telah menyediakan anggaran dalam APBA 2008 dan berkenan memberi peluang bagi penyempurnaan dan penerbitan buku-buku in.

Dari awal gagasan penulisannya kami berharap buku-buku ini dapat menjadi jendela informasi tentang Aceh yang lebih lengkap dan dapat memperkaya bahan pustaka bagi masyarakat pada umumnya.

(10)

x Daftar Isi Selanjutnya, kepada semua fihak yang telah berpartisipasi, terutama para penyusun, narasumber, editor, dan para reviewer yang telah bekerja keras sehingga buku-buku ini dapat diterbitkan kami sampaikan pula terima kasih yang setulus-tulusnya. Insya Allah jasa baik saudara-saudara mendatangkan manfaat yang besar bagi Nanggroe Aceh Darussalam dan Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita sekalian. Amin.

Banda Aceh, Oktober 2008 PENGGAGAS PENULISAN

(11)

PENGANTAR EDITOR

Aceh sebagai sebuah kerajaan Islam yang pernah terkenal di wilayah Asia Tenggara pada masa dahulu telah ditabalkan sebagai daerah Serambi Makkah. Penyebutan Serambi Mekkah untuk Aceh bukan merupakan sebuah peristiwa, akan tetapi merupakan sebuah ungkapan apresiasinya masyarakat muslim, — setidak-tidaknya masyarakat muslim Asia Tenggara — terhadap Aceh yang begitu gigih mengembangkan dan mempertahankan Islam sebagai agama yang suci. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah bahwa masyarakat Aceh telah lama memeluk Islam yaitu sekitar tahun 800 Masehi. Sejak itu mereka telah menjadikan Islam sebagai barometer dalam meniti kehidupan. Apabila persoalan yang timbul dalam perjalanan kehidupan, mereka lebih senang merujuk pada ajaran Islam untuk mencari solusinya. Bahkan dapat dikatakan Islam menjadi rujukan utama bagi masyarakat Aceh dalam menyelesaikan segala permasalahan baik persoalan politik, ekonomi, sosial budaya dan juga sosial keagamaan. Realitas itulah para penganut Islam di kawasan lain memahami bahwa agama Islam memiliki akar yang kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Dari pengalaman sejarah itulah kemudian Islam telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Aceh. Setiap sisi kehidupan Aceh identik dengan Islam. Adat, budaya sampai ke kehidupan sehari-hari tidak jauh dari pengaruh Islam. Sejak mulai diperkenalkan di Aceh melalui pedagang-pedagang yang kadang-kadang sekaligus sebagai ulama, baik dari Arab langsung atau wilayah lain seperti India, Islam telah memberi pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat Aceh. Sifat masyarakat Aceh yang rentan akan pengaruh dan perubahan budaya menjadikan masyarakat Aceh lebih terbuka terhadap pengaruh budaya luar sehingga terjadi penggabungan antara budaya lokal dan non lokal, dan ketika Islam masuk ke Aceh dengan budaya yang lebih modern, dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh, sehingga sampai sekarangpun dapat kita lihat dari adat dan budaya masyarakat Aceh sangat kental warna Islamnya.

Aceh, dahulunya adalah sebuah kerajaan, bahkan termasuk salah satu kerajaan besar di dunia. Karena letakknya yang strategis dan selalu dilewati dan disinggahi oleh pedagang-pedagang asing, telah menjadikan kerajaan Aceh termasuk kerajaan yang makmur di masa itu. Karena kemakmurannya, banyak negara-negara atau kerajaan-kerajaan yang ingin menjajah Aceh, termasuk beberapa Negara Eropa. Negara-negara Eropa ini selain ingin menguasai perekonomian (Gold) kerajaan Aceh, mereka juga ingin menguasai kerajaan Aceh melalui agama (God). Tetapi

(12)

xii Daftar Isi karena Islam telah mendarah daging dalam diri masyarakat Aceh, mengakibatkan usaha bangsa-bangsa Eropa menaklukkan bangsa-bangsa Aceh menjadi sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Dalam sejarah dikatakan bahwa bangsa Aceh tidak pernah mau tunduk kepada penjajah, mereka terus berjuang mempertahankan kerajaan dan agamanya. Semangat jihad Fisabillillah dikobarkan dalam semangat juang bangsa Aceh. Syahid telah menjadi tujuan para pejuang Aceh, sehingga tak seorangpun mau menyerah kalah pada penjajah. Di kala pemimpin negara tidak mampu melanjutkan perang untuk melawan penjajah, ulama tampil menjadi pemimpin masyarakat Aceh, baik dalam berjuang bersama di medan perang maupun dalam membimbing mereka dalam beribadah.

Ulama adalah sosok penting dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik dari segi kenegaraan maupun agama dan kehidupan sehari-hari. Di masa kerajaan Aceh, ulama merupakan tokoh sentral yang memegang peranan penting. Ulama sebagai penasehat kerajaan dan ilmuwan yang berperan dalam memajukan kerajaan dan masyarakat Aceh. Pada masa itu ada beberapa ulama besar yang juga memiliki karya besar yang patut membuat kita bangga karena karyanya, seperti syekh Hamzah Fansuri yang memiliki karya-karya besar yang mengagumkan banyak orang, Syekh Syams al-Din Al-Sumatrani yang sempat menjadi mufti pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda, Syekh Nuruddin Ar-Raniry pernah diangkat menjadi mufti pada masa kerajaan Sultan Iskandar Tsani, dan Syekh Abdul Rauf Al-Singkili sempat menjadi mufti pada masa kerajaan empat orang sulthanah. Selain berperan dari sisi politik dan agama, ulama juga bereran penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan masyarakat Aceh. Karya-karya para ulama ini tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat Aceh saja tetapi juga memberi pengaruh bagi masyarakat nusantara khususnya dan Asia tenggara umumnya. Karya-karya mereka mencakup berbagai bidang studi termasuk tauhid, akhlak, tafsir, sejarah, sastra, tasawuf, astronomi, pertanian dan kedokteran.

Selain ulama, ada juga tokoh lain yang berperan dalam dunia politik masyarakat Aceh yaitu Uleebalang. Uleebalang merupakan pemimpin adat yang membantu sultan dalam pemerintahan kerajaan Aceh. Sebelum masa penjajahan Belanda ulama dan uleebalang bekerjasama dalam memajukan kerajaan Aceh. Mereka saling membantu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, saling melengkapi dalam mengayomi masyarakat. Hanya saja politik penjajahan Belanda membuat dua peran penting ini saling menjauh dan bertentangan. Beberapa uleebalang mendukung Belanda dalam usahanya menaklukkan Aceh, sehingga menimbulkan reaksi yang sangat keras dari para ulama. Tetapi semangat juang bangsa Aceh tetap tidak kendur, demi mempertahankan agama dan kerajaannnya, pejuang Aceh tetap tak gentar dalam menghadapi penjajah.

Pada masa setelah kemerdekaan, di Aceh masih muncul pemeberontakan-pemberontakan. Jika diteliti secara mendalam ini ada hubungannya dengan ketidakpuasan terhadap janji-janji pemerintah pusat untuk menerapkan syariat Islam di Aceh. Penyelesaian pemberontakan itu berlarut-larut. Kendatipun pada tahun 1957 telah pernah dibuat perjajian damai dengan janji memberikan hak istimewa kepada Aceh, pada kenyataannya hal itu tidak pernah direalisasikan. Hal itulah kemudian pembangkangan terhadap pemerintah pusat berlanjut lagi. Pada tahun 2000 ketika dimulai masa reformasi pemerintah pusat mulai merubah kebijakan dengan memberi kesempatan Aceh menerapkan syariat Islam. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu cara

(13)

mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Aceh, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia masa itu berunding untuk mencari jalan terbaik agar bangsa Aceh tidak selalu berada dalam penderitaan. Suatu takdir dari Allah untuk Aceh datang tahun 2004, tepatnya 26 desember 2004, yaitu bencana alam gempa bumi yang berskala tinggi yang menyebabkan gelombang Tsunami melanda Aceh. Pada dasarnya masyarakat Aceh begitu menderita. Banyak yang menyangka pasti banyak orang yang jatuh gila di Aceh. Tetapi Al-hamdulillah kenyataannya tidak terjadi. Mungkin juga ada tetapi hampir tidak dapat terdeteksi. Pada saat yang sama juga terjadi tsunami di wilayah negara lain seperti Srilangka, Thailand dan India. Menurut sejumlah peneliti begitu banyak orang-orang di India yang bunuh diri, atau setidak-tidaknya jatuh gila. Tetapi itu tidak terjadi di Aceh. Ini karena masyarakat Aceh mampu menerima kenyataan ini sebagai pemberian dari Allah, mungkin sebagai peringatan terhadap umatnya yang lalai, dan boleh jadi sebagai ujian terhadap orang-orang beriman. Karena kekuatan tauhidlah masyarakat Aceh tidak mengambil tindakan-tindakan yang fatal seperti yang terjadi di tempat lain.

Islam bisa dikatakan the way of life-nya masyarakat Aceh. Semangat masyarakat Aceh dalam mempertahankan dan mengembangkan agama Islam sangat tinggi sekali, karena Islam telah menjadi rujukan dalam kehidupan masyarakat Aceh dalam berbagai segi kehidupan. Setiap suatu permasalahan, bangsa Aceh menjadikan Islam sebagai solusi dari permasalahan. Seperti terlihat sejak awal masyarakat Aceh mendirikan kerajaan Islam, mendakwahkannya. Kemudian ketika ada unsur yang mengganggu seperti usaha para penjajah, mereka usir dengan kekuatan iman. Demikian juga ketika pemerintahnya sendiri tidak memberi kesempatan untuk merealisasikan syariat, mereka membangkang. Terakhir ketika musibah yang begitu besar melanda daerahnya mereka tetap menerima dengan penuh keimanan.

Banda Aceh 15 Nopember 2008

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Sambuvan Gubernur Proxinsi Nanggroe Aceh Darussalam v Penganvar Kerala Dinas Kebudayaan dan Pariyisava

Proxinsi Nangroe Aceh Darussalam

vii

Sekarur Sirih iz

Penganvar Edivor zi

Dafvar Isi zv

BAB SATU KEDATANGAN ISLAM KE ACEH 1

Aceh Pra Islam 1

Ragam Teori Penyebaran Islam ke Aceh 5 1. Teori Asal Usul Islam ke Aceh 5

1.1. Teori Arab 5

1.2. Teori India 10

1.3. Teori yang Lain 12

2. Kecenderungan Islamisasi di Aceh 12 3. Teori Subyek Pembawa Islam 15

3.1. Pedagang 15

3.2. Ulama 1 Sufi 17

4. Teori Kompetisi 19

Islamisasi < Konversi dan Internalisasi 20 1. Peralihan Keyakinan Hindu dan Budha kepada Islam 20

2. Jalur-jalur Konversi 26

2.1. Jalur Perdagangan 26

2.2. Jalur Perkawinan 28

2.3 Jalur Kekuasaan 30

BAB DUA ACEH< RELASI LOKAL DAN GLOBAL 33

Posisi Strategis Selat Malaka< Perspektif Sejarah 34 Kerajaan-Kerajaan Islam di Sumatera 36

1. Kerajaan Perlak 36

2. Kerajaan Samudra Pasai 38

3. Kerajaan Tamiang 41

4. Kerajaan Aceh Darussalam 41 Masa Kemegahan Kerajaan Aceh 46

Ratu Safiatuddin 50

Ratu Nakiatuddin 56

Ratu \akiatuddin Inayat Syah 60

Sri Ratu Kamalat Syah 61

Peranan Ulama dalam Masyarakat Aceh< Perspektif Sejarah 64

1. Periode Kerajaan Islam 64

(16)

xvi Daftar Isi

Relasi Aceh Dengan Dunia Internasional 68 1. Relasi Aceh Dengan Turki Usmani 70 2 Relasi Aceh Dengan Eina 82 3. Relasi Aceh dengan Bangsa-Bangsa Eropa 85 4. Relasi Aceh Dengan Negara-Negara Asia Tenggara 94

BAB TIGA ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA< SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN DAN PERADILAN MASA

KERALAAN ACEH

101

Sistem Hukum Ketatanegaraan Pemerintahan Kerajaan Aceh 102 1. Dasar, Hukum, Kaedah dan Bentuk Negara Serta Struktur

Pemerintahan Kerajaan Aceh 102 2. Pembagian kekuasaan Negara 106 3. Struktur Pembagian Wilayah Kerajaan Aceh 110

3.1. Gampong 111

3.2. Mukim 115

3.3. Nanggroe 119

3.4. Sagoe 120

3.5 Kerajaan 121

4. Peraturan Perundang-undangan Kerajaan Aceh 124 4.1. Adat Meukuta Alam 125 4.2. Hukum Ahwal Asy-Syakhsyiyah (Hukum Keluarga) 135 4.3. Sarakata Paduka Sri Sultan Syamsul Alam 136 4.4. Sarakata Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah 139 4.5. Kanun Syariah Kerajaan Aceh 139 Sistem Peradilan Kerajaan Aceh 155

1. Kekuasaan Kehakiman 155

2. Peradilan 157

3. Hukum Pidana Islam (Jinayah) 165

BAB EMPAT ISLAMISASI SERAMBI MEKAH< DARI SINI BERSEMI 169 Akseptabilitas Masyarakat Aceh atas Islam 169

1 Karakter Masyarakat Aceh 169 2 Metode yang Dibangun 171

Pengukuhan Identitas Islam 175 1 Islam Sebagai Identitas Masyarakat Aceh 176 2 Islam Sebagai Ideologi Masyarakat Aceh 177 Aceh Sebagai Sentral Pendidikan di Nusantara 178 1 Sejarah Pendidikan di Aceh 188 2 Mistisme Ketahyulan dan Antagonisnya 200 3 Sekolah dan Perikehidupan Siswa 202 4 Eabang Pengetahuan 206

5 Seni 208

6 Tokoh Ulama dan Sarjana di Kerajaan Aceh Darussalam 209 6.1 Syekh Hamzah Fansuri 209 6.2 Syekh Syamsuddin as-Sumatrani 228

(17)

6.3 Syekh Nuruddin Ar-Raniry 229

6.4 Syekh Abdur Rauf 251

6.5 Syekh Burhanuddin 256

7 Pengaruh Para Ulama dan Sarjana Pada Pemikiran Islam di Aceh

257 7.1 Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dan

Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Nusantara

257 7.2 Peranan ar-Raniry Dan Abdur Rauf Terhadap

Kepemimpinan Sultanah

262

BAB LIMA ACEH< SUMBER ISLAMISASI NUSANTARA 263 Islam Sebagai Pemersatu Etnik1 Suku Aceh 263 1 Aceh dan Pemetaan Nusantara 263 2 Etnis Aceh dan Perkembangannya 265 Islam di Aceh dan Penyebarannya ke Nusantara 267 1 Rakyat Aceh Bersatu Karena Islam 272 Ulama dan Pengaruhnya Terhadap Nasionalisme Indonesia di

Aceh

275

1 Makna Nasionalisme 275

2 Nasionalisme dan Pengaruh Ulama 276 3 Nasionalisme Masyarakat Aceh 289 Ulama dan Perseteruan Politik 293 1. Ulama dan Uleebalang Sebagai Tokoh Politik Masa

Kesultanan Aceh

293 2. Ulama dan Uleebalang Pada Masa Belanda 296 3 Ulama dan Uleebalang pada masa Penjajahan Jepang 299 4 Gesekan Ulama dan Uleebalang dalam Politik 301 Pergulatan Islam dalam Menentukan Arah Kebijakan Masyarakat Indonesia

302 Pengaruh Islam Terhadap Ideologi Negara 303 1. Islam sebagai Agama Masa Kesultanan Aceh Darussalam 303 2. Islam dan Pergulatan Ideologi Negara Kesatuan Republik

Indonesia

305

BAB ENAM ISLAM SEBAGAI SUMBER KEKUATAN RAKYAT ACEH 311 Masa Perjuangan Kemerdekaan 311 1. Sikap Raja, Uleebalang dan Ulama dalam Menghadapi

Belanda

311 2. Sikap Sebagian Penguasa Terhadap Kedaulatan Aceh 315 3. Perjuangan Kemerdekaan Melalui Perubahan Pendidikan 316 4. Kedatangan Jepang Ke Aceh 320 5. Aceh dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 322 6. Ketidakstabilan Aceh Pasca Proklamasi 324

Aceh Masa Orde Lama 327

1. Masa Penerapan Syariat Islam 327 2. Masalah Bentuk Pemerintahan Aceh 330

3. Perimbangan Ekonomi 335

4. Pergolakan dan Peredarannya 336

4.1 Muncul Pergolakan 336

(18)

xviii Daftar Isi

Masa Orde Baru 343

1 Sikap Politik Orde Baru 344 2 Masalah Dwi-Fungsi ABRI 345

3 Persoalan HAM 346

4 Sistem Ekonomi Kapitalis 348 5 Persoalan Aceh Pada \aman Orde Baru 348 5.1 Gerakan Aceh Merdeka 348 5.2 Masalah Sumber Kekayaan Aceh 351 5.3 Pemaksaan Berpihak Pada Golkar 354

Aceh di Era Reformasi 355

1 Aceh Masa Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999)

356 1.1 Pengakuan Pusat Untuk Diterapkan Syari‚at Islam di

Aceh

357 1.2 Pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM) 357 1.3 Silaturrahmi Dengan Masyarakat 358 2 Aceh Masa Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober

1999-24 Juli 2001)

359 3 Aceh Masa Pemerintahan Megawati 360

Aceh Pasca Tsunami 364

1 Kekuatan Sabar 365

2 Kekuatan Melawan Upaya Pemurtadan 367 3 Kekuatan Bangkit Kembali 375 4 Renungan Religius Untuk Tsunami Aceh 377

AWAL DAN PENYEBAB BANJIR 378

1 Antara Banjir flArim dan Banjir Aceh 382

2 Kisah Dalam Al-Sur‚an 382

3 Banjir Aceh 383

4 Gempa Dan Tsunami Aceh 384

5 Renungan 385

BAB TULUH PENABALAN SERAMBI MEKAH 389

Argumentasi Geografis 389

1 Letak Aceh Pada Lintasan Dagang Dunia 390 2 Pedagang Arab Islam dan Gerakan Dakwah 390 Argumentasi Sosiokultural 395

1 Kultur Masyarakat Aceh 396

2 Adat dalam Kehidupan Masyarakat Aceh 401 Argumentasi Sosio-religius 404 1 Ulama sebagai Rujukan Kerajaan dan Panutan Masyarakat

Aceh

404 2 Aceh sebagai Sumber Referensi Islam Asia Tenggara 408 3 Aceh sebagai Pusat Dakwah Asia Tenggara 411 4 Aceh sebagai Sentral Pendidikan Islam 412 5 Ulama dan Komitmen Masyarakat Aceh Terhadap Islam 416 6 Aceh Sebagai Serambi Mekkah dalam Pandangan Tokoh

Aceh

422

Dafvar Pusvaka 429

(19)

BAB SATU

KEDATANGAN ISLAM KE ACEH

Aceh Pra Islam

Aceh1 senantiasa dikonotasikan dengan Islam. Hal ini tidak hanya karena daerah ini

merupakan pelopor bagi masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, melainkan juga karena Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Aceh. Menurut Al-Chaidar, pengaruh Islam yang kental pada budaya Aceh mengakibatkan berkembangnya budaya tersebut tidak hanya dalam bentuk adat maupunpun seni, melainkan juga dalam suatu bentuk peradaban yang tinggi dan adiluhung. Peradaban inilah yang memberikan rasa percaya diri pada masyarakat Aceh sebagai sebuah masyarakat yang terhormat, mulia, dan berbudi-kebangsaan luhur. Pada tataran yang lebih jauh, peradaban seperti ini melahirkan sikap dan perasaan yang halus, berbesar hati dalam berkorban, memiliki budaya malu, dan bersikap adil dalam merespon situasi sosial, ekonomi, budaya, dan politik.2

Para ilmuwan sosial menggolongkan etnis Aceh ke dalam ras Melayu, namun tidak berarti bahwa masyarakat Aceh memiliki budaya yang homogen. Bahkan, dari segi bentuk fisik pun orang Aceh beragam sesuai dengan asal daerahnya. Kebanyakan orang Aceh memiliki bentuk muka yang mirip dengan orang Arab, Cina, Eropa dan India. Semua ini tidak terlepas dari interaksi sosial dan kontak budaya masyarakat Aceh dengan masyarakat internasional___terutama dengan

India, Timur Tengah, dan Cina___sejak berabad-abad yang silam.

Pluralitas budaya dan kemultietnikan masyarakat Aceh nyata terlihat dari keberagaman adat-istiadat dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang mendiami provinsi ini. Mungkin karena keberagaman dan pengaruh sejarah kedaulatan Aceh di bawah Kerajaan Aceh Darussalam pada abad berikutnya, sebagian orang Aceh menyatakan bahwa Aceh merupakan sebuah bangsa, bukan sebuah suku. Realitanya, dewasa ini di Aceh terdapat beberapa etnik, diantaranya: etnik Aceh, Aneuk Jame, Gayo, Tamiang, Alas, Kluet, Devayan, Sigulai, dan Singkil.

1 Asal mula sebutan Aceh bersumber dari berbagai versi, sebagaimana dideskripsikan oleh H.M.

Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hal. 24-25.

(20)

2 Kedatangan Islam Ke Aceh Sejarawan terkemuka, Taufik Abdullah, menyatakan bahwa untuk memahami dinamika Aceh dan proses pembentukan kesadaran masyarakat serta kecenderungan kulturalnya, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) proses islamisasi; (2) zaman keemasan Sultan Iskandar Muda di abad XVII; (3) perang melawan Belanda 1873-1912; dan (4) revolusi nasional.3

Pada tataran empiris, penelitian dan kajian tentang Islam di Aceh memang telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan akademisi yang dituangkan dalam berbagai buku, artikel, dan laporan tertulis. Akan tetapi, seturut pandangan Taufik Abdullah, pada umumnya setting periode dan objek penelitian berada dalam rentangan diantara sejarah masuk Islam ke Aceh sampai Islam di Aceh dalam era revolusi nasional. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat Aceh sebelum kedatangan Islam? Agama apa yang dianut oleh masyarakat Aceh pra Islam?

Tidak mudah untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, apalagi secara tepat dan akurat, dalam arti jawaban yang tidak menimbulkan perdebatan terutama di kalangan akademisi dan sejarawan. Hal ini disebabkan oleh minimnya referensi yang membahas masalah Aceh pra Islam. Menurut Zainuddin,4 sebagian besar

sejarah Aceh sebelum tahun 400 M tidak diketahui secara jelas. Bahkan, catatan J. Kreemer dalam buku “Atjeh”___sebagaimana dikutip oleh

Aboebakar Atjeh___menyebutkan

bahwa sebelum tahun 1500 sejarah Aceh masih belum diketahui orang. Berdasarkan berita dan catatan perjalanan yang bersumber dari orang-orang Cina, Arab, dan Eropa, yang berkunjung ke Sumatera atau mendengar cerita tentang “Pulau Emas” itu sebelum tahun tersebut, nama Aceh sama sekali tidak disinggung di dalamnya.5

Kendati demikian, catatan-catatan perjalanan dari para pedagang yang mengarah ke wilayah Sumatera Utara, terutama Aceh, telah dibukukan dalam masa-masa sebelum itu. Hanya saja catatan-catatan tersebut tidak menyebutkan nama Aceh secara eksplisit. Seorang pemikir Mesir, Ptolomaeus___suami Cleopatra yang hidup di Mesir sekitar abad ke-2 SM___telah

menggambarkan dan memasukkan Sumatera ke dalam peta yang dipergunakan untuk perdagangan Mesir. Ini disebabkan oleh karena Sumatera merupakan wilayah penghasil kemenyan dan kapur

3 Lihat, Taufik Abdullah, “Pengantar” dalam Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Sinar

Harapan, 1985), hal. 12.

4 H.M. Zainuddin, Tarich ... hal. 40.

5 Aboebakar Atjeh, “Tentang Nama Aceh” dalam Ismail Suny (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh,

(Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hal.17.

(21)

barus yang merupakan komoditas dagang yang penting bagi orang-orang Mesir sebagai bahan mumifikasi jenazah.6 Menurut Said,

catatan Ptolomaeus tersebut menunjukkan bahwa sebelum sampai ke Mesir, komoditas dari Timur disinggahkan di pelabuhan yang terletak antara India dan Cina untuk dikumpulkan. Pelabuhan ini diperkirakan terletak di Sumatera Utara, terutama dengan menunjuk tempat bernama “Argure”, yang diperkirakan Aceh.7

Seturut pandangan Said, maka dapat dikatakan bahwa Aceh pada masa pra Islam telah terlibat dan memainkan peran penting dalam perdagangan internasional, terutama dengan Timur Tengah, Cina, India, dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Dari perspektif antropologi, interaksi yang terbangun antara masyarakat Aceh dengan masyarakat “dunia luar” tersebut___secara sadar

atau tidak___turut mempengaruhi formasi sosial dan karakteristik budaya masyarakatnya.

Seiring dengan perkembangan evolusi manusia, perubahan dan perkembangan kebudayaan suatu bangsa sebagai akibat pengaruh dari dunia luar merupakan sebuah keniscayaan. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan berubah sebagai respon terhadap hal-hal yang telah ada sebelumnya, seperti masuknya pengaruh dari luar, atau terjadinya modifikasi perilaku dan nilai-nilai di dalam kebudayaan. Wilayah sentral tempat berkecamuknya proses perubahan kebudayaan suatu bangsa/masyarakat terletak pada kawasan pintu gerbang perbatasan/pertemuan dengan bangsa/masyarakat daerah lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Di sini cenderung berlaku hukum superior versus inferior. Artinya, budaya yang superior biasanya mempengaruhi budaya inferior.8

Masyarakat Aceh pada masa itu hidup di bawah convergent value, suatu perbauran nilai-nilai lama dengan nilai baru yang diserap dari berbagai sumber. Lebih dari itu, perbauran nilai juga terjadi antara nilai-nilai budaya Aceh dengan nilai budaya masyarakat pendatang dari berbagai penjuru dunia yang berdagang dan singgah di Aceh. Dalam hal ini, tampaknya superioritas budaya dimiliki oleh bangsa pendatang, sehingga budaya masyarakat Aceh-lah yang cenderung dipengaruhi.

Pada masa itu, ada kemungkinan budaya yang hidup dalam masyarakat Aceh diserap dari nilai-nilai agama Hindu. Menurut Van Langen, pada dasarnya orang Aceh berasal dari bangsa Hindu. Migrasi Hindu bertapak di Pantai Utara Aceh dan dari sini menuju ke pedalaman. Dari

6 Djoko Suryo, dkk., Agama dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hal. 21. 7 Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1961), hal. 25-27.

8 Lihat, Bustami Abubakar, “Kehidupan Sosial Masyarakat Aceh di Perbatasan”, makalah yang

(22)

4 Kedatangan Islam Ke Aceh Gigieng dan Pidie, mungkin juga dari daerah Pase, migrasi Hindu menuju ke daerah XXII Mukim di Aceh Besar.9 Pendapat ini

dibantah oleh C. Snouck Hurgronje dan menyatakan bahwa pendapat seperti itu berasal dari orang-orang yang tidak paham tentang sejarah Aceh.10 Akan tetapi, jika

diperhatikan dari intensitas pergaulan, terutama dalam bidang perdagangan antara Aceh dan India pada masa itu, maka dapat dikatakan bahwa agama Hindu merupakan anutan sebagian masyarakat Aceh sebelum kedatangan Islam. Selain Hindu, diperkirakan agama Budha juga menjadi anutan bagi sebagian masyarakat Aceh yang lain, yang diduga dibawa oleh orang-orang Cina.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat Aceh pra Islam bersumber dari ajaran Hindu dan Budha. Akan tetapi, tidak ditemukan catatan sejarah yang menceritakan seberapa besar pengaruh Hindu dan Budha di Aceh pada masa pra Islam. Ketika jalur perdagangan dan ekonomi didominasi oleh para pedagang muslim, maka baik disadari atau tidak, para pendatang muslim inipun telah ikut menyebarkan kebudayaan mereka kepada masyarakat Aceh. Dikarenakan posisi para pedagang muslim ini secara ekonomi dan sosial berada pada strata yang lebih tinggi, maka kebudayaan yang mereka bawa pun menempati posisi superior dibandingkan dengan kebudayaan setempat. Praktis, budaya lokal yang inferior pada gilirannya dipengaruhi oleh budaya baru yang dibawa oleh orang-orang muslim yang bersangkutan.

Dalam perkembangannya kemudian, justeru dikarenakan oleh kondisi yang rentan akan pengaruh dan perubahan kebudayaan inilah yang menjadikan masyarakat Aceh bersifat lebih terbuka terhadap orang luar dan jauh dari etnosentrisme syndrom. Sifat terbuka dan jauh dari

etnosentrisme syndrom yang dimiliki masyarakat Aceh terefleksi dari kemampuan orang Aceh

berinteraksi dan menerima ragam budaya yang datang dari dunia luar, sehingga menghasilkan asimilasi kebudayaan.11 Asimilasi budaya yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Aceh

nyata terlihat dari perpaduan peradaban Hindu dan Islam yang hidup di tengah masyarakat.

9 Tuanku Abdul Jalil, “Kerajaan Islam Perlak Poros Aceh-Demak-Ternate” dalam A. Hasjmy (peny.),

Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal.

10 Selanjutnya, lihat Aboebakar Atjeh, Tentang Nama ... hal. 20.

11 Untuk tidak mengaburkan pemahaman, perlu kiranya dikemukakan pengertian asimilasi budaya,

yaitu proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan dari golongan-golongan manusia tersebut masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur masing-masing berubah wujud menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Perlu juga ditegaskan bahwa asimilasi budaya belum tentu akan terjadi bila di antara kelompok-kelompok yang saling berhadapan itu tidak memiliki suatu sikap toleransi dan simpati antara sesama, kendati mereka telah terlibat dalam pergaulan

(23)

Situasi ini pada gilirannya menghasilkan racikan peradaban Aceh yang unik, yang merupakan serapan dan perpaduan dari ragam kebudayaan bangsa lain yang berinteraksi dengan kebudayaan Aceh. Dalam konteks inilah sebutan ACEH sebagai akronim dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia menemukan nilai kesahihannya.

Ragam Teori Penyebaran Islam Di Aceh

1. Teori Asal-Usul Islam di Aceh

Kajian mengenai sejarah masuknya Islam ke Nusantara telah banyak ditulis oleh para peneliti dan akademisi. Akan tetapi, sampai sejauh ini, diskusi mengenai asal-muasal kedatangan Islam ke Nusantara belum menemukan kata akhir yang dapat dijadikan sebuah kesimpulan dan diterima oleh berbagai kalangan, terutama para sejarawan. Menurut catatan Azyumardi Azra, ada tiga permasalahan pokok yang masih diperdebatkan oleh para ahli mengenai kedatangan Islam ke Nusantara, yaitu: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.12 Adapun mengenai tempat pertama di wilayah Nusantara yang didatangi Islam,

hampir tidak diperdebatkan lagi. Kebanyakan sejarawan dan penulis sejarah meyakini bahwa wilayah Nusantara pertama yang didatangi Islam adalah Aceh.

Terkait dengan tempat asal-usul kedatangan Islam ke Aceh, para sejarawan juga bersilang pendapat. Ada yang menyatakan bahwa Islam yang datang ke Aceh berasal dari India, sementara ada pula yang berpendapat berasal dari Arab/Persia, dan ada juga dari daerah-daerah yang lain. Untuk memudahkan dalam memahami uraian-uraian berikutnya mengenai asal-usul kedatangan Islam ke Aceh, akan digunakan istilah “teori Arab, teori India, dan teori lainnya”.

1.1. Teori Arab

Beberapa sumber menyatakan bahwa ajaran Islam yang datang ke Nusantara (baca: Aceh) dibawa langsung oleh orang-orang dari Arab. Catatan sejarah yang menyebutkan secara pasti tahun masuknya Islam ke Aceh memang tidak ditemukan, tetapi petunjuk yang ada mengenai hal itu dapat ditelusuri dalam Hikayat Raja-raja Pasai (HRP). HRP (ditulis setelah tahun 1350) menukilkan bahwa ada seorang nakhoda Arab bernama Syaikh Ismail telah berlayar dari Mekah menuju Sumatera dengan membawa serta seorang penyebar agama Islam. Perjalanan ke Sumatera sengaja dilakukan dengan maksud untuk mengislamkan Meurah Silu, yang kemudian bergelar Sultan Malik as-Salih, Raja Pasai pertama. Sebelum tiba di Pasai, rombongan terlebih dulu singgah di Barus, Lamuri, dan Perlak untuk mengislamkan penduduk di sana.13

Selain itu, salah satu historiografi Aceh menyatakan bahwa nenek moyang para sultan Aceh bernama Syaikh Jamal al-Alam, seorang Arab yang diutus oleh Sultan Utsmani untuk mengislamkan masyarakat Aceh. Riwayat lain menyebutkan bahwa Islam dibawa ke Aceh sekitar

antar kelompok secara luas dan intensif. Selanjutnya, lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet. VIII, 1990), hal. 255-256.

12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan

XVIII, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 2.

(24)

6 Kedatangan Islam Ke Aceh tahun 1111 M oleh seorang Arab bernama Abdullah Arif.14 Akan tetapi jauh sebelum itu, para

pedagang Arab telah menjalin hubungan perdagangan yang luas dengan bangsa–bangsa di Asia Timur dan Selatan. Sejak abad ke-10 hingga abad ke-15 M, para pedagang Arab menguasai perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur

Padahal sebelum itu, yaitu pada masa pra Islam atau sebelum kedatangan bangsa Arab ke Asia, perdagangan di kawasan Asia Tengah, Selatan, dan Tenggara didominasi oleh Cina. Sebelum bangsa Portugis menemukan jalur ke Tanjung Harapan, dan Terusan Suez pun belum dibuka, Cina mengeksport komoditi dagang dari kawasan Asia ke Timur Tengah, terutama Mesir sebagai pasar andalan Eropa. Implikasinya adalah bergesernya monopoli Imperium Islam di Timur Tengah terhadap pasar Eropa. Hal ini diperparah lagi oleh serbuan dan pendudukan Mesir oleh pasukan Kristen Eropa. Situasi demikian mendorong pedagang muslim Timur Tengah melakukan ekspansi ke kawasan Asia. Mereka kemudian menaklukkan India dan menyerang Cina.15

Setelah India berhasil ditaklukkan pada akhir abad ke 7 H, sebuah kerajaan Islampun didirikan di sana. Hubungan dan jalur perdagangan yang telah dibangun India dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara tetap dilanjutkan oleh rezim penakluk demi keberlangsungan ekonomi kerajaan. Hal ini berarti bahwa semenjak India ditaklukkan, Nusantara telah bersentuhan langsung dan berinteraksi dengan Islam.16

Salah satu kerajaan yang terpenting dalam perkembangan Islam di Nusantara adalah Kerajaan Lamuri di Aceh. Orang Arab menyebutnya rami, ramni, sedangkan orang Cina menyebutnya lan-li, lan-wu-li, nan-wu-li dan nan-poli. Orang Aceh menyebutnya lam muri, sementara Marco Polo menyebut lambri.17 Terkait dengan lokasi, pendiri dan masa berdirinya,

serta struktur atau sistem pemerintahan yang berlaku di Lamuri, belum ditemukan kesepakatan di antara peminat dan para ahli sejarah. Akan tetapi, sebagian besar mereka berpendapat bahwa Lamuri terletak di wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang, hanya saja tidak dapat dipastikan apakah di kawasan Krueng Raya (tepian pantai) ataukah di daerah pedalaman, seperti Lamreh (Tungkop). Boleh jadi kerajaan ini membentang mulai dari kawasan pantai laut sampai ke daerah pedalaman.18 Kendati demikian, secara agak meyakinkan, Zainuddin menyatakan bahwa Lamuri

adalah sebuah ibukota kerajaan yang terletak di kawasan Sibreh, Aceh Besar (sekarang). Seperti halnya India, Lamuri didatangi Islam pada awal abad XIII M (tahun 1206 M).19

Sebelum kedatangan Islam, penduduk Lamuri dan beberapa kerajaan lain yang ada di Sumatera beragama Budha. Hubungan perdagangan dan politik dengan Cina terbina dengan baik, terutama pada masa-masa Cina mendominasi jalur perdagangan Asia. Ketika dominasi Cina atas Asia digantikan oleh bangsa Arab, hubungan Cina dan Lamuri pun mengalami kemerosotan. Beberapa kerajaan yang berusaha merebut monopoli perdagangan di Asia

14 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ..., hal. 10. 15 Djoko Suryo, dkk., Agama … hal. 25-26. 16 Ibid, hal. 32.

17 H.M. Zainuddin, Tarich ... hal. 23.

18 Lihat, Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan

Islam di Aceh, dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 431-432.

(25)

menganggap Lamuri sebagai wilayah strategis yang harus dikuasai dengan harapan mereka dapat menguasai selat Malaka sebagai jalur perdagangan menuju kawasan Asia Tenggara, Timur, dan Selatan. Dari sinilah upaya islamisasi Lamuri dilakukan oleh bangsa Arab yang berasal dari Timur Tengah.20

Kendati demikian, tampaknya Lamuri bukanlah kerajaan pertama di Nusantara yang “disentuh” oleh Islam. Ada kerajaan lain di Aceh yang lebih dahulu didatangi Islam, yaitu Kerajaan Peureulak (Perlak). Menurut catatan Zainuddin, kekuasaan raja-raja Islam di Peureulak telah ada sejak tahun 1075 M, tidak berselang lama dengan kedatangan Islam ke Baktria (Kabul), Afghanistan.21 Sungguhpun demikian, Zainuddin mengakui bahwa riwayat tersebut diperoleh

dari sumber yang tidak “sahih”, terputus-purtus, dan acapkali berbeda-beda.

Berbeda dengan Zainuddin, M. Yunus Djamil22 mencatat bahwa pada abad VIII M,

Bandar Perlak telah menjadi sebuah pelabuhan yang ramai disinggahi kapal dagang dari Arab. Sebagian pedagang ini kawin dengan penduduk setempat, sehingga agama Islam yang mereka anut ikut pula tersebar kepada keluarga, kerabat dan masyarakat setempat. Secara gradual, penduduk muslim kian bertambah sehingga pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) Kerajaan Perlak dideklarasikan sebagai kerajaan Islam yang pertama di Nusantara. Nama Bandar Perlakpun diganti menjadi Bandar Khalifah, sebagai salah satu upaya masyarakat setempat untuk menghormati dan mengenang jasa rombongan Nakhoda Khalifah yang telah menyebarkan Islam di sana.

Menurut catatan A. Hasjmy,23 Nakhoda Khalifah dan 100 orang angkatan dakwahnya

yang terdiri dari orang-orang Arab, Persia, dan India berlabuh di Bandar Perlak pada tahun 173 H dengan menyamar sebagai kapal dagang. Tidak disebutkan secara pasti nama asli nakhoda kapal tersebut. Penyebutan Nakhoda Khalifah kepada pemimpin angkatan dakwah itu ditabalkan oleh Abu Ishak Makarani al-Pasy dalam kitab “Idharul Haq fi Mamlakah Farlak”. Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa berkat hikmah kebijaksanaan Nakhoda Khalifah dan pengikutnya, dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, raja dan seluruh rakyat Kemeurahan Perlak yang beragama Hindu, Budha, dan Pelbegu, secara sukarela memeluk agama Islam.

Idharul Haq juga menukilkan bahwa pada tangal 1 Muharram 225 H diproklamirkan berdirinya

Kerajaan Islam Perlak dengan rajanya yang pertama Sayyid Abdul Azis, seorang putera blasteran Arab-Perlak. Dia kemudian bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam yang pertama di kawasan Asia Tenggara. Pada hari itu, nama ibukota kerajaan pun dirubah dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah.

Dalam buku yang lain, A. Hasjmy mengemukakan bahwa ayah dari Sayyid Abdul Azis bernama Sayyid Ali, berasal dari suku Quraisy, sedangkan ibunya bernama Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Meurah Perlak bernama Syahir Nuwi. Syahir Nuwi sendiri adalah putra dari Pangeran Salman yang telah memeluk agama Islam. A. Hasjmy selanjutnya menganalisis dengan menyimpulkan bahwa jika kedatangan angkatan dakwah pada tahun 173 H, sedangkan

20 Djoko Suryo, dkk., Agama … hal. 42. 21 H.M. Zainuddin, Tarich ... hal. 40.

22 Lihat, Muhammad Junus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh, (tanpa penerbit), 2005, hal. 5-6. 23 A. Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tenggara” dalam A.

Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 146-147.

(26)

8 Kedatangan Islam Ke Aceh Pangeran Salman sebagai seorang muslim telah datang ke Perlak 50 tahun sebelumnya, maka diperkirakan agama Islam telah masuk ke Aceh pada awal abad kedua atau akhir abad pertama Hijriah.24

Terlihat jelas bahwa di antara beberapa penulis sejarah Aceh memiliki pandangan yang sama tentang tempat asal kedatangan Islam ke Aceh, namun mereka berbeda pandangan mengenai waktu kedatangannya. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal bab ini bahwa di kalangan sejarawanpun belum ada satu kesepakatan dan kesamaan pendapat mengenai masa kedatangan Islam ke Nusantara.

Selain beberapa penulis yang telah disebutkan di atas, terdapat pula para penulis sejarah lain yang memiliki catatan yang tidak sama mengenai masa kedatangan Islam ke Aceh (Nusantara). Sungguhpun demikian, perbedaan pandangan ini mengkristal pada dua periode waktu, yaitu antara abad VII dan XIII. Beberapa sejarawan dan peminat sejarah dari Aceh dan Melayu lebih cenderung kepada abad VII. Kecenderungan ini dirumuskan dalam sebuah seminar mengenai “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963. A. Hasjmy mengutip beberapa rumusan penting yang disampaikan oleh para nara sumber dalam seminar tersebut.25

Hamka menyimpulkan bahwa agama Islam telah datang ke Nusantara secara berangsur sejak abad I H/VII M, yang dibawa oleh para saudagar Islam dan dimotori oleh orang-orang Arab, baru kemudian diikuti oleh orang Persia dan Gujarat.

Haji Abubakar Aceh menarik kesimpulan sebagai berikut.

a. Islam masuk ke Indonesia pertama kali melalui Aceh, tidak mungkin dari daerah lain b. Penyiar Islam pertama di Indonesia tidak hanya berasal dari India dan Gujarat, melainkan

juga dari Arab

Pada akhirnya, seminar tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan, diantaranya: a. Bahwa menurut sumber-sumber yang diketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke

Indonesia pada abad I H (abad VII/VIII M) dan langsung dari Arab;

b. Bahwa daerah yang pertama didatangi Islam adalah pesisir Sumatera dan setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.

Pada tahun 1978, seminar serupa diselenggarakan di Banda Aceh. Di antara rumusan penting yang dihasilkan adalah:

a.Islam telah masuk ke Aceh pada abad I H.

b.Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama adalah Perlak, Lamuri, dan Pasai.

Selain hasil seminar tersebut, pandangan yang menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Aceh pada abad VII M juga diajukan oleh beberapa ahli terkemuka. Sasmita mengklasifikasi kelompok ahli yang berpendapat seperti ini, diantaranya: T.W. Arnold, Syed Naguib al-Attas,

24 A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Al-Ma’rif,

1981), hal. 146.

(27)

dan Hamka.26 Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata ketiga ilmuwan ini juga meyakini bahwa Islam

yang datang ke Aceh dibawa oleh orang-orang Arab.

T.W. Arnold berpendapat bahwa penyebaran Islam ke Nusantara dilakukan oleh para pedagang Arab ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad pertama hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 masehi. Kendati tidak ada catatan sejarah mengenai aktivitas pedagang Arab ini dalam penyiaran Islam di Nusantara, Arnold meyakini bahwa para pedagang itu menyiarkan Islam kepada penduduk lokal Nusantara sembari mereka berdagang di kawasan ini. Untuk memperkuat pandangannya, Arnold mengemukakan fakta-fakta yang tersebut dalam sumber-sumber Cina yang menyatakan bahwa menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Arnold berkesimpulan bahwa masyarakat pemukiman itulah yang melakukan penyebaran Islam kepada penduduk setempat.27

Sarjana lain yang menyatakan bahwa Islam di Aceh dibawa dari Arab adalah Sir John Crowford. Dia mendasarkan pandangannya atas anutan mazhab Syafi’i___yang lahir di

Semenanjung Tanah Arab___oleh masyarakat muslim Melayu (termasuk Aceh).28 Meski begitu,

Crowford tidak menampik bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum muslimin yang berasal dari pantai Timur India merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.29

Sumber lain menyebutkan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa oleh para pedagang Yaman, Hadramaut, dan Oman, yang terletak di bagian selatan dan tenggara Semenanjung Jazirah Arab. Kawasan Yaman telah diislamkan oleh Ali bin Abi Thalib sekitar tahun 630-631 M. Pengislaman Yaman berimplikasi terhadap Asia Tenggara, terutama Nusantara, dikarenakan para pedagang yang telah beragama Islam tersebut kemudian menyebarkan agama Islam kepada masyarakat di sekitar pelabuhan Nusantara. Dengan demikian diyakini bahwa Islam telah masuk ke kawasan Nusantara pada abad ke-7 M. Pada masa itu pula, sebuah perkampungan Islam pun telah dibangun di sekitar Sumatera Utara. Perkampungan itu dikenal dengan nama Ta-Shih. Menurut catatan sejarah Cina, Ta-Shih telah menjalin hubungan dengan Cina sekitar tahun 650 M.30

Harry W. Hazard menyatakan bahwa interaksi antara orang Arab dan Cina telah berlangsung semenjak zaman pra Islam (sebelum tahun 600). Menurut Hazard, kira-kira dalam tahun 650 M. Maharaja Kao Tsung dari Dinasti T’ang melaporkan bahwa sebuah kekuatan militer baru yang telah mengontrol perjalanan perdagangan, telah mengirimkan suatu perutusan ke Madinah dan perutusan balasan dari Sayyidina Usman dalam tahun 713 dan 726. Satu golongan yang pro Sayyidina Ali yaitu para pengungsi dari Kerajaan Umayyah, telah bermukim di Cina sebelum tahun 750.

26 Uka Tjandra Sasmita, “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di

Aceh” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 358.

27 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ... hal. 6.

28 Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh, Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI” dalam A.

Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 180.

29 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ... hal. 7.

30 Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah Islam, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd, tt),

(28)

10 Kedatangan Islam Ke Aceh Menurut Hazard, berdasarkan laporan dari Maharaja Kao Tsung, satu-satunya jalur pelayaran yang dapat dilalui dari Cina ke Madinah adalah melalui Selat Malaka. Besar kemungkinan dalam pelayaran itu bangsa Arab telah memetakan negeri-negeri yang dilalui sepanjang Selat Malaka, mengingat dalam tahun 700 bangsa Arab telah memiliki para ahli ilmu bumi dan sejarah. Bangsa Arab ini juga mengamati pengaruh Hindu di daerah sepanjang Selat Malaka, mulai dari Aceh Utara, Pidie hingga Aceh Besar.31 Di antara para ahli tersebut, menurut catatan Azra, yang

sangat gigih menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab adalah Naguib Al-Attas. Menurutnya, karakteristik internal Islam di dunia Melayu-Indonesia merupakan bukti yang paling penting yang harus dikaji bilamana hendak membahas topik kedatangan Islam ke Nusantara. Oleh karena itu, teori umum tentang islamisasi nusantara harus didasarkan terutama pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan dunia melayu. Sebelum abad XVII tidak ditemukan satupun literatur keagamaan Islam yang dikarang oleh muslim India atau berasal dari India, melainkan dari Arab. Nama dan gelar para pembawa Islam ke Nusantara pun menunjukkan mereka berasal dari Arab. Karena itu, Al-Attas menyimpulkan bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arab.32

1.2. Teori India

Teori yang menyatakan asal-muasal Islam di Nusantara dari India pada umumnya dianut oleh para sarjana Belanda. Adalah Pijnappel yang pertama kali mencoba mengaitkan asal-muasal Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya, Islam ke Nusantara dibawa oleh para penganut mazhab Syafi’i yang bermigrasi dan kemudian menetap di India.33 Pandangan

Pijnappel sebangun dengan pendapat Hurgronje, yang menyatakan bahwa ketika kekuasaan Islam berkibar di India, kaum muslim India mulai datang dan menyebarkan ajaran Islam ke Nusantara, barulah kemudian diikuti oleh orang-orang Arab keturunan Nabi Muhammad SAW yang bergelar sayyid atau syarif. Hurgronje mengatakan: “...Setelah sebahagian bangsa India memeluk agama Islam, maka orang-orang Islam dari India turut mengambil bahagian lalulintas dan emigrasi di Nusantara, dan mereka itulah yang memasukkan Islam ke wilayah Nusantara.”34

Kendati begitu, Hurgronje tidak dapat menunjukkan secara tepat wilayah di India sebagai tempat asal kedatangan Islam ke Nusantara.

Dalam pidato penganugerahan jabatan guru besar di Universitas Leiden, tanggal 23 Januari 1907, Prof. Hurgronje menyatakan: “Dalam buku sejarah tidak didapatkan bukti bahwa orang Arab memiliki pengetahuan tentang Indonesia berdasarkan penglihatan mereka sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari Arabia sampai di Indonesia melalui India.”

Pandangan Hurgronje dan kemudian diikuti oleh para pengarang orientalis, didasarkan atas alasan berikut.35

a. Ada jalur perdagangan dan pelayaran orang India dengan Indonesia sejak

31 Tuanku Abdul Jalil, Kerajaan Islam …hal. 269-270. 32 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ... hal. 8-9. 33 Ibid, hal. 2

34 C.S. Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhratara, 1973), hal. 17.

35 Lihat, Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, (Jakarta:

(29)

b. Zaman pra Islam (Hindu);

c. Adanya keraguan akan kemampuan orang Arab berlayar ke Indonesia secara langsung, sebab menurut mereka orang Arab tidak terkenal sebagai pelaut tangguh dan pemberani dalam mengarungi samudera dengan kapal layar;

d. Nama-nama ulama pembawa Islam memakai gelar maulana, khan, dan syah yang merupakan gelar yang lazim dipakai di India dan Persia;

e. Batu marmer dari makam raja-raja dan pembawa Islam seperti Maulana Malik Ibrahim, jika dilihat pada retakannya tampak bekas tembok kuil Hindu dan bentuk ukirannya adalah bentuk ukiran dari India.

Pendapat Hurgronje mendapat justifikasi dari sarjana Belanda yang lain, diantaranya D.G.E. Hall, J. Gonda, Marrison, R.O. Winstedt, Bousquet, Vlekke, J.P. Mouquette, dan B. Harrison. Menurut Harrison, Asia Tenggara memperoleh inspirasi budayanya bukan dari Persia atau tanah Arab, melainkan dari India. Kedatangan Islam ke kawasan kepulauan dan Semenanjung Tanah Melayu dibawa dari India yang secara intensif telah terlibat dalam perdagangan dengan bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara. Pada abad ke-13, Islam telah menapaki kawasan barat laut dan timur laut India di bawah pemerintahan Sultan Turki di Delhi. Sejak itu, Islam mulai merambah Nusantara terutama dibawa oleh para pedagang Gujarat.36

J.P. Moquette menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Pendapat ini didasarkan atas kesamaan bentuk batu nisan Sultan Malik as-Salih di Samudera Pasai dengan bentuk batu nisan di Gujarat. Ini berarti bahwa batu-batu nisan dari Gujarat dibawa oleh para pedagang ke Nusantara. Momentum itu tidak hanya digunakan untuk berdagang, tetapi juga untuk menyebarkan ajaran Islam.37

Tak hanya Moquette yang berargumentasi seperti di atas. Secara umum, pendukung teori India yang lain pun mendasarkan pandangan mereka atas beberapa alasan berikut. a. Batu-batu nisan awal yang dijumpai di Asia Tenggara diimport dari Kambay di Gujarat. b. Pedagang-pedagang Gujarat telah memainkan peranan penting di Kepulauan Nusantara dalam

kaitannya dengan penyebaran Islam ke kawasan ini

c. Tradisi kesusasteraan Melayu yang lebih mirip dengan tradisi India Islam.

Selain ketiga aspek di atas, pandangan para orientalis Belanda pendukung teori India juga dilandasi oleh catatan-catatan perjalanan para pengembara yang pernah singah atau melawat ke Nusantara sekitar abad ke-13 dan ke-14 M, diantaranya catatan Marco Polo dan Ibn Batutah. Teori ini diperkuat dengan ditemukan makam Sultan Malik as-Salih, Raja Pasai yang mangkat pada tahun 1297 M dan disebut dalam Hikayat Raja-raja Pasai sebagai raja Islam yang pertama di Kepulauan Melayu. Berdasarkan hal tersebut, mereka meyakini bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M.38

36 Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah ... hal. 557.

37 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ..hal. 3. Lihat juga, Uka Tjandra Sasmita, Proses Kedatangan

... hal. 359.

(30)

12 Kedatangan Islam Ke Aceh Adapun dari kalangan muslim yang menyatakan bahwa Islam ke Nusantara dibawa dari Gujarat adalah Abu Ishak Makarani al-Pasy dalam karyanya “Idharul Haq fi Mamlakah

Farlak”. Terkait hal ini, A. Hasjmy menulis:

“Abu Ishak Al Makarany Pasy, dalam kitabnya Idharul Haq mencatat bahwa dalam tahun 173 H (800 M) berlabuh di Bandar Peureulak sebuah kapal dari teluk Kambey (Gujarat) di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah bersama sejumlah pedagang-pedagang Muslim; dan selanjutnya mereka menetap di Peureulak untuk menjalankan Dakwah Islamiyah.”39

Kendati demikian, berbeda dengan para sarjana Belanda pendukung teori India, Abu Ishak tidak sepakat dengan pandangan yang menyatakan Islam datang ke Nusantara pada abad ke-13 M, melainkan, menurutnya, pada abad ke-7 atau ke-8 M.

1.3. Teori yang Lain

Selain Arab dan India, wilayah lain yang diduga sebagai asal mulai kedatangan Islam ke Aceh adalah Coromandel dan Malabar. Teori ini dikemukakan oleh T.W. Arnold. Arnold mendasarkan pandangannya atas adanya persamaan mazhab fiqih yang dianut oleh kedua masyarakat tersebut. Mayoritas muslim di Aceh menganut mazhab Syafi’i, demikian pula halnya dengan muslim di Coromandel dan Malabar. Persamaan mazhab fiqih ini bukanlah sebuah kebetulan belaka, tetapi disebabkan oleh adanya interaksi sosial antar kedua masyarakat yang berimplikasi pada perubahan unsur-unsur budaya tertentu dari suatu masyarakat. Menurut pengamatan Arnold, Coromandel dan Malabar memainkan peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Para pedagang dari wilayah ini mendatangi dan singgah di pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu untuk melakukan transaksi perdagangan. Akan tetapi, aktivitas mereka tidak berdagang an sich, melainkan juga menyebarkan ajaran Islam. Arnold juga menegaskan bahwa Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal kedatangan Islam di Nusantara, tetapi Islam juga dibawa oleh para pedagang Arab ke kawasan ini.

Sarjana lain yang mendukung pendapat Arnold adalah G.E. Marrison. Marrison mengemukakan pandangannya tidak saja dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Coromandel, tetapi sekaligus juga untuk mematahkan pendapat para sarjana lain yang menyatakan Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Marrison menunjukkan fakta bahwa ketika Sultan Malik as-Salih mangkat pada tahun 1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Oleh karena itu, mustahil para padagang Gujarat yang membawa ajaran Islam ke Nusantara. Marrison menyimpulkan bahwa islamisasi Nusantara dilakukan pada akhir abad ke-13 oleh orang-orang dari pantai Coromandel.40

2. Kecenderungan Teori Islamisasi di Aceh

Beberapa teori dari para ahli tentang tempat asal dan masa kedatangan Islam ke Nusantara telah dipaparkan, kendati tidak secara mendetil. Sebagai salah satu ciri dari keautentikan karya ilmiah, maka penulis dihadapkan pada pilihan untuk menganalisis teori-teori tersebut yang mengarah pada kecenderungan tempat asal dan masa islamisasi Nusantara. Dikatakan kecenderungan karena

39 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ...hal. 39. 40 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ...hal. 5-6.

(31)

sangat sulit dan bahkan terlalu berani untuk membuat suatu kesimpulan final mengenai hal tersebut, sebab masing-masing teori dan pendapat memiliki argumentasi yang cukup kuat dan responsible. Analisis kecenderungan teori islamisasi Nusantara yang dihadirkan disinipun bukanlah didasari oleh pemikiran penulis semata, melainkan juga disandarkan kepada pendapat dan perdebatan di kalangan para ahli terhadap kekuatan dan kelemahan masing-masing teori. Perdebatan yang dimaksudkan di sini adalah perbedaan pandangan di antara para ahli mengenai masa kedatangan Islam dan tempat asal kedatangannya ke Nusantara. Berdasarkan eksposisi yang telah dipaparkan di atas, maka secara umum ada dua pandangan yang mengkristal mengenai hal tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad ke-7 M yang dibawa langsung dari Jazirah Arab, sedangkan pandangan yang lain menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad ke-13 M dan dibawa dari India/Gujarat. Adapun pandangan yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara dibawa dari Coromandel dan Malabar tidak begitu dominan diutarakan, kecuali oleh beberapa orang saja. Menyangkut tentang tempat mula kedatangan Islam di Nusantara, jumhur ahli menyatakan di Aceh, sehingga dalam sub bab ini tidak lagi diperbincangkan.

Menurut salah seorang sejarawan dari Universitas Indonesia, Uka Tjandra Sasmita, pandangan yang dikemukakan Hurgronje dan para pendukungnya mengenai kedatangan Islam ke Nusantara pada abad ke-13 dan dibawa dari Gujarat, memiliki banyak kelemahan. Uka menyatakan:

“Kelemahan kelompok ahli ini jelas bahwa mereka tidak menyadari adanya jalur pelayaran yang sudah ramai dan bersifat internasional jauh sebelum abad ke 13 M melalui Selat Malaka dan mungkin pula pesisir Barat Sumatera. Keramaian pelayaran melalui perairan tersebut di atas dapat dibuktikan berdasarkan berita-berita baik dari orang Muslim sendiri maupun dari orang Cina. Berita Cina berasal dari abad ke-7 dan berita Jepang berasal dari abad ke-8 serta berita Chaujukua yang berasal dari abad ke-12 sebagaimana telah dikatakan di atas membuktikan tentang ramainya pelayaran serta perdagangan dari negeri Islam di Asia Barat dengan negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur.”41

Jika pendapat yang menyatakan kedatangan Islam ke Nusantara pada abad ke-13 disandarkan atas adanya kesamaan batu nisan Sultan Malik as-Salih dengan batu nisan di Gujarat, sebagaimana diutarakan J.P. Moquette, maka barangkali Moquette khilaf bahwa dia sendiri pernah membaca nisan kubur di Leran (Gresik) dalam huruf Kufi yang memuat nama Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang mangkat pada tahun 495 H atau 1102 M. Angka tahun mangkat ini kemudian dikoreksi oleh Ravaisse yang membacanya tahun 475 H atau 1082 M. Terkait dengan hal ini, Uka Tjandra Sasmita memberikan komentarnya:

“Terlepas daripada apakah sudah membentuk kerajaan atau tidak, namun harus diakui bahwa pulau Jawa saja pada abad ke-11 sudah kedatangan Islam. Hal ini tentu sejalan dengan keramaian jalur pelayaran seperti telah diberitakan oleh berbagai berita baik dari orang-orang Cina maupun Muslim yang telah diterangkan di atas”.42

41 Uka Tjandra Sasmita, Proses Kedatangan ...hal. 358. 42 Ibid, hal. 359.

(32)

14 Kedatangan Islam Ke Aceh Selain nisan-nisan di Jawa, di Barus, Sumatera juga terdapat nisan pada komplek makam Tuan Makhdum, salah satu diantaranya bertuliskan nama Siti Tuhar Amisuri yang mangkat pada tahun 602 H, dan jelas lebih tua daripada nisan/makam Sultan Malik as-Salih. Demikian pula nisan marmar pada makam Al-Malik Maulana Abd. Al-Rahman Taj al-Daulah Quth al-Ma ‘Afial-Fa-si, yang mangkat pada Rabu, bulan Dhulqaidah tahun 610 H (1214 M). Makam ini terdapat di Blang Me, Samudera Pasai.

Berdasarkan alasan-alasan di atas dan temuan situs-situs arkeologi tersebut, Uka Tjandra Sasmita menolak pendapat Hurgronje dan para ahli yang lain yang menyatakan Islam datang ke Nusantara pada abad ke-13. Dia juga menolak pendapat Moquette mengenai tempat asal kedatangan Islam ke Nusantara. Menurutnya, bentuk dan jenis bahan nisan Sultan Malik as-Salih sangat berbeda dengan model nisan di Gujarat, seperti yang terdapat pada makam Umar ibn al-Kazaruni.43

Sejarawan Indonesia yang lain, Taufik Abdullah juga meragukan pendapat Hurgronje. Menurutnya, kelemahan teori Hurgronje adalah karena dia meremehkan dan bahkan menolak tradisi-tradisi lokal, seumpama hikayat, babad, dan lain-lain. Hurgronje menutup mata terhadap tradisi lokal tersebut dan dianggap tak lebih dari sekedar cerita-cerita naif. Padahal tradisi lokal itu juga secara implisit mengandung memori-memori historis.44

Di antara sumber lokal yang cukup populer di Aceh adalah Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu. Dalam kedua historiografi tersebut dinukilkan bahwa penyebaran agama Islam pertama kali di Nusantara dilakukan oleh Syaikh Ismail dan langsung dibawa dari Arab. Hanya saja Hikayat Raja-raja Pasai tidak menyebutkan secara pasti waktu kedatangan Syaikh Ismail ke Aceh. Pada abad ke-13, seluruh penduduk di berbagai wilayah Aceh (Pasai) telah beragama Islam. Catatan perjalanan Marco Polo yang tiba di Peureulak tahun 1292 dan Ibnu Batutah yang sampai di Samudera Pasai tahun 1343 menegaskan bahwa seluruh penduduk di wilayah tersebut telah memeluk Islam.

Teori Hurgronje juga mendapat kritikan dari sarjana Malaysia, Mahayudin Hj. Yahaya dan Ahmad Jelani Halimi. Menurut mereka, hubungan antara Asia Tenggara dan Arab telah terbangun sejak era pra Islam, sehingga sulit diterima jika Islam baru bersentuhan dengan bangsa-bangsa Asia Tenggara terutama Aceh pada abad ke-13. Demikian pula argumentasi yang menyatakan Islam berasal dari India atas dasar kesamaan batu nisan di antara kedua wilayah. Menurut mereka, batu nisan merupakan komoditas dagang yang dapat dibawa dan dijual oleh siapa saja, termasuk kalangan non muslim, sehingga hal tersebut tidak bisa menjadi alat justifikasi untuk menyatakan Islam dibawa dari India.

Terkait dengan alasan tentang tradisi kesusasteraan Islam di Melayu lebih mirip dengan tradisi Islam India juga tidak dapat diterima sebagai justifikasi kedatangan Islam ke Nusantara dari India. Hal ini dikarenakan tradisi tersebut tidak diterima pada masa-masa permulaan perkembangan Islam ke Nusantara, melainkan jauh setelah itu yaitu setelah Islam bertapak di kawasan ini dan setelah agama ini berkembang secara meluas di India.45

43 Ibid, hal. 360.

44 Lihat, Taufik Abdullah, “Pengantar” dalam C.S. Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta:

Bhratara, 1973), hal. 10-11.

(33)

Berdasarkan telaahan yang dilakukan oleh para sejarawan sebagaimana tersebut di atas dan pembacaan penulis terhadap telaahan tersebut, maka penulis lebih cenderung meyakini bahwa Islam telah datang ke Aceh pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M dan dibawa oleh orang-orang Arab. Kendati Islam telah menapaki Aceh pada abad ke-7 M, tetapi baru setelah abad ke-12 pengaruh Islam terlihat secara eksplisit, yang ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di kawasan ini.

3. Teori Subjek Pembawa Islam 3.1. Pedagang

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa kedatangan Islam ke Nusantara dibawa oleh para muballigh dan pedagang dari jazirah Arab. Sebagai orang Islam, para pedagang itu datang ke Nusantara tidak hanya untuk berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam. Sungguhpun pada mulanya tujuan perdagangan mereka ke Cina, namun mereka terpaksa singgah berbulan-bulan lamanya di pelabuhan-pelabuhan Kepulauan Melayu sambil menunggu angin yang baik untuk meneruskan pelayaran ke Cina atau kembali ke Arab.46 Terkait dengan hal ini, Wan

Hussein Azmi menulis:

“Pelayaran dari Aden bergantung kepada angin Barat Laut yang bertiup di bulan September membawa kapal-kapal ke pesisir pantai India dan dari sini masuk ke gugusan pulau-pulau Melayu; manakala pelayaran pulang bergantung kepada angin Timur Laut yang bertiup di akhir bulan November dan awal bulan Desember membawa kapal-kapal dari gugusan pulau-pulau Melayu ke pesisir pantai India Selatan dan dari sini menuju kembali ke Semenanjung Tanah Arab. Keadaan ini menyebabkan saudagar-saudagar Arab Muslimin di gugusan pulau-pulau Melayu itu terpaksa tinggal beberapa lama di pelabuhan-pelabuhan daerah ini untuk menanti musim angin; keadaan ini memberi peluang kepada saudagar Muslimin menyebarkan Dakwah Islamiah di mana saja tempat mereka itu berada.”47

Menurut Wan Hussein Azmi, para saudagar Arab telah tiba di gugusan pulau-pulau Melayu jauh sebelum masyarakat setempat mengenal Islam. Mereka datang melalui dua jalur berikut. a. Melalui jalan laut; dimulai dari Adan di Selatan Semenanjung Tanah Arab menuju ke Gujarat,

Kambey, Sailon (Sri Lanka), dan dari sini bertolak ke gugusan pulau-pulau Melayu. b. Melalui jalan darat; dimulai dari Damsyik, Syria, ke Khurasan, Parsi dan dari Khurasan ke

Balakh, Afghanistan, dan dari Balakh ke Bamir kemudian ke Kasykar, Shina, ke Khutan, kemudian menyeberangi padang pasir Gobi menuju ke Sangtu, kemudian ke Hansyau, dan dari sinilah mereka itu bergerak ke gugusan pulau-pulau Melayu.48

Tidak semua penulis sejarah Islam Nusantara setuju bahwa agama Islam ke Nusantara dibawa oleh para pedagang. Di antara mereka yang tidak sependapat adalah A.H. Johns. Dia meragukan kalau para pedagang itu juga bertindak sebagai penyiar agama Islam. Jika benar mereka juga bertindak sebagai penyiar Islam, maka Johns meragukan apakah jumlah penduduk

46 Ibid, hal. 560

47 Wan Hussein Azmi, Islam di Aceh ... hal. 181. 48 Ibid, hal. 176.

(34)

16 Kedatangan Islam Ke Aceh yang berhasil mereka islamkan cukup besar dan signifikan. Dia juga mempertanyakan, jika memang para pedagang itu sangat aktif dalam penyiaran Islam, mengapa Islam baru nyata terlihat sebelum abad ke-12, padahal para pedagang muslim sudah berada di Nusantara sejak abad ke-7 dan ke-8. Berdasarkan logika tersebut, Johns akhirnya menyimpulkan bahwa kendati para pedagang muslim telah berinteraksi dengan penduduk Nusantara sejak abad ke-7 dan ke-8, tidak ditemukan bukti adanya penduduk muslim lokal dalam jumlah yang besar. Ini berarti tidak terjadinya islamisasi substansial di Nusantara yang dilakukan oleh para pedagang muslim dari jazirah Arab.49

Sekilas, gugatan Johns cukup logis dan meyakinkan. Akan tetapi bila ditelusuri lebih jauh, maka dapat dikatakan bahwa Johns tidak melihat persoalan ini secara lebih komprehensif. Gugatan Johns terbantahkan dengan sejumlah catatan sejarah atau argumentasi lain yang diajukan oleh para pakar yang lain.

Dalam Hikayat Radja-radja Pasai (HRP) disebutkan bahwa proses islamisasi Nusantara dilakukan oleh rombongan pedagang dari Mekah di bawah pimpinan seorang nakhoda bernama Syaikh Ismail. Rombongan tersebut singgah di Barus sebagai wilayah yang paling banyak dihuni oleh masyarakat Arab. Islamisasi penduduk setempat dapat dimaknai sebagai menggalang kekuatan koloni Arab tersebut yang telah kawin-mawin semenjak abad ke-7. Selanjutnya, Syaikh Ismail mengangkat pimpinan lokal dan diberi gelar Sultan dengan maksud untuk mempermudah urusan perdagangan mereka. Atas dasar hutang budi ini, Syaikh Ismail dan rombongannya dapat singgah kapan saja dan dalam kurun waktu yang mereka maui di kawasan tersebut dengan mudah. Rombongan pedagang ini pula yang kemudian mengislamkan Lamuri, Perlak, dan Pasai sebelum mereka kembali ke Mekah.50 Oleh karena itu, jika A.H. Johns mempersoalkan

keberadaan pedagang muslim dalam menyiarkan Islam pada abad ke-7 dan ke-8, maka persoalan tersebut kiranya dapat ditemukan jawaban. Pengangkatan Meurah Silu menjadi sultan di Kerajaan Pasai dengan gelar Sultan Malik as-Salih merupakan kunci penting bagi perkembangan Islam di Nusantara. Penyebutan nama Pasai untuk kerajaan ini sering dikaitkan dengan kesalahan ejaan dari Parsi ke Pase atau Pasi. Berdasarkan hal tersebut, tampaknya Aceh telah memiliki hubungan yang erat dengan Persia sejak masa pra Islam.

Pengangkatan Sultan Pasai menjadi penting disebabkan oleh karena populasi koloni Arab yang telah ada di kawasan Pase jauh sebelum daerah ini menjadi sebuah kerajaan kian meningkat, sementara mereka belum memiliki sebuah kerajaan yang dapat menjamin hak-hak mereka sebagai warga negara. Oleh karena Pasai merupakan daerah pelabuhan yang paling penting dibandingkan Lamuri, Barus, dan Perlak, maka Syaikh Ismail atas nama Syarif Mekah mengangkat Meurah Silu sebagai sultan, yang kemudian menggalang persatuan masyarakat Islam di wilayah Aceh. Pengangkatan Meurah Silu sebagai sultan tampaknya juga berkaitan dengan kepentingan perdagangan yang telah didominasi oleh orang-orang Islam. Selain itu, catatan sejarah juga menyebutkan bahwa pada saat Sultan Malik as-Salih meninggal dunia pada tahun 1296 M, masyarakat Aceh telah beragama Islam. Dengan demikian menjadi jelas bahwa proses islamisasi itu tentunya telah berlangsung jauh sebelumnya.51

49 Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …hal. 13. 50 Djoko Suryo, dkk., Agama …hal.42.

(35)

Adapun mengenai tidak banyaknya penduduk lokal yang menjadi muslim sebagai bukti yang diajukan Johns untuk menunjukkan bahwa islamisasi Nusantara bukan dilakukan oleh para pedagang, terbantahkan pula oleh argumentasi yang dikemukakan oleh Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi. Menurut kedua pakar dari Malaysia ini, ketika para pedagang yang berangkat dari Mekah tiba di Ranah Melayu dan dalam masa menunggu angin yang baik untuk melanjutkan perjalanan, para pedagang ini terlibat dalam pergaulan dan interaksi dengan penduduk lokal. Dalam proses interaksi itu, para pedagang tersebut menyebarkan ajaran Islam kepada para pedagang lokal. Penyebaran Islam yang mereka lakukan tidak meluas sampai ke pemukiman penduduk, melainkan terbatas pada para pedagang dan di kota-kota pelabuhan saja.52Dengan

demikian menjadi jelas bahwa kendati ajaran Islam telah masuk ke Nusantara pada abad ke-7, namun pengaruh Islam belum kuat. Hal ini disebabkan oleh masih kuatnya dominasi Cina dan India, sementara umat Islam belum menyatukan diri dalam sebuah wadah besar seumpama negara. Tegasnya dapat dikatakan bahwa Hinduisme dan Budhisme menjadi instrumen agama yang mengatur tata kehidupan masyarakat dan memiliki hubungan politik dengan India dan Cina. Adapun komunitas masyarakat Islam masih berupa koloni-koloni, yang secara politik tidak memiliki pengaruh yang signifikan.

Kebenaran penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para pedagang juga dapat dijelaskan melalui perspektif antropologi. Menurut disiplin ilmu ini, pada saat sekelompok orang melakukan migrasi atau menyebar ke tempat lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan mereka, maka turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan itu. Proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan itu dinamakan difusi. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan itu dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh karena adanya individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Mereka ini terutama sekali adalah para pedagang dan pelaut. Pada zaman penyebaran agama-agama besar di muka bumi, para pemuka agama Budha, para pendeta, dan kaum muslimin mendifusikan berbagai unsur dari kebudayaan-kebudayaan dari tempat asal mereka ke belahan dunia lain, sampai jauh sekali.53 Berdasarkan perspektif ini, maka sulit untuk menampik jika penyebaran

agama Islam ke Nusantara di antaranya dilakukan oleh para pedagang Arab yang singgah dan bahkan bermukim untuk kurun waktu tertentu di Nusantara.

3.2. Ulama/Sufi

Selain para saudagar, islamisasi Nusantara juga dilakukan oleh kaum ulama yang secara sengaja datang ke kawasan ini untuk melakukan tugas tersebut. Pandangan ini diajukan oleh A.H. Johns,54 setelah dia menolak pendapat yang menyatakan bahwa penyebaran Islam di

Nusantara dilakukan oleh para saudagar/pedagang. Menurut Johns, sangat kecil kemungkinan para pedagang memainkan peranan penting dalam proses islamisasi Nusantara. Peran penting itu justeru dilakoni oleh para sufi pengembara yang berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara, setidaknya sejak abad ke-13.

52 Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah ...hal. 560. 53 Koentjaraningrat, Pengantar …hal. 244.

Referensi

Dokumen terkait

dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Oleh karena itu, sesuai dengan

peraturan perpajakan yang dikeluarkan pemerintah dalam bidang jasa konstruksi. Dengan adanya sertifikasi yang dikeluarkan oleh LPJK ini, membuat

Hendaknya unit surveilans telah melakukan analisis dan interpretasi terhadap data tersebut dan menyajikanya dalam bentuk grafik/diagram sebelum dilaporkan kepada pihak yang

Bahwa malam hari pada tanggal 31 November 2012, menantu saksi yang bernama Bagus Candra Kartika menjemput Terdakwah dari tempatnya bekerja dan saat di rumah saksi dan menantu

Namun sejauh ini, dilihat dari besarnya penurunan kadar COD dan tegangan maksimum yang dihasilkan, reaktor MFC volume limbah 2000 mL memiliki potensi yag paling tinggi

Seluruh jajaran pihak Kantor PT POS INDONESIA (Persero) Surabaya, khususnya Bapak Edy Priyo Wibowo selaku wakil bidang umum dan Bapak Subchan Fauzi selaku SDM

Secara umum perjanjian kemitraan yang dibuat oleh pengemudi (driver) jasa transportasi online dan perusahaan penyedia jasa aplikasi transportasi online sudah

Penelitian dilakukan untuk menentukan respons 6 genotipe tanaman cabai [Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), IPBC12, dan 35C2] terhadap infeksi PYLCV dan mempelajari