BAB EMPAT ISLAMISASI SERAMBI MEKAH:
ACEH SEBAGAI SENTRAL PENDIDIKAN DI NUSANTARA
Aceh merupakan daerah yang pertama menerima agama Islam di antara sebelum agama ini berkembang dan tersebar luas ke berbagai daerah di Indonesia lainnya. Dalam sejarah perkembangan Islam di nusantara, kerajaan Islam Perlak merupakan kerajaan Islam yang pertama, baru kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang berperan sangat besar dalam mengembangkan agama Islam khususnya di wilayah Asia Tenggara. Setelah Perlak, dalam perkembangan selanjutnya, kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kejayaannya. Kemegahan, kemakmuran serta kedamaian selalu tercipta dalam kehidupan sehari-hari di kerajaan Aceh Darussalam, terutama pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Sultan ini telah menjadikan Aceh sebagai pusat berbagai kegiatan kerajaan Aceh, baik yang berhubungan dengan kegiatan dalam negeri maupun luar negeri.
10 Mr. S.M Amin, Sejenak Meninjau Aceh; Serambi Mekkah, dalam Ismail Sunny (Editor), Bunga
Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhrata Karya Aksara, 1980), hal., 45.
Masa Sultan Iskandar Muda memerintah kerajaan Aceh digambarkan dalam rentetan sejarah sebagai masa sadar beragama dan mengamalkan ajarannya. Pada masa ini pula, dalam sejarah perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang telah diabadikan dalam lembaran-lembaran sejarah, adat, dan ilmu pengetahuan berkembang dengan cukup pesat. Sultan berusaha memajukan berbagai sektor pendidikan, antara lain: pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu hukum, pendidikan seni budaya, pendidikan militer, dan olah raga. Di saat Sultan Iskandar Muda memegang kekuasaan, Aceh merupakan pusat pendidikan, sehingga Aceh dapat mencapai puncak kejayaan dengan pesat. Ketenteraman, kedamaian, dan kemakmuran meliputi kehidupan masyarakatnya; agama Islam benar-benar meresap dalam jiwa pemeluknya, sehingga tidak berlebihan kiranya kalau Aceh mendapat julukan Serambi Mekkah.
Para ahli sejarah lokal maupun internasional telah menulis, dalam karya mereka tentang sejarah Aceh, bahwa pada masa pemerintahan Iskandar Muda daerah Aceh merupakan daerah pusat pendidikan, dan kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang masyhur di antara kerajaan-kerajaan lain. Masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan puncak kejayaan dan kebesaran kerajaan Aceh. Dari semua sultan yang pernah memerintah Aceh, Iskandar Muda adalah sultan yang paling agung dan satu-satunya Sultan yang sangat terkenal, yang senantiasa hidup dalam ingatan orang Aceh.
Kemajuan bidang pendidikan, ekonomi, dan Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda diraih antara lain melalui pendirian meunasah di tiap-tiap kampung. Meunasah ini sebenarnya bukan saja tempat ibadah dan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga yang multifungsi dalam masyarakat gampong. Di sinilah orang mengaji, berjama’ah, bermusyawarah, mengadili pencuri, mengadakan dakwah, mengadakan kenduri, sebagai pos keamanan tempat tidur anak muda yang belum kawin, dan duda yang berpisah dengan isterinya. Lembaga ini juga memberikan pendidikan yang sangat komprehensif, aktual, dan terpadu kepada anak-anak.
Agama Islam mempunyai peranan yang besar sekali dalam pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Aceh. Sifat militan dari rakyat Aceh dan kerajaan Aceh diperolehnya dari agama Islam. Dasar ideologi rakyat dan negara ialah Islam. Raja-raja Aceh sangat mementingkan pendidikan dan mendakwahkan Islam secara terang-terangan. Raja Aceh dengan giat menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok hingga ke luar daerah Aceh. Perlu diingat juga bahwa daerah Aceh merupakan daerah pertama yang memegang peranan dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara dan Malaka, sebagaimana yang ditulis oleh Zakaria Ahmad dalam bukunya Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675, bahwa pusat agama Islam yang mula-mula di Indonesia ialah di Samudra Pasai. Malaka menerima agama Islam pun dari Samudra Pasai, namun dalam perkembangan selanjutnya Malaka menjadi pusat pendidikan Islam bagi seluruh Indonesia menggantikan Samudra Pasai. Waktu Malaka jatuh ke tangan Portugis, kemudian pusat pendidikan Islam pindah ke daerah Aceh dan Jawa12.
Kemajuan dan kejayaan yang telah dicapai oleh kerajaan Aceh tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pendidikannya, karena pendidikanlah yang menentukan kecerdasan dan kemajuan suatu bangsa. Untuk meningkatkan dan mengembangkan pendidikan agama dalam
180 Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi wilayah Kerajaan Aceh, para Sultan Aceh telah menempuh berbagai kebijaksanaan. Kebijaksanaan tersebut antara lain seperti yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda sebagaimana termaktub dalam Qanun Meukuta Alam, yakni menyusun lembaga-lembaga pendidikan dalam tiga bidang dengan tugas khusus: masalah pendidikan, pengajaran, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut antara lain: 1) Balai Setia Hukama, yakni lembaga ilmu pengetahuan tempat berkumpulnya para sarjana (hukama) dari berbagai bidang keahlian masing-masing untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan; 2) Balai Setia Ulama, yakni jawatan pendidikan atau pengajaran yang bertugas mengurus masalah pendidikan; 3) Balai Jami’ah Himpunan Ulama, yakni semacam study club atau tempat para ulama/sarjana berkumpul dan mendiskusikan masalah-masalah pendidikan/pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan13.
Dalam rangka mencerdaskan rakyat, Kerajaan Aceh Darussalam membangun sarana-sarana pendidikan untuk semua tingkatan pendidikan: Meunasah (SD atau madrasah ibtidaiyah),
Rangkang (SLTP atau madrasah tsanawiyah), Dayah (SMU atau madrasah aliyah), Dayah Teungku Chik (perguruan tinggi/akademi), Jami’ah Baiturrahman (fakultas). Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam telah cukup sistematis dan baik. Sekitar abad ke-16 dan ke-17 M. Aceh Darussalam bukan saja berkembang sebagai kota tempat kegiatan politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai kota pusat kegiatan dan perkembangan ilmu pengetahuan, atau dalam istilah sekarang disebut kota universitas.
Di zaman kerajaan Aceh Darussalam, ibukota Banda Aceh merupakan pusat kegiatan pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Pada masa itu, ada tiga tempat yang menjadi pusat kegiatan ilmu pengetahuan dalam kota Banda Aceh Darussalam, yaitu Mesjid Baiturrahim, Mesjid Baitul Musyahadah dan Mesjid Jami’ Baitur Rahman. Banyak pelajar datang menuntut ilmu ke Aceh, baik dari Minangkabau maupun dari serantau Asia Tenggara. Sebuah
qanun yang mengatur para pelajar dari luar Aceh dibuat dengan membubuhkan sebuah pasal
yang khusus mengatur hal tersebut.
Bidang pendidikan bahasa di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda telah banyak mengalami kemajuan jika dibandingkan dengan masa pemerintahan raja-raja Aceh sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan penetapan bahasa resmi kerajaan Aceh, pembentukan lembaga-lembaga pendidikan bahasa dan sastra, serta pencetakan tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang bahasa dan sastra.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda bahasa yang dipergunakan sebagai bahasa resmi rakyat Aceh adalah bahasa Aceh. Bahasa Aceh ini banyak sekali dialeknya, hal ini erat hubungannya dengan dengan keadaan sebelum terbentuknya kerajaan Aceh. Penduduk di Gayo Alas, Singkil, Hulu, dan Kluet di Aceh Selatan mempergunakan bahasa yang dapat digolongkan dalam dialek bahasa Batak Utara. Penduduk Tamiang mempergunakan dialek Melayu, sedangkan sebagian besar penduduk Aceh Selatan dan sebagian kecil penduduk Aceh Barat mempergunakan dialek Minangkabau. Penduduk yang bertempat tinggal di pulau-pulau sebelah barat Aceh mempergunakan bahasa Pulo yang mirip dengan dialek Nias dan Mentawai. Setelah daerah ini
13 A. Hasjny, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, No. 63, Agustus 1975), hal. 13
diintegrasikan ke dalam wilayah kerajaan Aceh, maka mereka mempergunakan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari, tetapi dengan variasi bentuk dialek bercampur dalam ragam dialek seperti yang sudah penulis sebutkan diatas. Sampai sekarang dialek-dialek tersebut masih terus dipergunakan sebagai kekayaan dialek bahasa Aceh, dan disebut dengan dialek Banda.
Sejalan dengan perkembangan pendidikan pada masa Iskandar Muda, berkembang pula kebudayaan di kerajaan Aceh, terutama dalam bidang kesusastraan. Di bidang ini, Aceh telah menjadi pusat kegiatan pengembangan kesusastraan Melayu pada umumnnya. Berbagai buku ilmu pengetahuan dan kesusastraan yang di hasilkan, dari masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, terdiri dari buku-buku yang berbahasa Aceh, Melayu, dan atau berbahasa Arab. Buku-buku tersebut memuat beragam bidang kajian, seperti sejarah, agama, dan sastra. Buku-Buku-buku sastra yang dihasilkan dari masa ini antara lain merupakan tulisan yang memiliki nilai-nilai sejarah, misalnya Hikayat Malem Dagang, sebuah epos yang menceritakan tentang kehidupan Iskandar Muda: penyerangannya ke Johor, kegiatannya dalam pemerintahan, keadaan istana kerajaan, dan kemajuan kerajaan Aceh secara umum pada saat itu. Dari sekian banyak buku-buku agama dan buku-buku sastra yang sampai sekarang naskahnya masih dijumpai, sebagian besar berasal dari zaman keemasan kerajaan Aceh.
Berdasarkan buku-buku sejarah yang penulis baca, dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda terdapat tiga bahasa resmi yang berlaku di seluruh tanah Aceh, yakni: 1) Bahasa Aceh; 2) Bahasa Melayu; 3) Bahasa Arab14. Walaupun demikian, ketiga bahasa tersebut tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Bahasa Aceh merupakan Bahasa Nasional kerajaan Aceh Darussalam dan lazim dipergunakan oleh rakyat dalam pergaulan sehari-hari. Pada umumnya, produk kesusastraan Aceh yang berbentuk puisi diucapkan atau dituliskan dalam bahasa Aceh dan bersifat hikayat, sedangkan sastra Aceh yang berbentuk prosa bersifat mantera. Salah satu hikayat Aceh yang ditulis oleh para ahli hikayat Aceh menceritakan tentang bunda Iskandar Muda yang sedang membuai putra kesayangannya, dengan nazam-nazam dibawah ini:
La ilaha illallah
Kalimah thaibah payong page Muhammad Rasul Allah
Kalimah syahadah pangkai mate Beurayek aneuk lon beu bagah Tueng bila mbah jipoh le kafe Menyo nabagi deugen tuwah Allah neu peuhah jalan meusampe Neng-neng bo, neng-neng bo Peuraho pawang jih hana
14 Panitia penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur‘an Tingkat Nasional ke 12, Dari sini ia bersemi, (Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh 1981), hal. 269.
182 Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi
Keunoe aneuk eh lam dodo Ateuh kaso geuayon lema Do ida idang, do ida idang Geulayang blang ka putoh taloe Beurijang rayeuk perkasa alam Jak puga prang peuaman naggroe.
Terjemahannya:
La ilaha illallah
Kalimah thaibah pelindung nanti Muhammad Rasul Allah
Kalimah syahadah pengantar mati Lakaslah dewasa anakku sayang Ayahanda syahid dibunuh kafir Belalah ayah turun berjuang Allah lapangkan jalan ke hilir Bobok-boboklah intan
Layang-layang putus talinya Lakaslah gendang perkasa alam Pemimpin perang, bela Negara15
Bahasa Melayu adalah bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi di kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda. Bahasa ini dipergunakan sebagai:
1. Bahasa istana 2. Bahasa sarakata
3. Bahasa ilmu pengetahuan 4. Bahasa pengantar pengajaran 5. Bahasa pengucapan pasaran
6. Bahasa perhubungan antara wilayah kerajaan 7. Bahasa media dawah
8. Bahasa diplomasi 9. Bahasa surat menyurat16
Salah satu catatan sejarah tentang perkembangan bahasa Melayu masa Sultan Iskandar Muda ditulis dalam bentuk syair yang menggambarkan tentang seseorang pahlawan yang syahid
15 M. Yunus Jamil, Gajah Puteh, Lembaga Kebudayaan Aceh, (Kuta Raja: t.t.), hal. 18.