• Tidak ada hasil yang ditemukan

RATU SAFIATUDDIN 1050-1084 H (1641-1675 M)

Dalam dokumen 24 (Halaman 68-74)

BAB DUA ACEH : RELASI LOKAL DAN GLOBAL

RATU SAFIATUDDIN 1050-1084 H (1641-1675 M)

Putri Safiah yang setelah menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam, bergelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah putri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari permaisuri pertamanya, Putri Sani Ratna Sendi Istana. Setelah Sultan Iskandar Sani mangkat, atas keputusan musyawarah pembesar negara dan para ulama, maka Putri Safiah dinobatkan menjadi Ratu Aceh dengan gelar Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, untuk menggantikan suaminya.

Safiatuddin memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa tersebut merupakan masa yang relatif lama. Pada periode ini kerajaan Aceh berada dalam kondisi kritis akibat kemampuan perang (militer) yang dimilikinya telah melemah sepeninggal Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin sebagai sultanah.

Kondisi semakin diperkeruh dengan keberadaan segelintir orang yang ketika itu turut menghasut dan mengambil keuntungan dari situasi yang sulit tersebut. Kekuasaan VOC di kawasan Selat Malaka pun sedang meningkat, terutama setelah

mereka barhasil merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641. Oleh karenanya, kepiawaian Sultanah dalam mengendalikan pemerintahan Kerajaan Aceh dalam situasi sulit dan kritis ini oleh para sejarawan dinilai suatu yang sangat luar biasa.

Safiatuddin dalam memimpin kerajaan sangat memperhatikan berjalannya sistem pengendalian pemerintahan, masalah-masalah pendidikan, keagamaan dan perekonomian juga menjadi fokus perhatiannya. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusias yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat32. Mungkin ini juga menjadi sebab yang membuat Sultanah mendapat dukungan dari ulama-ulama terkemuka waktu itu.

Kelancaran roda pemerintahan yang berlangsung relatif lama pada masa Tajul Alam Safiatuddin membuktikan bahwa secara umum rakyat menerima kepemimpinannya. Meskipun pada realitasnya tidaklah sebanding dengan kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda. Tetapi, sebagai seorang wanita pertama yang memimpin pemerintahan, ia dapat dikatakan telah mencapai prestasi yang membanggakan.

Karena prestasi yang dicapai Safiatuddin tidak hanya bersangkutan soal-soal keagamaan seperti yang dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sebagai misal, ia berhasil pula menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, khususnya menyangkut masalah paham wujudiyah.33 Dalam hal perekonomian, Safiatuddin sangat memperhatikan pembinaan kehidupan ekonomi. Sumber utama perekonomian ketika itu, selain dari hasil tambang emas, adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan hubungan dagang antara Aceh dan Belanda. Di mana Belanda tidak diberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan, mereka tetap diharuskan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di Kerajaan Aceh, bahwa setiap kapal asing yang berdagang di Kerajaan Aceh diwajibkan membayar pajak masuk sebesar lima persen dari harga barang yang diperdagangkan. Selain itu, setiap pedagang asing diharuskan memiliki lisensi untuk dapat berdagang di daerah-daerah yang dikuasai Aceh, seperti Pantai Barat Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Lisensi ini harus diambil di ibukota kerajaan dan untuk setiap pemberian lisensi dikenakan biaya yang harus dibayar oleh pedagang asing yang bersangkutan.

Salah satu kelemahan yang terjadi pada masa pemerintahan Safiatuddin adalah menyangkut masalah militer, di mana angkatan perang yang sudah mengalami kemunduran sejak masa pemerintah suaminya Sultan Iskandar Tsani, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan pada masa pemerintahannya. Padahal, ketika itu ancaman dari luar, khususnya Belanda, semakin besar. Mengenai penetrasi Belanda ketika itu kita tidak akan membicarakan panjang lebar dalam makalah ini..

32 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hal. 257

33 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, (Jakarta: Rajawali, 1993), hal. 41-42

52 Aceh: Relasi Lokal dan Global Kenyataan lain membuktikan bahwa Safiatuddin juga memberikan perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda, Safiatuddin meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orang tuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain dengan mendorong para ulama untuk terus menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan menulis berbagai kitab. Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin meminta Abdur Rauf as-Singkili menulis sebuah kitab yang dikenal Mir’at al Tullab, yang berisi tentang ilmu fiqh yang dapat memudahkan mengenal segala hukum syara’ Allah34

Tentang kemajuan yang telah dicapai Aceh dalam pemerintahan Ratu Tajul Alam Safiatuddin, tergambar jelas dalam kutipan di bawah ini:

Syekh Nuruddin Ar Raniri dalam bukunya Bustanus Salatin, antara lain menulis: “... Banda Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin terlalu makmur, dan makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam kesentosaan dan mengikut segala barang sabdanya. Dan ia adil pada segala hukumnya, dan tawakal pada segala pekerjaannya dan sabar pada segala barang halnya, lagi mengerasi segala yang durhaka ...”

“Dan ialah haibat pada segala kelakuannya, bijaksana pada perkataannya lagi ‘alim perangainya, pengasih akan segala rakyatnya lagi syafaat akan segala fakir dan miskin. Dan ialah yang mengasihi dan menghormati segala ulama dan akan anak-cucu Rasulullah saw., yang datang ke Banda Aceh Darussalam, serta dikaruniainya dengan sempurnanya ... Dan ialah raja yang tinggi hematnya, dan amat sangat murahnya ...”

M. Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh melukiskan betapa berat tugas yang dihadapi Ratu Safiatuddin, antara lain dia menulis:

“... Sungguh amat berat beban yang dipikul oleh Sri Ratu, disamping menghadapi dan mengatasi politik VOC Belanda yang telah berhasil merebut kota Malaka dari tangan Portugis pada 14 Januari 1641 M, juga menghadapi persoalan dalam negeri yang sangat ruwet. Para penganut paham wujudiyah menentang kedaulatan baginda. Mereka mengatakan, tidak sah hukum dalam kerajaan wanita. Ratu Safiatuddin bertindak tegas menghadapi mereka ...”

Ilyas Sutan Pamenan dalam bukunya yang berjudul: Rencong Aceh di Tangan Wanita, menilai Safiatuddin sebagai wanita yang cakap dan bijaksana, yang antara lain beliau menulis:

“... Rakyat Aceh mula-mula dengan sangsi memilih Sri Ratu Tajul Alam sebagai sultan dan mereka melakukan ini semata- mata karena tidak ada kaum kerabat almarhum Sultan Iskandar Sani atau pun almarhum Sultan Iskandar Muda yang laki-laki, yang akan dapat mereka pilih, merasa sekarang, bahwa pilihan itu tidak salah. Perjuangan baginda untuk mempertahankan nasib rakyatnya cukup ulung untuk membangkitkan perasaan hormat dan takjub pada penduduk Aceh ...”

H.M. Zainuddin dalam bukunya yang berjudul: Srikandi Aceh, menilai Safiatuddin sebagai seorang wanita yang gemar kepada sajak (syair) dan mengarang, antara lain beliau menulis:

“... Safiatuddin seorang putri yang cantik dan bijaksana, gemar sekali kepada syair (sajak) dan mengarang; guru sajaknya Hamzah Fansuri dan guru ilmu fikih Nuruddin Ar-Raniry. Sebelum

34 T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh), 1999, hal. 57

dewasa sampai menjadi permaisuri, ia banyak mengeluarkan belanja untuk membantu Hamzah Fansuri untuk membangun kesusastraan. Karena itu, namanya sangat populer dalam kesusastraan, dan juga banyak membantu Abdurrauf untuk mengarang kitab hukum. Kedua pengarang ini dikirim ke luar Aceh untuk meluaskan pandangan dan memperdalam ilmunya, yaitu ke Malaya, India, Baital Makdis, Baghdad, Madinah, dan Mekkah...”

Mohammad Said dalam bukunya, Aceh Sepanjang Abad, menilai Safiatuddin sebagai seorang yang mempunyai kebijaksanaan dan kemampuan luar biasa, antara lain beliau menulis:

“... Kelebihan Tajul Alam dalam kenegaraan terlihat pula dari kuatnya dukungan para menteri, orang besar dan para ulama atasnya. Menurut catatan, lembaga kenegaraan Tiga Sagi diadakan oleh Tajul Alam. Dua orang cerdik pandai dan berpengaruh dengan kuat mendukungnya. Mereka adalah Syekh Nuruddin Ar Raniry dan Syekh Abdurrauf sendiri. Tampak dengan dukungan ini tidak ada kekolotan keagamaan dalam membenarkan seorang wanita menjadi raja. Kesanggupan dan ketangkasannya tidak beda dengan apa yang dimiliki raja laki-laki. Tajul Alam bukan saja telah berhasil mengatasi ujian berat untuk membuktikan kecakapannya memerintah yang tidak kalah dari seorang laki-laki, tetapi juga berhasil mengadakan pembaharuan dalam pemerintahan, memperluas pengertian demokrasi yang selama ini kurang disadari oleh kaum laki- laki sendiri...” Sejak berusia tujuh tahun, Safiatuddin telah belajar bersama Iskandar Sani dan putra-putri istana lainnya pada para ulama besar terkenal, seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Seri Fakih Zainal Abidin Ibnu Daim Mansur, Syekh Kamaluddin, Syekh Alaiddin Ahmad, Syekh Muhyiddin Ali, Syekh Taqiuddin Hasan, Syekh Saifuddin Abdulkahar dan lain- lainnya, semua mereka itu adalah guru besar pada Jamik Baiturrahman.

Selesai pendidikan, Safiatuddin telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan telah menguasai dengan baik bahasa Arab, Persia dan Spanyol, di samping telah alim dengan ilmu-ilmu fikih (hukum) termasuk fiqh duali (hukum tata negara), sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, adab/ sastra, dan lain-lain.

Masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, adalah zaman emas ilmu pengetahuan dalam Kerajaan Aceh Darussalam, Pada masa itu banyak muncul ulama/sarjana besar, yang di antara mereka ada yang berkaliber internasional, seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Syekh Jalaluddin Tursani, dan lain-lain.

Ratu Safiatuddin merangsang para ulama/sarjana untuk mengarang buku- buku dalam berbagai disiplin ilmu. Hal ini dapat kita diketahui karena dari kitab-kitab itu tercantum mukadimah yang menyatakan bahwa pengarang itu mengarang kitab tersebut atas anjuran Ratu Safia-tuddin. Dalam mukadimah kitab Bidayatul Iman Fi Fadlilil Manan (bahasa Melayu), Syekh Nuruddin Ar-Raniry menulis: Dapat dijelaskan, Syekh Nuruddin Ar-Raniry telah menga-rang lebih 30 judul kitab di zaman Safiatuddin.

Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, yang juga menerima saran Ratu Safiatuddin agar mengarang sebuah kitab, dalam kitabnya Miratuth Thullab (juga bahasa Melayu), antara lain menulis dalam mukadimah kitab itu:

“... hadharat yang mulia itu bersabda kepadaku saat lobanya akan agama Rasul Allah, bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi Pasai, yang muhtaj kepadanya orang yang menjabat jabatan Qadli pada pekerjaan hukumnya daripada hu-kum syara’ Allah yang muktamad”. Pada zaman Safiatuddin, Abdurrauf Syiah Kuala telah berhasil mengarang lebih dari sepuluh judul kitab dalam berbagai disiplin ilmu, bukan saja dalam “bahasa Melayu Pasai”, tetapi

54 Aceh: Relasi Lokal dan Global juga dalam bahasa Arab. Selain dari dua tokoh ulama besar tersebut, berpuluh ulama lainnya juga telah mengarang berbagai kitab. Ibukota kerajaan pada zaman itu, merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara.

Selain dari peningkatan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Safiatuddin juga banyak mengambil langkah untuk lebih meningkatkan kedudukan kaum wanita. Banyak peraturan yang dibuat untuk melindungi kaum wanita.

Dalam dunia kesusastraan Melayu- Aceh, terkenal sebuah karya sastra yang berjudul

Hikayat Putroe Gumbak Meuh (Putri yang Berambut Poni Emas). Menurut para ahli, hikayat

ini dikarang oleh seorang ulama untuk melukiskan zaman Safiatuddin. Yang dimaksud dengan

Putrou Gumbak Meuh, yaitu Ratu Safiatuddin, dan tokoh utama dalam hikayat itu, yaitu Lila

Bangguna dari Negeri Antara, adalah Raja Mughal atau Iskandar Sani, suami Safiatuddin. Roman yang dilukiskan dengan bahasa puisi itu menarik sekali, karena selain mengisahkan percintaan antara Safiatuddin dan Raja Mughal, juga menampilkan berbagai masalah kehidupan manusia dan kehidupan kenegaraan. Telah menjadi kebiasaan bagi pengarang Aceh untuk mengabadikan nama orang- orang besarnya, terutama raja, dengan buku “novel-puisi” atau cerita roman yang dijalin dengan bahasa puisi, yang dalam istilah bahasa Aceh disebut “hikayat”.

Malikul Saleh, Sultan Samudra Pasai yang terkenal itu diabadikan dengan “novel-puisi” yang bernama: Hikayat Nun Parisi; Iskandar Muda diabadikan dengan “novel-puisi” yang bernama Hikayat Maleem Dagang; Sultan Jamalul Alam Badrul Munir dan Sultan Alaiddin Johan Syah diabadikan dengan “novel-puisi” yang bernama Hikayat Pocut Muhammad, dan sebagainya.

Tentang bagaimana Lila Bangguna dan Putrou Gumbak Meuh (Raja Mughal Iskandar Sani dan Putri Safiah) memadu cinta, digambarkan oleh hikayat, bahwa pada waktu Lila Bangguna masuk ke dalam Mahligai Putrou Gumbak Meuh, putri terkejut melihat seorang pemuda yang tampan rupawan telah berada di depannya. Pada waktu itu, putri sedang membaca Alquranul Karim, dan dengan hati yang berdebar tuan putri menutup Alquran, serta menyapa tamunya dengan pantun yang kalau dipuisikan dalam bahasa Indonesia berbunyi:

Kayu bakau menghijau daun Tempat berhimpun burung nuri Selamat datang Teungku Ampun Patik junjung di bawah duli Kayu di gunung indah bersusun Dibawa turun melalui kali Kurang santun kami di dusun Maaf dan ampun kami diberi Rasa kanun kami tak tahu Anak dungu tinggal di desa Sudi maafkan kami, Tuanku Karena tak tahu budi bahasa

Selesai Tuan Putri memberi salam, dengan suara lemah lembut Lila Bangguna membalas pantun, yang kalau diindonesia-kan menjadi:

Di puncak gunung kapas berhimpun Kiranya awan menyerak diri

Kami ini laksana embun Dibawa taifun ke negeri ini

Dengan rasa rindu dendam, Tuan Putri mempersembahkan cerana sirih kepada Lila Bangguna dengan diiringi pantun:

Sirih hutan kami di gunung Buruk untung anak desa Tuanku jangan berhati murung Kami bingung jangan dihina.

Lila Bangguna terharu mendengar pantun Putrou Gumbak Meuh, dan dengan nada yang penuh harap Lila berpantun lagi:

Kru semangat kemala negeri Sepuluh jari atas jemala Sirih hutan tuan putri Menurut kami selasih cina Kami ini orang buangan,

Empat puluh bulan sampai kemari Kasihani kami putri andalan Tiada kenalan di negeri ini

Selesai Lila Bangguna mengapur sirih, Putrou Gumbak Meuh menanyakan Lila dari mana asalnya:

Gerangan di mana negeri Tuanku Adakah sesuatu dicari kemari Boleh kami mencari tahu

Mengapa tuanku musafir sendiri

Lila Bangguna menjawab:

Negeri kami, tuan putri, Jauh di sana, di negeri Antara, Semantra Indra namanya pasti, Di sanalah kami lahir ke dunia.

Ayah dan bunda sudah tiada, Kami terlunta ke sana- sini, Hanya kakak yang masih ada, Air mata berlinang basahi pipi.

Memang ayah Lila Bangguna (Raja Mughal Iskandar Sani) telah meninggal, yaitu Raja Negeri Pahang. Yang dimaksud dengan kakak yang masih hidup, yaitu Putri Pahang yang dibawa bersama

56 Aceh: Relasi Lokal dan Global ke Aceh dan menjadi permaisuri Iskandar Muda, ayahnya Putrou Gumbak Meuh (Putri Safiah/ Ratu Safiatuddin).

Dialog yang romantis ini berlangsung lama dan sangat indah. Pada akhir dialog, Putrou Gumbak Meuh melepaskan rindu asmaranya:

Bunga jempa, jempa kebiru Bunga sunting dalam puwan Tujuh kali semalam rindu Tidakkah sampai kepada Tuan? Pohon sirahit di atas bukit Daun kiriman si Raja Cina Janganlah Tuanku berhati sakit Terserah tubuhku yang hina Pohon beramu di atas pantai Pohon berabai di atas gunung Kepada Tuanku cintaku membadai Ke bawah duli rindu kugandrung Buah delima campuran ketan Pisang suasa makanan nuri

Terserah kehendak kakandaku Tuan Badan dan nyawaku milikmu duli

Memang indah sekali lukisan dan percakapan dalam Hikayat Putrou Gumbak Meuh, dan betul-betul menggambarkan zaman emasnya Aceh pada masa Iskandar Muda dan Ratu Safiatuddin.

Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan selama sekitar 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 M atau bertepatan dengan 3 Sya’ban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya, ia berpulang kerahmatullah. Sepeninggal Safiatuddin kerajaan Aceh diperintah oleh seorang wanita lainnya yang bernama Naqiatuddin dan bergelar Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah

RATU NAQIATUDDIN 1084-1087 H (1675-1678 M)

Dalam dokumen 24 (Halaman 68-74)