• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Aceh Dengan Cina

Dalam dokumen 24 (Halaman 100-103)

BAB DUA ACEH : RELASI LOKAL DAN GLOBAL

RELASI ACEH DENGAN DUNIA INTERNASIONAL

2. Relasi Aceh Dengan Cina

Hubungan antara Aceh dengan Cina dapat dilacak sejak terciptanya jalinan transportasi laut yang merambah pada kawasan ini. Secara geografis, Aceh merupakan kawasan yang sangat strategis sebagai pintu gerbang jalur niaga internasional71 dan bangsa Cina termasuk bangsa yang dikenal dengan budaya merantaunya. Antara tahun 500 sampai 1500, sebelum Eropa menguasai Ekonomi, Asia Timur Jauh telah menguasai ekonomi dunia. Di antaranya tampil Cina, Arab dan India berpengaruh pada perekonomian bangsa-bangsa yang berpusat di India Timur. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara seperti Semenanjung Malaysia dan kawasan-kawasan pesisir seperti Malaka, Aceh, Banten, Sunda Kelapa dan Manila sejak abad pertama dan ke-4 telah mengenal agama Hindu dari para penyebarnya, dan pada abad ke-5, budaya Cina sedikit banyak juga berpengaruh di kawasan sentral ini.

Lebih lanjut, Mohammad Said menyatakan bahwa Cina semakin mengenal kepulauan Nusantara melalui laporan dari berbagai lawatan yang dilakukan oleh Marco Polo, pendeta Oderico de Pordenone, Ibnu Batuthah.72 Bahkan sebelum bangsa Eropa menguasai ekonomi dunia di daerah Nusantara, sejatinya bangsa India dan Cina telah eksis di kawasan ini. Di samping bermotif ekonomi yaitu mengembangkan perniagaan, kedatangan bangsa-bangsa ini juga membawa misi agama. Karena bangsa Cina sejak sebelum Masehi sudah sampai di Nusantara ini, maka tidak heran mereka eksis sejak sekarang. Di seantero Nusantara, termasuk di Aceh, etnik Cina selalu saja ada dengan ragam kulturalnya.73

Secara politis, pada masa-masa awal Dinasti Mongol di Cina mengindikasikan bahwa terdapat hubungannya dengan beberapa kerajaan di Sumatera seperti Samudra, Lamuri, Perlak, Tamiang dan Haru. Bahkan Tamiang dan Haru dipaksa oleh Mongol untuk mengirimkan upetinya. Kerajaan Samudra mulai mengadakan hubungan dengan dinasti Mongol pada tahun 1282. Pada tahun itu penguasa Pasai menjalin hubungan dengan Cina melalui perutusan Cina yang kembali

71 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Percetakan dan penerbitan Waspada, 1981), hal. 17.

72Mohammad Said, Aceh Sepanjang..., hal. 112.

dari India Selatan dan singgah di Samudra. Hubungan Aceh dengan Cina pada abad ke-12 dan 13 tersebut, menyebabkan terjadinya kontak budaya yang lebih intens, baik yang hubungan dengan politik, peradaban maupun perniagaan. Oleh karena itu Aceh menjadi mitra perdagangan dengan bangsa Tionghoa. Konsekuensi logis dari hubungan ini terjalinlah akulturasi antarbangsa. Di samping hubungan yang bersifat sosioekonomik, juga berimbas pada hubungan yang bersifat sosiopolitik. Bahkan yang terakhir ini, hubungan diplomasi pada saat tersebut merupakan hal yang sangat menentukan dalam percaturan perdagangan internasional. Hubungan dengan bangsa asing dibina atas saling menguntungkan satu sama lain. Hubungan diplomasi antara Aceh dengan Tiongkok dibangun atas saling menguntungkan kedua belah pihak. Hubungan diplomasi yang dijalin sangat akrab sehingga Raja Tiongkok menyerahkan cenderamata kepada Sultan Pasai yaitu Lonceng Cakradonya, yang merupakan simbol persahabatan antara bangsa Cina dengan Aceh. Disebutkan bahwa beberapa waktu kemudian Sultan Pasai, Zainul Abidin mengirimkan adiknya sebagai utusan untuk berkunjung ke Tiongkok. Tidak terduga ia wafat di Tiongkok akibat sakit keras. Berhubung dengan ini Kaisar Ming mengadakan upacara penguburan yang khidmat untuk tamu agung dari Aceh itu. Hubungan diplomasi antara bangsa Tiongkok dengan Aceh saat itu merupakan suatu pertanda bahwa Aceh sudah memainkan peranan penting mulai abad ke-12 Masehi. Bagi Tiongkok selain mempunyai keuntungan di bidang ekonomi terutama tentang hasil alam yang ada di Aceh dibawa ke Tiongkok, berikutnya orang Cina dapat membawa peradaban terutama tentang ilmu penngetahuan dan kebudayaan Tiongkok ke Aceh. Karena peradaban Tiongkok merupakan salah satu peradaban tertua di dunia sehingga pengaruhnya sangat kuat pada peradaban lokal di Nusantara. Jalinan persahabatan antara Aceh dengan negara-negara asing terbina dengan baik dan terorganisasi terutama setelah kerajaan Aceh Darussalam.

Denys Lombard menyatakan bahwa hubungan antara Aceh dan Cina bidang perniagaan sudah tercatat pada kira-kira tahun 1520. Hubungan dagang sangat boleh jadi terus berlangsung secara teratur dengan Aceh; tetapi yang terutama dicatat oleh sumber-sumber kami ialah hubungan diplomatik. Hikayat Aceh menyebut adanya utusan dari Siam, terkagum-kagum melihat ketrampilan Pancagah yang muda itu (yang kemudian populer pada masa Iskandar Muda), para utusan pulang ke raja mereka yang telah mendengar laporan mereka, memanggil raja dari “Kamboja, Ciangmai, Lana dan Paslula”, demikian pula utusan-utusan dari Cina dan “Campa” untuk menyampaikan kepada mereka adanya keajaiban itu.74

Hubungan yang dilakukan dengan bangsa Cina menurut Lombard adalah bersifat diplomatik guna saling menghargai dan menghormati masing-masing bangsa yang sangat berjauhan. Di samping itu hubungan diplomatik tersebut diawali dengan hubungan dagang yang waktu itu masih menggunakan laut sebagai transportasi utama. Hubungan dengan bagsa asing bagi Aceh merupakan suatu keharusan yang tidak boleh diabaikan karena bangsa yang berdaulat memerlukan hubungan diplomatik dan hubungan dengan bangsa lain di dunia ini.75

Melihat relasi antara Aceh dan bangsa-bangsa di dunia baik sebelum masehi maupun setelah tahun masehi menjadi indikasi bahwa Aceh merupakan salah satu wilayah yang sangat

74Denys Lombard, Kerajaan Aceh..., hal. 155.

84 Aceh: Relasi Lokal dan Global berpengaruh terutama dalam perdagangan dunia. Peranan Aceh semakin meningkat setelah kerajaan-kerajaan Lambri, Pasai dan Tamiang, berkiprah. Demikian juga setelah penyatuan Aceh dengan sebutan kerajaan Aceh Darussalam, maka pihak asing semakin banyak yang menjalin persahabatan. Kenyataan tersebut karena peranan Aceh dalam wilayah selat Malaka sangat menentukan. Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya adalah pada masa kerajaan Aceh Darussalam, sehingga waktu itu Kerajaan Aceh merupakan kerajaan Islam terbesar kelima di dunia.

Fenomena hubungan antarbangsa maupun antaretnik di Aceh telah terjalin dengan bangsa di dunia, terutama dengan Cina, ratusan tahun yang lalu dan bahkan ribuan tahun yang lalu. Pertalian budaya antar bangsa dan bahkan banyak bangsa telah terjadi di Aceh. Karena pencampuran etnik dan ras yang terjadi pada etnik Aceh saat ini telah berlangsung ribuan tahun yang lalu, maka akulturasi budaya inipun dapat dilihat dalam realitas keseharian masyarakat Aceh dengan banyaknya campuran budaya yang berakulturasi seperti dari India, Cina dan lainnya, seperti dapat dilihat dari wajah, budaya dan bahasa. Pengaruh Cina misalnya tercermin pada bahasa, seperti canca (sendok), cawan (cangkir) dan istilah-istilah lainnya. Demikian juga halnya pengaruh Arab, India dan lainnya, juga dapat dilihat pada kemiripan wajah, warna kulit, budaya atau keseniannya. Adapun pengaruh Eropa dapat dicermati di wilayah-wilayah tertentu di Aceh yang orang dan masyarakatnya memiliki kemiripan dengan orang Eropa seperti di Lamno Aceh Jaya. Pengaruh Timur Tengah di Aceh juga sangat jelas terutama pada sikap keberagamaan (religiusitas), budaya dan wajah.

Hubungan Aceh dengan Cina diperkuat dengan adanya hubungan antar bangsa dan hubungan dagang sehingga hubungan tersebut tidak terputus lagi. Pengaruh hubungan diplomatik antara bangsa Cina dan Aceh, tidak hanya terbatas pada hubungan antar dua kerajaan saja, akan tetapi sampai pada hubungan kerja. Sistem hubungan ini diterapkan pertama kali pada abad ke-13. Hubungan tersebut dibina atas sistem hubungan kenegaraan yang dilandaskan pada dua kekuasaan. Hubungan yang dibentuk berdasarkan kekuasaan tersebut tentunya melalui mekanisme yang berlaku pada saat itu yaitu melalui perjanjian, dengan kata lain berdasarkan ikatan hukum. Adanya ikatan perjanjian tersebut tentunya dibina atas dasar menguntungkan kedua belah pihak. Hubungan yang pada awalnya berorientasi politik dan dibina atas kepentingan kedua bangsa kemudian memberi pengaruh kepada penduduk Cina yang bermigrasi ke Nusantara untuk menetap, dengan tujuan berbisnis. Dengan kata lain hubungan politik berkembang menjadi hubungan bisnis.

Catatan sejarah melaporkan adanya dua kerajaan yang sudah berdiri dan mempunyai peradaban tinggi. Kerajaan tersebut telah memainkan peranan yang penting di Sumatera dan Selat Malaka. Mohammad Said menyatakan bahwa telah terjalin hubungan antara Lamuri (di Aceh Besar) dan Pasai (di Aceh Timur), dengan orang Cina. Nama Lamuri mempunyai banyak versi, sering disebut Lambri, istilah yang diberikan oleh Marco Polo, atau Ramini, Ramni serta Lambri, seperti yang disebutkan oleh orang-orang Arab. Orang Cina sendiri menyebut Lamuri dengan menyebut Lan-li, Lan-wuli, Nan-wuli dan Nanpoli. Untuk Aceh, orang Cina menyebutnya dengan Tasyi, atau Lan-li, Yashi. Dan orang Arab menyebutnya dengan Asyi.76

Pada saat Kaisar Yung Lo berkuasa di Cina pada tahun 1368, beliau pernah mengirim tim ekspedisi ke Aceh di bawah pimpinan Laksamana Muhammad Cheng Ho,77. Saat itu Aceh diperintah oleh Sultan Zainuddin Malik Zahir Berdaulat (1350-1394). Salah satu hadiah dari Kerajaan China untuk Kerajaan Samudra Pasai adalah sebuah lonceng raksasa, Cakra Donya yang hingga sekarang masih dapat disaksikan di Banda Aceh.

Di samping itu menurut Yuanzhi, pada musim dingin tahun Yong Le ke-11 (tahun 1413) armada Cheng Ho berlayar ke Samudera Barat untuk keempat kalinya. Armadanya mula-mula ke Campa, kemudian berturut-turut ke Jawa, Palembang Malaka, Aceh dan sebagainya. Realitas mengenai keberadaan kerajaan yang ada di ujung pulau Sumatera tersebut membuktikan bahwa di Aceh sudah berdiri suatu kerajaan yang kokoh dan berperadaban. Dalam catatan perjalanan Cheng Ho menyebutkan bahwa kerajaan Aceh sudah mulai berkiprah di Nusantara sama dengan kerajaan lain di Nusantara.78

Kehadiran kapal Cina di pelabuhan Sumatra Utara mulai didokumentasikan sejak kedatangan Laksamana Muhammad Cheng Ho tersebut. Istana Aceh masih menyimpan kenangan akan kunjungan yang termashur itu; sebuah genta besar yang ada bertuliskan huruf Cina dengan sebutan tahun 1409.

Kenangan terhadap perlawatan niaga Cina ke Aceh senantiasa mewarnai hubungan global keduanya. Dalam sebuah peta laut Cina yang agaknya tidak mungkin berasal dari sesudah awal abad ke-17, terdapat ilustrasi apik mengenai jalan dari Banten ke Aceh melalui barat Sumatra, juga mengenai jalur-jalur niaga dari Aceh ke Malaka dan India. Peta ini memberikan bukti yang akurat tentang eksistensi jalinan antara Cina dan di persimpangan di perairan Sumatra. Dan Aceh tercatat sebagai pelabuhan yang sangat menarik kalangan para pedagang kelas dunia saat itu.79

Pada awal perkembangan peradaban Islam, Aceh sudah mulai terkenal dan bahkan banyak pendatang dari Eropa untuk menjalin hubungan perdagangan dengan Aceh. Kontak perdagangan tersebut semula secara diplomasi dan berjalan harmonis. Hubungan dengan bangsa Cina yang telah terbina merupakan suatu jaringan diplomasi dan bisnis guna mendukung adanya hubungan antar budaya.

Dalam dokumen 24 (Halaman 100-103)