• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa berdasarkan Citra Satelit GMS-6 (MTSAT-1R)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa berdasarkan Citra Satelit GMS-6 (MTSAT-1R)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF

DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6

(MTSAT-1R)

YETTI KUSUMAYANTI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

YETTI KUSUMAYANTI. Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa berdasarkan Citra Satelit GMS-6 (MTSAT-1R). Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY dan EDVIN ALDRIAN.

Hujan konvektif merupakan tipe hujan yang sering dijumpai di Indonesia, yang dihasilkan oleh proses konveksi. Tipe hujan ini berupa hujan deras dalam waktu singkat dan dapat memiliki intensitas yang lebih tinggi daripada hujan monsun biasa. Proses konveksi dapat memiliki variasi yang berbeda baik terhadap waktu (temporal) maupun lokasi (spasial). Dalam penelitian ini dilakukan penentuan terhadap variasi spasial dan temporal hujan konvektif di pulau Jawa berdasarkan citra satelit GMS-6 dengan menggunakan metode gradien black body temperature (temperatur benda hitam atau TBB). Hujan konvektif yang dianalisis adalah hujan konvektif rata-rata tahunan, bulanan dan tiga bulanan (musiman).

(3)

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF

DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6

(MTSAT-1R)

YETTI KUSUMAYANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa

berdasarkan Citra Satelit GMS-6 (MTSAT-1R)

Nama :

Yetti

Kusumayanti

NIM :

G24103001

Menyetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si

Dr. Edvin Aldrian, B.Eng M.Sc

NIP: 131918657

NIP: 680002393

Mengetahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Hasim, DEA

NIP: 131578806

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berlangsung sejak bulan Mei 2007 ini mengambil tema mengenai hujan konvektif, dengan judul Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa berdasarkan Citra Satelit GMS-6 (MTSAT-1R).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si selaku pembimbing I serta Bapak Dr. Edvin Aldrian, B.Eng M.Sc selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan kepada penulis. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ahmad Bey selaku dosen penguji atas saran dan masukannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ibu dan kedua kakak serta seluruh keluarga yang selalu mendukung penulis selama menjalani perkuliahan di Bogor. Selain itu, terima kasih pula untuk seluruh teman-teman GFM angkatan 40 yang berjuang bersama dan memberi bantuan baik tenaga maupun saran selama penelitian khususnya kepada Mamat dan Eko yang telah membantu untuk menginstall Linux. Terima kasih juga untuk Kak Fanida dan Kak Yudhya Sudarmadi yang banyak membantu selama pengumpulan data.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan. Tetapi penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juni 2008

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 17 Februari 1985 dari pasangan Arifuddin L (alm) dan Mastari Inder. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMU Negeri 1 Sumbawa Besar dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada Program Studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pembentukan Awan Konvektif ... 1

2.2 Identifikasi Awan Cumuliform dengan Menggunakan Citra Satelit ... 3

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 4

3.2 Alat dan Bahan ... 4

3.3 Metode Penelitian ... 4

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Nilai Gradien TBB (Temperatur Benda Hitam) ... 5

4.2 Pola Hujan Konvektif Rata-rata Tahunan ... 6

4.3 Pola Hujan Konvektif Bulanan ... 7

4.4 Pola Hujan Konvektif Musiman (Tiga Bulanan) ... 9

4.5 Variasi Diurnal dan Spasial Hujan Konvektif di atas Pulau Jawa ... 14

5 KESIMPULAN ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 20

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Sistem global satelit meteorologi ... 3

2 Hujan konvektif rata-rata tahunan ... 6

3 Pergerakan hujan konvektif rata-rata tahunan pada saat kejadian dominan ... 7

4 Pola hujan konvektif pada lintang 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude untuk bulan Januari-Juni 2006 ... 8

5 Pola hujan konvektif pada lintang 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude untuk bulan Juli-Desember 2006 ... 9

6 Pola hujan konvektif musiman pada 6 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude ... 10

7 Pola hujan konvektif musiman pada 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude ... 11

8 Pola hujan konvektif musiman pada 8 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude ... 11

9 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim hujan (DJF) ... 12

10 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim peralihan (MAM) ... 13

11 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim kemarau (JJA) ... 13

12 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim peralihan (SON) ... 14

13 Pola hujan konvektif pada pagi hari (06.00-12.00 WIB) ... 15

14 Pola hujan konvektif pada siang-sore hari (12.00-18.00 WIB) ... 15

15 Pola hujan konvektif pada malam hari (18.00-00.00 WIB) ... 16

16 Pola hujan konvektif pada dini hari (00.00-06.00 WIB) ... 16

17 Wilayah daratan dan lautan yang digunakan untuk membandingkan nilai gradien TBB pada saat hujan konvektif rata-rata tahunan ... 17

18 Perbandingan nilai gradien TBB rata-rata tahunan antara wilayah daratan (106.5-108.5 °BT dan 6.5-7.5 °LS) dan lautan (108.5-110.5 °BT dan 5.5-6.5 °LS) ... 19

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Citra GMS-6 (MTSAT-1R) dengan format PGM (portable gray map) ... 22

2 Contoh data kalibrasi citra GMS-6 kanal infrared 1 (IR1) ... 23

3 Script program yang digunakan untuk melakukan kalibrasi dan pemotongan citra GMS-6 ... 24

4 Contoh script program yang digunakan dalam pengolahan data ... 26

5 Hujan konvektif rata-rata pada musim hujan (DJF) ... 31

6 Hujan konvektif rata-rata pada musim peralihan basah-kering (MAM) ... 33

7 Hujan konvektif rata-rata pada musim kemarau (JJA) ... 35

8 Hujan konvektif rata-rata pada musim peralihan kering-basah (SON) ... 37

(10)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah tropik. Letak tersebut mengakibatkan curah hujan yang diterima cukup tinggi. Di daerah tropik, bentuk presipitasi yang umum terjadi adalah hujan. Di Indonesia penelitian mengenai hujan menjadi penting mengingat seringkalinya timbul persoalan baik yang berkaitan dengan rendahnya curah hujan maupun persoalan tentang curah hujan yang tinggi.

Di daerah tropik, umumnya hujan terjadi karena proses konvektif. Tetapi seringkali dipengaruhi pula oleh faktor lokal misalnya orografik. Hujan konvektif merupakan hujan yang sering terjadi di Indonesia, yang dihasilkan naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adiabatik. Tipe hujan ini berupa hujan deras dengan waktu yang singkat. Hujan konvektif biasanya dapat memiliki intensitas yang lebih tinggi daripada hujan monsun biasa. Bila hujan ini terjadi di daerah yang kurang bervegetasi, maka dapat menyebabkan terjadinya erosi permukaan atau bahkan dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor.

Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk memonitor kondisi cuaca adalah satelit. Dengan menggunakan satelit, kondisi cuaca dapat teramati secara spasial dalam ruang lingkup yang cukup luas. Satelit GMS dapat memberikan informasi dari hasil liputannya yaitu memantau permukaan bumi, liputan awan, badai tropik, ENSO, posisi dan gerak ITCZ dan menduga curah hujan. Pemanfaatan satelit cuaca ini dapat pula digunakan untuk melihat sebaran awan di daerah Indonesia. Dengan pengolahan citra satelit dapat ditentukan pula sebaran hujan di berbagai daerah.

Analisis mengenai hujan konvektif dapat dilakukan secara langsung dengan mengamati curah hujan yang terjadi di suatu wilayah ataupun secara tidak langsung seperti dengan mengamati awan. Dalam penelitian ini, analisis hujan konvektif dilakukan berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh satelit meteorologi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan variasi temporal dan spasial hujan konvektif di wilayah pulau Jawa dengan menggunakan citra satelit GMS-6.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain dapat memprediksi potensi hujan konvektif ekstrim di wilayah Pulau Jawa secara spasial dan temporal.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Pembentukan Awan Konvektif

Dalam konsep Klimatologi, hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi yang jatuh ke permukaan bumi. Sedangkan curah hujan umumnya menunjukkan jumlah presipitasi cair. Secara umum presipitasi merupakan produk dari awan yang turun baik berupa air hujan ataupun salju. Di daerah tropik seperti Indonesia presipitasi yang lebih dominan adalah dalam bentuk curah hujan.

Tipe-tipe presipitasi (hujan): 1. Hujan Orografik

Hujan orografik dihasilkan oleh naiknya udara lembab secara paksa oleh dataran tinggi atau pegunungan. Dengan kata lain, hujan ini merupakan hujan yang dihasilkan dari pengangkatan mekanis di atas rintang-rintang pegunungan (Linsley et al. 1986). Di daerah yang topografinya tidak datar, hujan orografik ini lebih menonjol dari hujan tipe lainnya.

2. Hujan Konvektif

Hujan konvektif merupakan tipe hujan yang dihasilkan naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adiabatik. Udara hangat dan lembab tersebut dihasilkan dari pemanasan permukaan oleh radiasi matahari. Tipe presipitasi ini lebih dihubungkan dengan awan tinggi jenis Cumulus (cumulus congestus) dan awan cumulonimbus (Dyahwathi 2006). Gerakan vertikal dari udara lembab yang mengalami pendinginan dengan cepat akan menghasilkan hujan deras.

3. Hujan Gangguan

(11)

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF

DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6

(MTSAT-1R)

YETTI KUSUMAYANTI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

YETTI KUSUMAYANTI. Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa berdasarkan Citra Satelit GMS-6 (MTSAT-1R). Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY dan EDVIN ALDRIAN.

Hujan konvektif merupakan tipe hujan yang sering dijumpai di Indonesia, yang dihasilkan oleh proses konveksi. Tipe hujan ini berupa hujan deras dalam waktu singkat dan dapat memiliki intensitas yang lebih tinggi daripada hujan monsun biasa. Proses konveksi dapat memiliki variasi yang berbeda baik terhadap waktu (temporal) maupun lokasi (spasial). Dalam penelitian ini dilakukan penentuan terhadap variasi spasial dan temporal hujan konvektif di pulau Jawa berdasarkan citra satelit GMS-6 dengan menggunakan metode gradien black body temperature (temperatur benda hitam atau TBB). Hujan konvektif yang dianalisis adalah hujan konvektif rata-rata tahunan, bulanan dan tiga bulanan (musiman).

(13)

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF

DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6

(MTSAT-1R)

YETTI KUSUMAYANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa

berdasarkan Citra Satelit GMS-6 (MTSAT-1R)

Nama :

Yetti

Kusumayanti

NIM :

G24103001

Menyetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si

Dr. Edvin Aldrian, B.Eng M.Sc

NIP: 131918657

NIP: 680002393

Mengetahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Hasim, DEA

NIP: 131578806

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berlangsung sejak bulan Mei 2007 ini mengambil tema mengenai hujan konvektif, dengan judul Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa berdasarkan Citra Satelit GMS-6 (MTSAT-1R).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si selaku pembimbing I serta Bapak Dr. Edvin Aldrian, B.Eng M.Sc selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan kepada penulis. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ahmad Bey selaku dosen penguji atas saran dan masukannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ibu dan kedua kakak serta seluruh keluarga yang selalu mendukung penulis selama menjalani perkuliahan di Bogor. Selain itu, terima kasih pula untuk seluruh teman-teman GFM angkatan 40 yang berjuang bersama dan memberi bantuan baik tenaga maupun saran selama penelitian khususnya kepada Mamat dan Eko yang telah membantu untuk menginstall Linux. Terima kasih juga untuk Kak Fanida dan Kak Yudhya Sudarmadi yang banyak membantu selama pengumpulan data.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan. Tetapi penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juni 2008

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 17 Februari 1985 dari pasangan Arifuddin L (alm) dan Mastari Inder. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMU Negeri 1 Sumbawa Besar dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada Program Studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pembentukan Awan Konvektif ... 1

2.2 Identifikasi Awan Cumuliform dengan Menggunakan Citra Satelit ... 3

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 4

3.2 Alat dan Bahan ... 4

3.3 Metode Penelitian ... 4

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Nilai Gradien TBB (Temperatur Benda Hitam) ... 5

4.2 Pola Hujan Konvektif Rata-rata Tahunan ... 6

4.3 Pola Hujan Konvektif Bulanan ... 7

4.4 Pola Hujan Konvektif Musiman (Tiga Bulanan) ... 9

4.5 Variasi Diurnal dan Spasial Hujan Konvektif di atas Pulau Jawa ... 14

5 KESIMPULAN ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 20

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Sistem global satelit meteorologi ... 3

2 Hujan konvektif rata-rata tahunan ... 6

3 Pergerakan hujan konvektif rata-rata tahunan pada saat kejadian dominan ... 7

4 Pola hujan konvektif pada lintang 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude untuk bulan Januari-Juni 2006 ... 8

5 Pola hujan konvektif pada lintang 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude untuk bulan Juli-Desember 2006 ... 9

6 Pola hujan konvektif musiman pada 6 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude ... 10

7 Pola hujan konvektif musiman pada 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude ... 11

8 Pola hujan konvektif musiman pada 8 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude ... 11

9 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim hujan (DJF) ... 12

10 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim peralihan (MAM) ... 13

11 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim kemarau (JJA) ... 13

12 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim peralihan (SON) ... 14

13 Pola hujan konvektif pada pagi hari (06.00-12.00 WIB) ... 15

14 Pola hujan konvektif pada siang-sore hari (12.00-18.00 WIB) ... 15

15 Pola hujan konvektif pada malam hari (18.00-00.00 WIB) ... 16

16 Pola hujan konvektif pada dini hari (00.00-06.00 WIB) ... 16

17 Wilayah daratan dan lautan yang digunakan untuk membandingkan nilai gradien TBB pada saat hujan konvektif rata-rata tahunan ... 17

18 Perbandingan nilai gradien TBB rata-rata tahunan antara wilayah daratan (106.5-108.5 °BT dan 6.5-7.5 °LS) dan lautan (108.5-110.5 °BT dan 5.5-6.5 °LS) ... 19

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Citra GMS-6 (MTSAT-1R) dengan format PGM (portable gray map) ... 22

2 Contoh data kalibrasi citra GMS-6 kanal infrared 1 (IR1) ... 23

3 Script program yang digunakan untuk melakukan kalibrasi dan pemotongan citra GMS-6 ... 24

4 Contoh script program yang digunakan dalam pengolahan data ... 26

5 Hujan konvektif rata-rata pada musim hujan (DJF) ... 31

6 Hujan konvektif rata-rata pada musim peralihan basah-kering (MAM) ... 33

7 Hujan konvektif rata-rata pada musim kemarau (JJA) ... 35

8 Hujan konvektif rata-rata pada musim peralihan kering-basah (SON) ... 37

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah tropik. Letak tersebut mengakibatkan curah hujan yang diterima cukup tinggi. Di daerah tropik, bentuk presipitasi yang umum terjadi adalah hujan. Di Indonesia penelitian mengenai hujan menjadi penting mengingat seringkalinya timbul persoalan baik yang berkaitan dengan rendahnya curah hujan maupun persoalan tentang curah hujan yang tinggi.

Di daerah tropik, umumnya hujan terjadi karena proses konvektif. Tetapi seringkali dipengaruhi pula oleh faktor lokal misalnya orografik. Hujan konvektif merupakan hujan yang sering terjadi di Indonesia, yang dihasilkan naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adiabatik. Tipe hujan ini berupa hujan deras dengan waktu yang singkat. Hujan konvektif biasanya dapat memiliki intensitas yang lebih tinggi daripada hujan monsun biasa. Bila hujan ini terjadi di daerah yang kurang bervegetasi, maka dapat menyebabkan terjadinya erosi permukaan atau bahkan dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor.

Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk memonitor kondisi cuaca adalah satelit. Dengan menggunakan satelit, kondisi cuaca dapat teramati secara spasial dalam ruang lingkup yang cukup luas. Satelit GMS dapat memberikan informasi dari hasil liputannya yaitu memantau permukaan bumi, liputan awan, badai tropik, ENSO, posisi dan gerak ITCZ dan menduga curah hujan. Pemanfaatan satelit cuaca ini dapat pula digunakan untuk melihat sebaran awan di daerah Indonesia. Dengan pengolahan citra satelit dapat ditentukan pula sebaran hujan di berbagai daerah.

Analisis mengenai hujan konvektif dapat dilakukan secara langsung dengan mengamati curah hujan yang terjadi di suatu wilayah ataupun secara tidak langsung seperti dengan mengamati awan. Dalam penelitian ini, analisis hujan konvektif dilakukan berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh satelit meteorologi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan variasi temporal dan spasial hujan konvektif di wilayah pulau Jawa dengan menggunakan citra satelit GMS-6.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain dapat memprediksi potensi hujan konvektif ekstrim di wilayah Pulau Jawa secara spasial dan temporal.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Pembentukan Awan Konvektif

Dalam konsep Klimatologi, hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi yang jatuh ke permukaan bumi. Sedangkan curah hujan umumnya menunjukkan jumlah presipitasi cair. Secara umum presipitasi merupakan produk dari awan yang turun baik berupa air hujan ataupun salju. Di daerah tropik seperti Indonesia presipitasi yang lebih dominan adalah dalam bentuk curah hujan.

Tipe-tipe presipitasi (hujan): 1. Hujan Orografik

Hujan orografik dihasilkan oleh naiknya udara lembab secara paksa oleh dataran tinggi atau pegunungan. Dengan kata lain, hujan ini merupakan hujan yang dihasilkan dari pengangkatan mekanis di atas rintang-rintang pegunungan (Linsley et al. 1986). Di daerah yang topografinya tidak datar, hujan orografik ini lebih menonjol dari hujan tipe lainnya.

2. Hujan Konvektif

Hujan konvektif merupakan tipe hujan yang dihasilkan naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adiabatik. Udara hangat dan lembab tersebut dihasilkan dari pemanasan permukaan oleh radiasi matahari. Tipe presipitasi ini lebih dihubungkan dengan awan tinggi jenis Cumulus (cumulus congestus) dan awan cumulonimbus (Dyahwathi 2006). Gerakan vertikal dari udara lembab yang mengalami pendinginan dengan cepat akan menghasilkan hujan deras.

3. Hujan Gangguan

(21)

Awan konvektif

Awan konvektif umumnya merupakan awan-awan jenis cumulus (cumuliform). Biasanya, awan cumuliform yang tampak di atas daratan terbentuk dari pengangkatan massa udara yang dipanasi oleh radiasi matahari (Mason 1975). Gumpalan awan yang terangkat ini, atau biasa disebut thermals memiliki diameter yang bervariasi dari beberapa puluh sampai ratusan meter selama pengangkatannya dan bercampur dengan udara yang lebih dingin dan kering dari lingkungan sekitar mereka. Di atas ketinggian dasar awan, pelepasan panas laten kondensasi cenderung meningkatkan daya apung dari massa udara naik yang menjulang ke atas dan muncul di atas awan dengan permukaan atas berbentuk bundar.

Proses konveksi

Proses konveksi terjadi akibat pemanasan permukaan oleh matahari sehingga udara dekat permukaan juga akan menjadi panas. Akibatnya udara menjadi tidak stabil dan bergerak naik karena pemanasan dari bawah oleh radiasi matahari yang menaikkan suhu tanah. Pada siang hari saat suhu permukaan bertambah, awan Cumulus yang relatif kecil akan terbentuk. Awan individu pertama akan menguap dalam waktu lima menit yang dilanjutkan oleh munculnya awan baru. Semakin tinggi suhu permukaan, maka awan Cumulus akan tumbuh semakin besar. Pada saat awan pertama menguap, maka udara yang ditinggalkan akan menjadi lebih lembab dari sebelumnya. Awan tersebut akan bertambah banyak dan akhirnya akan membentuk sebuah kolom udara dengan diameter yang lebih besar hingga mencapai level kondensasi.

Pada umumnya udara yang membentuk awan konvektif berasal dari permukaan tanah. Pada saat arus udara naik, maka udara tersebut akan terpusat ke arah awan (Kilwalaga 2003). Perkembangan dari awan konvektif juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya lapisan inversi. Jika arus inversi lemah dan arus vertikalnya kuat, maka awan akan tumbuh dan menembus lapisan inversi sehingga membentuk cerobong (leher). Jika lapisan inversi cukup kuat dan antivertikalnya lemah, maka awan tidak dapat menembus lapisan inversi sehingga bentuknya melebar.

Daerah konvektif dicirikan oleh updraft dan downdraft kuat (cumulonimbus) terbatas yang memiliki konsentrasi air terkondensasi dan hujan lebat yang tinggi, pengangkatan skala meso diiringi oleh awan stratiform penghasil hujan lemah, dan downdraft skala meso dari udara kering dan dingin yang

berasal dari mid-troposfer biasanya terletak di bawah pengangkatan skala meso (Yano et al. 2001).

Menurut Sui et al. (1997), aktivitas konvektif di daerah tropik memiliki tiga variasi. Dengan menggunakan hasil pengamatan TOGA COARE (Tropical Ocean Global Atmosphere Coupled Ocean– Atmosphere Response Experiment), diperoleh tiga variasi diurnal dari aktivitas konvektif atmosfer di daerah tropik. Ketiga variasi tersebut, yaitu warm morning cumulus, afternoon convective showers, dan nocturnal convective systems. Curah hujan sore hari terutama terjadi dari sel-sel konvektif, tetapi curah hujan nokturnal disebabkan oleh sel-sel konvektif yang lebih dalam dan awan stratiform dalam wilayah yang luas. Lebih lanjut dinyatakan bahwa hujan konvektif sore hari (afternoon convective showers) lebih nyata terlihat dalam periode tak terganggu skala besar ketika siklus diurnal dari SST terjadi dengan kuat. Akan tetapi, sistem konvektif nokturnal (nocturnal convective systems) dan cumulus pagi hari (warm morning cumulus) lebih tinggi dalam periode terganggu ketika lebih banyak kelembaban yang tersedia (Sui et al. 1997).

(22)

2.2 Identifikasi Awan Cumuliform dengan Menggunakan Citra Satelit

Satelit geostasioner merupakan satelit yang mengorbit bumi yang berada pada ketinggian sekitar 36.000 km di atas ekuator, searah dengan rotasi bumi. Area pengamatan satelit ini terbatas pada daerah yang tampak, dan informasi serta gambar yang dihasilkan berguna pada daerah antara 70 °LU dan 70 °LS. Satelit geostasioner ini memantau berbagai lokasi di permukaan bumi. Kegunaan utama dari satelit geostasioner adalah untuk mengamati bumi dari posisi tetap di atas ekuator dan untuk memonitor perubahan gejala meteorologi termasuk pergerakan awan taifun atau depresi pada interval waktu yang singkat. Satelit geostasioner yang digunakan untuk mengamati daerah Asia Pasifik adalah Geostationary Meteorological Satellite yang mengorbit pada bujur 140 °BT.

Geostationary Meteorological Satellite (GMS) merupakan satelit geostasioner buatan Jepang yang pertama kali diluncurkan pada tanggal 14 Juli 1977 dengan nama GMS-1.

Satelit GMS memiliki empat misi utama, yaitu:

a. pengamatan cuaca melalui VISSR b. pengumpulan data meteorologi c. meyebarkan data citra

d. pengamatan lingkungan luar angkasa (monitoring partikel matahari)

Satelit GMS dapat memberikan informasi dari hasil liputannya yaitu memantau permukaan bumi, liputan awan, badai tropik, ENSO, posisi dan gerak ITCZ dan menduga curah hujan. Satelit ini memiliki dua buah sensor yaitu sensor infra merah (infrared) dan sensor cahaya tampak (visible). Sensor infrared sensitif terhadap panjang gelombang 10.00–12.50 μm dan digunakan untuk mengukur emisi suhu awan. Sedangkan sensor visible yang sensitif terhadap panjang gelombang 0.55–0.75 μm digunakan untuk melihat besarnya albedo objek (Darmawati 2005).

Gambar 1 Sistem global satelit meteorologi. (Sumber:http://mscweb.kishou.go.jp/general/activi ties/gms/index.htm)

Identifikasi jenis awan melalui citra satelit umumnya dilakukan dengan mengamati sifat dari awan (tampilan awan dalam citra). Salah satu sifat awan yang digunakan untuk tujuan tersebut adalah kecerahan. Kecerahan awan dalam citra satelit merupakan indikator yang paling baik untuk mengindikasikan karakteristiknya. Secara umum, pada citra visibel (VIS), nilai kecerahan yang tinggi berasosiasi dengan awan tebal, yang cenderung untuk merefleksikan lebih banyak sinar matahari (Conway 1997). Karena itu, pada citra VIS awan tebal akan tampak putih atau abu-abu yang sangat terang. Sedangkan awan tipis akan tampak lebih gelap atau bahkan transparan.

Sementara itu pada citra infrared (IR), nilai kecerahan yang tinggi berasosiasi dengan temperatur terdingin puncak awan. Sehingga puncak awan yang sangat tinggi dan dingin akan tampak putih atau abu-abu yang sangat terang. Sedangkan awan rendah dan hangat akan tampak sebagai bayangan abu-abu gelap atau bahkan menyatu dengan permukaan tanah atau perairan.

Awan cumuliform merupakan jenis awan yang menghasilkan hujan konvektif. Awan ini terbentuk dalam kondisi atmosfer yang tidak stabil dimana udara naik dan turun yang menyebabkan awan mengalami perkembangan vertikal. Awan ini terdiri dari dua jenis awan yaitu stratocumulus dan cumulus serta cumulonimbus. Dalam citra satelit, stratocumulus sering tampak dalam helai, garis, atau pola jalan, khususnya di atas air pada musim dingin. Pada citra IR, awan ini akan tampak berwarna abu-abu sedang sementara dalam citra VIS dapat terlihat sangat cerah dan menggumpal. Awan cumulus rendah akan tampak dalam bentuk awan yang tidak teratur dalam ukuran yang beragam. Awan ini akan tampak menggumpal pada citra VIS karena bayangan pada puncak awan yang berbentuk tidak beraturan. Sedangkan pada citra IR awan cumulus memperlihatkan sifat abu-abu yang berkisar dari abu-abu gelap sampai sedang (Conway 1997).

(23)

pada kekuatan angin level atas. Awan cumulonimbus akan tampak sangat cerah baik pada citra VIS maupun IR karena dicirikan oleh awan yang sangat tebal, perkembangan awan yang tinggi dan sangat dingin, serta puncak awan yang tinggi.

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian berlangsung sejak bulan Mei 2007 sampai dengan bulan Februari 2008. Pengambilan dan pengolahan data dilakukan di Lab. Meteorologi dan Kualitas Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB serta di UPT Hujan Buatan BPPT Jakarta.

3.2 Alat dan bahan

Alat yang diperlukan adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi Mandriva Linux 2007 dan Windows XP 2002. Software yang digunakan untuk pengolahan data adalah GrADS (The Grid Analysis and Display System) under Linux serta Microsoft Office.

Data yang digunakan adalah data citra satelit GMS-6 atau Multi-Functional Transport Satellite-1R (MTSAT-1R) kanal infrared 1 (IR1) pada tahun 2006 dengan resolusi temporal 1 jam serta file kalibrasinya (Lampiran 1-2). Format citra satelit tersebut adalah PGM (Portable Gray Map). Data citra satelit tersebut dapat pula diperoleh di situs

http://weather.is.kochi-u.ac.jp/archive-e.html.

3.3 Metode penelitian

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan semua data citra yang dibutuhkan kemudian dilanjutkan dengan melakukan kalibrasi nilai pixel-gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin. Selanjutnya dilakukan pemotongan citra sesuai dengan daerah yang akan dikaji yaitu Pulau Jawa. Kemudian data citra akan diubah menjadi file binari sehingga dapat dibaca oleh software GrADS. Dengan menggunakan GrADS akan ditentukan nilai gradien black body temperature (TBB) atau temperatur benda hitam, baik untuk rata-rata tahunan, bulanan maupun untuk 3 bulan (musim). Hasil dari gradien tersebut akan menunjukkan hujan konvektif yang terjadi di wilayah Pulau Jawa.

3.3.1 Kalibrasi nilai pixel-gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin, pemotongan citra dan pengubahan format menjadi binari

Kalibrasi nilai pixel gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin

Citra satelit GMS-6 dari kanal infrared 1 (IR1) tersimpan berupa file image dengan format PGM dan memiliki derajat resolusi 1800×1800 piksel. Setiap piksel memiliki nilai pixel-gray (nilai terang gelap) atau pixval dari 0 sampai 255. Nilai pixel gray ini perlu dikalibrasi menjadi nilai temperatur dalam Kelvin agar dapat diolah lebih lanjut. Setiap file data GMS-6 (citra PGM) disertai dengan file kalibrasi dalam format DAT.

Pemotongan citra

Citra satelit GMS-6 meliputi wilayah dengan koordinat lintang 70 °LU sampai 20 °LS dan bujur 70 °BT sampai 160 °BT dengan derajat resolusi 1/20 1800x1800 piksel. Data citra tersebut terlalu luas jika digunakan untuk menganalisis pulau Jawa sehingga perlu diperkecil sesuai dengan koordinat pulau Jawa yaitu mulai dari 5 sampai 9 °LS serta 105 sampai 115 °BT. Pemotongan citra dilakukan dengan memasukkan nilai koordinat tersebut dalam script program yang akan dijalankan di Mandriva Linux (Lampiran 3).

Pengubahan format citra PGM menjadi binari

Pengubahan format citra menjadi binari akan menghasilkan dua file yaitu file *.grd dan file *.ctl. File *.grd merupakan file binari dari data citra sedangkan file *.ctl adalah descriptor file yang memuat informasi mengenai citra satelit tersebut (Lampiran 4).

Ketiga langkah di atas dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan script bahasa pemrograman C yang dijalankan di OS Mandriva Linux 2007. Namun terlebih dahulu script tersebut harus dicompile menjadi file executable yang dapat dijalankan. Proses compile dilakukan dengan menuliskan perintah sebagai berikut:

gcc <nama_script> -o <nama_file_executable>

(24)

./<namafile_executable> <namafile_kalibrasi> <namafile_pgm> <namafile_grd>

<namafile_ctl>

3.3.2 Penentuan nilai gradien TBB

Gradien TBB adalah perbedaan antara nilai TBB suatu jam tertentu dengan nilai TBB jam sebelumnya. Nilai gradien inilah yang akan menunjukkan kejadian hujan konvektif. Nilai gradien positif menunjukkan terjadinya perubahan ketinggian/ketebalan awan dari awan yang tebal menjadi lebih tipis. Ini berarti pada waktu tersebut terjadi hujan. Nilai gradien yang menunjukkan kejadian hujan konvektif adalah yang lebih besar dari 6 °C. Sedangkan nilai gradien negatif mengartikan hal sebaliknya yaitu terjadinya pertumbuhan/penebalan awan. Nilai gradiennya yaitu lebih kecil dari -6 °C.

Gradien TBB rata-rata bulanan

Penentuan gradien TBB rata-rata bulanan dilakukan dengan menjumlahkan seluruh nilai gradien TBB harian untuk masing-masing jam dan kemudian membaginya dengan jumlah hari dalam satu bulan.

Kemudian seluruh nilai gradien rata-rata tersebut digabungkan ke dalam satu file sehingga untuk masing-masing bulan hanya memiliki satu file hasil. Saat file tersebut dibuka di software GrADS, maka akan tampak nilai gradien TBB selama 24 jam.

Selanjutnya, untuk mengetahui pola hujan konvektif selama 24 jam pada suatu lintang tertentu, akan ditentukan satu nilai lintang yaitu 7 oLS. Output yang dihasilkan akan memperlihatkan grafik gradien TBB terhadap waktu dan longitude.

Gradien TBB tahunan

Gradien TBB tahunan merupakan nilai rata-rata tahunan dari seluruh nilai gradien harian. Untuk mendapatkannya digunakan hasil gradien rata-rata bulanan yang dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah bulan (12 bulan). Nilai gradien TBB rata-rata tahunan tersebut akan memperlihatkan pola hujan konvektif selama satu tahun di atas pulau Jawa.

Gradien TBB musiman (tiga bulanan) Penentuan gradien TBB musiman tidak jauh berbeda dengan penentuan gradien TBB tahunan. Gradien TBB musiman menggunakan nilai gradien tiga bulan yang berdekatan. Nilai gradien tersebut akan dijumlahkan kemudian dibagi sesuai dengan jumlah bulannya, yaitu

tiga bulan. Hasil dari gradien TBB musiman yaitu gradien TBB untuk bulan Maret-Mei (MAM), Juni-Agustus (JJA), September-November (SON), dan Desember-Februari (DJF).

Hasil tersebut akan digunakan untuk menganalisis apakah terdapat perbedaan pola hujan konvektif pada musim hujan dan musim kemarau serta pada musim-musim peralihan.

3.3.3 Asumsi

Nilai gradien yang berada pada kisaran -6 sampai 6 °C tidak dianalisis karena pada kisaran tersebut dianggap hanya terjadi sedikit perubahan ketebalan awan.

Dalam menentukan kejadian hujan (hujan konvektif) hanya didasarkan pada nilai perbedaan temperatur permukaan yang ditangkap oleh citra satelit (TBB) tanpa memperhatikan besarnya curah hujan yang terjadi di lapangan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan nilai gradien TBB

(temperatur benda hitam)

Dari hasil pengolahan citra GMS-6, diperoleh bahwa secara umum nilai gradien TBB tahun 2006 memiliki kisaran antara -15 °C sampai 15 °C. Analisis nilai gradien ini dibagi dua, yaitu untuk gradien yang bernilai positif dan gradien yang bernilai negatif.

Nilai gradien positif umumnya dijumpai pada pagi hari mulai pukul 07.00 WIB sampai sekitar pukul 11.00 WIB, kemudian dijumpai pula pada pukul 19.00 malam sampai pukul 06.00 WIB. Nilai positif ini lebih banyak dijumpai di atas wilayah perairan di sekitar Jawa. Hanya pada pukul 19.00 sampai 00.00 WIB dijumpai adanya nilai positif di atas daratan. Gradien positif tidak dijumpai mengelompok di suatu daerah tetapi menyebar tidak terlalu rapat di seluruh wilayah pulau Jawa. Namun, bila diperhatikan secara lebih detail, sebagian besar lebih banyak dijumpai di daerah yang dekat dengan perairan.

(25)

Secara umum dapat dikatakan bahwa gradien TBB yang bernilai positif terjadi pada waktu malam sampai tengah malam dan dini hari sampai pagi hari. Dan sebaliknya pada siang sampai sore hari menjelang malam yang terjadi adalah gradien TBB yang bernilai negatif.

4.2 Pola hujan konvektif rata-rata tahunan

Berdasarkan nilai gradien TBB rata-rata tahunan yang diperoleh, secara temporal pola hujan konvektif dapat dibagi dua yaitu siang hari dan malam hari. Pola hujan konvektif siang hari dimulai dari gradien pukul 06.00-07.00 WIB sampai pukul 17.00-18.00 WIB, sedangkan untuk malam hari dimulai dari gradien pukul 1800-1900 WIB sampai pukul 05.00-06.00 WIB.

Pada pagi hari mulai pukul 06.00-07.00 sampai 10.00-11.00 WIB pola gradien TBB cenderung bernilai positif. Hal ini mengindikasikan bahwa pada waktu tersebut terjadi hujan konvektif terutama di daerah pesisir sebelah utara. Hujan tersebut berawal di atas lautan di sebelah utara Jawa kemudian bergerak ke arah barat daya menuju daratan.

Pada pukul 11.00-12.00 WIB mulai dijumpai gradien yang bernilai negatif, yang mengindikasikan terjadinya perubahan pada ketebalan awan, dari awan yang tipis menjadi lebih tebal. Semakin negatif nilai gradien tersebut maka perubahan ketebalan awan semakin besar, yang artinya semakin besar pertumbuhan awan yang terjadi dalam selang waktu tersebut.

Gambar 2. Hujan konvektif rata-rata tahunan

Dari hasil rata-rata tahunan, hujan konvektif paling banyak terjadi mulai pukul 18.00-19.00 sampai 23.00-00.00 WIB (Gambar 2). Pada pukul 18.00-19.00 WIB, sebagian besar hujan konvektif terjadi di bagian barat pulau Jawa dengan kisaran gradien TBB sampai 15 oC. Mulai pukul 19.00-20.00 WIB, hujan konvektif terjadi di tengah

(26)

Untuk nilai rata-rata tahunan secara umum, hujan konvektif lebih banyak dijumpai pada malam dan pagi hari daripada siang hari. Akan tetapi hujan konvektif pagi hari lebih sering dijumpai di atas perairan sekitar Jawa sedangkan di atas daratan Jawa dijumpai pada malam hari. Kejadian hujan konvektif yang dominan pada malam dan pagi hari ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa konveksi terkuat di atas permukaan benua terjadi menjelang malam hari atau sore hari yang bergantung pada dominasi siklus diurnal pemanasan permukaan(Silva Diaz et al. 1987 dalam Sui et al. 1997).

Pada jam-jam dimana kejadian hujan konvektif tinggi, terlihat pula bahwa secara bertahap hujan konvektif tersebut mengalami pergerakan atau pergeseran. Hasil potongan section pulau Jawa (antara lintang 7 sampai 7.5 °LS) memperlihatkan adanya pergerakan hujan konvektif yang cenderung menuju ke arah barat. Hujan konvektif yang pada pukul 18.00-19.00 WIB terjadi di sebelah selatan pulau Jawa bagian barat, pada jam-jam berikutnya secara bertahap bergerak ke arah barat menuju ke wilayah perairan (Gambar 3). Adanya pergerakan ini dapat disebabkan oleh faktor angin yang bertiup ke arah barat.

Gambar 3. Pergerakan hujan konvektif rata-rata tahunan pada saat kejadian dominan

4.3 Pola hujan konvektif bulanan

Hujan konvektif bulanan yang dianalisis adalah hujan konvektif yang terjadi dalam setiap interval waktu satu jam. Untuk melihat pola hujan konvektif bulanan selama 24 jam, dilakukan analisis terhadap satu nilai derajat lintang yaitu lintang 7 °LS yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa daerah di sepanjang lintang tersebut merupakan daerah yang berada tepat di tengah pulau Jawa.

Hasil analisis menunjukkan bahwa hujan konvektif banyak dijumpai pada bulan Januari sampai Juni 2006 serta pada bulan Desember 2006. Pada bulan-bulan tersebut hujan konvektif dijumpai cukup merata dari bagian barat sampai timur Jawa (Gambar 4).

(27)

Hujan konvektif pada bulan Januari sampai Juni dan Desember 2006 terjadi secara merata hampir di sepanjang pulau Jawa. Pada bulan Juli sampai November 2006 hujan konvektif hanya dijumpai di bagian barat pulau Jawa.

Dari hasil tersebut dapat pula diketahui bahwa hujan konvektif pada lintang 7 °LS tidak terjadi pada lokasi yang sama setiap jamnya. Sebagai contoh pada bulan Desember 2006 hujan konvektif yang terjadi terlihat

jelas mengalami pergerakan yang berasal dari timur menuju ke barat. Pada bulan Januari sampai Juni 2006, dijumpai pula beberapa pergerakan yang mengarah ke barat tetapi tidak sejelas bulan Desember 2006. Tetapi pada bulan Januari 2006, selain bergerak ke barat terlihat pula pergerakan ke arah timur mulai tengah malam. Sementara itu, pada bulan lainnya terlihat pula pergerakan hujan konvektif dari arah timur ke barat.

(28)

Gambar 5 Pola hujan konvektif pada lintang 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude untuk bulan Juli-Desember 2006.

4.4 Pola hujan konvektif musiman (tiga bulanan)

Analisis terhadap hujan konvektif musiman dilakukan dengan membandingkan pola hujan konvektif yang muncul di masing-masing musim. Secara umum, pada semua musim hujan konvektif mulai terjadi pada pukul 0000 UTC (07.00 WIB). Tetapi batas waktu kejadian hujan konvektif di setiap musim tidak selalu sama. Pada musim hujan (DJF) dan peralihan (MAM) hujan konvektif masih dapat dijumpai sampai pukul 2200 UTC (05.00 WIB). Sedangkan pada musim kemarau (JJA) dan peralihan (SON) maksimal hanya dijumpai sampai pukul 1700 UTC (00.00 WIB).

Pada DJF sendiri, hujan konvektif tidak terjadi secara terus menerus dari pukul 07.00 sampai 05.00 WIB. Pada pagi hari (pukul 07.00 sampai 12.00 WIB), hujan konvektif di musim ini lebih banyak dijumpai di atas wilayah perairan di sekitar pulau Jawa. Sedangkan hujan yang terjadi di atas daratan paling banyak dijumpai mulai pukul 18.00 sampai 05.00 WIB. Sementara itu, sejak pukul 12.00 siang hari sampai 18.00 WIB, wilayah di atas pulau Jawa lebih didominasi oleh pertumbuhan awan (Lampiran 5).

Sama halnya dengan hujan konvektif DJF, hujan konvektif pada musim peralihan dari basah ke kering (MAM) mulai terjadi pada pagi hari (sekitar pukul 07.00 WIB) dan dijumpai di atas wilayah daratan Jawa. Selanjutnya hujan di atas daratan dijumpai pula mulai pukul 16.00 WIB sampai tengah malam yang sebagian besar terjadi di Jawa bagian barat. Sedangkan hujan konvektif yang terjadi di atas wilayah perairan mulai dijumpai pukul 10.00 sampai dengan pukul 16.00 WIB (Lampiran 6).

(29)

Pada analisis hujan konvektif terhadap satu nilai lintang tidak dijumpai adanya perbedaan yang sangat jelas. Pada ketiga lintang tersebut hujan konvektif lebih banyak dijumpai pada DJF dan MAM.

Pada DJF secara umum dijumpai hujan konvektif pada pagi hari dan sore sampai dini hari. Sementara di siang hari terdapat pembentukan awan. Hal tersebut terlihat baik di lintang 6, 7 maupun 8 °LS (Gambar 6-8). Selain itu, terlihat pula bahwa hujan cenderung bergerak atau berpindah ke arah barat.

Pada musim peralihan MAM, waktu terjadinya hujan konvektif tidak jauh berbeda

dengan DJF yaitu hujan di pagi dan malam hari dengan pembentukan awan pada siang hari. Hanya saja pada musim ini pola pergerakan atau perpindahan hujan konvektif tidak terlihat dengan sangat jelas.

Pada musim kemarau JJA dan peralihan SON, hujan konvektif yang dijumpai baik pada lintang 6, 7 maupun 8 °LS sangat sedikit. Umumnya hujan yang terjadi pada JJA terjadi mulai sore hari sampai tengah malam. Sedangkan pada SON, hujan konvektif di lintang 6 dan 8 °LS hanya terjadi pada pukul 21.00-22.00 WIB tetapi pada lintang 7 °LS terjadi mulai pukul 16.00 WIB sampai tengah malam.

(30)
[image:30.595.146.477.88.393.2]

Gambar 7 Pola hujan konvektif musiman pada 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude.

[image:30.595.144.476.433.734.2]
(31)

Sama halnya dengan hujan konvektif rata-rata tahunan, hujan konvektif rata-rata-rata-rata musiman juga mengalami pergerakan/ pergeseran secara bertahap. Pergerakan yang dialami secara umum adalah pergerakan ke arah barat (Gambar 9, 10, dan 11). Namun, pada musim peralihan MAM pergerakan hujan konvektif tidak memiliki pola yang jelas dan hanya beberapa yang terlihat berpindah ke arah timur (Gambar 10).

[image:31.595.118.510.249.528.2]

Hujan konvektif musiman ini secara umum juga lebih banyak terjadi pada sore hari sampai tengah malam. Sedangkan hujan yang terjadi pada pagi hari lebih sering dijumpai di atas wilayah perairan. Dan pada siang hari lebih banyak dijumpai pembentukan/ penebalan awan.

(32)
[image:32.595.120.505.83.364.2]

Gambar 10 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim peralihan (MAM).

[image:32.595.115.510.401.682.2]
(33)
[image:33.595.118.508.85.363.2]

Gambar 12 Pergerakan hujan konvektif rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim peralihan (SON).

4.5 Variasi temporal dan spasial hujan konvektif di atas pulau Jawa

Hujan konvektif yang terjadi di atas pulau Jawa memiliki variasi secara diurnal. Variasi diurnal hujan konvektif terlihat baik pada hasil rata-rata tahunan, bulanan maupun musiman.

Pada pagi hari (06.00-12.00 WIB atau 2300-0500 UTC) pada umumnya hujan konvektif sudah mulai terjadi. Pada jam tersebut kejadian hujan lebih banyak dijumpai pada wilayah bagian utara Jawa termasuk di perairan sebelah utara (Gambar 13).

Sedangkan pada siang hari (12.00-18.00 WIB) cenderung terjadi pembentukan awan yang cukup tinggi yang berawal di bagian utara pulau dan secara bertahap bergerak menuju bagian tengah dari pulau Jawa (Gambar 14).

(34)
[image:34.595.134.492.87.351.2]

Gambar 13 Pola hujan konvektif pada pagi hari (06.00-12.00 WIB).

[image:34.595.133.491.390.652.2]
(35)
[image:35.595.133.491.86.352.2]

Gambar 15 Pola hujan konvektif pada malam hari (18.00-00.00 WIB).

Gambar 16 Pola hujan konvektif pada dini hari (00.00-06.00 WIB).

Berdasarkan analisis tersebut dapat dikatakan hujan konvektif di atas pulau Jawa memiliki variasi diurnal dimana kejadian hujan yang paling banyak adalah pada waktu malam hari yaitu mulai pukul 1800-0000 WIB. Sedangkan pada siang hari, dijumpai

[image:35.595.132.490.381.644.2]
(36)

penelitian Nitta dan Sekine (1994) yang menyatakan bahwa di atas benua dan pulau-pulau besar, konveksi mencapai intensitas maksimumnya pada sore hari sampai malam hari, kemungkinan karena pemanasan permukaan yang kuat sepanjang siang hari.

Sama halnya dengan penelitian Ichikawa dan Yasunari (2006) yang menyatakan konveksi dangkal akan menghasilkan curah hujan di daerah pantai dan pegunungan pada sore hari dan konveksi di atas daratan berlanjut sampai tengah malam. Variasi hujan konvektif bulanan maupun musiman tidak jauh berbeda dengan variasi diurnal dalam satu tahun. Hal ini menunjukkan bahwa variasi hujan konvektif tidak dipengaruhi atau kecil dipengaruhi oleh musim.

Sementara itu, untuk variasi spasial hujan konvektif di pulau Jawa terdapat perbedaan antara hujan konvektif rata-rata tahunan, bulanan serta musiman. Pada rata-rata tahunan, hujan konvektif lebih dominan

terjadi di Jawa bagian barat dan tengah (Gambar 15). Umumnya hujan konvektif terlebih dahulu terjadi di daerah bagian utara yang didominasi di Jawa bagian barat. Secara bertahap kemudian bergerak ke arah selatan dan terjadi hampir di seluruh daratan pulau Jawa. Selama enam jam (18.00-00.00 WIB), sebagian besar hujan terjadi di pulau Jawa bagian barat dan tengah, sedangkan di Jawa bagian timur tidak banyak dijumpai hujan konvektif. Nilai gradien TBB yang menunjukkan hujan konvektif lebih banyak terjadi di bagian barat dan tengah dapat dilihat pada Lampiran 9.

[image:36.595.120.505.374.598.2]

Pada rata-rata bulanan, hujan konvektif dijumpai dari Jawa bagian barat sampai ke timur pada bulan Januari sampai Juni 2006 (Gambar 4). Sedangkan pada bulan Juli sampai November sebagian besar terjadi di Jawa bagian barat. Hujan konvektif pada bulan Desember 2006 dijumpai terjadi dari Jawa bagian barat sampai tengah.

Gambar 17 Wilayah daratan dan lautan yang digunakan untuk membandingkan nilai gradien TBB pada saat hujan konvektif rata-rata tahunan.

Pada pola hujan konvektif baik rata-rata tahunan, bulanan maupun musiman terlihat adanya perbedaan waktu kejadian hujan di wilayah daratan dan lautan. Gambar 17 menunjukkan contoh lokasi daratan dan lautan yang diambil untuk melihat perbedaan nilai gradien TBB antara daratan dan lautan. Nilai

(37)

Sebaliknya di atas wilayah lautan dijumpai nilai yang negatif yang menunjukkan terjadinya pembentukan awan. Perbedaan yang cukup jelas terlihat pula pada pukul 13.00 sampai 18.00 WIB. Pada waktu tersebut di atas wilayah daratan terjadi pembentukan awan yang ditunjukkan oleh nilai gradien negatif sedangkan di wilayah lautan terjadi hujan konvektif. Dari nilai tersebut terlihat bahwa di atas daratan hujan konvektif lebih dominan terjadi pada malam hari sampai menjelang dini hari. Lebih jelas lagi dapat

dilihat pada Gambar 18 yang menunjukkan perbedaan waktu kejadian hujan konvektif di daratan dan lautan. Hal tersebut dapat terjadi karena daratan dan lautan memiliki perbedaan respon terhadap penerimaan radiasi matahari. Di daratan, pemanasan permukaan akibat penerimaan radiasi matahari berlangsung lebih cepat daripada di lautan sehingga di daratan aktivitas konveksi mencapai puncaknya pada siang hari, yang pada akhirnya menyebabkan hujan konvektif di atas daratan terjadi pada sore sampai malam hari.

Tabel 1 Perbandingan nilai gradien TBB rata-rata tahunan antara wilayah daratan (106.5-108.5 °BT dan 6.5-7.5 °LS) dan lautan (108.5-110.5 °BT dan 5.5-6.5 °LS)

Jam (UTC)

Jam (WIB)

Daratan Lautan

00-01 07-08 1.42119 1.93618 01-02 08-09 1.78437 0.51327

02-03 09-10 0.99837 -0.48887 03-04 10-11 -1.01620 -0.90760 04-05 11-12 -2.11751 -1.41415 05-06 12-13 -2.44775 -0.68540 06-07 13-14 -2.96453 0.42906

07-08 14-15 -4.81116 1.23149 08-09 15-16 -6.96710 1.91194 09-10 16-17 -5.30476 2.18800 10-11 17-18 -1.40368 0.11155

11-12 18-19 1.12507 -0.87392 12-13 19-20 2.71395 -2.03095 13-14 20-21 4.23329 -1.15195

14-15 21-22 3.44454 -1.46212 15-16 22-23 4.01707 -0.98717 16-17 23-00 2.39436 -1.18630 17-18 00-01 1.46567 -0.77012 18-19 01-02 -0.50968 0.92668

19-20 02-03 -0.31063 -0.36769 20-21 03-04 0.30349 -1.84181 21-22 04-05 0.69430 -0.40777 22-23 05-06 0.75877 0.29047

(38)

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 07 -08 08 -09 09 -10 10 -11 11 -12 12 -13 13 -14 14 -15 15 -16 16 -17 17 -18 18 -19 19 -20 20 -21 21 -22 22 -23 23 -00 00 -01 01 -02 02 -03 03 -04 04 -05 05 -06 06 -07 waktu (WIB) gr a d ie n T BB daratan lautan pembentukan awan hujan konvektif

Gambar 18 Perbandingan nilai gradien TBB rata-rata tahunan antara wilayah daratan (106.5-108.5 °BT dan 6.5-7.5 °LS) dan lautan (108.5-110.5 °BT dan 5.5-6.5 °LS).

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Nilai gradien TBB di wilayah pulau Jawa secara umum memiliki kisaran dari -15 °C sampai 15 °C. Dominasi gradien positif dan negatif tidak terjadi secara bersamaan. Gradien negatif paling banyak dijumpai pada pukul 11.00-22.00 WIB, sedangkan dominasi gradien positif terjadi dari pukul 07.00-11.00 serta 19.00-06.00 WIB.

Secara spasial, umumnya hujan konvektif banyak terjadi di daratan pulau Jawa sebelah selatan dan barat, walaupun hujan hampir selalu berawal di daerah bagian utara Jawa. Pada waktu-waktu dimana kejadian hujan konvektif dominan, terlihat adanya pergerakan secara bertahap dari hujan konvektif tersebut. Pergerakan tersebut umumnya terjadi ke arah selatan-barat daya dan barat-barat daya.

Secara temporal tidak terlihat perbedaan yang besar antara hujan konvektif rata-rata tahunan, bulanan maupun musiman. Berdasarkan hasil rata-rata bulanan, terlihat bahwa setiap bulannya hujan konvektif umumnya terjadi mulai pada malam sampai dinihari serta pada pagi hari, dengan waktu kejadian dominan mulai pukul 18.00 sampai

pukul 00.00 WIB. Dari hasil rata-rata tahunan, hujan konvektif paling banyak terjadi mulai pukul 18.00-19.00 sampai 23.00-00.00 WIB. Hujan konvektif musiman di atas wilayah pulau Jawa paling banyak terjadi pada musim hujan (DJF) dengan waktu kejadian dominan dari pukul 19.00 WIB sampai tengah malam.

5.2 Saran

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Augustine JA. 1984. The diurnal variation of large-scale inferred rainfall over the tropical Pacific Ocean during 1979. Mon Wea Rev 112:1745-1751.

Conway ED. 1997. An Introduction to Satellite Image Interpretation. Baltimmore: The Johns Hopkins University Press.

Darmawati M. 2005. Studi curah hujan DKI Jakarta dan kaitannya dengan fenomena Madden Julian Oscillation (MJO): studi kasus bencana banjir besar di Jakarta tahun 2002 [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Dyahwathi N. 2006. Karakteristik fisik siklon tropik di Samudera Hindia bagian selatan dan pengaruhnya terhadap curah hujan di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Ichikawa H, Yasunari T. 2006. Time-space characteristics of diurnal rainfall over Borneo and surrounding oceans as observed by TRMM-PR. J Clim 19:1238-1260.

Kilwalaga I. 2003. Pengaruh perubahan ketebalan awan terhadap curah hujan di permukaan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Linsley RK, Kohler MA, Paulhus JLH. 1986. Hidrologi untuk Insinyur. Ed ke-3. Hermawan Y, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Hydrology for Engineer.

Mason BJ. 1975. Clouds, Rain and Rainmaking. Ed ke-2. Cambridge: Cambridge University Press.

Nitta T, Sekine S. 1994. Diurnal variation of convective activity over the tropical western Pacific. J Meteor Soc Japan 72:627-641.

Reed RJ, Jaffe KD. 1981. Diurnal variation of summer convection over West Africa and the tropical eastern Atlantic during 1974 and 1978. Mon Wea Rev 109:2527-2534.

Silva Dias PL, Bonatti JP, Kousky VE. 1987. Diurnally forced tropical tropospheric circulation over South America. Mon Wea Rev 115:1465–1478.

Sui CH, Lau KM, Takayabu YN, Short DA. 1997. Diurnal variations in tropical oceanic cumulus convection during TOGA COARE. J Atmos Sci 54:639-655.

(40)
(41)

Lampiran 1 Citra GMS-6 (MTSAT-1R) dengan format PGM (portable gray map)

Citra GMS-6 pada tanggal 1 Januari 2006 0000 UTC

(42)

Lampiran 2 Contoh data kalibrasi citra GMS-6 kanal infrared 1 (IR1)

IR1 pixval-temperature conversion table IR1 Temperature of 0 pixval: 329.941500 IR1 Temperature of 1 pixval: 329.625500 IR1 Temperature of 2 pixval: 329.309500 IR1 Temperature of 3 pixval: 328.993500 IR1 Temperature of 4 pixval: 328.677500 IR1 Temperature of 5 pixval: 328.361500 IR1 Temperature of 6 pixval: 328.045500 IR1 Temperature of 7 pixval: 327.729500 IR1 Temperature of 8 pixval: 327.410000 IR1 Temperature of 9 pixval: 327.090000 IR1 Temperature of 10 pixval: 326.770000 IR1 Temperature of 11 pixval: 326.450000 IR1 Temperature of 12 pixval: 326.130000 IR1 Temperature of 13 pixval: 325.810000 IR1 Temperature of 14 pixval: 325.490000 IR1 Temperature of 15 pixval: 325.167414 ...

...

(43)

Lampiran 3 Script program yang digunakan untuk melakukan kalibrasi dan pemotongan citra GMS-6

(Diperoleh di situs : http://lips.is.kochi-u.ac.jp/GMS-GrADS/GMS-GrADS.html)

/* pgm2bin --- IR1 pgm file to float-point binary */ /*

usage: pgm2bin {calibration.dat} {GMS.pgm} {GMS_out.grd}

Note that pgm comments must be stripped off first */

#include <stdio.h> #include <string.h> #include <malloc.h>

main(int argc, char **argv) { FILE *fp,*fout,*fctl; int width,height;

char buf[80], dummy[30],fname_ctl[30]; int x,y,a,i;

int *img,*ip,LATN,LATS,LONW,LONE; float cal[256],val;

/* first read the calibration table */

LATN=10; LATS=-15; LONW=90; LONE=150;

fp = fopen(argv[1],"r"); fout = fopen(argv[3],"w");

// for new data skip the following 5 lines

fgets(buf,80,fp); for (i=0;i<256;i++) {

fgets(buf,80,fp);

sscanf(buf,"%s %s %s %s %s %f",&dummy, &dummy,&dummy,&dummy,&dummy,&cal[i]);

}

fgets(buf,80,fp); for (i=0;i<256;i++) {

fgets(buf,80,fp);

sscanf(buf,"%s %s %s %s %s %f",&dummy, &dummy,&dummy,&dummy,&dummy,&cal[i]);

}

fclose(fp);

/* next read pgm data */

fp = fopen(argv[2],"r");

for (i=0;i<3;i++) fgets(buf,80,fp);

sscanf(buf,"%d %d",&width,&height);

img = (int *)malloc(width*height*sizeof(int));

fgets(buf,80,fp); ip = img;

for (y = 0; y<height; y++) {

for (x=0; x<width; x++) {

a = fgetc(fp); *ip++=a;

} }

fclose(fp);

for (y = height-(20+LATS)*20; y>height-(20+LATN)*20; y--) Lanjutan

{

for (x=(LONW-70)*20; x<(LONE-70)*20; x++) {

(44)

fwrite(&val,sizeof(float),1,fout); // printf("%f:",val);

}

// printf("\n");

}

free(img);

fname_ctl[0]='\0';

strncat(fname_ctl,argv[3],strlen(argv[3])-3); strcat(fname_ctl,"ctl\0");

printf("%s\n",fname_ctl); fctl = fopen(fname_ctl,"w");

fprintf(fctl,"dset ^%s\n",argv[3]); fprintf(fctl,"title GMS grid data\n"); fprintf(fctl,"undef -9999\n");

fprintf(fctl,"xdef %d linear %d 0.05\n" ,(LONE-LONW)*20,LONW);

fprintf(fctl,"ydef %d linear %d 0.05\n" ,(LATN-LATS)*20,LATS);

fprintf(fctl,"zdef 1 linear 1 1\n");

fprintf(fctl,"tdef 1 linear 00:00Z01JAN2000 60MN\n"); fprintf(fctl,"vars 1\n");

fprintf(fctl,"gms 0 99 land use\n"); fprintf(fctl,"endvars\n");

(45)

Lampiran 4 Contoh script program yang digunakan dalam pengolahan data

Script program yang digunakan untuk mengubah format citra menjadi binari (perintah: ./script 1)

#!/bin/bash #

gcc pgm2binjawa.c -o pgm2binjawa.x #

##jam 00

##rm -f MT1R06jan23.grd

./pgm2binjawa.x MT1R06010123CAL.dat MT1R06010123IR1.pgm MT1R06010123.grd MT1R06010123.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010223CAL.dat MT1R06010223IR1.pgm MT1R06010223.grd MT1R06010223.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010323CAL.dat MT1R06010323IR1.pgm MT1R06010323.grd MT1R06010323.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010423CAL.dat MT1R06010423IR1.pgm MT1R06010423.grd MT1R06010423.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010523CAL.dat MT1R06010523IR1.pgm MT1R06010523.grd MT1R06010523.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010723CAL.dat MT1R06010723IR1.pgm MT1R06010723.grd MT1R06010723.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010823CAL.dat MT1R06010823IR1.pgm MT1R06010823.grd MT1R06010823.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010923CAL.dat MT1R06010923IR1.pgm MT1R06010923.grd MT1R06010923.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011023CAL.dat MT1R06011023IR1.pgm MT1R06011023.grd MT1R06011023.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011123CAL.dat MT1R06011123IR1.pgm MT1R06011123.grd MT1R06011123.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011223CAL.dat MT1R06011223IR1.pgm MT1R06011223.grd MT1R06011223.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011323CAL.dat MT1R06011323IR1.pgm MT1R06011323.grd MT1R06011323.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011423CAL.dat MT1R06011423IR1.pgm MT1R06011423.grd MT1R06011423.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011523CAL.dat MT1R06011523IR1.pgm MT1R06011523.grd MT1R06011523.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011623CAL.dat MT1R06011623IR1.pgm MT1R06011623.grd MT1R06011623.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011723CAL.dat MT1R06011723IR1.pgm MT1R06011723.grd MT1R06011723.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011823CAL.dat MT1R06011823IR1.pgm MT1R06011823.grd MT1R06011823.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011923CAL.dat MT1R06011923IR1.pgm MT1R06011923.grd MT1R06011923.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012123CAL.dat MT1R06012123IR1.pgm MT1R06012123.grd MT1R06012123.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012223CAL.dat MT1R06012223IR1.pgm MT1R06012223.grd MT1R06012223.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012323CAL.dat MT1R06012323IR1.pgm MT1R06012323.grd MT1R06012323.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012423CAL.dat MT1R06012423IR1.pgm MT1R06012423.grd MT1R06012423.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012523CAL.dat MT1R06012523IR1.pgm MT1R06012523.grd MT1R06012523.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012623CAL.dat MT1R06012623IR1.pgm MT1R06012623.grd MT1R06012623.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012723CAL.dat MT1R06012723IR1.pgm MT1R06012723.grd MT1R06012723.ctl

(46)

Lanjutan

./pgm2binjawa.x MT1R06012923CAL.dat MT1R06012923IR1.pgm MT1R06012923.grd MT1R06012923.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06013023CAL.dat MT1R06013023IR1.pgm MT1R06013023.grd MT1R06013023.ctl

##jam 00 digabung

##edit *.ctl

##TDEF 1 linear 00Z01JAN2005 1dy ##ganti jadi

##TDEF 31 linear 00Z01JAN2005.1dy ##DSET MT1R06010123.grd

##ganti jadi

##DSET MT1R06sep23.grd

#################################

##jam 01

##rm -f MT1R06sep00.grd

./pgm2binjawa.x MT1R06010100CAL.dat MT1R06010100IR1.pgm MT1R06010100.grd MT1R06010100.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010200CAL.dat MT1R06010200IR1.pgm MT1R06010200.grd MT1R06010200.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010300CAL.dat MT1R06010300IR1.pgm MT1R06010300.grd MT1R06010300.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010400CAL.dat MT1R06010400IR1.pgm MT1R06010400.grd MT1R06010400.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010500CAL.dat MT1R06010500IR1.pgm MT1R06010500.grd MT1R06010500.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010700CAL.dat MT1R06010700IR1.pgm MT1R06010700.grd MT1R06010700.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010800CAL.dat MT1R06010800IR1.pgm MT1R06010800.grd MT1R06010800.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06010900CAL.dat MT1R06010900IR1.pgm MT1R06010900.grd MT1R06010900.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011000CAL.dat MT1R06011000IR1.pgm MT1R06011000.grd MT1R06011000.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011100CAL.dat MT1R06011100IR1.pgm MT1R06011100.grd MT1R06011100.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011200CAL.dat MT1R06011200IR1.pgm MT1R06011200.grd MT1R06011200.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011300CAL.dat MT1R06011300IR1.pgm MT1R06011300.grd MT1R06011300.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011400CAL.dat MT1R06011400IR1.pgm MT1R06011400.grd MT1R06011400.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011500CAL.dat MT1R06011500IR1.pgm MT1R06011500.grd MT1R06011500.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011600CAL.dat MT1R06011600IR1.pgm MT1R06011600.grd MT1R06011600.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011700CAL.dat MT1R06011700IR1.pgm MT1R06011700.grd MT1R06011700.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011800CAL.dat MT1R06011800IR1.pgm MT1R06011800.grd MT1R06011800.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06011900CAL.dat MT1R06011900IR1.pgm MT1R06011900.grd MT1R06011900.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012100CAL.dat MT1R06012100IR1.pgm MT1R06012100.grd MT1R06012100.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012200CAL.dat MT1R06012200IR1.pgm MT1R06012200.grd MT1R06012200.ctl

(47)

Lanjutan

./pgm2binjawa.x MT1R06012400CAL.dat MT1R06012400IR1.pgm MT1R06012400.grd MT1R06012400.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012500CAL.dat MT1R06012500IR1.pgm MT1R06012500.grd MT1R06012500.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012600CAL.dat MT1R06012600IR1.pgm MT1R06012600.grd MT1R06012600.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012700CAL.dat MT1R06012700IR1.pgm MT1R06012700.grd MT1R06012700.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012800CAL.dat MT1R06012800IR1.pgm MT1R06012800.grd MT1R06012800.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06012900CAL.dat MT1R06012900IR1.pgm MT1R06012900.grd MT1R06012900.ctl

./pgm2binjawa.x MT1R06013000CAL.dat MT1R06013000IR1.pgm MT1R06013000.grd MT1R06013000.ctl

##jam 01 digabung

##edit *.ctl

##TDEF 1 linear 00Z01JAN2005 1dy ##ganti jadi

##TDEF 31 linear 00Z01JAN2005.1dy ##DSET MT1R06010100.grd

##ganti jadi

##DSET MT1R06sep00.grd

#################################

script 2 untuk menbuka file di software GrADS dan mendapatkan nilai gradien antar masing-masing jam (perintah: gradsnc –b –l –c “script2_0023.scr”)

*gradsnc -b -l -c "script2_0023.scr" 'reinit'

'open MT1R06092923.ctl' 'open MT1R06093000.ctl' 'gmst=gms.2-gms.2'

'gmst=gmst+(gms.2-gms.1)' 'set gxout fwrite'

'set fwrite MT1R0609290023.grd' 'd gmst'

'!cp MT1R06092923.ctl MT1R0609290023.ctl' 'quit'

Script 3 untuk mencari nilai gradien rata-rata bulanan (perintah: gradsnc -b -l -c "script-rataan-0023.scr")

*gradsnc -b -l -c "script-rataan-0023.scr" 'reinit'

(48)

Lanjutan 'open MT1R0601120023.ctl' 'open MT1R0601130023.ctl' 'open MT1R0601140023.ctl' 'open MT1R0601150023.ctl' 'open MT1R0601160023.ctl' 'open MT1R0601170023.ctl' 'open MT1R0601180023.ctl' 'open MT1R0601190023.ctl' 'open MT1R0601200023.ctl' 'open MT1R0601210023.ctl' 'open MT1R0601220023.ctl' 'open MT1R0601230023.ctl' 'open MT1R0601240023.ctl' 'open MT1R0601250023.ctl' 'open MT1R0601260023.ctl' 'open MT1R0601270023.ctl' 'open MT1R0601280023.ctl' 'open MT1R0601290023.ctl' 'open MT1R0601300023.ctl' 'gmst=gms.2-gms.2' 'gmst=gmst+(gms.1+gms.2+gms.3+gms.4+gms.5+gms.6+gms.7+gms.8+gms.9+gms.10+ gms.11+gms.12+gms.13+gms.14+gms.15+gms.16+gms.17+gms.18+gms.19+gms.20+gms .21+gms.22+gms.23+gms.24+gms.25+gms.26+gms.27+gms.28+gms.29+gms.30)' 'set gxout fwrite'

(49)

Lanjutan

Script 4 untuk menggabungkan nilai gradien rata-rata bulanan setiap jam ke dalam satu file bulanan

#!/bin/bash

rm -f g-ave-jan.grd

(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)

Lampiran 9 Perbandingan nilai gradien TBB jam 18.00-00.00 WIB antara wilayah Jawa bagian barat, tengah dan timur

Tabel nilai gradien TBB jam 18.00-00.00 WIB untuk wilayah Jawa bagian barat

Nilai gradien TBB jam 1800-0000 WIB

grid koordinat 1800 -1900Y

1900 -2000Y

2000 -2100Y

2100 -2200Y

2200 -2300Y

2300 -0000Y

1 6.5-7 °LS

105.5-106 °BT -1.0001 2.0545 1.6910 2.5295 2.6093 1.9647

2 6-6.5 °LS

106-106.5 °BT 0.6526 4.5470 0.9768 -5.2902 -2.9757 2.4832

3 6.5-7 °LS

106-106.5 °BT -0.6148 3.1656 5.8091 4.5085 0.6942 1.5750

4 6-6.5 °LS

106.5-107 °BT 7.1363 4.5430 -7.2652 -3.9898 1.7468 4.9375

5 6.5-7 °LS

106.5-107 °BT -0.3819 4.1651 3.2437 3.1458 5.4942 4.5130

6 7-7.5 °LS

106.5-107 °BT -1.4548 2.8306 5.5240 2.2259 3.8237 2.1420

7 6-6.5 °LS

107-107.5 °BT 3.4592 0.8512 -0.4792 2.2724 3.7971 2.7315

8 6.5-7 °LS

107-107.5 °BT 2.4331 4.9776 6.0850 4.9651 4.1669 1.5319

9 7-7.5 °LS

107-107.5 °BT 2.1450 5.1183 4.1209 3.4591 4.5437 1.5936

10 6-6.5 °LS

107.5-108 °BT 0.4292 1.3628 0.5323 2.4182 1.6946 0.2845

11 6.5-7 °LS

107.5-108 °BT 3.4988 3.5832 4.7198 3.3256 2.6481 0.5185

12 7-7.5 °LS

107.5-108 °BT 1.0430 0.5606 3.4451 3.6392 3.6918 0.8895

13 6.5-7 °LS

108-108.5 °BT 1.3446 -0.0082 3.2607 2.4247 2.7556 5.1784

14 7-7.5 °LS

(59)

Lanjutan

Tabel nilai gradien TBB jam 18.00-00.00 WIB untuk wilayah Jawa bagian tengah

Nilai gradien TBB jam 1800-0000 WIB

Grid Koordinat 1800 -1900Y

1900 -2000Y

2000 -2100Y

2100 -2200Y

2200 -2300Y

2300 -0000Y

1 6.8-7.3 °LS

108.5-109 °BT -2.2755 2.3279 2.6378 4.7613 2.8759 0.6858

2 7.3-7.8 °LS

108.5-109 °BT -3.2144 -1.9607 -2.0898 1.6641 3.3020 1.1774

3 6.8-7.3 °LS

109-109.5 °BT -0.9194 -0.2236 2.3132 2.0859 1.8637 0.2905

4 7.3-7.8 °LS

109-109.5 °BT -0.6241 -0.5307 -2.3365 0.7989 3.4517 4.5687

5 6.9-7.4 °LS

109.5-110 °BT -1.8995 -2.2092 3.7217 1.4693 1.8106 0.3482

6 7.4-7.9 °LS

109.5-110 °BT 2.8946 -0.9679 2.2906 1.0962 2.9834 2.2322

7 7-7.5 °LS

110-110.5 °BT -1.8216 1.7826 4.0293 1.9678 -2.0336 2.6760

8 7.5-8 °LS

110-110.5 °BT -1.8716 -1.4106 1.7856 5.4430 1.7808 0.8064

9 6.6-7.1 °LS

110.5-111 °BT -3.7276 -1.1516 -1.9222 -0.2562 1.2805 1.9742

10 7.1-7.6 °LS

110.5-111 °BT -2.5488 1.6394 1.8401 1.5833 1.9857 4.8489

11 7.6-8.1 °LS

110.5-111 °BT -6.1985 -0.4667 2.7136 4.1639 3.7620 4.0194

12 6.7-7.2 °LS

111-111.5 °BT -2.4925 1.1389 2.2301 1.9040 0.9530 1.7574

13 7.2-7.7 °LS

111-111.5 °BT 0.0481 3.0696 4.3893 1.8660 1.4669 3.3350

14 7.7-8.2 °LS

(60)

Lanjutan

Tabel nilai gradien TBB jam 18.00-00.00 WIB untuk wilayah Jawa bagian timur

Nilai gradien TBB jam 1800-0000 WIB

Grid Koordinat 1800 -1900Y

1900 -2000Y

2000 -2100Y

2100 -2200Y

2200 -2300Y

2300 -0000Y

1 6.7-7.2 °LS

Gambar

Gambar 7  Pola hujan konvektif musiman pada 7 °LS berdasarkan grafik waktu vs longitude
Gambar 9  Pergerakan hujan konvektif  rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim hujan (DJF)
Gambar 11  Pergerakan hujan konvektif  rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim kemarau (JJA)
Gambar 12  Pergerakan hujan konvektif  rata-rata pada saat kejadian dominan sepanjang musim peralihan (SON)
+7

Referensi

Dokumen terkait

ABSTRAK.‘ Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (I) pengaruh price discount terhadap impulse buying konsumen Indomaret di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan (2) pengaruh

Menurut Bryan (2007:3) Sangat penting bahwa peranan kompetensi yang dirasakan dalam pendidikan jasmani tidak hanya dikenali, tetapi juga dipahami sehingga guru

Dengan adanya buku ini diharapkan dapat menjadi satu media informasi yang menarik bagi anak sehingga dapat mengenalkan dan menginspirasi mereka tentang olahraga bola

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Islamisasi masyarakat Tengger di Gubugklakah sangat dipengaruhi oleh bentuk episteme Islam.. Ini dimulai pada saat

Hubungan antara Asupan Energi dan Asupan Protein dengan Status Gizi pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Rawat Jalan di Rumah Sakit Paru Dr. Ario

Dari Buku Ensiklopedi pemikiran Yusril Ihza Mahendra yang paling menarik dari pemikiran yusril ialah mengenai beberapa prihal yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia manajemen sumber daya manusia khususnya bagi manajemen dan Jurusan Ekonomi

Pencarian daerah-daerah yang mempunyai potensi industri wisata berbasis web di Kota Bandar Lampung dapat dilakukan dengan memasukkan suatu kata kunci berupa produk industri wisata