• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Awan Cumuliform dengan Menggunakan Citra Satelit

Tanggal lulus:

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Identifikasi Awan Cumuliform dengan Menggunakan Citra Satelit

Satelit geostasioner merupakan satelit yang mengorbit bumi yang berada pada ketinggian sekitar 36.000 km di atas ekuator, searah dengan rotasi bumi. Area pengamatan satelit ini terbatas pada daerah yang tampak, dan informasi serta gambar yang dihasilkan berguna pada daerah antara 70 °LU dan 70 °LS. Satelit geostasioner ini memantau berbagai lokasi di permukaan bumi. Kegunaan utama dari satelit geostasioner adalah untuk mengamati bumi dari posisi tetap di atas ekuator dan untuk memonitor perubahan gejala meteorologi termasuk pergerakan awan taifun atau depresi pada interval waktu yang singkat. Satelit geostasioner yang digunakan untuk mengamati daerah Asia Pasifik adalah Geostationary Meteorological Satellite yang mengorbit pada bujur 140 °BT.

Geostationary Meteorological Satellite (GMS) merupakan satelit geostasioner buatan Jepang yang pertama kali diluncurkan pada tanggal 14 Juli 1977 dengan nama GMS-1.

Satelit GMS memiliki empat misi utama, yaitu:

a. pengamatan cuaca melalui VISSR b. pengumpulan data meteorologi c. meyebarkan data citra

d. pengamatan lingkungan luar angkasa (monitoring partikel matahari)

Satelit GMS dapat memberikan informasi dari hasil liputannya yaitu memantau permukaan bumi, liputan awan, badai tropik, ENSO, posisi dan gerak ITCZ dan menduga curah hujan. Satelit ini memiliki dua buah sensor yaitu sensor infra merah (infrared) dan sensor cahaya tampak (visible). Sensor infrared sensitif terhadap panjang gelombang 10.00–12.50 μm dan digunakan untuk mengukur emisi suhu awan. Sedangkan sensor visible yang sensitif terhadap panjang gelombang 0.55–0.75 μm digunakan untuk melihat besarnya albedo objek (Darmawati 2005).

Gambar 1 Sistem global satelit meteorologi. (Sumber:http://mscweb.kishou.go.jp/general/activi ties/gms/index.htm)

Identifikasi jenis awan melalui citra satelit umumnya dilakukan dengan mengamati sifat dari awan (tampilan awan dalam citra). Salah satu sifat awan yang digunakan untuk tujuan tersebut adalah kecerahan. Kecerahan awan dalam citra satelit merupakan indikator yang paling baik untuk mengindikasikan karakteristiknya. Secara umum, pada citra visibel (VIS), nilai kecerahan yang tinggi berasosiasi dengan awan tebal, yang cenderung untuk merefleksikan lebih banyak sinar matahari (Conway 1997). Karena itu, pada citra VIS awan tebal akan tampak putih atau abu-abu yang sangat terang. Sedangkan awan tipis akan tampak lebih gelap atau bahkan transparan.

Sementara itu pada citra infrared (IR), nilai kecerahan yang tinggi berasosiasi dengan temperatur terdingin puncak awan. Sehingga puncak awan yang sangat tinggi dan dingin akan tampak putih atau abu-abu yang sangat terang. Sedangkan awan rendah dan hangat akan tampak sebagai bayangan abu-abu gelap atau bahkan menyatu dengan permukaan tanah atau perairan.

Awan cumuliform merupakan jenis awan yang menghasilkan hujan konvektif. Awan ini terbentuk dalam kondisi atmosfer yang tidak stabil dimana udara naik dan turun yang menyebabkan awan mengalami perkembangan vertikal. Awan ini terdiri dari dua jenis awan yaitu stratocumulus dan cumulus serta cumulonimbus. Dalam citra satelit, stratocumulus sering tampak dalam helai, garis, atau pola jalan, khususnya di atas air pada musim dingin. Pada citra IR, awan ini akan tampak berwarna abu-abu sedang sementara dalam citra VIS dapat terlihat sangat cerah dan menggumpal. Awan cumulus rendah akan tampak dalam bentuk awan yang tidak teratur dalam ukuran yang beragam. Awan ini akan tampak menggumpal pada citra VIS karena bayangan pada puncak awan yang berbentuk tidak beraturan. Sedangkan pada citra IR awan cumulus memperlihatkan sifat abu-abu yang berkisar dari abu-abu gelap sampai sedang (Conway 1997).

Pada saat awan cumuliform terbentuk pada atmosfer yang tidak stabil, udara yang naik dengan cepat menyebabkan awan tumbuh sangat tinggi dan berkembang menjadi awan cumulus yang menjulang tinggi. Dalam kondisi ekstrim awan ini dapat berkembang membentuk anvil. Tipe awan seperti ini dikenal dengan cumulonimbus dan umumnya berasosiasi dengan angin kencang, hujan deras, dan tornado. Dalam citra satelit, awan ini tampak bundar atau segitiga tergantung

pada kekuatan angin level atas. Awan cumulonimbus akan tampak sangat cerah baik pada citra VIS maupun IR karena dicirikan oleh awan yang sangat tebal, perkembangan awan yang tinggi dan sangat dingin, serta puncak awan yang tinggi.

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian berlangsung sejak bulan Mei 2007 sampai dengan bulan Februari 2008. Pengambilan dan pengolahan data dilakukan di Lab. Meteorologi dan Kualitas Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB serta di UPT Hujan Buatan BPPT Jakarta.

3.2 Alat dan bahan

Alat yang diperlukan adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi Mandriva Linux 2007 dan Windows XP 2002. Software yang digunakan untuk pengolahan data adalah GrADS (The Grid Analysis and Display System) under Linux serta Microsoft Office.

Data yang digunakan adalah data citra satelit GMS-6 atau Multi-Functional Transport Satellite-1R (MTSAT-1R) kanal infrared 1 (IR1) pada tahun 2006 dengan resolusi temporal 1 jam serta file kalibrasinya (Lampiran 1-2). Format citra satelit tersebut adalah PGM (Portable Gray Map). Data citra satelit tersebut dapat pula diperoleh di situs

http://weather.is.kochi-u.ac.jp/archive-e.html.

3.3 Metode penelitian

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan semua data citra yang dibutuhkan kemudian dilanjutkan dengan melakukan kalibrasi nilai pixel-gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin. Selanjutnya dilakukan pemotongan citra sesuai dengan daerah yang akan dikaji yaitu Pulau Jawa. Kemudian data citra akan diubah menjadi file binari sehingga dapat dibaca oleh software GrADS. Dengan menggunakan GrADS akan ditentukan nilai gradien black body temperature (TBB) atau temperatur benda hitam, baik untuk rata-rata tahunan, bulanan maupun untuk 3 bulan (musim). Hasil dari gradien tersebut akan menunjukkan hujan konvektif yang terjadi di wilayah Pulau Jawa.

3.3.1 Kalibrasi nilai pixel-gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin, pemotongan citra dan pengubahan format menjadi binari

Kalibrasi nilai pixel gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin

Citra satelit GMS-6 dari kanal infrared 1 (IR1) tersimpan berupa file image dengan format PGM dan memiliki derajat resolusi 1800×1800 piksel. Setiap piksel memiliki nilai pixel-gray (nilai terang gelap) atau pixval dari 0 sampai 255. Nilai pixel gray ini perlu dikalibrasi menjadi nilai temperatur dalam Kelvin agar dapat diolah lebih lanjut. Setiap file data GMS-6 (citra PGM) disertai dengan file kalibrasi dalam format DAT.

Pemotongan citra

Citra satelit GMS-6 meliputi wilayah dengan koordinat lintang 70 °LU sampai 20 °LS dan bujur 70 °BT sampai 160 °BT dengan derajat resolusi 1/20 1800x1800 piksel. Data citra tersebut terlalu luas jika digunakan untuk menganalisis pulau Jawa sehingga perlu diperkecil sesuai dengan koordinat pulau Jawa yaitu mulai dari 5 sampai 9 °LS serta 105 sampai 115 °BT. Pemotongan citra dilakukan dengan memasukkan nilai koordinat tersebut dalam script program yang akan dijalankan di Mandriva Linux (Lampiran 3).

Pengubahan format citra PGM menjadi binari

Pengubahan format citra menjadi binari akan menghasilkan dua file yaitu file *.grd dan file *.ctl. File *.grd merupakan file binari dari data citra sedangkan file *.ctl adalah descriptor file yang memuat informasi mengenai citra satelit tersebut (Lampiran 4).

Ketiga langkah di atas dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan script bahasa pemrograman C yang dijalankan di OS Mandriva Linux 2007. Namun terlebih dahulu script tersebut harus dicompile menjadi file executable yang dapat dijalankan. Proses compile dilakukan dengan menuliskan perintah sebagai berikut:

gcc <nama_script> -o <nama_file_executable> Selanjutnya, file executable tersebut dijalankan untuk memperoleh output berupa file binari. Untuk menjalankannya digunakan perintah berikut:

pada kekuatan angin level atas. Awan cumulonimbus akan tampak sangat cerah baik pada citra VIS maupun IR karena dicirikan oleh awan yang sangat tebal, perkembangan awan yang tinggi dan sangat dingin, serta puncak awan yang tinggi.

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian berlangsung sejak bulan Mei 2007 sampai dengan bulan Februari 2008. Pengambilan dan pengolahan data dilakukan di Lab. Meteorologi dan Kualitas Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB serta di UPT Hujan Buatan BPPT Jakarta.

3.2 Alat dan bahan

Alat yang diperlukan adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi Mandriva Linux 2007 dan Windows XP 2002. Software yang digunakan untuk pengolahan data adalah GrADS (The Grid Analysis and Display System) under Linux serta Microsoft Office.

Data yang digunakan adalah data citra satelit GMS-6 atau Multi-Functional Transport Satellite-1R (MTSAT-1R) kanal infrared 1 (IR1) pada tahun 2006 dengan resolusi temporal 1 jam serta file kalibrasinya (Lampiran 1-2). Format citra satelit tersebut adalah PGM (Portable Gray Map). Data citra satelit tersebut dapat pula diperoleh di situs

http://weather.is.kochi-u.ac.jp/archive-e.html.

3.3 Metode penelitian

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan semua data citra yang dibutuhkan kemudian dilanjutkan dengan melakukan kalibrasi nilai pixel-gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin. Selanjutnya dilakukan pemotongan citra sesuai dengan daerah yang akan dikaji yaitu Pulau Jawa. Kemudian data citra akan diubah menjadi file binari sehingga dapat dibaca oleh software GrADS. Dengan menggunakan GrADS akan ditentukan nilai gradien black body temperature (TBB) atau temperatur benda hitam, baik untuk rata-rata tahunan, bulanan maupun untuk 3 bulan (musim). Hasil dari gradien tersebut akan menunjukkan hujan konvektif yang terjadi di wilayah Pulau Jawa.

3.3.1 Kalibrasi nilai pixel-gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin, pemotongan citra dan pengubahan format menjadi binari

Kalibrasi nilai pixel gray (nilai terang-gelap) dalam gambar ke dalam nilai temperatur Kelvin

Citra satelit GMS-6 dari kanal infrared 1 (IR1) tersimpan berupa file image dengan format PGM dan memiliki derajat resolusi 1800×1800 piksel. Setiap piksel memiliki nilai pixel-gray (nilai terang gelap) atau pixval dari 0 sampai 255. Nilai pixel gray ini perlu dikalibrasi menjadi nilai temperatur dalam Kelvin agar dapat diolah lebih lanjut. Setiap file data GMS-6 (citra PGM) disertai dengan file kalibrasi dalam format DAT.

Pemotongan citra

Citra satelit GMS-6 meliputi wilayah dengan koordinat lintang 70 °LU sampai 20 °LS dan bujur 70 °BT sampai 160 °BT dengan derajat resolusi 1/20 1800x1800 piksel. Data citra tersebut terlalu luas jika digunakan untuk menganalisis pulau Jawa sehingga perlu diperkecil sesuai dengan koordinat pulau Jawa yaitu mulai dari 5 sampai 9 °LS serta 105 sampai 115 °BT. Pemotongan citra dilakukan dengan memasukkan nilai koordinat tersebut dalam script program yang akan dijalankan di Mandriva Linux (Lampiran 3).

Pengubahan format citra PGM menjadi binari

Pengubahan format citra menjadi binari akan menghasilkan dua file yaitu file *.grd dan file *.ctl. File *.grd merupakan file binari dari data citra sedangkan file *.ctl adalah descriptor file yang memuat informasi mengenai citra satelit tersebut (Lampiran 4).

Ketiga langkah di atas dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan script bahasa pemrograman C yang dijalankan di OS Mandriva Linux 2007. Namun terlebih dahulu script tersebut harus dicompile menjadi file executable yang dapat dijalankan. Proses compile dilakukan dengan menuliskan perintah sebagai berikut:

gcc <nama_script> -o <nama_file_executable> Selanjutnya, file executable tersebut dijalankan untuk memperoleh output berupa file binari. Untuk menjalankannya digunakan perintah berikut:

./<namafile_executable> <namafile_kalibrasi> <namafile_pgm> <namafile_grd>

<namafile_ctl>

3.3.2 Penentuan nilai gradien TBB

Gradien TBB adalah perbedaan antara nilai TBB suatu jam tertentu dengan nilai TBB jam sebelumnya. Nilai gradien inilah yang akan menunjukkan kejadian hujan konvektif. Nilai gradien positif menunjukkan terjadinya perubahan ketinggian/ketebalan awan dari awan yang tebal menjadi lebih tipis. Ini berarti pada waktu tersebut terjadi hujan. Nilai gradien yang menunjukkan kejadian hujan konvektif adalah yang lebih besar dari 6 °C. Sedangkan nilai gradien negatif mengartikan hal sebaliknya yaitu terjadinya pertumbuhan/penebalan awan. Nilai gradiennya yaitu lebih kecil dari -6 °C.

Gradien TBB rata-rata bulanan

Penentuan gradien TBB rata-rata bulanan dilakukan dengan menjumlahkan seluruh nilai gradien TBB harian untuk masing-masing jam dan kemudian membaginya dengan jumlah hari dalam satu bulan.

Kemudian seluruh nilai gradien rata-rata tersebut digabungkan ke dalam satu file sehingga untuk masing-masing bulan hanya memiliki satu file hasil. Saat file tersebut dibuka di software GrADS, maka akan tampak nilai gradien TBB selama 24 jam.

Selanjutnya, untuk mengetahui pola hujan konvektif selama 24 jam pada suatu lintang tertentu, akan ditentukan satu nilai lintang yaitu 7 oLS. Output yang dihasilkan akan memperlihatkan grafik gradien TBB terhadap waktu dan longitude.

Gradien TBB tahunan

Gradien TBB tahunan merupakan nilai rata-rata tahunan dari seluruh nilai gradien harian. Untuk mendapatkannya digunakan hasil gradien rata-rata bulanan yang dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah bulan (12 bulan). Nilai gradien TBB rata-rata tahunan tersebut akan memperlihatkan pola hujan konvektif selama satu tahun di atas pulau Jawa.

Gradien TBB musiman (tiga bulanan)

Penentuan gradien TBB musiman tidak jauh berbeda dengan penentuan gradien TBB tahunan. Gradien TBB musiman menggunakan nilai gradien tiga bulan yang berdekatan. Nilai gradien tersebut akan dijumlahkan kemudian dibagi sesuai dengan jumlah bulannya, yaitu

tiga bulan. Hasil dari gradien TBB musiman yaitu gradien TBB untuk bulan Maret-Mei (MAM), Juni-Agustus (JJA), September-November (SON), dan Desember-Februari (DJF).

Hasil tersebut akan digunakan untuk menganalisis apakah terdapat perbedaan pola hujan konvektif pada musim hujan dan musim kemarau serta pada musim-musim peralihan.

3.3.3 Asumsi

Nilai gradien yang berada pada kisaran -6 sampai 6 °C tidak dianalisis karena pada kisaran tersebut dianggap hanya terjadi sedikit perubahan ketebalan awan.

Dalam menentukan kejadian hujan (hujan konvektif) hanya didasarkan pada nilai perbedaan temperatur permukaan yang ditangkap oleh citra satelit (TBB) tanpa memperhatikan besarnya curah hujan yang terjadi di lapangan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan nilai gradien TBB (temperatur benda hitam)

Dari hasil pengolahan citra GMS-6, diperoleh bahwa secara umum nilai gradien TBB tahun 2006 memiliki kisaran antara -15 °C sampai 15 °C. Analisis nilai gradien ini dibagi dua, yaitu untuk gradien yang bernilai positif dan gradien yang bernilai negatif.

Nilai gradien positif umumnya dijumpai pada pagi hari mulai pukul 07.00 WIB sampai sekitar pukul 11.00 WIB, kemudian dijumpai pula pada pukul 19.00 malam sampai pukul 06.00 WIB. Nilai positif ini lebih banyak dijumpai di atas wilayah perairan di sekitar Jawa. Hanya pada pukul 19.00 sampai 00.00 WIB dijumpai adanya nilai positif di atas daratan. Gradien positif tidak dijumpai mengelompok di suatu daerah tetapi menyebar tidak terlalu rapat di seluruh wilayah pulau Jawa. Namun, bila diperhatikan secara lebih detail, sebagian besar lebih banyak dijumpai di daerah yang dekat dengan perairan.

Sedangkan nilai gradien negatif mulai dijumpai pukul 11.00 WIB yang terjadi di perairan sebelah utara Jawa. Nilai negatif dijumpai sampai sekitar pukul 22.00 WIB dimana yang paling banyak terdapat pada pukul 14.00-17.00 WIB serta berkurang sampai pukul 22.00 WIB. Nilai negatif ini cenderung lebih banyak terjadi di daratan. Pada waktu dominan, nilai negatif hampir terjadi di seluruh daratan pulau Jawa.

./<namafile_executable> <namafile_kalibrasi> <namafile_pgm> <namafile_grd>

<namafile_ctl>

3.3.2 Penentuan nilai gradien TBB

Gradien TBB adalah perbedaan antara nilai TBB suatu jam tertentu dengan nilai TBB jam sebelumnya. Nilai gradien inilah yang akan menunjukkan kejadian hujan konvektif. Nilai gradien positif menunjukkan terjadinya perubahan ketinggian/ketebalan awan dari awan yang tebal menjadi lebih tipis. Ini berarti pada waktu tersebut terjadi hujan. Nilai gradien yang menunjukkan kejadian hujan konvektif adalah yang lebih besar dari 6 °C. Sedangkan nilai gradien negatif mengartikan hal sebaliknya yaitu terjadinya pertumbuhan/penebalan awan. Nilai gradiennya yaitu lebih kecil dari -6 °C.

Gradien TBB rata-rata bulanan

Penentuan gradien TBB rata-rata bulanan dilakukan dengan menjumlahkan seluruh nilai gradien TBB harian untuk masing-masing jam dan kemudian membaginya dengan jumlah hari dalam satu bulan.

Kemudian seluruh nilai gradien rata-rata tersebut digabungkan ke dalam satu file sehingga untuk masing-masing bulan hanya memiliki satu file hasil. Saat file tersebut dibuka di software GrADS, maka akan tampak nilai gradien TBB selama 24 jam.

Selanjutnya, untuk mengetahui pola hujan konvektif selama 24 jam pada suatu lintang tertentu, akan ditentukan satu nilai lintang yaitu 7 oLS. Output yang dihasilkan akan memperlihatkan grafik gradien TBB terhadap waktu dan longitude.

Gradien TBB tahunan

Gradien TBB tahunan merupakan nilai rata-rata tahunan dari seluruh nilai gradien harian. Untuk mendapatkannya digunakan hasil gradien rata-rata bulanan yang dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah bulan (12 bulan). Nilai gradien TBB rata-rata tahunan tersebut akan memperlihatkan pola hujan konvektif selama satu tahun di atas pulau Jawa.

Gradien TBB musiman (tiga bulanan)

Penentuan gradien TBB musiman tidak jauh berbeda dengan penentuan gradien TBB tahunan. Gradien TBB musiman menggunakan nilai gradien tiga bulan yang berdekatan. Nilai gradien tersebut akan dijumlahkan kemudian dibagi sesuai dengan jumlah bulannya, yaitu

tiga bulan. Hasil dari gradien TBB musiman yaitu gradien TBB untuk bulan Maret-Mei (MAM), Juni-Agustus (JJA), September-November (SON), dan Desember-Februari (DJF).

Hasil tersebut akan digunakan untuk menganalisis apakah terdapat perbedaan pola hujan konvektif pada musim hujan dan musim kemarau serta pada musim-musim peralihan.

3.3.3 Asumsi

Nilai gradien yang berada pada kisaran -6 sampai 6 °C tidak dianalisis karena pada kisaran tersebut dianggap hanya terjadi sedikit perubahan ketebalan awan.

Dalam menentukan kejadian hujan (hujan konvektif) hanya didasarkan pada nilai perbedaan temperatur permukaan yang ditangkap oleh citra satelit (TBB) tanpa memperhatikan besarnya curah hujan yang terjadi di lapangan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan nilai gradien TBB (temperatur benda hitam)

Dari hasil pengolahan citra GMS-6, diperoleh bahwa secara umum nilai gradien TBB tahun 2006 memiliki kisaran antara -15 °C sampai 15 °C. Analisis nilai gradien ini dibagi dua, yaitu untuk gradien yang bernilai positif dan gradien yang bernilai negatif.

Nilai gradien positif umumnya dijumpai pada pagi hari mulai pukul 07.00 WIB sampai sekitar pukul 11.00 WIB, kemudian dijumpai pula pada pukul 19.00 malam sampai pukul 06.00 WIB. Nilai positif ini lebih banyak dijumpai di atas wilayah perairan di sekitar Jawa. Hanya pada pukul 19.00 sampai 00.00 WIB dijumpai adanya nilai positif di atas daratan. Gradien positif tidak dijumpai mengelompok di suatu daerah tetapi menyebar tidak terlalu rapat di seluruh wilayah pulau Jawa. Namun, bila diperhatikan secara lebih detail, sebagian besar lebih banyak dijumpai di daerah yang dekat dengan perairan.

Sedangkan nilai gradien negatif mulai dijumpai pukul 11.00 WIB yang terjadi di perairan sebelah utara Jawa. Nilai negatif dijumpai sampai sekitar pukul 22.00 WIB dimana yang paling banyak terdapat pada pukul 14.00-17.00 WIB serta berkurang sampai pukul 22.00 WIB. Nilai negatif ini cenderung lebih banyak terjadi di daratan. Pada waktu dominan, nilai negatif hampir terjadi di seluruh daratan pulau Jawa.

Secara umum dapat dikatakan bahwa gradien TBB yang bernilai positif terjadi pada waktu malam sampai tengah malam dan dini hari sampai pagi hari. Dan sebaliknya pada siang sampai sore hari menjelang malam yang terjadi adalah gradien TBB yang bernilai negatif.

4.2 Pola hujan konvektif rata-rata tahunan

Berdasarkan nilai gradien TBB rata-rata tahunan yang diperoleh, secara temporal pola hujan konvektif dapat dibagi dua yaitu siang hari dan malam hari. Pola hujan konvektif siang hari dimulai dari gradien pukul 06.00-07.00 WIB sampai pukul 17.00-18.00 WIB, sedangkan untuk malam hari dimulai dari gradien pukul 1800-1900 WIB sampai pukul 05.00-06.00 WIB.

Pada pagi hari mulai pukul 06.00-07.00 sampai 10.00-11.00 WIB pola gradien TBB cenderung bernilai positif. Hal ini mengindikasikan bahwa pada waktu tersebut terjadi hujan konvektif terutama di daerah pesisir sebelah utara. Hujan tersebut berawal di atas lautan di sebelah utara Jawa kemudian bergerak ke arah barat daya menuju daratan.

Pada pukul 11.00-12.00 WIB mulai dijumpai gradien yang bernilai negatif, yang mengindikasikan terjadinya perubahan pada ketebalan awan, dari awan yang tipis menjadi lebih tebal. Semakin negatif nilai gradien tersebut maka perubahan ketebalan awan semakin besar, yang artinya semakin besar pertumbuhan awan yang terjadi dalam selang waktu tersebut.

Gambar 2. Hujan konvektif rata-rata tahunan

Dari hasil rata-rata tahunan, hujan konvektif paling banyak terjadi mulai pukul 18.00-19.00 sampai 23.00-00.00 WIB (Gambar 2). Pada pukul 18.00-19.00 WIB, sebagian besar hujan konvektif terjadi di bagian barat pulau Jawa dengan kisaran gradien TBB sampai 15 oC. Mulai pukul 19.00-20.00 WIB, hujan konvektif terjadi di tengah

pulau dan mulai menyebar sampai pukul 21.00-22.00 WIB. Pada pukul 22.00-23.00 WIB dan 23.00-00.00 WIB hujan konvektif yang terjadi sudah tidak terlalu menyebar di seluruh pulau tetapi hanya terjadi di sebagian wilayah Jawa bagian barat dan tengah. Secara umum hujan konvektif banyak terjadi di pulau Jawa bagian barat dan tengah.

Untuk nilai rata-rata tahunan secara