• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Sistiserkosis Taeniasis pada Babi hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Sistiserkosis Taeniasis pada Babi hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN

DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK

DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG

HERI YULIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi Hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

HERI YULIANTO. Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi hutan dan Babi peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN dan MIRNAWATI SUDARWANTO.

Sistiserkosis/taeniasis merupakan penyakit parasit zoonotik yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat, pertanian, dan perekonomian akan tetapi kurang mendapat perhatian (neglected disease) di berbagai negara berkembang. Indonesia merupakan negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies taenia yakni Taenia solium, Taenia saginata dan Taenia asiatica. Sistiserkosis pada babi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis dan gangguan kesehatan, sedangkan infeksi Cystisercus cellulosae pada manusia akan menimbulkan gangguan kesehatan yang fatal. Hal ini disebabkan karena selain menginfiltrasi otot dan jaringan penunjang, Cysticercus cellulosae juga dapat berada di organ tubuh penting seperti otak, mata, jantung, dan hati.

Lampung merupakan salah satu provinsi yang pernah dilaporkan terjadi kasus sistiserkosis dan taeniasis. Masyarakat non-muslim di Propinsi Lampung terutama di Kabupaten Way Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari peternakan babi maupun hasil perburuan babi hutan yang banyak mereka lakukan. Tingginya konsumsi daging babi memungkinkan penyakit ini terus terjadi.

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi hutan dan babi peliharaan, serta taeniasis pada peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung yang mengonsumsi daging babi. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperoleh informasi dan pola kejadian sistiserkosis/taeniasis pada manusia, babi peliharaan dan babi hutan di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung serta sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan pengawasan terhadap lalulintas babi dan produknya terutama di Badan Karantina Pertanian.

Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Penelitian ini dilakukan melalui 5 tahapan. Tahap pertama, permohonan ethical approval dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dilakukan sebelum penelitian dimulai. Tahap kedua, pengambilan serum darah babi peliharaan dan babi hutan, pengambilan sampel feses manusia, pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner. Tahap ketiga pengujian laboratorium terhadap serum darah dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi antigen dan pemeriksaan feses dengan metode Kato-katz. Tahap keempat pemeriksaan postmortem terhadap babi yang seropositif dan tahap kelima merupakan analisis data.

Hasil penelitian menunjukkan seroprevalensi sistiserkosis pada babi peliharaan adalah sebesar 1.78% dan babi hutan sebesar 1% serta taeniasis pada peternak sebesar 1.67%. Identifikasi sistiserkus yang ditemukan pada pemeriksaan postmortem babi peliharaan menunjukkan Cysticercus cellulosae. Umur babi merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan.

(5)

beternak dan pola hidup masyarakat Kabupaten Way Kanan sudah cukup baik untuk mengurangi kejadian penyakit parasit ini.

(6)

SUMMARY

HERI YULIANTO. The Study of Cysticercosis/Taeniasis in Wild Boar, Porcine, and Farmer in Way Kanan District, Lampung Province. Under the supervision of FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN dan MIRNAWATI SUDARWANTO.

Cysticercosis/taeniasis is a parasitic zoonotic disease that causes public health, agriculture and economic loss problems even though it is a neglected disease in developing countries. Indonesia is an endemic area of cysticercosis of three taenia species such as Taenia solium, Taenia saginata and Taenia asiatica. Porcine is an intermediate host of taenia solium and cysticercus cellulosae infection source to human cysticercosis. Porcine cysticercosis usually does not show clinical signs and health disorder. Meanwhile cysticercus cellulosae in human infiltrates the muscles, tissues, viscera organs (heart and liver), brain and eyes.

Cysticercosis cases in Lampung province occur sporadically. People who are not moslem in Lampung Province especially at Way Kanan District consume pork came from pig farms and haunted wild boar. Balinese society and catholic society in Way Kanan District have pig farm. Most of the pig farms are traditional scales which consist of local and ras porcines. The study was conducted to determine cysticercosis in porcine and boar in Way Kanan District and the risk factors of cysticercosis cases. This study would give information about cysticercosis and taeniasis patterns in Way Kanan District, Lampung Province. It would also give consideration to develop policy and control on products.

The study used cross sectional design. Survey of this study was conducted through 5 stages. The first stage was ethical approval from Medical faculty of University of Indonesia. The second stage was porcine blood serum collection and interview using questionnaires. The third stage was porcine blood sera laboratory test using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA) and fecal examination using Kato-katz. The fourth stage was postmortem examination towards seropositive porcine. The last stage was statistical analysis.

Seroprevalence of this study were 1.78% in porcine, 1% in wild boar and 1.67% taeniasis in human. Cysticercosis identification which found in post mortem examination of wild boars was Cysticercus cellulosae. The age of porcine was identified as risk factor of cysticercosis cases. Transmission of cysticercosis/ taeniasis was supposed from the contamination from the environment and transmigration of people from Bali Island. Farmers’ lifestyle and good farm maintenance management in Way Kanan district could decrease cysticercosis cases.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN

DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK

DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Drh Retno D. Soejoedono, MS Drh Risa Tiuria, MSi, PhD

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr med vet Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS Dr Drh Kisman A. Rasyid, MM

(11)

Judul Disertasi : Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung

Nama Mahasiswa : Heri Yulianto Nomor Pokok : B261100051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD Ketua

Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi Anggota

Prof Dr med vet Drh Mirnawati B Sudarwanto Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi

Dekan Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi Hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung.

Penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi serta Prof Dr med vet Drh. Mirnawati B. Sudarwanto sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, saran dan masukan mulai dari perencanaan sampai selesainya penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Drh Agus Setiyono, MSc, PhD, APVet., Prof Dr Drh Retno D. Soejoedono, MS dan Drh Risa Tiuria, MS, PhD sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup serta Prof Dr med vet Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Dr Drh Kisman A. Rasyid, MM sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana atas saran, masukan, kritik, serta koreksinya dalam menyempurnakan disertasi. Ucapan terimakasih juga kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Dekan Dekan Pascasarjana, serta Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor yang kita cintai ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pertanian, melalui Badan Sumber Daya Manusia yang telah memberikan kesempatan serta beasiswa studi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Sekretaris Badan Karantina Pertanian, Kepala Pusat Karantina Hewan, Kepala Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian beserta seluruh staf yang telah membantu dan mendukung studi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Way Kanan serta Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Kabupaten Way Kanan. Ucapan terimakasih yang sangat besar kami ucapkan kepada Drh Deddy Kristianto selaku Kepala UPT Pos Kesehatan Hewan dan Inseminasi Buatan Kabupaten Waykanan beserta staf yang sangat membantu dalam pengambilan sampel. Ucapan terimaksih juga penulis sampaikan kepada Wayan Suardana dan Budi (alm) yang telah membantu dalam pengumpulan sampel babi hutan.

Ucapan terimakasih kepada Prof Pierre Dorny (Institute of Tropical Medicine) yang telah membantu menyediakan antibodi monoklonal untuk pengujian ELISA serta kepada Dr Drh Sri Murtini, MSi yang membantu dalam pengujian laboratorium di laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UMT) Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf administrasi Pak Agus Haryanto dan laboran Pak Sulaeman di Laboratorium Helmintologi yang telah banyak membantu selama penelitian.

(14)

anak-anak tercinta, keluarga besar Jogja dan Lampung atas doa dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi.

Dalam penulisan disertasi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan disertasi ini. Harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan kita semua. Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT berkenan melimpahkan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua.

(15)

DAFTAR ISI

2KAJIAN SISTISERKOSIS PADA BABI PELIHARAAN DI KABUPATEN

WAY KANAN 5

3 SEROPREVALENSI POSITIF SISTISERKOSIS PADA BABI HUTAN

DI KABUPATEN WAY KANAN 15

4 KAJIAN TAENIASIS PADA PETERNAK DI KABUPATEN WAY

(16)

DAFTAR TABEL

1. Daerah asal dan jumlah sampel babi peliharaan di Kabupaten Way

Kanan 7

2. Karakteristik peternak babi di Kabupaten Way Kanan 10 3. Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan 11 4. Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan

berdasarkan jenis kelamin 12

5. Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Way Kanan 13 6. Daerah asal dan jumlah sampel babi hutan di Kabupaten Way Kanan 17 7. Seroprevalensi sistiserkosis babi hutan di Kabupaten Way Kanan 19 8. Karakteristik responden yang diambil sampel feses di Kabupaten Way

Kanan 27

9. Hasil pemeriksaan feses manusia di Kabupaten Way Kanan 30

DAFTAR GAMBAR

1. Cara beternak babi di Kabupaten Way Kanan 11

2. Sistiserkus yang ditemukan pada otot intercostae pada babi peliharaan 13 3. Sebaran sistiserkosis pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan 14 4. Sebaran sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan 20

5. Prosentase tempat buang air besar peternak 28

6. Kebiasaan makan daging dan jenis daging babi yang sering dimakan 28 7. Riwayat pemberian obat cacing untuk peternak dan keluarganya 29 8. Pemeriksaan mikroskopis telur Taenia yang berasal dari Kecamatan

Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan (perbesaran 400x) 31

9. Sebaran taeniasis di Kabupaten Way Kanan 32

DAFTAR LAMPIRAN

1. Publikasi jurnal internasional 46

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sistiserkosis/taeniasis merupakan parasit zoonotik yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat, pertanian dan perekonomian namun kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat sehingga digolongkan sebagai penyakit terabaikan (neglected disease) (Purba et al. 2003; Basem et al. 2010; Flisser 2011). Parasit zoonosis ini memiliki distribusi global di seluruh dunia dimana wilayah Amerika Latin, Cina, Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika merupakan daerah endemik utama (Torgerson dan Macpherson 2011). WHO memperkirakan sekitar 50 juta orang terutama dari negara-negara berkembang terinfeksi taeniasis dan 50 000 orang diantaranya meninggal setiap tahun (Joshi et al. 2007). Selain menyebabkan dampak kesehatan masyarakat, penyakit ini juga menyebabkan dampak ekonomi yang cukup besar (Carabin et al. 2006). Dampak ekonomi akibat sistiserkosis di Meksiko diperkirakan sekitar US $ 43 juta, di Taiwan US $ 18 juta, dan di Kepulauan Cheju Korea US $ 13 juta (Rajshekhar et al. 2003; Sreedevi 2013).

Sistiserkosis dan taeniasis melibatkan dua proses penularan berbeda yang membutuhkan manusia dan hewan untuk melangsungkan siklus hidupnya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh infeksi cacing dewasa dari tiga spesies Taenia yakni Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica yang menginfeksi babi (babi peliharaan dan babi hutan) dan sapi sebagai induk semang antara. Dari ketiga spesies tersebut, T. asiatica merupakan spesies yang terakhir diketahui (Ito et al. 2005; Ito et al. 2006; Eom et al. 2009). Tahap infektif dari T. solium (Cysticercus cellulosae) berkembang di babi, sementara T. saginata (Cysticercus bovis) berkembang di kerbau dan sapi (Joshi et al. 2007). Taeniasis solium merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari T. solium dewasa pada manusia sebagai induk semang definitifnya (definitive host) setelah menelan larva (sistiserkus) dalam daging babi yang terkontaminasi (Conlan et al. 2011). Babi dan manusia yang menelan telur T. solium akan menderita sistiserkosis yang disebabkan oleh infiltrasi C. cellulosae pada jaringan tubuh induk semang antara (intermediate host).

(18)

2

proglotid mengandung 50-60 × 103 telur yang fertil. Telur inilah yang bisa menjadi sumber pencemar lingkungan sehingga akan berisiko terjadinya penularan. Babi dapat tertular sewaktu memakan makanan yang terkontaminasi telur fertil tersebut (Garcia et al. 2003; Subahar et al. 2005).

Gejala klinis sistiserkosis pada manusia sering ditemukan pada jaringan subkutan, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut. Rasa nyeri pada perut, distensi, mual, dan diare kadang muncul pada penderita sistiserkosis (Gandahusada et al. 2000; Garcia et al. 2003). Di otak, sistiserkus dapat menyebabkan terjadinya neurosistiserkosis, epilepsi, kejang sampai terjadinya kematian (Conlan et al. 2011). Kasus okular sistiserkosis pernah dilaporkan terjadi di Bali pada gadis berumur sembilan tahun. Gejala yang muncul yakni kemerahan, nyeri pada mata kiri dan ditemukan sistiserkus pada ruang anterior mata (Swastika et al. 2011). Sistiserkosis di luar sistem saraf pusat tidak menyebabkan gejala. Sistiserkosis subkutan dapat menimbulkan rasa sakit, berbentuk nodul kecil yang dapat bergerak, dan sering terlihat di lengan atau dada. Setelah beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun, nodul akan membengkak dan meradang kemudian secara bertahap akan menghilang (Gandahusada et al. 2000; Garcia et al. 2003).

Parasit zoonotik ini dapat menyebabkan epilepsi dan kematian pada manusia, mengurangi nilai jual babi dan membuat daging babi tidak aman untuk dikonsumsi. Kondisi babi yang berkeliaran bebas, sanitasi buruk, standar higienis yang rendah, pengawasan daging yang minim, dan faktor kebiasaan mengonsumsi daging mentah atau kurang matang memicu terjadinya penyakit ini. Meskipun secara teoritis mudah untuk mengontrol dan menghilangkan sistiserkosis akan tetapi karena kurangnya informasi dan kesadaran, penyakit ini masih diabaikan di negara-negara endemis (Rajshekhar et al. 2003; Willingham dan Engels 2006). Menurut Rajshekhar et al. (2003) sistiserkosis merupakan masalah utama di wilayah Asia yang menyerang beberapa juta orang, tidak hanya menyebabkan morbiditas neurologis tetapi juga kesulitan ekonomi pada populasi masyarakat miskin sehingga perlu ditangani secara serius.

Indonesia merupakan negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies Taenia (Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007; Eom et al. 2009). Taenia solium dilaporkan terjadi di Bali dan Papua, T. saginata di Bali, dan T. asiatica di Sumatera Utara (Margono et al. 2001; Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007; Wandra et al. 2013). Daerah endemis dilaporkan terjadi di Provinsi Papua, Bali, dan Sumatera Utara. Penyakit ini dilaporkan terjadi di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara dan Jakarta yang terjadi secara sporadis (Suroso et al. 2006).

Kejadian sistiserkosis di Indonesia pertama kali terjadi pada seorang wanita cina (Tionghoa) dari Kalimantan Timur dan Jakarta dengan kasus sistiserkosis serebral (Bonne 1940; Hausman et al. 1950; Lie et al. 1955, diacu dalam Margono 2001). Kejadian taeniasis T. saginata dilaporkan terjadi di Jawa Timur pada tahun 1867 (Oemijati 1977, diacu dalam Wandra et al. 2007), sedangkan menurut Simanjuntak dan Widarso (2004) kasus sistiserkosis cellulosae pada manusia pernah dilaporkan terjadi di Bali pada tahun 1963 serta sistiserkosis pada babi terjadi tahun 1952 di rumah potong hewan di Bali dan Sumatera Utara.

(19)

3 lokal dan ras) serta berasal dari perburuan babi hutan yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Peternakan babi yang ada di Kabupaten Way Kanan dilakukan oleh warga Bali yang beragama Hindu serta warga yang beragama Kristen/Katolik. Sebagian besar peternakan tersebut merupakan peternakan skala kecil.

Babi hutan banyak ditemukan di wilayah Lampung termasuk di Kabupaten Way Kanan. Babi hutan sering dijumpai di hutan, ladang, perkebunan kopi, perkebunan karet, dan perkebunan sawit serta tidak jarang masuk ke perkampungan penduduk. Hal ini memungkinkan terjadinya kontak dengan manusia sehingga memiliki risiko terpapar telur dari parasit zoonotik ini. Perburuan babi hutan banyak dilakukan oleh masyarakat karena hewan ini dianggap sebagai hama yang merusak tanaman pertanian. Babi hutan hasil buruan biasanya dikonsumsi sendiri atau dijual. Daging babi banyak dikonsumsi oleh masyarakat non-muslim di Kabupaten Way Kanan. Konsumsi babi peliharaan maupun babi hutan memungkinkan risiko terpaparnya sistiserkosis. Penelitian sistiserkosis pada babi hutan sangat sedikit dilaporkan dan di Indonesia penelitian ini belum pernah dilakukan.

Lampung merupakan provinsi yang pernah dilaporkan terjadi kasus sistiserkosis pada babi dan taeniasis pada manusia. Penelitian yang komprehensif terhadap kejadian sistiserkosis yang meliputi inang antara babi peliharaan dan babi hutan, serta inang definitif manusia sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia khususnya di Kabupaten Way Kanan. Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang kejadian sistiserkosis/taeniasis yang dilakukan di Kabupaten Way Kanan belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang lebih komprehensif kejadian sistiserkosis pada peternak, babi peliharaan, dan babi hutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan dan babi hutan, serta taeniasis pada peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung yang mengonsumsi daging babi. Tujuan khusus adalah a) untuk mengkaji penularan sistiserkosis pada babi yang dipelihara masyarakat; b) mengkaji penularan sistiserkosis pada babi hutan yang diburu; c) mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan dan babi hutan; d) mengidentifikasi faktor risiko kejadian taeniasis pada peternak dan masyarakat yang mengonsumsi daging babi; e) memetakan daerah yang memiliki risiko penularan sistiserkosis/taeniasis di Kabupaten Way Kanan; f) untuk menganalisis hubungan kejadian sistiserkosis/taeniasis pada manusia, babi peliharaan, dan babi hutan dengan pola pemeliharaan babi, perburuan babi hutan, dan pola hidup peternak.

Manfaat Penelitian

(20)

4

(21)

5

2 KAJIAN SISTISERKOSIS PADA BABI PELIHARAAN DI

KABUPATEN WAY KANAN

Abstract

The study was aimed to determine seroprevalence and risk factors of cysticercosis effect in porcine. It was conducted in seven subdistricts of Way Kanan District from april 2012 to March 2013. The study used cross sectional design. Survey of this study was conducted through 4 stages. The first stage was porcine blood serum collection and interview of respondent using questionnaires. The second stage was porcine blood sera laboratory test using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). The third stage was postmortem examination towards seropositive porcine. The last stage was statistical analysis. A hundred sixty nine (169) samples of porcines were tested serologically. The results of seropositives cysticercosis were found in 3 samples (1.78%) such as 2 samples (4.55%) from Negeri Agung Subdistrict and 1 sample (9.1%) from Pakuan Ratu Subdistrict. The seropositive result came from female porcines. The age of porcine was significantly identified as risk factor of cysticercosis (OR = 1.083; 95% CI = 1.023 – 1.142). The older porcines has higher risk of cysticercosis than the younger ones. There are some ways to reduce diseases transmision risk such as implementation of public awareness on animal health, improvement of animal health service, monitoring pork distribution and imlementation of field surveillance.

Keywords: porcine cysticercosis, seroprevelence, Way Kanan District

Abstrak

(22)

6

tentang kesehatan hewan, peningkatan pelayanan kesehatan hewan, pengawasan distribusi daging babi, dan survei yang berkelanjutan.

Kata kunci: Kabupaten Way Kanan, seroprevalensi, sistiserkosis pada babi

Pendahuluan

Sistiserkosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang dengan populasi babi dan tingkat konsumsi daging yang tinggi serta rendahnya tingkat pendidikan, sarana dan prasarana kebersihan, serta kesehatan (Dorny et al. 2003). Taenia solium sistiserkosis dilaporkan terjadi di Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Republik Rakyat Cina (RRC), Philipina, dan Indonesia (Margono et al. 2001; Erhart et al. 2002; Ito et al. 2003; Rajshekar et al. 2003; Willingham dan Engels 2006; Dorny et al. 2004). Indonesia merupakan salah satu negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies Taenia yakni T. solium, T. saginata, dan T. asiatica (Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007; Eom et al. 2009). Penyakit ini telah dilaporkan terjadi di Provinsi Papua, Bali, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara, Jakarta, Kalimantan Timur, dan Jawa Timur. Papua merupakan daerah yang memiliki tingkat kejadian sistiserkosis/taeniasis paling tinggi (Suroso et al. 2006).

Lampung merupakan provinsi yang pada tahun 1981 pernah dilaporkan terjadi sistiserkosis (12.3%) (Simanjuntak dan Widarso 2004). Kejadian sistiserkosis di Lampung terjadi secara sporadik. Masyarakat non-muslim di Provinsi Lampung terutama di Kabupaten Way Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari peternakan babi serta berasal dari perburuan babi hutan. Peternakan babi yang ada di Kabupaten Way Kanan dilakukan oleh warga Bali yang beragama Hindu serta warga yang beragama Kristen/Katolik. Sebagian besar peternakan tersebut merupakan peternakan yang bersifat semi-intensif, terdiri dari jenis babi lokal dan babi ras. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan dan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis.

Bahan dan Metode

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Permohonan ethical approval dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dilakukan sebelum penelitian dimulai. Survei dalam penelitian ini dilakukan dengan 4 tahap. Tahap pertama, pengambilan serum darah babi peliharaan, pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner. Tahap kedua adalah pengujian laboratorium serum darah babi dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tahap ketiga meliputi pemeriksaan postmortem terhadap babi yang seropositif, dan tahap keempat merupakan analisis data.

(23)

7 populasi babi dan peternak yang ada di Kabupaten Way Kanan dijumlah kemudian dihitung menggunakan rumus n = 4PQ/L2 dengan asumsi tingkat kepercayaan 95 %, galat (L) 5%, prevalensi (P) sebesar 12%, dan Q = 1-P besaran sampel babi peliharaan yang diambil sebesar 169 sampel.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 sampai dengan bulan Februari 2013 di tujuh kecamatan di Kabupaten Way Kanan yang terdapat ternak babi yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Bumi Agung, Buay Bahuga, Blambangan Umpu, Negeri Agung dan Kecamatan Pakuan Ratu. Pengujian serum dilakukan di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember 2012 sampai dengan bulan Maret 2013.

Pengambilan Serum Babi

Serum babi peliharaan sebanyak 169 yang berasal dari peternakan rakyat di tujuh kecamatan di Way Kanan dijadikan sampel dalam penelitian ini (Tabel 1). Untuk serum kontrol positif diperoleh dari serum babi yang dalam pemeriksaan postmortem ditemukan sistiserkus pada dagingnya. Serum kontrol positif berasal dari Kabupaten Jayawijaya, sedangkan serum kontrol negatif berasal peternakan babi dari Jawa Tengah yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan Assa et al. (2012).

Tabel 1 Daerah asal dan jumlah sampel babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan No. Kecamatan asal Jumlah Jenis kelamin Jenis

Jantan Betina Landrace Campuran Lokal

1 Banjit 82 34 48 28 16 38

Darah diambil dari vena jugularis babi peliharaan dan didiamkan sampai terbentuk serum. Serum yang terbentuk kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam microtube dan disimpan pada suhu -20 °C sebelum dilakukan analisis serologis. Serum kemudian dibawa ke Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor untuk selanjutnya dilakukan pengujian laboratorium menggunakan ELISA.

Pengujian Serologis

(24)

8

monoklonal anti T. saginata (B158C11A10) (5 μl/ml buffer karbonat/bikarbonat pH 9.8) kecuali dua sumuran untuk substrate control (SC), dan kemudian dimasukkan ke dalam shaker incubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Cawan (plate) lalu dicuci sebanyak satu kali dan diblok dengan 150 μl blocking buffer. Selanjutnya tanpa melakukan pencucian, setiap sumuran diberi serum sebanyak 100 μl, (kecuali sumuran SC dan conjugate control) dengan 100 μl blocking buffer lalu dimasukkan dalam shaker incubator selama 15 menit pada suhu 37 °C. Sebanyak 100 μl serum sampel yang telah dilakukan pre-treatment dimasukkan ke dalam masing-masing sumuran sesuai dengan pola. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit. Tiap-tiap sumuran dalam cawan kemudian dicuci sebanyak lima kali.

Sebanyak 100 μl antibodi pendeteksi B60H8A4 (23 μg/ml larutan blocking buffer) dimasukkan ke dalam setiap sumuran (kecuali SC dan CC) dan diberi 100 μl blocking buffer. Setelah pendeteksian, diberi konjugat 100 μl peroksidase streptavidin (1/10000 dalam blocking buffer), kecuali 2 sumuran SC yang diberi blocking buffer sebanyak 100 μl. Cawan dimasukkan kembali dalam shaker incubator selama 15 menit 37 °C (Dorny et al. 2004a). Langkah selanjutnya, setiap sumuran diisi dengan orthophenylenediamine (OPD) sebanyak 100 μl. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 μl H2SO4(4N) dalam setiap sumuran, lalu dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 492 dan 655 nm.

Penghitungan rataan nilai absorbansi dari masing-masing serum contoh dilakukan setelah diperoleh data nilai absorbansi dari hasil pembacaan. Penentuan nilai cut off didapatkan dari hasil perhitungan nilai t-student dari kontrol negatif. Status serum contoh ditentukan berdasarkan rasio dari rata-rata nilai absorbansi optical density (OD) terhadap nilai cut off. Serum dinyatakan positif bila nilai rasio tersebut lebih dari 1 dan dikatakan negatif bila nilai rasio kurang dari 1. Serum positif menandakan serum tersebut mengandung antigen C. cellulosae. Serum negatif menandakan bahwa serum tersebut tidak mengandung antigen C. cellulosae (ITM 2009).

Pemeriksaan Postmortem pada Babi Peliharaan

Pemeriksaan postmortem dilakukan terhadap babi yang menunjukkan seropositif. Nekropsi dilakukan untuk melihat organ yang diduga terinfeksi sistiserkus. Pembuatan preparat dilakukan dengan mengeluarkan skolek dari metasestoda dengan cara menekan metasestoda menggunakan skalpel. Skolek dipotong, kemudian ditipiskan dengan mengiris secara berhati-hati di bawah mikroskop untuk memperoleh sediaan setipis mungkin, selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan menggunakan carmine. Potongan tersebut kemudian dijernihkan menggunakan minyak cengkeh sampai terlihat transparan. Preparat direndam didalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol 50%, 70%, 80%, dan terakhir alkohol absolut. Potongan skolek ditekan dengan menggunakan kaca penjepit dan diletakan di atas gelas objek lalu direkatkan dan ditutup dengan gelas penutup. Identifikasi spesies dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop.

Pengambilan Data Kuesioner

(25)

9 kuesioner ditujukan kepada para peternak babi yang diambil sampel serumnya. Kuesioner yang ditanyakan meliputi karakteristik peternak, manajemen peternakan babi, dan pola hidup peternak.

Penentuan Titik Koordinat

Penentuan titik koordinat dilakukan pada kandang babi peliharaan yang diambil sampel serum. Penentuan titik koordinat ini menggunakan global positioning system (GPS).

Analisis Data

Data hasil pengujian ELISA, wawancara dengan kuesioner dan pengamatan di lapangan dianalisa secara deskriptif. Faktor risiko kejadian sistiserkosis dianalisis dengan penentuan odds ratio (OR) dan regresi logistik (Le 2003).

Hasil dan Pembahasan

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Way Kanan dengan Ibukota Blambangan Umpu merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Terletak di sebelah selatan Provinsi Sumatra Selatan, dengan letak geografis 104.17°-105.04° Bujur Timur dan 4.12°- 4.58° Lintang Selatan. Kabupaten Way Kanan memiliki luas 3 921.63 km2 terbagi ke dalam 14 kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tulang Bawang dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat (BPS 2013).

Karakteristik Peternak Babi

Kuesioner yang diberikan kepada para peternak menunjukkan data bahwa peternak yang ada di Kabupaten Way Kanan lebih banyak dikelola oleh laki-laki (95.2%) dibandingkan dengan perempuan (4.8%). Pengelolaan peternakan sebagian besar dikelola sendiri 88.1% dan hanya sebanyak 11.9% yang dikelola oleh orang lain atau pegawai. Para peternak sebagian besar berumur di atas 50 tahun (38.1%). Tingkat pendidikan para peternak paling banyak berpendidikan SLTA (42.9%). Beternak babi di Kabuaten Way Kanan merupakan pekerjaan sampingan dimana pekerjaan utama bertani (78.6%). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Manajemen Peternakan

Pengamatan dilapangan dan hasil kuesioner yang diberikan kepada peternak menunjukan data bahwa babi yang dipelihara di Kabupaten Way Kanan ada tiga jenis babi yakni babi landrace, babi lokal, dan babi campuran antara landrace dan lokal. Cara pemeliharaan babi pada umumnya dilakukan dengan cara dikandangkan (Gambar 1). Pengamatan di lapangan diperoleh data bahwa babi yang dipelihara dalam kandang, sebagian besar sejak lahir sampai umur sapih dibiarkan lepas.

(26)

10

13.0%. Lingkungan sekitar kandang secara umum bersih (57%). Peternak rutin mencuci kandang dua kali sehari pada pagi dan sore hari (66.9%). Ketersediaan air bersih untuk peternakan menunjukkan data sebesar 88.2% tersedia air bersih dan sebesar 11.9% kebutuhan air di peternakan berasal dari sungai dan parit. Penelusuran terhadap peran serta pemerintah dalam penyuluhan peternakan dan kesehatan babi responden menjawab bahwa pemerintah tidak pernah melakukan penyuluhan. Data kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar babi peliharaan dijual pada umur antara 3 – 6 bulan. Babi biasanya dijual dan dikonsumsi untuk keperluan sendiri pada waktu ada acara keagamaan maupun acara keluarga. Babi dijual di sekitar kampung sampai keluar daerah seperti Jakarta, Sumatera Selatan, bahkan sampai ke wilayah Sumatera Utara.

Tabel 2 Karakteristik peternak babi di Kabupaten Way Kanan

No Keterangan Jumlah %

(27)

11

Gambar 1 Cara beternak babi di Kabupaten Way Kanan

Seroprevalensi Sistiserkosis

Hasil pengujian ELISA terhadap 169 serum babi yang berasal dari 7 kecamatan di Kabupaten Way Kanan diperoleh seropositif sebanyak 3 sampel (1.78%). Sampel babi seropositif berasal dari Kecamatan Negeri Agung sebanyak 2 sampel dan 1 sampel berasal dari Kecamatan Pakuan Ratu (Tabel 3). Seroprevalensi sebesar 1.78% mengindikasikan bahwa Kabupaten Way Kanan bukan merupakan daerah endemis sistiserkosis . Menurut Noble dan Noble (1989), daerah yang tidak endemis memiliki prevalensi kurang dari 2%. Seroprevalensi sistiserkosis pada babi di Lampung pada tahun 1981 adalah 12.3% (Simanjuntak dan Widarso 2004), bila dibandingkan dengan penelitian ini terlihat adanya penurunan seroprevalensi. Kejadian sistiserkosis yang disebakan oleh T. solium di Lampung terjadi secara sporadik (Wandra et al. 2013).

Tabel 3 Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan No. Kecamatan asal Jumlah

Pola peternakan dan sanitasi yang baik akan menurunkan risiko kejadian sistiserkosis pada babi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suroso et al. (2006) yang menemukan bahwa peningkatan sanitasi dan sistem perkandangan babi akan menyebabkan terjadinya penurunan sistiserkosis/taeniasis secara signifikan. Tersedianya air bersih di sekitar peternakan berpengaruh terhadap kebersihan kandang. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang penting dalam sistem sanitasi perkandangan (Assa 2013). Masyarakat di Kabupaten Way Kanan secara umum sudah menggunakan jamban untuk keperluan buang air besar. Sebuah studi di Kamerun menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan kejadian sistiserkosis pada babi

(28)

12

dibesarkan di rumah tangga yang memiliki jamban atau tidak tersedia jamban (Pouedet et al. 2002). Penelitian yang dilakukan Secka et al. (2010) di Gambia dan Senegal juga menunjukkan bahwa ketersediaan jamban bukan sebagai faktor risiko kejadian sistiserkosis.

Seroprevalensi Sistiserkosis Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin babi yang diambil sampel serumnya dalam penelitian terdiri dari 95 sampel babi jantan dan 104 sampel babi betina (Tabel 4). Ketiga sampel yang menunjukkan seropositif dalam penelitian ini berjenis kelamin betina.

Tabel 4 Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan berdasarkan jenis kelamin

No. Jenis kelamin Jumlah serum Kejadian sistiserkosis

Positif % Negatif %

1 Jantan 78 0 0 78 100

2 Betina 91 3 3.3 88 96.7

Total 169 3 1.78 166 98.22

Dalam penelitian ini babi yang seropositif semuanya berjenis kelamin betina tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p<0.05). Hal ini sesuai dengan penelitian Garcia et al. (2003) yang menemukan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian seroprevalensi sistiserkosis pada babi. Penelitian dengan hasil yang sama juga dilakukan Ngwing et al. (2012) di Kamerun. Hasil penelitian yang dilakukan Morales et al. (2002) terhadap babi betina bunting dan jantan kastrasi menunjukkan kejadian sistiserkosis meningkat dibandingkan dengan keadaan tidak bunting dan tidak dikastrasi. Hal ini terjadi akibat terdapat perbedaan kadar hormon androgen dan progesteron. Babi jantan kastrasi mengalami perubahan pada hormon androgennya bila dibandingkan dengan jantan normal. Kadar progesteron pada betina bunting lebih tinggi dibandingkan dengan betina tidak bunting. Menurut Escobedo et al. (2010), progesteron memberikan korelasi positif terhadap proses evaginasi skolek pada jaringan tubuh dan motilitas onkosfer. Semakin tinggi kadar progesteron maka laju evaginasi skolek dan motilitas sistiserkus semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya.

Pemeriksaan Postmortem pada Babi Peliharaan

(29)

13 dibandingkan dengan babi kedua.

Gambar 2 Sistiserkus yang ditemukan pada otot intercostae pada babi peliharaan Sistiserkus pada penelitian ini ditemukan pada otot intercostae (musculus intercostales) berwarna keputih-putihan, berbentuk gelembung transparan berisi cairan berukuran sekitar 1 cm. Menurut Flisser et al. (2006), sistiserkus T. solium berbentuk gelembung keputihan semi transparan dengan ukuran diameter sekitar 1-2 cm. Sistiserkus dapat ditemukan pada otot intercostae, otot leher, otot bahu, otot paha, lidah, hati, paru-paru, ginjal, jantung, dan otak (Garcia et al. 2003; Juyal et al. 2008; Allepuz et al. 2009).

Tabel 5 Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Way Kanan Faktor risiko Positif Negatif Koefisien P OR

Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada penelitian ini adalah umur babi (OR=1.083; 95% CI=1.023-1.142). Semakin tua umur babi peluang terinfeksi sistiserkosis sebesar 1.083 kali dibandingkan dengan babi yang berumur lebih muda. Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten

(30)

14

Way Kanan dapat dilihat pada Tabel 5. Pouedet et al. (2002) di Kamerun menunjukkan bahwa babi dewasa secara signifikan memiliki seroprevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan babi muda. Penelitian dengan hasil yang sama dilakukan Pondja et al. (2007) di Mozambique, Sarti et al. (1992), dan Copado et al. (2004) di Meksiko. Babi yang lebih tua mungkin memiliki lebih banyak kesempatan mendapatkan paparan telur T. solium daripada yang lebih muda, metasestoda mempunyai waktu yang lebih lama untuk berkembang dan memicu produksi antibodi. Babi muda kemungkinan masih dilindungi oleh antibodi maternal pada bulan pertama mereka lahir dan menjadi rentan setelah menurunnya antibodi tersebut (Gavidia et al. 2013).

Pemetaan Sistiserkosis pada Babi Peliharaan

Titik koordinat diambil dari sebaran peternak babi yang diambil sampel serumnya (Gambar 3). Pengambilan sampel dilakukan di 7 kecamatan yang ada di Kabupaten Way Kanan yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Blambangan Umpu, Negeri Agung, Pakuan Ratu, Buay Bahuga, dan Kecamatan Bumi Agung. Peternakan babi di Kabupaten Way Kanan sebagian besar berada di perkampungan Bali yang ada di kecamatan-kecamatan tersebut.

Gambar 3 Sebaran sistiserkosis pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan

Simpulan

(31)

15

3 SEROPREVALENSI POSITIF SISTISERKOSIS PADA BABI

HUTAN DI KABUPATEN WAY KANAN

*

Abstract

Wild boar is an intermediate host of Taenia solium besides pig which is a source of Cysticercus cellulosae infection in human. Cysticercosis in wild boar has not been reported in Indonesia. This study was aimed to determine wild boar’s cysticercosis in Way Kanan District. A hundred sera were collected from 41 male wild boars and 59 female wid boars. Eighty seven wild boars came from Banjit Subdistrict, while 13 of wild boars came from Blambangan Umpu Subdistrict in Way Kanan District. The sera were tested serologically to determine antigen of parasite cycles. fThe test used monoclonal antibody-base sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (Moab-ELISA). There was a sero positive reaction of cysticercosis (1%), i.e., female wild boar from Banjit Subdistrict. Meat inspection should be conducted as an critical preventive measures of cysticercosis transmission to human.

Keyword: cysticercosis, Way Kanan District, wild boar

Abstrak

Babi hutan merupakan inang antara T. solium selain babi domestik yang merupakan sumber infeksi C. cellulosae bagi manusia. Kejadian sistiserkosis pada babi hutan sampai saat ini belum pernah dilaporkan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan, Lampung. Sebanyak 100 ekor babi hutan yang terdiri dari 41 ekor jantan dan 59 ekor betina berhasil ditangkap dan diambil serumnya. Babi hutan tersebut berasal dari Kecamatan Banjit sebanyak 87 ekor dan 13 ekor berasal dari Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan. Sampel serum diuji untuk meihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Hasil seropositif terhadap sistiserkosis ditemukan pada 1 sampel (1%) yang berasal dari Kecamatan Banjit dengan jenis kelamin betina. Perlu adanya pengawasan (meat inspection) terhadap peredaran daging babi hutan untuk mencegah penularan ke manusia.

Kata kunci: babi hutan, sistiserkosis, Kabupaten Way Kanan

*

(32)

16

Pendahuluan

Sistiserkosis merupakan parasit zoonotik yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat, pertanian dan perekonomian akan tetapi kurang mendapat perhatian (neglected disease) di berbagai negara berkembang (Flisser, 2011). Parasit zoonosis ini memiliki distribusi di seluruh dunia. Wilayah endemik penyakit ini meliputi Amerika Latin, Cina, Asia Tenggara, dan Sub-Sahara Afrika (Torgerson dan Macpherson 2011). Sekitar 50 juta orang menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terutama dari negara-negara berkembang terinfeksi taeniasis dan 50 000 orang, di antaranya meninggal setiap tahun (Joshi et al. 2007). Selain menyebabkan dampak kesehatan masyarakat, penyakit ini juga menyebabkan dampak ekonomi cukup besar. Pengafkiran daging babi di Cina akibat sistiserkosis setiap tahun diperkirakan sekitar 200 ribu ton dengan nilai lebih dari US$ 120 juta (Ito et al. 2003).

Indonesia merupakan salah satu negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies taenia yakni T. solium, T. saginata, dan T. asiatica (Eom et al. 2009). Penyakit ini dilaporkan terjadi di Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jakarta, Lampung, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur. Papua merupakan daerah yang paling tinggi tingkat kejadian sistiserkosis/taeniasis (Suroso et al. 2006). Pola hidup dengan kebiasaan yang kurang higienis serta fasilitas sanitasi yang kurang memadai memicu tingginya kasus penyakit ini (Wandra et al. 2006). Sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan yang sangat penting, terutama di Bali dan Papua (Dharmawan et al. 2012).

Babi hutan merupakan inang antara T. solium selain babi domestik yang merupakan sumber infeksi C. cellulosae bagi manusia yang menyebabkan terjadinya sistiserkosis (Pawlowski 2002). Sistiserkosis pada babi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis dan gangguan kesehatan, sedangkan infeksi C. cellulosae pada manusia menimbulkan gangguan kesehatan yang fatal. Hal ini disebabkan karena selain menginfiltrasi otot dan jaringan penunjang, C. cellulosae juga dapat berada di organ tubuh penting seperti otak, mata, jantung, dan hati (Boa et al. 2002; Garcia et al. 2003). Sistiserkus di otak menyebabkan neurosistiserkosis, epilepsi, kejang sampai terjadinya kematian (Conlan et al. 2011).

Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan antemortem dan postmortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan dengan palpasi lidah, melihat gejala klinis, dan uji serologis (Sreedevi 2013). Uji serologi yang dikembangkan antara lain complement fixation test, hemagglutination, radioimmunoassay, enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dipstick-ELISA, latex agglutination, dan immunoblot techniques (Dorny et al. 2003).

(33)

17 wilayah Way Kanan sangat tinggi. Masyarakat Suku Bali di Kabupaten Way Kanan memiliki kebiasaan mengonsumsi daging babi yang berasal dari babi peliharaan dan babi hutan.

Berdasarkan uraian di atas, mengonsumsi daging babi hutan memiliki risiko tertular penyakit zoonosis ini. Kajian terhadap kejadian sistiserkosis pada babi hutan di dunia sangat sedikit, penelitian sistiserkosis pada babi hutan di Indonesia belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan bertujuan mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan.

Bahan dan Metode Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Survei dalam penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama, permohonan ethical approval dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Tahap kedua pengambilan serum darah babi hutan, pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner. Tahap ketiga adalah pengujian laboratorium serum darah babi dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan tahap terakhir analisis data.

Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 sampai dengan bulan Februari 2013 di dua kecamatan di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung yaitu Kecamatan Banjit dan Blambangan Umpu. Pengujian serum dilakukan di Uni Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pengambilan Serum Babi

Serum babi hutan yang berhasil dikumpulkan sebanyak 100 sampel (Tabel 6). Untuk serum kontrol positif diperoleh dari serum babi yang dalam pemeriksaan postmortem ditemukan sistiserkus pada dagingnya. Serum kontrol positif berasal dari Kabupaten Jayawijaya yang didapatkan dari penelitian sebelumnya (Assa et al. 2012), sedangkan serum kontrol negatif diambil dari babi yang dibeli dari peternakan komersial di Jawa Tengah.

Tabel 6 Daerah asal dan jumlah sampel babi hutan di Kabupaten Way Kanan No. Kecamatan asal Jumlah Jenis kelamin

Jantan Betina

1 Banjit 87 41 46

2 Blambangan Umpu 13 3 10

Total 100 44 56

(34)

18

Deteksi Antigen Metasestoda dengan ELISA

Deteksi antigen metasestoda dalam serum dilakukan dengan metode sandwich ELISA mengacu pada Dorny et al. (2004a). Metode ini menggunakan antibodi monoklonal sebagai bahan pendeteksi keberadaan antigen C. cellulosae dalam serum yang didonasikan oleh Prof Dorny dari Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgia. Tingkat spesifitas dari metode ini adalah 98.7% dan tingkat sensitifitasnya adalah 92.3% (Van Kerckhoven et al. 1998; Dorny et al. 2000). Serum yang diperoleh dari lapangan terlebih dahulu melalui pretreatment sebelum dilakukan uji. Sebanyak 75 μl serum sampel dan 75 μl trichloroacetic acid (TCA 5% dalam akuabides) dicampurkan dalam tabung mikro. Campuran tersebut dihomogenisasi dengan vortex dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi, campuran tersebut kembali dihomogenkan lalu disentrifus selama sembilan menit dengan kecepatan 12 000 g pada suhu 4 °C. Sebanyak 75 μl supernatan diambil menggunakan mikropipet dan dicampur dengan 75 μl neutralization buffer. Campuran tersebut kemudian disimpan dalam suhu 4 °C sampai akan digunakan.

Setelah tahap pretreatment dilakukan, setiap sumuran (well) cawan ELISA dilapisi 100 μl penangkap antibodi monoklonal anti T. saginata (B158C11A10) (5 μl/ml buffer karbonat/bikarbonat pH 9.8) kecuali dua sumur untuk substrate control (SC), dan kemudian dimasukkan dalam shaker incubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Cawan lalu dicuci sebanyak satu kali dan diblok dengan 150 μl blocking buffer. Selanjutnya tanpa melakukan pencucian, setiap sumuran diberi serum sebanyak 100 μl, (kecuali sumur SC dan conjugate control) dengan 100 μl blocking buffer lalu dimasukkan dalam shaker incubator selama 15 menit pada suhu 37 °C.

Pengisian sampel dilakukan dengan memasukkan serum contoh yang telah dilakukan pretreatment sebanyak 100 μl ke dalam masing-masing sumuran sesuai dengan pola. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit. Tiap-tiap sumuran dalam cawan kemudian dicuci sebanyak lima kali.

Antibodi pendeteksi (B60H8A4) (23 μg/ml larutan blocking buffer) sebanyak 100 μl dimasukkan ke dalam setiap sumuran (kecuali SC dan CC) dan diberi 100 μl blocking buffer. Setelah pendeteksian diberi konjugat 100 μl peroksidase streptavidin (1/10000 dalam blocking buffer) kecuali dua sumur SC yang diberi blocking buffer sebanyak 100 μl. Cawan dimasukkan kembali dalam shaker incubator selama 15 menit 37 °C (Dorny et al. 2004a). Langkah selanjutnya, setiap sumuran diisi dengan orthophenylenediamine (OPD) sebanyak 100 μl. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 μl H2SO4(4N) dalam setiap sumuran, lalu dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 492 dan 655 nm.

(35)

19

Pengambilan dan Analisis Data

Data kuesioner diberikan kepada pemburu babi hutan dan juga masyarakat yang melakukan perburuan babi hutan. Kuesioner yang ditanyakan kepada pemburu meliputi karakteristik pemburu, manajemen berburu, dan pola hidup pemburu. Data hasil pengujian ELISA, wawancara dengan kuesioner dan pengamatan di lapangan dianalisis secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Way Kanan terletak di 104.17°-105.04° Bujur Timur dan 4.12°- 4.58° Lintang Selatan dan tak satupun perbatasannya dibatasi langsung dengan laut. Kabupaten Way Kanan memiliki luas 3 921.63 km2 terbagi ke dalam 14 kecamatan. Posisi geografis kabupaten ini sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten OKU Timur, Provinsi Sumatera Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tulang Bawang dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat (BPS, 2013).

Jumlah penduduk Kabupaten Way Kanan pada tahun 2013 sebesar 415 078 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 214 672 jiwa dan perempuan 200 406 jiwa. Distribusi penduduk disetiap wilayah kampung/kelurahan dan kecamatan di Kabupaten Way Kanan juga bervariasi, dengan tingkat kepadatan paling tinggi berada di Kecamatan Baradatu, yaitu 236 jiwa/km2 (BPS 2013).

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Hutan

Hasil pengujian ELISA terhadap 100 serum babi hutan yang berasal dari dua kecamatan di Kabupaten Way Kanan diperoleh seropositif sebanyak satu sampel (1%). Sampel babi seropositif berasal dari Kecamatan Banjit (Gambar 4) dengan jenis kelamin betina (Tabel 7).

Tabel 7 Seroprevalensi sistiserkosis babi hutan di Kabupaten Way Kanan

(36)

20

penelitian ini terlihat adanya penurunan seroprevalensi. Kejadian sistiserkosis yang disebabkan oleh T. solium di Lampung terjadi secara sporadik (Wandra et al. 2013). Penurunan ini mungkin disebabkan karena semakin baiknya cara beternak babi dan semakin baiknya sanitasi serta pola hidup peternak. Tersedianya sumber air bersih dan jamban keluarga di sebagian besar peternak memungkinkan rendahnya infeksi parasit ini. Kejadian sistiserkosis pada babi hutan di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan.

Gambar 4 Sebaran sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan Uji serologi dalam penelitian ini menggunakan ELISA untuk mendeteksi antigen metasestoda yang bersirkulasi (circulating antigen). Prinsip kerja dari teknik ELISA adalah mendeteksi adanya ikatan spesifik antara antibodi dan antigen atau sebaliknya. Pada hewan yang terinfeksi kandungan antigen dan antibodi di dalam serum bervariasi tergantung intensitas infeksi. Infeksi yang berat pada babi, antigen dan antibodi dapat dideteksi sekurang-kurangnya 29 hari dan sampai 200 hari pascainfeksi (pi), sedangkan pada babi yang terinfeksi ringan antigen dan antibodi pertama kali dapat diamati antara 61-97 hari pi (Sciuto et al. 1998). Antigen ELISA memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan postmortem sehingga mampu mendeteksi sistiserkosis pada tingkat infeksi rendah (Dorny et al. 2000).

Antibodi monoklonal yang dipakai dalam penelitian ini dikembangkan oleh Institute of Tropical Medicine Antwerpen, Belgia merupakan antibodi monoklonal anti-C. bovis. Antibodi monoklonal ini bersifat genus spesifik sehingga dapat mendeteksi antigen dari sistiserkus dari spesies Taenia lain misalnya C. cellulosae, C. tenuicollis, dan metasestoda dari T. asiatica. Sifat genus spesifik ini dapat memberikan keuntungan dan juga kerugian untuk diagnosis sistiserkosis. Keuntungan dari sifat ini yaitu dengan menggunakan satu antibodi monoklonal dapat mendeteksi sistiserkosis yang disebabkan oleh berbagai spesies dari genus Taenia. Kerugian dari sifat antibodi monoklonal ini apabila digunakan untuk mengetahui spesies penyebab sistiserkosis di daerah endemis lebih dari satu spesies anggota dari genus Taenia.

(37)

21 dalam uji ELISA. Terjadinya reaksi silang antar antigen disebabkan oleh banyaknya kesamaan komponen antigen dari sistiserkus tersebut yang ditangkap oleh antibodi pendeteksi (Sciuto et al. 2007). Antigen sistiserkus lain yang dapat dideteksi oleh antigen pendeteksi ELISA ini antara lain yaitu Cysticercus bovis (T. saginata), metasestoda dari T. asiatica dan C. tenuicollis dari T. hydatigena (Dorny et al. 2004). Masih adanya reaksi silang dalam metode ini maka sistiserkus yang ditemukan dalam penelitian ini belum dapat diidentifikasi spesiesnya apakah C. tenuicollis atau C. cellulosae. Keberadaan T. tenuicollis di babi hutan pernah dilaporkan di New Zealand (Ineson 1953), Estonia (Jarvis et al. 2007) dan Spanyol (Muela et al. 2001). Cysticercus tenuicollis sampai saat ini belum pernah dilaporkan sedangkan C. cellulosae pernah ditemukan pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan, hal inilah yang perlu diwaspadai adanya kejadian sistiserkosis pada babi hutan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat.

Kejadian sistiserkosis pada babi hutan sangat sedikit dilaporkan dengan prevalensi yang relatif rendah. Eslami dan Farsad-Hamdi (1992) melaporkan hasil penelitian terhadap 57 ekor babi hutan di Iran menemukan parasit cacing nematoda, trematoda, acantochepala, dan larva sestoda pada hewan tersebut. Metasestoda T. solium ditemukan pada otot dan jantung dengan prevalensi sebesar 4%. Penelitian terhadap 12 babi hutan (Sus scrofa) pada tahun 2000 sampai tahun 2001 di Provinsi Luristan, Iran Barat menemukan prevalensi metasestoda C. cellulosae sebesar 8.3% (Solaymani-Mohammadi et al. 2003). Di Thailand, sistiserkosis terjadi secara sporadik pada babi terutama pada babi hutan di daerah pegunungan. Pada tahun 1995 pernah dilaporkan infeksi C. cellulosae yang sangat parah pada babi hutan di Thailand (Waikagul et al. 2006).

Peningkatan kejadian masuknya babi hutan mencari pakan di pemukiman penduduk, areal pertanian, dan perkebunan akibat semakin berkurangnya habitat dari satwa liar ini akibat alih fungsi hutan. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya frekuensi kontak antara babi hutan dengan manusia sehingga peluang transmisi penyakit dua arah antara babi hutan dan manusia juga bertambah. Sistiserkosis/taeniasis merupakan penyakit yang berpeluang ditransmisikan antara manusia dan babi hutan. Transmisi terjadi apabila babi hutan mengonsumsi telur Taenia yang ada dalam feses penderita atau benda-benda lain yang terkontaminasi (Lightowlers 2013). Kondisi ini sering terjadi pada babi yang pemeliharaannya secara diumbar (lepas) di wilayah endemik sistiserkosis/taeniasis (Dharmawan et al. 2012).

Pola hidup dan Lalulintas Daging Babi Hutan

Dari wawancara yang lakukan terhadap pemburu, lokasi perburuan biasa dilakukan di areal pertanian, perkebunan karet, kopi, dan perkebunan sawit. Wilayah perburuan dilakukan di Kabupaten Way Kanan, luar kabupaten (Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, dan Kabupaten Batu Raja, Provinsi Sumatera Selatan). Lokasi perburuan babi hutan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini berasal dari daerah perkebunan kopi di perbukitan Kecamatan Banjit dan perkebunan karet di Kecamatan Blambangan Umpu

(38)

22

makan daging dan organ viseral yang dimasak kurang sempurna serta adanya kontaminasi pada makanan, sayuran, dan air merupakan faktor yang memicu kejadian penyakit ini (Wandra et al. 2006). Data kuesioner menunjukkan semua masyarakat Way Kanan memiliki kebiasaan mandi dua kali sehari, minum air yang dimasak, cuci tangan sesudah buang air besar, dan cuci tangan sebelum makan (75%). Kebiasaan buang air besar dilakukan di jamban (61.7%) dan sungai/irigasi (38.3%) dengan ketersediaan air bersih dari sumur (100%). Responden mengonsumsi lalapan (100%), daging babi (83.3%), dan ayam (16.7%) dengan cara digoreng (40%), direbus (36.7%), serta dibakar (23.3%).

Masyarakat Way Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari babi peliharaan maupun babi hutan. Data kuesioner menunjukkan semua responden lebih sering mengonsumsi daging babi hutan dibandingkan dengan babi peliharaan. Hal ini dikarenakan harga babi hutan lebih murah dibandingkan dengan babi peliharaan, bahkan masyarakat bisa mengonsumsi secara gratis pada waktu perburuan dilakukan bersama-sama. Hampir semua bagian tubuh dari babi hutan dikonsumsi oleh masyarakat kecuali tulang dan bulunya. Konsumi terhadap daging, kulit maupun jerohan dilakukan setelah dimasak, dibakar maupun digoreng terlebih dahulu. Dari wawancara juga diperoleh informasi bahwa masyarakat Way Kanan masih sering mengonsumsi masakan lawar. Menurut Suripto (2000), masyarakat membeli babi hutan untuk dikonsumsi dagingnya, diambil tulang belulang dan kulitnya.

Manusia akan terinfeksi jika memakan daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu pemanasan lebih dari 60 °C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan evaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi cacing dewasa (Kumar et al. 1991; Garcia et al. 2003; Sciutto et al. 2007; Juyal et al. 2008; Flisser 2011). Masyarakat Way Kanan memiliki kebiasaan memakan daging babi yang telah dimasak terlebih dahulu baik digoreng, direbus, maupun dibakar. Mereka jarang mengonsumsi daging babi, baik babi hutan maupun peliharaan, tanpa dimasak terlebih dahulu atau mentah. Cara memasak dengan menggoreng dan merebus sampai matang dapat membunuh sistiserkus yang mengontaminasi daging babi karena sistiserkus mati pada pemanasan 45-50 °C selama satu setengah jam atau perebusan selama 30 menit (Flisser et al. 1986; Svobodova dan Jurankova 2013).

Dari wawancara dan pengamatan di lapangan diperoleh informsi babi hutan hasil buruan biasanya dipotong di rumah penduduk dan bukan di tempat pemotongan hewan sehingga pemeriksaan daging tidak pernah dilakukan. Pemeriksaan terhadap daging (meat inspection) merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan zoonosis ini (Juyal et al. 2008; Wandra et al. 2013). Kondisi serupa juga terjadi di Provinsi Bali. Pengendalian tempat pemotongan dan kebersihan daging di pasar masih kurang memadai yang disebabkan kurangnya pegawai (Suroso et al. 2006). Menurut Joshi et al. (2003), transmisi infeksi T. solium dapat dicegah dengan pemeriksaan daging di tempat pemotongan hewan dan penyitaan karkas babi yang terinfeksi.

(39)

23 babi hutan tersebut. Hal ini menimbulkan risiko infeksi sistiserkosis semakin tinggi.

Simpulan

(40)

24

4 KAJIAN TAENIASIS PADA PETERNAK DI KABUPATEN

WAY KANAN

Abstract

Taeniasis is a zoonotic disease caused by three species of taenia, i.e., Taenia solium, Taenia saginata, and Taenia asiatica, which is transmitted to human through intermediate host. The study used cross sectional design. The study of taeniasis in Way Kanan District has not been conducted yet. study was conducted from April 2012 until February 2013 in Banjit, Baradatu, Buay Bahuga, Blambangan Umpu, and Negeri Agung Subdistricts in Way Kanan District. Samples were collected from wild boars, pig farmers, and people who consumed porks. The samples were analyzed by Kato-Katz method. There were Taenia eggs (1.67%), Trichuris eggs (1.67%), and Hookworm eggs (1.67%). Taeniasis transmission came from contaminated environment and migration of people from Bali island.

Keywords: faeces, taeniasis, Way Kanan District

Abstrak

Taeniasis adalah penyakit pada manusia disebabkan oleh infeksi tiga spesies Taenia yakni T. solium, T. saginata dan T. asiatica yang menginfeksi melalui induk semang antara (intermediate host). Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Penelitian taeniasis di Kabupaten Way Kanan belum pernah dilakukan sebelumnya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kejadian dan faktor risiko taeniasis pada peternak dan masyarakat yang mengonsumsi daging babi. Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 sampai dengan bulan Februari 2013 di 5 kecamatan di Kabupaten Way Kanan yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Buay Bahuga, Blambangan Umpu, dan Negeri Agung. Pengambilan sampel dilakukan pada masyarakat dan keluarganya yang beternak babi peliharaan, berburu babi hutan dan masyarakat yang mengonsumsi daging babi. Dari pemeriksaan 60 sampel feses peternak dengan metode Kato-Katz diperoleh satu sampel asal Kecamatan Blambangan Umpu mengandung telur cacing Taenia (1.67%), telur Trichuris sp. (1.67%), dan telur hookworm (1.67%). Infeksi Taenia pada peternak diduga berasal dari lingkungan yang terkontaminasi atau infeksi bawaan dari dari daerah asal (Pulau Bali).

Kata kunci: feses, taeniasis, Way Kanan

Pendahuluan

(41)

25 1977-1999 dilaporkan antara 0.4-23%. Kejadian infeksi T. asiatica belum pernah dilaporkan di Bali (Wandra et al. 2006). Di Papua kejadian penyakit ini pertama kali terjadi pada awal tahun 1970 di Distrik Paniai (Wandra et al. 2013). Taeniasis di Papua disebabkan oleh T. solium, kasus T. saginata dan T. asiatica pada manusia belum pernah dilaporkan. Prevalensi taeniasis di Jayawijaya, Papua pada tahun 1999 sebesar 15.9%, dan tahun 2001 sebesar 5.8% ( Wandra et al. 2007). Taeniasis yang disebabkan T. asiatica dilaporkan terjadi di Pulau Samosir, Sumatera Utara. Prevalensi T. asiatica dari tahun 1972-1990 dilaporkan berkisar antara 1.9-20.7%, sedangkan pada tahun 2003 dan 2005 prevalensinya 2.4% (Wandra et al. 2006).

Taeniasis secara sporadis dilaporkan terjadi di beberapa provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Riau, Sulawesi Utara, Jakarta, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Tengah (Simanjuntak dan Widarso 2004; Suroso et al. 2006). Prevalensi di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur pada tahun 1975 sebesar 2.8% yang disebabkan oleh T. solium dan T. saginata. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998 dilaporkan prevalensi penyakit yang disebabkan T. solium sebesar 3.1%. Prevalensi taeniasis solium pada manusia di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan dilaporkan masing-masing sebesar 2.8% dan 0.4% (Simanjuntak dan Widarso 2004).

Data survei yang dilakukan pada tahun 1981 prevalensi kejadian taeniasis di Lampung dilaporkan sebesar 1% sedangkan sistiserkosis sebesar 1.7% (Simanjuntak dan Widarso 2004). Sejak saat itu tidak pernah ada laporan tentang kejadian sistiserkosis/taeniasis di Provinsi Lampung. Populasi babi yang tinggi, manajemen peternakan dan pola hidup masyarakat memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit ini. Sejauh ini penelitian taeniasis di Kabupaten Way Kanan belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini sangat perlu dilakukan.

Bahan dan Metode

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Survei dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama pengurusan ethical approval dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahap kedua meliputi pengambilan sampel feses, pengambilan titik koordinat, dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Tahap ketiga adalah pemeriksaan mikroskopik telur cacing dalam sampel feses dengan menggunakan metode Kato-Katz. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara statistik .

Besaran sampel tiap kecamatan diambil secara acak sistematik dan proporsional berdasarkan sebaran peternak babi dan dihitung menggunakan rumus n = 4pq/L2 atau dengan menggunakan software WinEpiscope 2.0. Rumus tersebut menggunakan asumsi tingkat kepercayaan 95 %, galat (L) 5%, prevalensi (P) pada manusia 1%, dan Q = 1-P.

Waktu dan Tempat Penelitian

Gambar

Tabel 1  Daerah asal dan jumlah sampel babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan
Tabel 2  Karakteristik peternak babi di Kabupaten Way Kanan
Gambar 2  Sistiserkus yang ditemukan pada otot intercostae pada babi peliharaan
Gambar 3  Sebaran sistiserkosis pada babi peliharaan di Kabupaten Way
+7

Referensi

Dokumen terkait

6 Sistem informasi membantu dalam hal pelaporan tugas anda menjadi lebih tepat waktu. 7 Secara umum, penerapan sistem informasi membantu kinerja anda menjadi lebih baik dengan

Limbah Air Kotor, Masalah utama yang terjadi pada aspek ini adalah pedagang kaki lima yang berjualan diatas trotoar dan lahan parkir umumnya membuang limbah

Keberadaan musik sangat erat hubungannya dengan desain grafis, musik dapat membantu melengkapi sebagai salah satu media dalam perancangan yang membuat sebuah

Dengan demikian dapat di pahami reaksi dan persepsi pengguna TI akan mempengaruhi sikapnya dalam penerimaan penggunaan TI, yaitu salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

Bioavailabilitas logam Pb yang diperoleh dari semua lokasi pengambilan sampel dengan pengekstrak EDTA dan HCl jika dibandingkan dengan kandungan Pb maksimum menurut Keputusan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar Pb rata-rata di air dan akar pohon api-api dari lokasi A yang berada pada pertemuan kanal pasar senggol dengan saluran

Kesadaran yang tinggi dari profesional kesehatan tentang obat-obat yang sering diberikan untuk terapi, serta pengetahuan dokter tentang mekanisme interaksi obat akan sangat

Setelah dilakukan proses desinfeksi yaitu perlakuan perendaman menggunakan kaporit 50 ppm dengan bantuan alat pengatur konsentrasi kaporit (Ca(ClO) 2 ) dan variasi waktu