• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characterization of Functional Properties and Nutritional Values of Roe Protein Concentrate of Skipjack (Katsuwonus pelamis) and Its Application on Making Infant Food Formulation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Characterization of Functional Properties and Nutritional Values of Roe Protein Concentrate of Skipjack (Katsuwonus pelamis) and Its Application on Making Infant Food Formulation"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG

(Katsuwonus pelamis) SERTA APLIKASINYA DALAM

FORMULASI MAKANAN BAYI PENDAMPING ASI

FRETS JONAS RIEUWPASSA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Frets Jonas Rieuwpassa

(4)

FRETS JONAS RIEUWPASSA. Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINI TRILAKSANI.

Industri pengolahan ikan cakalang asap merupakan salah satu industri tertua dan masih sangat tradisional dalam proses pengolahannya. Setiap proses pengolahan ikan cakalang asap menyisahkan bagian-bagian yang belum termanfaatkan berupa insang, telur, dan jeroan sekitar 20-30%. Hasil samping industri ini sebenarnya dapat dijadikan pangan dan pakan serta memiliki potensi sebagai suplemen bioaktif dan pangan fungsional. Telur ikan merupakan sumber protein yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan konsentrat protein telur ikan (KPTI). Konsentrat protein telur ikan dapat dihasilkan dengan menghilangkan lemak dan air sehingga menghasilkan konsentrat protein tinggi yang dapat dijadikan sebagai bahan pengkayaan gizi dalam makanan berprotein rendah. Kekurangan konsumsi protein pada anak kecil merupakan salah satu masalah di Indonesia. Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang bergizi tinggi terutama protein merupakan upaya untuk mengurangi gizi buruk pada bayi dan balita. Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan telur ikan cakalang sebagai bahan baku pembuatan KPTI, menentukan komposisi gizi dan sifat fungsional KPTI serta aplikasinya dalam pembuatan makanan bayi pendamping ASI.

Penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah pembuatan konsentrat protein telur ikan dengan perlakuan jenis pelarut (isopropil alkohol dan etanol) dan frekuensi ekstraksi 1, 2 dan 3 kali (masing-masing 1 jam). Penelitian tahap ke-2 dilakukan aplikasi pembuatan biskuit MP-ASI dengan substitusi KPTI terhadap susu skim.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ekstraksi dalam pembuatan konsentrat protein telur ikan cakalang terpilih ialah menggunakan pelarut isopropil alkohol (IPA) dengan ekstraksi 3 kali. Konsentrat protein telur ikan yang dihasilkan tergolong KPI tipe B, memiliki kadar protein 71,78%, lemak 2,48% dan memiliki 8 asam amino esensial dengan lisin dan leusin sebagai asam amino esensial tertinggi yaitu 70,76 dan 64,91 mg/g protein. Formula biskuit terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik biskuit MP-ASI adalah formula F2. Kandungan protein formula terpilih (F2) adalah 19,42% lebih tinggi bila dibandingkan dengan formula kontrol dan produk komersial. Karakteristik formula biskuit terpilih, terutama komposisi gizi telah memenuhi standar SNI dan FAO. Produk tersebut memiliki 8 asam amino esensial dengan leusin dan lisin sebagai asam amino esensial tertinggi masing-masing 61,79 dan 44,28 mg/g protein.

(5)

SUMMARY

FRETS JONAS RIEUWPASSA. Characterization of Functional Properties and Nutritional Values of Roe Protein Concentrate of Skipjack (Katsuwonus pelamis) and Its Application on Making Infant Food Formulation. Supervised by JOKO SANTOSO and WINI TRILAKSANI. Developed additive

The smoked skipjack processing industry is one of the oldest industry and it has been running in traditional processing management. Smoked skipjack processing produces by product around 20-30% including gills, roe, viscera and others. By products of industry can be utilized for feed, food and potencialy developed as bioactive supplement and functional food as well. Roes are source of protein that can be used as raw material for roes protein concentrate (RPC). RPC can be produced by removing fat and moisture contents to obtain high protein concentrate that can be used as an enrichment ingredient in the low protein diet. Deficiency of protein intake in children is one problems in Indonesia. Complementary foods of ASI or infant food are needed to reduce malnutrition in children. This research was conducted to exploit the utilization of skipjack roes as RPC raw material, to determine RPC nutritional composition and functional properties and its application in the manufacture of complementary infant foods.

The research was conducted in two steps. The first steps was production of FRPC, using two kind of solvent (isopropyl alcohol and ethanol) and extraction frequencies (1, 2 and 3 times). Second steps of this research was conducted in applications of RPC as substitution in making infat food biscuit.

The results showed that extraction with isopropyl alcohol (IPA) and 3 times extractions was the best method on RPC production. RPC skipjack was classified into grade B of FPC, which had protein and fat contents of 71.78% and 2.48%, respectively and also contained 8 essential amino acids with lysine (70.76 mg/g) and leucine (64.91 mg/g of protein) as the major essential amino acid. The best formulation of infant biscuits based on the results of organoleptic tests was F2 formula. Protein content of F2 formula was 19.42%, which was higher compared to control formulation and commercial products. Composition and nutritional values of F2 formulation was comfirmed with the National Indonesia Standar (SNI) and FAO standard requirement. RPC with F2 formula contained 8 essential amino acids with leucine (61.79 mg/g) and lysine (44.28 mg / g) as the major essential amino acids.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONAL DAN NILAI GIZI KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) SERTA APLIKASINYA DALAM FORMULASI MAKANAN BAYI

PENDAMPING ASI

FRETS JONAS RIEUWPASSA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI Nama : Frets Jonas Rieuwpassa

NRP : C351110141

Disetujui oleh

Komisi pembimbing

Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Tati Nurhayati, SPi MSi Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha esa atas limpahan karunia dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul “Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Publikasi ilmiah sebagian tesis telah dilakukan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 5 No. 2 Desember 2013 dengan judul “Karakterisasi Sifat Fungsional Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis).

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Joko Santoso, MSi sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengajarkan banyak hal kepada penulis. Penulisan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1 Dr Tati Nurhayati SPi, MSi sebagai ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan arahan, masukan dan motivasi selama penulis menempuh studi di Program Studi Teknologi Hasil Perairan;

2 Dr Ir Bustami Ibrahim, MSc sebagai dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak masukan dalam melengkapi penulisan tesis;

3 Papa, mama dan ke-2 adikku (Risye dan Evans) atas doa, semangat dan motivasi yang selalu diberikan selama ini;

4 Keluarga besar Rieuwpassa dan Batlajery di Ambon dan Larat atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis;

5 Dosen dan Staf Pegawai Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan ilmu maupun pengalaman-pengalaman berharga bagi penulis selama menempuh pendidikan di IPB;

6 Teman-teman seperjuangan di Program Studi THP (angkatan 2010, 2011, 2012, 2013) atas semangat dan kebersamaan yang terjalin erat;

7 Aprilia Tomasoa atas doa, perhatian, semangat, motivasi, dan kebersamaan kita;

8 Smile Crew “Kaka Ucha Thenu, Kaka Leny Topatubun/Thenu, Kaka Lady Tetelepta, Kaka Boy Toisuta, Kaka Styla Johanes dan Kaka Meiske Manery terima kasih buat doa dan kebersamaan kita selama ini dan

9 Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) terima kasih untuk semua doa, nasihat dan kebersamaan yang terjalin selama ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat membantu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya.

Januari 2014

(11)

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Rumusan masalah 3

Tujuan 4

Manfaat penelitian 4

2 PEMBUATAN KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) SERTA KARAKTERISASI

NILAI GIZI DAN SIFAT FUNGSIONALNYA 5

Pendahuluan 5

Bahan dan Metode 6

Hasil dan Pembahasan 13

Simpulan 23

3 APLIKASI KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DALAM FORMULASI

MAKANAN BAYI PEMDAMPING ASI 24

Pendahuluan 24

Bahan dan Metode 25

Hasil dan Pembahasan 32

Simpulan 42

4 PEMBAHASAN UMUM 42

5 SIMPULAN DAN SARAN 44

DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 50

(12)

1. Komposisi nilai gizi telur ikan cakalang 14

2. Komposisi nilai gizi KPTI cakalang 19

3. Karakteristik sifat fungsional KPTI cakalang 21 4. Komposisi asam amino (mg/g protein) KPTI cakalang 22 5. Formulasi substitusi KPTI cakalang terhadap susu skim 25 6. Komposisi gizi biskuit MP-ASI tepilih, kontrol

dan produk komersial 37

7. Sifat fungsional biskuit MP-ASI formula kontrol,

formula terpilih dan produk komersial 39 8. Profil asam amino formula kontrol, formula terpilih

dan produk komersial 41

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir proses pembuatan KPTI cakalang (modifikasi metode Sikorski dan Nazck 1981) 8 2. Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi

terhadap kadar protein KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang

berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 15 3. Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi

terhadap kadar lemak KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang

berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 16 4. Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi

terhadap derajat putih KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang

berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 17 5. Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi

terhadap nilai aroma KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang

sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) 18 6. Diagram alir pembuatan formula biskuit MP-ASI kaya protein 26 7. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap

skor kehalusan dalam mulut. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan

nyata (p<0,05) 33

8. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kelengketan dalam mulut. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda

nyata (p>0,05) 33

(13)

F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan

nyata (p<0,05) 34

10. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor aroma. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 35 11. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap

skor rasa. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 36 12. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap

skor kesukaan keseluruhan. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan

nyata (p<0,05) 36

DAFTAR LAMPIRAN

(14)
(15)

1 PENDAHULUAN

Latar belakang

Perikanan merupakan sektor penting bagi masyarakat Indonesia dan dapat dijadikan sebagai penggerak perekonomian nasional. Hal ini didukung dengan potensi lestari perikanan laut Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Indonesia bagian timur, khususnya Kota Ambon Propinsi Maluku, merupakan salah satu sentra perikanan nasional. Potensi perikanan laut yang paling melimpah di Kota Ambon adalah ikan cakalang. Data Badan Pusat Statistik Kota Ambon menyebutkan bahwa pada tahun 2011 produksi ikan cakalang mencapai 612,50 ton meningkat 40% dari tahun sebelumnya yaitu 355,7 ton (BPS Kota Ambon 2012). Pemanfaatan ikan cakalang di Kota Ambon sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan salah satunya adalah ikan cakalang asap.

Industri pengolahan ikan cakalang asap di Kota Ambon merupakan salah satu industri tertua dan masih sangat tradisional dalam proses pengolahannya. Setiap proses pengolahan ikan cakalang asap akan menyisakan hasil samping berupa kepala, insang, telur dan isi perut dengan persentase sekitar 20-30% setiap harinya atau sekitar 510 kg. Dekkers et al. (2011); Rao et al. (2012a) menyatakan bahwa hasil samping industri pengolahan ikan berkisar sekitar 60% yang terdiri dari kepala, insang, kulit, isi perut dan telur dalam jumlah yang besar dan hanya 40% untuk konsumsi manusia. Hasil samping industri pengolahan ikan memiliki peluang ekonomi dan potensi gizi sebagai komponen asam-asam amino dan asam lemak. Hasil samping yang dapat dijadikan bahan pangan diantaranya minyak ikan, tepung ikan, pupuk, makanan ternak dan pakan ikan. Pires et al. (2012) menyatakan bahwa hasil samping berbasis protein dari industri pengolahan dapat dijadikan pangan dan pakan serta memiliki potensi sebagai suplemen bioaktif dan pangan fungsional, sedangkan Hsu et al. (2010) menambahkan bahwa hasil samping industri pengolahan ikan kaya akan protein yang mudah untuk dijadikan produk misalnya makanan ternak, tepung ikan dan pupuk.

Pemanfaatan hasil samping berbasis protein terus dikembangkan. Salah satunya adalah konsentrat protein ikan (KPI). Pembuatan konsentrat protein ikan merupakan inovasi pengembangan bentuk protein yang mudah untuk diaplikasikan ke dalam produk pangan berprotein rendah. Produk konsentrat protein diharapkan juga mampu menyumbang peningkatan konsumsi protein yang masih rendah di Indonesia. Beberapa penelitian yang memanfaatkan hasil samping dan ikan non-ekonomis sebagai bahan baku pembuatan KPI telah banyak dilakukan. Murueta et al. (2007) menggunakan 9 jenis ikan by cacth udang; Koesoemawardani dan Nurainy (2011) menggunakan ikan rucah; Pires et al.

(2012) menggunakan Merluccius capensis yang merupakan hasil samping industri pengolahan ikan, dan Brasileiro et al. (2012) menggunakan kepala udang dari industri pengolahan udang.

(16)

pengolahan ikan yang dapat dijadikan sumber pangan, sumber protein, memiliki kandungan asam amino esensial dan asam lemak yang dibutuhkan manusia. Menurut Ibrahim (2009), konsentrat protein ikan merupakan produk yang dihasilkan dengan cara menghilangkan lemak dan air sehingga menghasilkan konsentrat protein yang tinggi. Konsentrat protein ikan dari telur ikan biasanya disebut konsentrat protein telur ikan atau KPTI. Balaswamy et al. (2009) menjelaskan bahwa kajian mengenai karakteristik kimia dan fungsional konsentrat protein telur ikan masih belum banyak dilakukan dibandingkan dengan kajian mengenai karakteristik kimia dan fungsional konsentrat protein ikan. Intarasirisawat et al. (2011) melaporkan bahwa telur ikan cakalang mengandung protein yang tinggi, yaitu 20,15%. Beberapa penelitian telah memanfaatkan telur ikan sebagai bahan baku pembuatan KPTI diantaranya catfish roes (Sathivel et al.

2009), mrigal roes (Cirrhinus mrigala) (Chalamaiah et al. (2011), Channa striatusroes dan Labeo rohita roes (Rao et al. 2012b), Cyprinus carpio roes dan

Epinephelus tauvina roes (Rao 2014). Konsentrat protein telur ikan merupakan produk yang mengandung protein sekitar 50-75% dan memiliki kadar lemak dan air yang tidak lebih dari 0,75%. Produk ini biasanya diaplikasikan ke dalam makanan yang berkarbohidrat tinggi dengan cara menambahkan atau mensubstitusikan ke dalam pangan rendah protein.

Kekurangan gizi protein merupakan dampak dari konsumsi protein yang rendah. Kekurangan gizi protein pada bayi dan balita dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan otak. Kekurangan konsumsi protein pada anak-anak kecil dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan badan, sedangkan pada orang dewasa bila kekurangan protein mempunyai gejala yang kurang spesifik, kecuali pada keadaan yang telah sangat parah contohnya busung lapar (Winarno 2008). Kusharto et al. (2005) menyebutkan bahwa di Indonesia prevalensi kekurangan gizi masih tergolong tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 bahwa angka balita yang kekurangan gizi di Indonesia sekitar 17,9% (BPPK 2010), sedangkan menurut data UNICEF (2000), satu dari delapan anak prasekolah di Indonesia mengalami kurang gizi sejak lahir dan dewasa ini diperkirakan terdapat hampir 2% anak prasekolah menderita kurang gizi tingkat berat dengan resiko tinggi mengalami gangguan fisik dan mental.

Upaya mengatasi kekurangan energi protein pada anak usia bayi dan balita dilakukan dengan pemberian makanan tambahan bergizi tinggi dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan balita pada masa pertumbuhannya agar tidak terjadi kekurangan gizi. Apalagi pada masa penyapihan merupakan masa peralihan antara masa penyusuan dan makanan dewasa berganti sebagai sumber energi dan zat gizi utama. Biasanya pada masa penyapihan pemberian ASI mulai dikurangi sehingga asupan makanan tambahan dari luar sangat dibutuhkan bayi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan otak. Pelletier et al. (1995) menyatakan bahwa upaya penanganan kekurangan energi protein adalah dengan cara memberikan asupan gizi protein lebih pada balita melalui produk biskuit, bubur instan, maupun susu formula.

(17)

bayi berumur 6 bulan, kandungan energi ASI menurun sebesar 13,9% dari produksi ASI ketika bayi berusia 3-5 bulan (550 kkal/hari) sehingga pada usia 6 bulan ASI tidak dapat menyediakan zat-zat gizi yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan bayi.

Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi berusia 6-24 bulan, karena pada usia tersebut ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan bayi atau diberikan pada bayi sampai dapat menerima asupan makanan orang dewasa, sehingga dalam memenuhi kebutuhan bayi MP-ASI harus dilengkapi dengan nutrisi yang lengkap terutama protein. Santoso et al. (2009) menambahkan bahwa formula makanan bayi dan balita harus memenuhi persyaratan tertentu terhadap kandungan protein, lemak, mineral, vitamin dan bahan tambahan.

Pemanfaatan protein ikan sebagai sumber protein dalam pembuatan MP-ASI telah dilakukan oleh Rieuwpassa (2005) yaitu pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan teri dan krim probiotik Leuconostoc mesenteroides IS-27526 yang dapat meningkatkan berat badan, tinggi badan dan status gizi pada balita; Santoso et al. (2009) meneliti tentang pengaruh substitusi susu skim dengan KPI nila hitam (Oreochromis niloticus) dalam makanan bayi dan Widiyawati (2011) melakukan penelitian dengan memanfaatkan konsentrat protein dan tepung tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepenus) dalam pembuatan MP-ASI. Pemanfaatan hasil samping contohnya telur ikan sebagai sumber protein dalam pembuatan makanan pendamping ASI belum banyak dilakukan. Pemberian makanan tambahan berbasis konsentrat protein ikan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kurang energi protein sehingga dapat memulihkan kesehatan, peningkatan status gizi dan peningkatan imunitas terutama pada bayi, dan balita.

Pemanfaatan hasil samping sebagai sumber pangan potensial terus dikembangkan. Telur ikan cakalang sebagai hasil samping industri pengolahan ikan asap memiliki potensi yang besar sebagai bahan baku pembuatan konsentrat protein telur ikan. Konsentrat protein telur ikan merupakan produk yang dapat ditambahkan secara praktis ke dalam bahan pangan sehingga kajian mengenai potensi telur ikan cakalang sebagai bahan baku pembuatan KPTI, mengevaluasi komposisi gizi, penentuan sifat fungisonal dan aplikasi dalam bahan pangan yaitu MP-ASI perlu dilakukan.

Rumusan masalah

(18)

makanan) untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Selama masa penyapihan, bayi sangat memerlukan asupan gizi dari luar sehingga makanan pendamping ASI yang diberikan haruslah memiliki kandungan gizi terutama protein hewani. Penambahan, substitusi dan fortifikasi makanan bayi adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan bayi sehingga pada masa penyapihan bayi terhindar dari dampak kekurangan gizi terutama kekurangan energi protein.

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menentukan metode ekstraksi KPTI terbaik dengan perlakuan jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi serta mengkarakterisasi nilai gizi dan sifat fungsional konsentrat protein telur ikan cakalang terbaik;

2. Menentukan formula MP – ASI dengan substitusi konsentrat protein telur ikan metode terbaik dengan mengevaluasi karakteristik organoleptik, nilai gizi dan sifat fungsionalnya.

Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada :

1. Pemanfaatan hasil samping industri ikan cakalang asap sebagai usaha peningkatan nilai tambah khususnya telur ikan cakalang;

(19)

2 PEMBUATAN KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN

CAKALANG (Katsuwonus pelamis) serta KARAKTERISASI

NILAI GIZI DAN SIFAT FUNGSIONALNYA

Pendahuluan Latar belakang

Konsentrat protein telur ikan (KPTI) adalah produk yang dihasilkan dengan menghilangkan semaksimal mungkin lemak dan air sehingga menghasilkan jumlah protein yang tinggi. Pembuatan konsentrat protein ikan umumnya dilakukan dengan dua metode. Metode pertama dimulai dengan pemisahan daging, penghancuran dan pencucian dengan air, pengurangan lemak dengan pelarut organik pada suhu tinggi (75 oC), pengeringan dan penepungan. Metode kedua dimulai dengan pemisahan daging, penghancuran dan pencucian daging dengan air dingin dan terakhir dengan larutan NaCl 0,5–1% pada pH 7.4–7.8, pengurangan lemak dengan pelarut organik pada suhu rendah (5oC), pengeringan dan penepungan (Suzuki 1981). Konsentrat protein ikan dapat diekstrak dengan pelarut organik contohnya iso-propanol, metanol, etanol atau 1,2 dikloroetana dengan variasi waktu dan suhu yang berbeda untuk menghilangkan lemak dan air sehingga diperoleh kadar protein yang tinggi (Koesoemawardani dan Nurainy 2008). Penggunaan pelarut alkohol dapat menghasilkan KPI dengan mutu yang baik, walaupun ekstraksi dengan alkohol memiliki kelemahan yaitu masih terdapat aroma pelarut pada KPI yang dihasilkan.

Proses untuk menghilangkan air dan lemak tersebut dapat dilakukan dengan pengepresan, pengeringan atau ekstraksi. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk memperoleh KPI dengan mutu tinggi antara lain jenis ikan, cara ekstraksi, tahap proses, bahan baku dan waktu ekstraksi. Isopropil alkohol dan etanol adalah pelarut komersial yang sering digunakan dalam proses ekstraksi KPI. Beberapa penelitian yang menggunakan etanol dan isopropil alkohol untuk mengesktrak protein ikan diantaranya Sumaryanto et al. (1996) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein ikan nila merah; Rieuwpassa (2005) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein ikan teri; Koesoemawardani dan Nurainy (2008) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein ikan rucah; Tirtajaya et al. (2008) menggunakan etanol dan isopropil alkohol untuk mengekstrak protein ikan patin; Widiyawati (2011) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein ikan lele; Chalamaiah et al. (2011) menggunakan isopropil alkohol untuk mengekstrak protein telur ikan Cirrihinus mrigala; Rao et al.

(2012b) menggunakan isopropil alkohol untuk mengekstrak protein telur ikan

Channa striatus; Wiharja et al. (2013) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein telur ikan tuna dan kakap merah; sedangkan Rao (2014) menggunakan isopropil alkohol untuk mengekstrak protein telur Cyprinus carpio dan

Epinephelus tauvina. Chalamaiah et al. (2012) menyatakan bahwa telur ikan mengandung protein yang tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai sumber protein untuk konsumsi manusia.

(20)

untuk sistem metabolisme tubuh dan membantu proses pertumbuhan serta kecerdasan otak pada anak. Protein memiliki empat jenis struktur, yaitu struktur primer, sekunder, tersier dan kuartener. Asam amino diklasifikasikan berdasarkan fungsi fisiologi dalam tubuh, yaitu asam amino esensial, non-esensial dan semi-esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus disuplai melalui makanan, sedangkan asam amino non-esensial dapat diproduksi dalam tubuh.

Selain sebagai pembangun dalam tubuh manusia, protein juga merupakan zat gizi yang sangat penting dalam bahan pangan, baik dari segi nutrisi maupun sifat fungsional. Salah satu peran penting protein adalah menentukan tekstur produk pangan, misalnya pada produk surimi. Pengetahuan mengenai karakteristik protein yang menyusun suatu bahan pangan merupakan informasi penting untuk memahami karakteristik produk pangan, proses pengolahan dan penyimpanan terhadap perubahan protein.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode ekstraksi terbaik dalam pembuatan KPTI cakalang dengan perlakuan jenis pelarut (etanol dan isopropil alkohol) dan pengulangan ekstraksi, menentukan karakteristik nilai gizi dan sifat fungsional KPTI cakalang terbaik.

Bahan dan Metode Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan Departemen THP, Laboratorium Pilot Plan Seafast IPB, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi IPB dan Laboratorium Kimia Terpadu IPB.

Bahan dan Alat

(21)

Tahapan Penelitian

Pembuatan konsentrat protein telur ikan cakalang

Tahapan pembuatan konsentrat protein telur ikan (KPTI) diawali dengan menganalisis komposisi proksimat telur ikan cakalang dengan mengacu metode AOAC (2005). Pembuatan KPTI mengacu pada metode Sikorski dan Nazck (1981) yang dimodifikasi dengan perlakuan jenis pelarut (isopropil alkohol dan etanol) dan pengulangan ekstraksi (1, 2 dan 3 kali masing-masing 1 jam). Proses pembuatan KPTI meliputi telur ikan segar dicuci dan diblender hingga lumat, kemudian diekstraksi dengan perbandingan telur ikan dan pelarut (1:3 b/v) sebanyak 1, 2 dan 3 kali. Hasil ekstrak disaring dan dipres, endapan hasil pengepresan dikeringkan pada suhu 45 oC selama 4 jam, hasil pengeringan

kemudian ditepungkan. Konsentrat protein telur ikan yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan diuji derajat putih (Hartoyo dan Susnandar 2006), kadar lemak (AOAC 2005), kadar protein (AOAC 2005) dan organoleptik dengan uji skoring (Soekarto dan Hubeis 1982) sesuai syarat mutu KPI menurut FAO (1976) untuk menentukan KPTI terpilih. Konsentrat protein telur ikan terbaik dikarakterisasi lebih lanjut meliputi daya serap air (Beuchat 1977), daya serap minyak (Beuchat 1977), densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992), daya buih (Huda et al.

2012), kapasitas emulsi (Yatsumatsu et al. 1972), komposisi asam amino (AOAC 1995), daya cerna protein in vitro (Anderson et al. 1969). Diagram alir proses pembuatan KPTI cakalang disajikan pada Gambar 1.

Analisis

Uji organoleptik (Soekarto dan Hubies 1982)

Pengujian organoleptik untuk sampel konsentrat protein telur ikan menggunakan uji skoring terhadap aroma. Sampel disajikan secara acak dengan memberikan kode angka pada sampel. Para panelis berasal dari mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan, berjumlah 30 panelis. Tingkat skor yang digunakan adalah 1 sampai dengan 5. Skor 1 (satu) menyatakan aroma ikan sangat kuat, sedangkan skor 5 (lima) menyatakan aroma ikan sangat lemah. Semakin tinggi skor yang diberikan, menunjukkan semakin lemah aroma ikan yang dihasilkan. Lembar penilaian uji skoring dapat dilihat pada Lampiran 1.

Derajat putih (Hartoyo dan Sunandar 2006)

Alat yang digunakan adalah whiteness meter. Contoh sebanyak 3 g ditempatkan dalam satu wadah. Suhu sampel diseimbangkan dengan meletakkan wadah sampel di atas tester. Wadah berisi sampel beserta cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO4 dengan nilai derajat putih 110%) dimasukkan ke dalam

tempat pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran.

(22)

Keterangan : *bagian yang dimodifikasi

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan KPTI cakalang (modifikasi metode Sikorski dan Nazck 1981).

Ekstraksi

Perbandingan telur ikan lumat dan pelarut * (IPA dan Etanol, dingin -5oC) 1 : 3 (b/v)

Telur ikan segar

Pencucian dan penggilingan

Penyaringan dan pengepresan Pengulangan ekstraksi *

1, 2 dan 3 kali (masing-masing 1 jam)

Pengeringan pada suhu 45±2 oC selama 4 kali

Telur ikan lumat

Endapan KPTI

Penepungan (60 mesh)

KPTI cakalang

Analisis -Kadar air -Kadar abu -Kadar Protein -Kadar lemak -Kadar KH

Analisis -Kadar protein -Kadar lemak -Derajat putih -Uji skoring

KPTI cakalang terbaik

Analisis lanjut -Daya serap air -Daya serap lemak -Densitas kamba -Daya buih -Kapasitas emulsi -Komposisi asam

amino -Daya cerna

(23)

Kadar protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi, dan titrasi.

a. Tahap destruksi

Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Sebanyak 0,25 g selenium dan 25 mL H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung

yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening.

b. Tahap destilasi

Sampel yang telah didestruksi dituangkan ke dalam labu destilasi, ditambahkan akuades 50 mL. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 mL. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 mL berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes

indikator (cairan methyl red dan brown cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 mL destilat dan berwarna hijau kebiruan.

c. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat.

Perhitungan kadar protein ditentukan dengan rumus:

N % = mL HCl − mL blanko x N HCl x , 7 mg contoh � %

Protein (%) = N (%) x faktor konversi (6,25)

Kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel sebanyak 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berta tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada di dalam labu lemak didestilasi hingga semuanya menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC dan didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak:

Kadar lemak % = W − WW X %

Keterangan : W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g)

(24)

Kadar air (AOAC 2005)

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 g ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105-110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar air (%) =

x

100%

Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g)

Kadar Abu (AOAC 2005)

Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC selama 30 menit. Cawan abu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam

desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel sebesar 5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC)

selama 7 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang sampai beratnya konstan.

Perhitungan kadar abu ditentukan dengan rumus:

Kadar abu (%) =

x

100%

Kadar kabohidrat (bydifference)

Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Perhitungan kadar karbohidrat ditentukan dengan rumus:

Kadar KH (%) = 100 - (kadar protein + kadar lemak + kadar abu + kadar air)

Daya Serap Air (Beuchat 1977)

Sampel sebanyak 1 g dimasukkan kedalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 mL akuades, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Sampel kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume air bebas atau yang tidak terserap oleh sampel, diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berikut:

Daya serap air (mL/g) = −

Keterangan :

(25)

Daya Serap Lemak (Beuchat 1977)

Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 mL minyak nabati, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Sampel kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume minyak yang bebas atau yang tidak terserap oleh sampel, diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berkut :

Daya serap minyak (g/g) = − x BJ

Keterangan :

A = berat awal + minyak terserap B = berat akhir + minyak tidak terserap BJ = 0,892

Kapasitas Emulsi (Yatsumatsu et al. 1972)

Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g konsentrat protein telur ikan ditambahkan 20 mL air dan 20 mL minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan disentrifugasi pada 7.500 rpm selama 5 menit. Kapasitas emulsi dihitung dengan menggunakan rumus:

Kapasitas emulsi (%) =

x

100%

Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992)

Sebanyak 10 g sampel diukur volumenya dengan gelas ukur 50 mL. Densitas kamba dinyatakan dalam g/mL.

Densitas kamba (g/mL) =

Daya Buih(Huda et al. 2012)

Tepung KPTI (1 g) ditambahkan ke dalam 100 mL air dan dihomogenisasi selama satu menit. Campuran larutan KPTI dipindahkan ke dalam 250 mL beaker glass. Kapasitas busa dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal. Stabilitas busa merupakan rasio dari kapasitas busa selama waktu observasi dibandingkan dengan kapasitas busa awal.

Komposisi Asam Amino (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam gelas piala 25 mL ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 mL, kemudian dipanaskan selama 24 kali pada suhu 100 oC. Sampel disaring dan diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan 5 mL larutan pengering (metanol, picolotiocianat, trietilamin) kemudian dikeringkan. Larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, dan trietilamin) ditambahkan dan sampel didiamkan selama 20 menit. Larutan asetat 1 M sebanyak 200 mL ditambahkan dan sampel siap diinjeksikan ke HPLC.

(26)

batas tekanan 3000 psi, program gradien, fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M, dan detektor sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm.

Asam amino (%) = x x BM x FK x

Asam Amino (mg/g protein) = % %

Keterangan : FK = faktor koreksi BM = berat molekul

Daya cerna protein in vitro (Anderson et al. 1969)

Sebanyak 0,25 g contoh dimasukkan ke dalam elenmeyer 50 mL, ditambahkan sebanyak 15 mL HCl 0,01 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin dan dikocok pada kecepatan rendah pada suhu 37 ºC selama 3 kali dengan

shaker. Larutan dinetralkan dengan NaOH 0,5 N dan ditambahkan 4 mg enzim pankreatin di dalam 7,5 mL larutan buffer fosfat 0,2 M dengan pH 8,0 yang mengandung natrium azida 0,005 M. Larutan yang diperoleh dikocok pada kecepatan rendah, pada suhu 37 ºC selama 24 jam dengan shaker kemudian disentrifugasi pada 2.500 rpm selama 5 menit. Padatan yang diperoleh dari akhir penyaringan dengan kertas whatman 41, dikeringkan dalam oven 105 ºC selama 2 jam, lalu ditimbang (sebelumnya bobot kering kertas saring sudah dicatat). Setelah itu, sampel tersebut dianalisis kandungan nitrogennya dengan menggunakan metode Kjeldahl.

Daya cerna protein (%) = T −N

T

x

100%

Analisis data

Rancangan percobaan (Steel and Torrie 1993)

Rancangan percobaan yang digunakan dalam pembuatan konsentrat protein telur ikan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 taraf, yaitu jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi, secara matematik rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ €ijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan dari faktor – A (jenis pelarut) taraf ke-i, faktor B

(pengulangan ekstraksi) taraf ke –j dan ulangan ke-k µ = nilai tengah umum

Ai = pengaruh faktor A ke- i (i = 1,2)

Bi = pengaruh faktor B ke- j (j = 1,2,3)

ABij = pengaruh interaksi antara faktor A ke-i dan faktor B ke-j

€ijk = galat percobaan dari faktor-A taraf i, faktor-B taraf j dan ulangan

ke-k.

(27)

analisis ragam (Anova) menunjukkan adanya pengaruh, maka dilanjutkan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan (DMRT).

Data nilai organoleptik (uji skoring) diuji menggunakan analisis non-parametrik yaitu Kruskall-Wallis. Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan disusun mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar dan kemudian ditentukan peringkatnya masing-masing. Statistik uji yang digunakan adalah:

H =

�+ �+ + ∑ (� �⁄ )– 3 (n+1)

H1 = H

Pembagi = − ∑�

�− �+ dengan T = (t-1)(t+1)

Keterangan:

n = jumlah data total

ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i Ri2 = jumlah peringkat dari perlakuan ke-i

T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H = simpangan baku

H1 = H terkoreksi

t = banyaknya pengamatan seri

Data hasil uji Kruskal Wallis apabila menunjukkan beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Dunn untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut perbandingan berganda dapat dirumuskan sebagai berikut:

|� − � | > � −�∗√ +

α* = α/k(k-1) Keterangan:

R1 = rata-rata ranking perlakuan ke-i

Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j

k = jumlah perlakuan n = jumlah data

Hasil dan Pembahasan Komposisi nilai gizi telur ikan cakalang

(28)

Tabel 1 Komposisi nilai gizi telur ikan cakalang

Komposisi Persentase (%bb)

Protein 19,81±0,54

Lemak 3,41±0,22

Air 71,32±0,16

Abu 2,04±0,70

Karbohidrat (by difference) 1,53±0,53

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan protein telur ikan cakalang tergolong tinggi yaitu 19,81%. Hasil penelitian Intarasirisawat et al.

(2011) menunjukkan bahwa telur ikan cakalang memiliki kandungan protein 20,15%, lemak 3,39%, abu 1,94% air 72,17% dan karbohidrat 2,35%. Telur ikan cakalang memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan lemak yang rendah dibandingkan dengan jenis tuna lain seperti tongol (Thunnus tonggol) (5,68%) dan bonito (Euthynnus affinis) (4,26%). Ikan yang tergolong berlemak rendah mempunyai kadar lemak kurang dari 3%, berlemak sedang memiliki kadar lemak 3-5% dan berlemak tinggi memiliki kadar lemak lebih dari 7% (Venugoval 2008). Menurut Mohmoud et al. (2008) menyatakan bahwa variasi komposisi gizi telur ikan dipengaruhi oleh faktor biologi mencakup jenis spesies, kematangan gonad, makanan, musim, lokasi memijah, dan kondisi pengolahan.

Penentuan pembuatan KPTI terbaik

Konsentrat protein telur ikan cakalang (KPTI) dibuat dengan menggunakan perlakuan jenis pelarut (IPA dan etanol) dan pengulangan ekstraksi. Hasil yang diperoleh dianalisis kadar protein, kadar lemak, derajat putih dan organoleptik aroma untuk menentukan metode pembuatan KPTI cakalang terbaik. Metode terbaik dipilih sesuai dengan standar mutu KPI menurut FAO (1976) yaitu KPI tipe A dengan kriteria kadar lemak maksimal 0,75%, kadar protein minimal 67,5%, skor organoleptik aroma ikan lemah dan derajat putih tinggi; KPI Tipe B adalah KPI yang diperoleh dengan cara menghilangkan lemak melalui proses ekstraksi sampai dihasilkan KPI dengan kandungan lemak kurang dari 3%, flavor ikan masih tampak dalam sebagian besar makanan yang ditambahkan KPI; KPI Tipe C, merupakan tepung ikan yang biasa diproduksi secara higienis, dengan kandungan lemak lebih besar dari 10%, serta aroma dan flavor ikan yang takali.

Kadar protein KPTI

(29)

pengulangan ekstraksi 1 kali (61,67%) dan berbeda nyata dengan perlakuan 2 kali (67,50%) dan 3 kali (70,01%). Histogram rata-rata kadar protein KPTI cakalang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar protein KPTI cakalang. Jenis pelarut : ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka kadar protein KPTI cakalang tergolong KPI tipe A sesuai persyaratan FOA (1976) yaitu minimal 67,5%. Kadar protein yang tinggi pada KPTI cakalang dibandingkan dengan protein pada telur ikan cakalang segar dipengaruhi oleh adanya penurunan kandungan lemak dan air pada saat proses ekstraksi dan pengeringan. Menurut Balaswamy et al. (2007), persentase protein dari beberapa KPTI menunjukkan kandungan protein yang tinggi (70-80%). Kadar protein yang tinggi disebabkan karena adanya interaksi antara jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi sehingga komponen nonprotein terekstrak dengan baik.

(30)

kurang dari 3%, sedangkan KPI tipe C memiliki kadar lemak kurang dari 10% (FAO 1976). Histogram rata-rata kadar lemak disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar lemak KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan jenis pelarut dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar lemak konsentrat protein telur ikan (p<0,05), sedangkan pengulangan ekstraksi tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar lemak (p>0,05). Rata-rata kadar lemak terendah dihasilkan oleh perlakuan penggunaan IPA dengan pengulangan ekstraksi 3 kali (2,78%) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2 kali (2,93%), sedangkan kadar lemak tertinggi dihasilkan oleh perlakuan penggunaan etanol dengan pengulangan ekstraksi 1 kali (10,64%) dan berbeda nyata dengan perlakuan 2 kali (7,02%) dan 3 kali (10,64%).

Penggunaan pelarut IPA untuk ekstraksi lemak pada pembuatan KPTI cakalang lebih baik dibandingkan etanol. Berdasarkan FAO (1976), KPTI cakalang yang dihasilkan tergolong ke dalam KPI tipe B, yaitu kadar lemak yang kurang dari 3%. Beberapa penelitian yang menghasilkan KPI tipe B diantaranya Chalamaiah et al. (2011) menghasilkan KPTI Cirrhinus mrigala dengan kadar lemak 8,8%; Wiharja et al. (2013) menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah masing-masing dengan kadar lemak 2,83% dan 3,75.

Pemilihan pelarut sangat penting dalam melakukan ekstraksi lemak. Pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi KPI adalah etanol dan IPA yang memiliki kemampuan untuk menghilangkan lemak dalam jumlah yang banyak. Proses ekstraksi protein dengan menggunakan alkohol akan meningkatkan kadar protein dan menurunkan kadar lemak. Kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik juga dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon, semakin banyak jumlah ikatan rangkap maka kelarutan lemak semakin tinggi.

Derajat putih KPTI

Penilaian secara subyektif merupakan salah satu faktor penting, selain nilai gizi suatu produk. Bentuk atau fisik yang baik akan meningkatkan nilai kesukaan konsumen. Warna adalah salah satu parameter subyektif yang penting dalam

(31)

menentukan penilaian konsumen terhadap suatu produk. Warna KPI ditentukan dengan mengukur derajat putih.

Derajat putih adalah analisis yang menentukan keputihan suatu bahan yang sangat erat dengan daya terima konsumen. Semakin baik warna maka semakin disukai oleh konsumen. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan warna KPI yang dihasilkan oleh kedua jenis pelarut. Pelarutan dengan IPA menghasilkan warna yang lebih baik dibandingkan etanol. Histogram rataan derajat putih KPTI cakalang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap derajat putih KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai derajat putih KPTI cakalang dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh pengulangan ekstraksi dan interaksinya. Jenis pelarut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap derajat putih KPTI cakalang (P>0,05). Nilai tertinggi derajat putih KPTI cakalang dihasilkan oleh perlakuan jenis pelarut IPA dengan pengulangan ekstraksi 3 kali (47,77%), lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Tirtajaya et al. (2008) yang menghasilkan derajat putih KPI ikan nila sebesar 73,85%. Hal ini diduga karena adanya perbedaan kandungan lemak antar perlakuan, semakin tinggi kandungan lemak maka semakin rendah derajat putih yang dihasilkan sebaliknya semakin rendah kandungan lemak maka derajat putih yang dihasilkan semakin tinggi.

Peningkatan warna putih disebabkan oleh berkurangnya kadar lemak setelah diekstrak. Faktor lain yang mempengaruhi derajat putih KPI adalah proses pengeringan. Hutapea et al. (2004) menjelaskan bahwa asam amino dari protein dapat bereaksi dengan hasil oksidasi lemak membentuk senyawa imine yang berwarna kecoklatan.

Nilai aroma

Salah satu syarat mutu KPI adalah nilai aroma. KPI dengan mutu yang baik memiliki nilai aroma ikan yang lemah bila diseduh dengan air panas. Selain untuk menghilangkan kadar lemak, proses ekstraksi dengan alkohol bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan aroma amis pada KPI. Etanol dan IPA merupakan dua jenis pelarut yang digunakan dalam mengekstraksi KPI. Semakin

(32)

banyak lemak yang diektraksi, maka semakin lemah aroma amis yang timbul. Rawdkuen et al. (2009) menyebutkan bahwa proses ekstraksi tidak hanya mampu menghilangkan lemak, akan tetapi juga menghilangkan material-material lain seperti darah, pigmen dan bahan penyusun aroma. Histogram hasil uji skoring terhadap aroma KPTI cakalang disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai aroma KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05).

Nilai aroma ditentukan secara organoleptik dengan menggunakan uji skoring. Skala yang digunakan adalah 1-5, semakin kecil nilai maka semakin beraroma ikan dan sebaliknya semakin besar nilai maka semakin tidak beraroma ikan. KPTI cakalang yang diuji aroma diharapkan tidak memiliki aroma amis yang takali sehingga mudah diaplikasikan dalam pembuatan produk dan mudah diterima oleh konsumen.

Hasil uji statistik nonparametrik menggunakan uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada pengaruh jenis pelarut, pengulangan ekstraksi dan interaksinya terhadap nilai aroma konsenstrat protein telur ikan (P>0,05). Aroma yang tidak berubah atau tidak adanya perubahan aroma yang dihasilkan disebabkan oleh kandungan lemak yang masih tinggi ataupun adanya kotoran-kotoran lain yang menyebabkan aroma amis masih tercium. Nilai aroma tertinggi diperoleh pada perlakuan IPA dengan pengulangan ekstraksi 3 kali yaitu 2,60. Hasil penelitian Wiharja et al. (2013) menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah dengan nilai aroma masing-masing 3,33 dan 3,03. Kualitas KPTI yang baik memiliki nilai aroma amis yang lemah (Nollet et al. 2007).

Pemilihan metode pembuatan KPTI terbaik

Pemilihan metode pembuatan konsentrat protein terbaik ditentukan berdasarkan syarat mutu KPI menurut FAO (1976). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar protein, kadar lemak dan derajat putih; sedangkan untuk nilai aroma tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05). Kadar protein tertinggi diperoleh pada perlakuan isopropil alkohol dengan pengulangan

(33)

ekstraksi 2 kali dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan 3 kali, kadar lemak terendah diperoleh pada perlakuan isopropil alkohol dengan pengulangan ekstraksi 3 kali, derajat putih tertinggi diperoleh pada perlakuan isopropil alkohol dengan pengulangan ekstraksi 3 kali dan semua perlakuan menunjukkan tidak adanya pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai aroma. Nilai aroma tertinggi diperoleh pada perlakuan isopropil alkohol dengan pengulangan ekstraksi 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian maka metode ekstraksi terbaik pada pembuatan KPTI cakalang adalah menggunakan isopropil alkohol dengan pengulangan ekstraksi 3 kali.

Nilai gizi KPTI cakalang terpilih

Kualitas bahan pangan ditentukan oleh komposisi nilai gizi yang berkaitan dengan kandungan protein, lemak, air, abu dan karbohidrat. Mutu protein ditentukan oleh kemampuan penyerapan atau daya cerna protein dalam tubuh. Komposisi nilai gizi KPTI cakalang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi nilai gizi KPTI cakalang

Parameter Nilai Pembanding

Protein merupakan molekul esensial dalam penyusunan struktur maupun proses fungsional tubuh makhluk hidup. Protein merupakan senyawa organik kompleks yang mengandung asam amino yang terikat satu sama lain melalui ikatan pedtida (Kusnandar 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein KPTI cakalang 71,79%, lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) yang menghasilkan KPTI tuna dengan kadar protein 79,90% dan lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Rao (2014) yang menghasilkan kadar protein KPTI Cyprinus carpio sebesar 70,71%. Menurut syarat FAO (1976), KPI dengan kadar protein minimal 67,5 % tergolong KPI tipe A.

Lemak terkandung dalam semua jenis bahan pangan. Setiap bahan pangan memiliki kadar lemak yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak KPTI cakalang 2,78% sedangkan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) menghasilkan KPTI tuna dengan kadar lemak 2,83% dan hasil penelitian Ibrahim (2009) menghasilkan KPI Tilapia dengan kadar lemak 0,75%. Menurut syarat FAO (1976), KPI dengan kadar lemak minimal 3% tergolong KPI tipe B.

(34)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air KPTI cakalang sebesar 7,40% lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Rao (2014) yang menghasilkan KPTI

Cyprinus carpio dengan kadar air 8,07% dan lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Ibrahim (2009) yang menghasilkan KPI nila dengan kadar air 4,18%. Menurut FAO (1976) kadar air maksimum KPI sebesar 10%.

Kadar abu pada bahan pangan menunjukkan adanya kandungan mineral-mineral dalam bahan pangan. Mineral adalah komponen anorganik misalnya kalsium (Ca), fosfor (P) dan sulfur (S) (Kusnandar 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu KPTI cakalang sebesar 7,53% lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Ibrahim (2009) yang menghasilkan KPI nila dengan kadar abu 25,39% dan lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Rao (2014) yang menghasilkan KPTI Cyprinus carpio dengan kadar abu 5,49%.

Kandungan karbohidrat dalam daging ikan berupa polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan segar. Hasil penelitian menunjukkan kadar karbohidrat KPTI cakalang sebesar 10,52% lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Rao (2014) yang menghasilkan KPTI

Cryprinus carpio dengan kadar karbohidrat 15,12%.

Nilai gizi protein bahan pangan tidak hanya dilihat dari segi kuantitas saja, akan tetapi segi kualitas juga perlu diperhatikan (Muchtadi 1993). Kualitas protein dapat ditentukan oleh daya cerna protein dan bioavailabilitas asam amino yang dikandungnya (Gilani dan Sepehr 2003). Pengujian daya cerna protein KPTI cakalang dilakukan dengan cara in vitro menggunakan enzim pepsin. Menurut Soedarmo (1989) pepsin yang dihasilkan oleh sel-sel dinding mukosa lambung akan menguraikan residu fenilalanin, tirosin dan triptofan, yang merupakan asam-asam amino aromatik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya cerna protein in vitro KPTI cakalang sebesar 95,86%. Hasil penelitian Tirtajaya et al. (2008) dengan menggunakan metode multienzim menghasilkan KPI nila dengan daya cerna in vitro 95,87%. Menurut FAO (1976) daya cerna pepsin minimum untuk KPI adalah 92%.

Sifat fungsional KPTI cakalang terpilih

Disamping berperan sebagai sumber gizi, protein dari sumber yang berbeda akan memiliki sifat fungsional tertentu yang dapat berpengaruh pada karakteristik produk pangan. Sifat fungsional protein ini berperan penting dalam pengolahan pangan, penyimpanan dan penyajiannya (Kusnandar 2010). Sifat fungsional KPTI yang dianalisis meliputi daya serap air, daya serap minyak, kapasitas emulsi, densitas kamba, kapasitas buih dan stabilitas buih. Karakteristik sifat fungsional KPTI cakalang disajikan pada Tabel 3.

(35)

sifat yang penting dari protein karena akan menentukan sifat hidrasi, pengembangan produk, kelarutan, viskositas, dan gelasi (Tirtajaya et al. 2008).

Tabel 3 Karakteristik sifat fungsional KPTI cakalang

Sifat fungsional Nilai Pembanding Daya serap air (g/mL) 1,57±0,01 5,38a

Daya serap minyak (g/g) 1,82±0,01 1,77a Kapasitas emulsi (%) 81,65±0,24 6,5b *

Densitas kamba (g/mL) 0,51±0,00 0,83b

Kapasitas buih (mL) 1,90±0,21 26,00b

Stabilitas buih (10 menit) 0,22±0,05 17,00b

a)

Wiharja et al. (2013);b)Rao (2014); *ml/g

Daya serap minyak adalah sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan pangan terhadap penyerapan minyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap minyak KPTI cakalang adalah 1,82 g/g, ini berarti setiap 1,82 g KPTI mampu menyerap 1 mL minyak. Hasil penelitian Wiharja et al. (2013) menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah dengan daya serap minyak masing-masing 1,77 g/g dan 1,89 g/g; sedangkan Rao (2014) menghasilkan daya serap minyak pada KPTI Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina masing-masing 0,83 g/g dan 1,01 g/g. Menurut Ravi dan Sushelamma (2005) mekanisme penyerapan minyak melalui pemerangkapan minyak secara fisik yang berhubungan dengan keberadaan gugus nonpolar protein. Protein dan jenis protein berkontribusi terhadap sifat kapasitas penyerapan minyak bahan pangan. Asam amino yang bersifat nonpolar misalnya fenilalanin, leusin, isoleusin, metionin, valin, dan triptofan dapat membentuk ikatan hidrofobik dengan minyak (Winarno 2008).

Kapasitas emulsi terjadi jika suatu bahan dapat menyerap air dan minyak secara seimbang. Kapasitas emulsi adalah kemampuan larutan/suspensi protein untuk mengemulsikan minyak (Kusnandar 2010). Chalamaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas emulsi protein tergantung pada keseimbangan ikatan hidrofilik dan lipofilik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas emulsi KPTI cakalang adalah 81,65% atau 0,8165 mL/g lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Rao (2014) menghasilkan kapasitas emulsi sebesar 6,5 mL/g dan 5,5 mL/g masing-masing pada KPTI Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina dan Rao et al. (2012b) menghasilkan KPTI Channa striatus dan Lates calcarifer

dengan kapasitas emulsi masing-masing 56 mL/g dan 12 mL/g. Protein dapat menstabilkan emulsi dengan menjembatani antara air dan lemak. Hal ini disebabkan protein memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik, sisi hidrofilik akan mengikat air dan sisi hidrofobik akan mengikat lemak (Kusnandar 2010).

(36)

dan Rao (2014) menghasilkan KPTI Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina

dengan densitas kamba masing-masing 0,83g/mL dan 0,75 g/mL.

Kekuatan protein dalam memerangkap gas merupakan faktor utama yang menentukan karakteristik sifat pembentukan buih. Buih adalah dispersi koloid dalam air (Kusnandar 2010). Chamalaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas buih bergantung pada fleksibilitas molekul dan sifat fisiko kimia protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas buih KPTI cakalang adalah 1,90 mL dan stabilitas buihnya pada menit ke 10 adalah 0,22. Rao (2014) menghasilkan kapasitas buih 26 mL dan 56 mL dengan stabilitas buihnya setelah 10 menit adalah 17 mL dan 12 mL masing-masing pada KPTI Cyprinus carpio

dan Epinephelus tauvina. Busa dapat didefinisikan sebagai sistem dua fase yang mengandung udara, yang dipisahkan dengan lapisan kontinyu yang tipis, yang disebut fase lamellar. Busa protein pada permukaan merupakan sistem yang kompleks, mengandung campuran gas, cairan, padatan, dan surfaktan (Kusnandar 2010).

Profil Asam Amino KPTI Terpilih

Protein terdiri atas asam amino yang tergabung melalui ikatan peptida. Asam-asam amino pembentuk protein terdiri dari asam amino esensial, non-esensial dan semi-non-esensial. Komposisi asam amino menentukan kualitas protein terutama asam amino esensial. Tirtajaya et al. (2008) menyebutkan bahwa profil asam amino menunjukkan jenis dan jumlah asam amino esensial yang terkandung di dalam suatu jenis protein. Asam amino esensial sangat dibutuhkan oleh tubuh karena di dalam tubuh manusia tidak dapat memproduksinya sehingga perlu adanya asupan dari luar tubuh. Komposisi asam amino KPTI cakalang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi asam amino (mg/g protein) KPTI cakalang

(37)

Protein yang mudah dicerna menunjukkan asam-asam aminonya mudah diserap dan mampu digunakan secara maksimal oleh tubuh. Sebaliknya, protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar protein yang diasup dibuang kembali bersama feses (WNPG 2004).

Hasil penelitian menunjukkan jumlah asam amino KPTI cakalang 849,70 mg/g protein. Hasil penelitian Wiharja et al. (2013) yang menghasilkan KPTI tuna dengan jumlah asam amino 771,79 mg/g protein. Komposisi asam amino esensial KPTI cakalang lebih rendah dibandingkan dengan KPTI tuna (Wiharja et al.

2013). Lisin merupakan asam amino esensial dengan jumlah tertinggi (70,76 mg/g protein) dibandingkan dengan asam amino esensisal lainnya. Hussain et al. (2007) menyatakan bahwa ikan mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang tinggi tetapi memiliki asam amino metionin yang rendah jika dibandingkan dengan beras dan bahan pangan sereal lainnya.

Lisin merupakan salah satu asam amino esensial yang sangat dibutuhkan oleh balita. Konsentrat protein telur ikan cakalang memiliki jumlah lisin 7,08% per berat protein. Hasil ini telah memenuhi persyaratan lisin minimum menurut FAO yaitu 6,5% dari berat protein. Asam amino pembatas pada komposisi asam amino KPTI cakalang adalah metionin. Hasil penelitian Wiharja et al. (2013) juga menghasilkan metionin sebagai asam amino pembatas pada komposisi asam amino KPTI tuna. Data mengenai asam amino pembatas berguna untuk mengetahui asam amino esensial yang harus disuplementasi untuk meningkatkan nilai gizi protein (Muchtadi 1993).

Simpulan

Metode ekstraksi menggunakan IPA dengan pengulangan ekstraksi 3 kali menghasilkan KPTI cakalang yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain. KPTI cakalang terbaik yang dihasilkan memiliki kadar protein 71,79%, lemak 2,78%, derajat putih 47,77% dan masih memiliki aroma amis. KPTI cakalang tergolong KPI tipe B sesuai syarat FAO (1976).

Konsentrat protein telur ikan cakalang terbaik memiliki daya cerna protein

(38)

3 APLIKASI KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN

Indonesia sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah kekurangan konsumsi protein. Periode usia sampai 2 tahun merupakan masa kritis bagi peningkatan perkembangan kesehatan yang optimal. Pengaruh yang langsung dari gizi kurang selama masa tersebut meliputi terlambatnya perkembangan mental dan motorik. Pengaruh jangka panjang dari kurangnya zat gizi yang terjadi pada masa dini dihubungkan dengan kemampuan bekerja dan intelektual. Prevalensi kurang gizi balita terus mengalami kenaikan sejak tahun 2000 (24,7%) kemudian 26,1% (2001), 27,3% (2002) dan 27,5% (2003) (Depkes 2004). WHO (2006) mempublikasikan indikator kesehatan di Indonesia pada tahun 2004, meliputi balita dengan tinggi badan kurang (28,6%), balita dengan berat badan kurang (19,7%) dan balita dengan kelebihan berat badan (5,1%).

Kekurangan gizi biasanya rentan terjadi pada kelompok usia 6 sampai 24 bulan, sehingga perlu adanya upaya pemberian makanan pendamping untuk menunjang ASI. Sulaeman dan Muchtadi (2003) menyatakan bahwa pada masa penyapihan (masa peralihan antara penyusuan dan makanan dewasa sebagai sumber energi dan zat gizi utama), pemberian ASI mulai dikurangi atau konsumsi ASI berkurang dengan sendirinya sehingga untuk mencukupi kebutuhan gizinya anak perlu diberikan makanan tambahan. Makanan yang dikonsumsi dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan gizinya, khususnya protein dan energinya. Upaya pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) terus dilakukan dan dikembangkan sehingga dapat memenuhi kecukupan bayi. Makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) didefinisikan sebagai makanan bergizi yang diberikan disamping ASI kepada bayi berusia 6 (enam) bulan ke atas atau berdasarkan indikasi medik, sampai anak berusia 24 (dua puluh empat) bulan untuk mencapai kecukupan gizi. Makanan pandamping ASI biskuit adalah MP–ASI yang diproduksi melalui proses pemanggangan yang dapat dikonsumsi setelah dilumatkan dengan penambahan air, susu, atau cairan lain yang sesuai untuk bayi diatas 6 (enam) bulan atau berdasarkan indikasi medik, atau dapat dikonsumsi langsung sesuai umur dan organ pencernaan bayi/anak (BSN 2005).

(39)

memanfaatkan protein telur ikan sebagai bahan tambahan dan substitusi ke dalam makanan belum banyak dilakukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan konsentrat protein telur ikan cakalang sebagai bahan substitusi dalam formulasi biskuit MP-ASI dan mengevaluasi karakteristik organoleptik, nilai gizi dan sifat fungsionalnya.

Bahan dan Metode Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Diversifikasi dan Pengolahan Hasil Perairan Departemen THP, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi IPB, Laboratorium Kimia Terpadu Kampus Baranangsiang IPB dan Puskesmas Anggrek RW 1 Desa Babakan, Dramaga-Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap ini adalah KPTI cakalang terpilih pada tahap pertama, tepung terigu, susu skim, mentega, telur, tepung gula, essence pisang dan bahan pengembang. Peralatan yang digunakan antara lain: timbangan, baskom, mixer, cetakan, telenan, aluminium foil, sendok, oven (Kirin Electric Type kb0-190kaw), plastik polypropyline (PP), sentrifus (tipe C-5 Centrifuge Horizontal swing-out Rotor up to 5.000 rpm) dan HPLC (Shimadzu Type LC- 20AB).

Tahapan penelitian

Formulasi biskuit MP-ASI dengan substitusi KPTI terpilih dari penelitian tahap sebelumnya mengacu pada penelitian Rieuwpassa (2005) yang dimodifikasi seperti yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Formulasi substitusi KPTI cakalang terhadap susu skim

Gambar

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan KPTI cakalang  Keterangan : *bagian yang dimodifikasi (modifikasi metode Sikorski dan Nazck 1981)
Tabel 1 Komposisi nilai gizi telur ikan cakalang
Gambar 5 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap
Tabel 2 Komposisi nilai gizi KPTI cakalang
+7

Referensi

Dokumen terkait