• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar belakang

Kekurangan energi protein (KEP) masih menjadi salah satu masalah di Indonesia sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah kekurangan konsumsi protein. Periode usia sampai 2 tahun merupakan masa kritis bagi peningkatan perkembangan kesehatan yang optimal. Pengaruh yang langsung dari gizi kurang selama masa tersebut meliputi terlambatnya perkembangan mental dan motorik. Pengaruh jangka panjang dari kurangnya zat gizi yang terjadi pada masa dini dihubungkan dengan kemampuan bekerja dan intelektual. Prevalensi kurang gizi balita terus mengalami kenaikan sejak tahun 2000 (24,7%) kemudian 26,1% (2001), 27,3% (2002) dan 27,5% (2003) (Depkes 2004). WHO (2006) mempublikasikan indikator kesehatan di Indonesia pada tahun 2004, meliputi balita dengan tinggi badan kurang (28,6%), balita dengan berat badan kurang (19,7%) dan balita dengan kelebihan berat badan (5,1%).

Kekurangan gizi biasanya rentan terjadi pada kelompok usia 6 sampai 24 bulan, sehingga perlu adanya upaya pemberian makanan pendamping untuk menunjang ASI. Sulaeman dan Muchtadi (2003) menyatakan bahwa pada masa penyapihan (masa peralihan antara penyusuan dan makanan dewasa sebagai sumber energi dan zat gizi utama), pemberian ASI mulai dikurangi atau konsumsi ASI berkurang dengan sendirinya sehingga untuk mencukupi kebutuhan gizinya anak perlu diberikan makanan tambahan. Makanan yang dikonsumsi dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan gizinya, khususnya protein dan energinya. Upaya pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) terus dilakukan dan dikembangkan sehingga dapat memenuhi kecukupan bayi. Makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) didefinisikan sebagai makanan bergizi yang diberikan disamping ASI kepada bayi berusia 6 (enam) bulan ke atas atau berdasarkan indikasi medik, sampai anak berusia 24 (dua puluh empat) bulan untuk mencapai kecukupan gizi. Makanan pandamping ASI biskuit adalah MP–ASI yang diproduksi melalui proses pemanggangan yang dapat dikonsumsi setelah dilumatkan dengan penambahan air, susu, atau cairan lain yang sesuai untuk bayi diatas 6 (enam) bulan atau berdasarkan indikasi medik, atau dapat dikonsumsi langsung sesuai umur dan organ pencernaan bayi/anak (BSN 2005).

Pemanfaatan konsentrat protein ikan dalam formulasi makanan terus dilakukan. Kusharto et al. (2005) memberikan biskuit berbasis konsentrat protein ikan yang diperkaya probiotik sebagai makanan fungsional untuk balita; Rieuwpassa dan Soukota (2005) melakukan penambahan konsentrat protein ikan teri ke dalam formulasi biskuit plus probiotik untuk meningkatkan sistem imum pada balita; Tirtajaya et al. (2008) menambahkan konsentrat protein ikan nila ke dalam cookies coklat; Santoso et al. (2009) melakukan substitusi konsentrat protein ikan nila ke dalam makanan bayi berbentuk bubur; Widiyawati (2011) memanfaatkan konsentrat protein ikan dan kalsium tulang ikan lele sebagai bahan substitusi ke dalam makanan bayi berbentuk bubur. Tetapi penelitian yang

memanfaatkan protein telur ikan sebagai bahan tambahan dan substitusi ke dalam makanan belum banyak dilakukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan konsentrat protein telur ikan cakalang sebagai bahan substitusi dalam formulasi biskuit MP-ASI dan mengevaluasi karakteristik organoleptik, nilai gizi dan sifat fungsionalnya.

Bahan dan Metode Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Diversifikasi dan Pengolahan Hasil Perairan Departemen THP, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi IPB, Laboratorium Kimia Terpadu Kampus Baranangsiang IPB dan Puskesmas Anggrek RW 1 Desa Babakan, Dramaga-Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap ini adalah KPTI cakalang terpilih pada tahap pertama, tepung terigu, susu skim, mentega, telur, tepung gula, essence pisang dan bahan pengembang. Peralatan yang digunakan antara lain: timbangan, baskom, mixer, cetakan, telenan, aluminium foil, sendok, oven (Kirin Electric Type kb0-190kaw), plastik polypropyline (PP), sentrifus (tipe C-5 Centrifuge Horizontal swing-out Rotor up to 5.000 rpm) dan HPLC (Shimadzu Type LC- 20AB).

Tahapan penelitian

Formulasi biskuit MP-ASI dengan substitusi KPTI terpilih dari penelitian tahap sebelumnya mengacu pada penelitian Rieuwpassa (2005) yang dimodifikasi seperti yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Formulasi substitusi KPTI cakalang terhadap susu skim

Komponen F0 Perbandingan KPTI cakalang : susu skim (g) (0:30) F1 ( 5:25) F2 (10:20) F3 (15:15) F4 (20:10) F5 (25:5) F6 (30:0) KPTI 0 5 10 15 20 25 30 Susu skim 30 25 20 15 10 5 0 Tepung gula 20 20 20 20 20 20 20 Tepung terigu 35 35 35 35 35 35 35 Margarin 10 10 10 10 10 10 10 Telur 5 5 5 5 5 5 5 Total 100 100 100 100 100 100 100 Bahan pengembang Secukupnya esens pisang

Formula terbaik dipilih berdasarkan uji organoleptik (Soekarto dan Hubeis 1982) dengan 30 orang panelis yaitu ibu-ibu yang mempunyai anak balita. Formula kontrol, produk komersial dan formula terpilih kemudian dianalisis lanjut meliputi kadar protein (AOAC 2005), kadar lemak (AOAC 2005), kadar abu (AOAC 2005), kadar air (AOAC 2005), kadar karbohidrat (by difference) daya serap air (Beuchat 1977), daya serap minyak (Beuchat 1977), densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992), kapasitas rehidrasi (Kumar et al. 2001), kapasitas emulsi (Yatsumatsu et al. 1972), komposisi asam amino (AOAC 1995) dan daya cerna protein in vitro (Anderson et al. 1969). Diagram pembuatan biskuit MP-ASI disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir pembuatan formula biskuit MP-ASI kaya protein Telur + margarin + gula diaduk hingga merata

(±10 menit) sambil ditambahkan bahan pengembang

Pengadukan hingga merata (±10 menit)

Penambahan terigu dan pengadukan hingga terbentuk adonan dan penambahan esens

Pencetak dan pemanganggan dalam oven, suhu ±150oC selama 15-20 menit

Uji organoleptik

Penambahan KPTI dan susu skim sesuai dengan perlakuan F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 Biskuit MP-ASI kaya protein Biskuit MP- ASI terpilih -Kadar protein -Kadar lemak -Kadar air -Kadar abu -kadar karbohidrat -Daya serap air -Daya serap lemak -Densitas kamba -Kapasitas rehidrasi -Kapasitas emulsi -Komposisi asam

amino

-Daya cerna protein In vitro

Analisis

Uji organoleptik (Soekarto dan Hubies 1982)

Pengujian organoleptik untuk sampel biskuit MP-ASI menggunakan uji skoring dengan enam parameter penilaian, yaitu: 1) kehalusan dalam mulut, 2) kemudahan ditelan, 3) kelengketan dalam mulut, 4) aroma (aroma), 5) rasa dan 6) kesukaan secara keseluruhan. Panelis terdiri dari 30 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita (1-24 bulan). Panelis memberikan penilaian berdasarkan karakteristik setiap parameter tanpa membandingkan sampel satu dengan sampel yang lain. Tingkat skor yang digunakan adalah 1 sampai dengan 5. Skor 1 (satu) menyatakan nilai terendah, sedangkan skor 5 (lima) menyatakan nilai tertinggi untuk setiap parameter. Skor penilaian yang digunakan diberikan pada panelis terdapat pada Lampiran 2.

Kadar protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi.

a. Tahap destruksi

Sampel sebanyak 1 g ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Sebanyak 0,25 g selenium dan 25 mL H2SO4 pekat ditambahkan ke

dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening .

b. Tahap destilasi

Sampel yang telah didestruksi dituangkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan akuades 50 mL. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 mL. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 mL berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes

indikator (cairan methyl red dan brown cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 mL destilat dan berwarna hijau kebiruan.

c. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein ditentukan dengan rumus:

N (%) = H − N H ,

x

100%

Protein (%) = N (%) x faktor konversi (6,25) Kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel sebanyak 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung sokhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi sokhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC menggunakan pemanas listrik selama 16

menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC dan didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak:

Kadar lemak (%) = −

x

100% Keterangan : W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

Kadar air (AOAC 2005)

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 5 g ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105- 110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar air (%) =

x

%

Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g) Kadar Abu (AOAC 2005)

Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC selama 30 menit. Cawan abu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) selama 7 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang sampai berat konstan. Perhitungan kadar abu ditentukan dengan rumus:

Kadar abu (%) =

x

100%

Kadar kabohidrat (bydifference)

Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil

pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Perhitungan kadar karbohidrat ditentukan dengan rumus:

Kadar KH (%) = 100 - (kadar protein + kadar lemak + kadar abu + kadar air) Daya Serap Air (Beuchat 1977)

Sampel sebanyak satu gram dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 mL akuades, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan

pada suhu kamar selama 30 menit. Setelah itu disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume air bebas atau yang tidak terserap oleh sampel diukur dengan gelas ukur.

Daya serap air (mL/g) = − Keterangan :

A = berat awal + air terserap B = berat akhir + air tidak terserap Daya Serap Lemak (Beuchat 1977)

Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 mL minyak nabati, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Sampel kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume minyak yang bebas atau yang tidak terserap oleh sampel, diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berkut :

Daya serap minyak (g/g) = − x BJ Keterangan :

A = berat awal + minyak terserap C = berat akhir + minyak tidak terserap BJ = 0,892

Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992)

Sebanyak 10 g sampel diukur volumenya dengan gelas ukur 50 mL. Densitas kamba dinyatakan dalam g/mL.

Densitas kamba (g/mL) =

Kapasitas rehidrasi (Kumar et al. 2001)

Kapasitas rehidrasi digambarkan melalui rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi. Waktu rehidrasi merupakan kemampuan bahan menyerap air (mL) dalam waktu (detik) dan rasio rehidrasi merupakan gambaran antara jumlah air yang ditambahkan dalam jumlah bahan makanan setiap penyajian. Sebanyak 20 g sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL, kemudian ke dalam gelas dimasukkan air pada suhu ruang. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap waktu rehidrasi dan rasio rehidrasi.

Kapasitas Emulsi (Yatsumatsu et al. 1972)

Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g konsentrat protein telur ikan ditambahkan 20 mL air dan 20 mL minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 5 menit. Kapasitas emulsi dihitung dengan menggunakan rumus :

Komposisi Asam Amino (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam gelas piala 25 mL ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 mL, kemudian dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100 oC. Sampel disaring dan diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan 5 mL

larutan pengering (metanol, picolotiocianat, trietilamin) kemudian dikeringkan. Larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, dan trietilamin) ditambahkan dan sampel didiamkan selama 20 menit. Larutan asetat 1 M sebanyak 200 mL ditambahkan dan sampel siap diinjeksikan ke HPLC.

Kondisi alat HPLC sebagai berikut : temperatur pada suhu ruang, kolom yang digunakan adalah pico tag 3,9x150 mm, kecepatan aliran 1,5 mL/menit, batas tekanan 3000 psi, program gradien, fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M, dan detektor sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm.

Asam amino (%) = x x BM x FK x

Asam Amino (mg/g protein) = %

% Keterangan : FK = faktor koreksi

BM = berat molekul

Daya cerna protein in vitro (Anderson et al. 1969)

Sebanyak 0,25 g contoh dimasukkan ke dalam elenmeyer 50 mL, ditambahkan sebanyak 15 mL HCl 0,01 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin dan dikocok pada kecepatan rendah pada suhu 37 ºC selama 3 kali dengan

shaker. Larutan dinetralkan dengan NaOH 0,5 N dan ditambahkan 4 mg enzim pankreatin di dalam 7,5 mL larutan buffer fosfat 0,2 M dengan pH 8,0 yang mengandung natrium azida 0,005 M. Larutan yang diperoleh dikocok pada kecepatan rendah, pada suhu 37 ºC selama 24 jam dengan shaker kemudian disentrifus pada 2.500 rpm selama 5 menit. Padatan yang diperoleh dari akhir penyaringan dengan kertas whatman 41, dikeringkan dalam oven 105 ºC selama 2 jam, lalu ditimbang (sebelumnya bobot kering kertas saring sudah dicatat). Setelah itu, sampel tersebut dianalisis kandungan nitrogennya dengan menggunakan metode Kjeldahl.

Daya cerna protein (%) = T −N

T

x

100%

Analisis data

Rancangan percobaan (Steel and Torrie 1993)

Data nilai organoleptik formula biskuit MP-ASI (uji skoring) di uji menggunakan analisis non parametrik yaitu Kruskall-Wallis. Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan disusun mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar dan kemudian ditentukan peringkatnya masing-masing. Statistik uji yang digunakan adalah:

H =

�+ �+ + ∑ (� �⁄ )– 3 (n+1) H1 = H

Pembagi = − ∑�

�− �+ dengan T = (t-1)(t+1) Keterangan:

n = jumlah data total

ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i Ri2 = jumlah peringkat dari perlakuan ke-i

T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H = simpangan baku

H1 = H terkoreksi

t = banyaknya pengamatan seri

Data hasil uji Kruskal Wallis apabila menunjukkan beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Dunn untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut perbandingan berganda dapat dirumuskan sebagai berikut:

|� − � | > � −�∗√ +

α* =

Keterangan:

R1 = rata-rata ranking perlakuan ke-i

Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j

k = banyaknya ulangan n = jumlah data total

Formula terpilih, formula kontrol dan produk komersial dianalisi statisktik parametrik dengan menggunakan analisis ragam yaitu rancangan acak lengkap untuk melihat perbedaan antara formula terpilih dengan formula kontrol dan produk komersial. Secara matematik rancangan acak lengkap menurut Steel dan Torrie (1993) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Ai+ €ij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-i

i = perlakuan (formula terpilih, formula kontrol dan produk komersial) j = ulangan (n=1,2)

µ = nilai tengah umum Ai = pengaruh faktor A ke- i

€ij = galat percobaan dari faktor A ke-i

Data yang diperoleh sebelum dianalisis ragam (anova) dilakukan uji kenormalan uji Klomogrov Smirnov. Apabila data yang diperoleh dengan analisis ragam (anova) menunjukkan adanya pengaruh, maka dilanjutkan dengan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan (DMRT).

Hasil dan Pembahasan

Aplikasi KPTI Cakalang dalam Formula Biskuit MP-ASI

Formulasi biskuit MP-ASI dengan substitusi KPTI cakalang terbaik bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi substitusi yang berbeda terhadap nilai organoleptik MP-ASI yang dihasilkan. Pengujian organoleptik melibatkan 30 orang ibu yang memiliki anak balita. Nilai organoleptik ditentukan berdasarkan enam parameter, yaitu kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, kelengketan dalam mulut, nilai aroma, nilai rasa dan kesukaan secara keseluruhan. Setiap penelis memberikan skor 1 sampai dengan 5. Nilai 5 merupakan nilai tertinggi dan nilai 1 merupakan nilai terendah. Menurut Mirdhayanti (2004), sifat kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, dan kelengketan dalam mulut merupakan syarat utama untuk makanan bayi pendamping ASI. Pengujian aroma, rasa, dan kesukaan keseluruhan bertujuan mengetahui pengaruh perbedaan substitusi KPTI cakalang terhadap kualitas organoleptik produk biskuit MP-ASI yang dihasilkan. Hasil uji organoleptik dijadikan sebagai parameter penentu formula terpilih.

Karakteristik organoleptik MP-ASI Kehalusan dalam mulut

Kehalusan dalam mulut adalah salah satu faktor penting yang menentukan sifat organoleptik formula biskuit MP-ASI. Hal ini perlu diperhatikan karena berkaitan dengan kenyamanan bayi dalam mencicipinya. Semakin baik nilai kehalusannya semakin baik, bagi bayi merasa nyaman untuk mencicipinya. Histogram uji organoleptik kehalusan dalam mulut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kehalusan dalam mulut. Substitusi KPTI : susu skim (g) ; F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15: 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan jenis formula MP-ASI berpengaruh secara nyata (p<0,05) terhadap nilai organoleptik kehalusan dalam mulut. Skor organoleptik tertinggi terdapat pada formula F0 (3,13) dan

3,13c 2,47b 2,37 ab 2,00a 2,20 ab 2,10a 1,97a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 K eh al u san d al am m u lu t

nilai skor terendah pada formula F6 (1,97). Secara keseluruhan biskuit MP-ASI yang disubstitusikan KPTI menghasilkan nilai kehalusan yang rendah. Semakin besar substitusi KPTI cakalang maka semakin kecil nilai kehalusan yang diperoleh, artinya semakin berpasir produk yang dihasilkan. Hal ini diduga KPTI yang dihasilkan memiliki butiran yang kasar dan tidak larut sempurna pada proses pembuatan biskuit MP-ASI.

Hasil penelitian Santoso et al. (2009) memperlihatkan bahwa bubur MP- ASI yang ditambahkan KPI nila menghasilkan nilai kehalusan dalam mulut yang rendah dibandingkan perlakuan kontrol. Hal yang sama juga diperoleh pada hasil penelitian Widiyawati (2011) yang menunjukkan penurunan nilai kehalusan dalam mulut seiring dengan bertambahnya substitusi KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI. Marta (2011) menyatakan bahwa sifat kehalusan dalam mulut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan penyusun, proses penyerapan air dan proses pengolahan MP-ASI.

Kelengketan dalam mulut

Syarat utama lainnya untuk penentuan formula biskuit MP-ASI adalah kelengketan dalam mulut. Sifat lengket terjadi akibat adanya interaksi dengan air pada saat mengunyah. Histogram uji organoleptik kelengketan dalam mulut disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor Kelengketan dalam mulut. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05).

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan formula MP- ASI tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap skor organoleptik kelengketan dalam mulut. Hasil penelitian Santoso et al. (2009) menghasilkan nilai kelengketan bubur bayi tidak dipengaruhi secara nyata oleh substitusi KPI nila, sedangkan hasil penelitian Widiyawati (2011) menunjukkan semakin banyak substitusi KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI semakin terasa lengket di mulut. Nilai kelengketan dalam mulut tertinggi diperoleh pada formula F4 (3,13) dan nilai terendah diperoleh pada formula F2 (2,80).

2,97a 3,00a 2,80a 3,03a 3,13 a 2,83a 3,00a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 K el en gk et an d al am m u lu t

Kemudahan ditelan

Kemudahan ditelan adalah salah satu syarat produk makanan bayi. Bayi akan makan dengan baik ketika produk yang disajikan mudah ditelan. Hasil analisis Krusskal Wallis menunjukkan bahwa skor kemudahan ditelan dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh perbedaan formula MP-ASI. Nilai organoleptik tertinggi diperoleh pada formula F0 (3,83) dan nilai terendah diperoleh pada formula F3 (2,73). Hasil organoleptik secara keseluruhan menunjukkan bahwa kemudahan ditelan dipengaruhi oleh tingkat substitusi KPTI. Semakin tinggi substitusi KPTI cakalang maka memberikan nilai kemudahan ditelan yang rendah. Hal yang sama diperoleh pada penelitian Widiyawati (2011) yang menunjukkan semakin tinggi substitusi KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI semakin sukar untuk ditelan. Santoso et al. (2009) menyatakan bahwa nilai kemudahan ditelan berhubungan dengan sifat kehalusan dalam mulut yang dipengaruhi oleh perbedaan komposisi KPI. Histogram uji organoleptik kemudahan ditelan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor Kemudahan ditelan. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Nilai Aroma

Parameter organoleptik yang paling penting lainnya adalah nilai aroma. Nilai aroma yang baik akan sangat mudah diterima oleh konsumen dan berhubungan dengan panca indera pengaroma. Nilai aroma yang terdapat pada formula biskuit MP-ASI berasal dari KPTI cakalang. Adanya substitusi KPTI pada formula biskuit MP-ASI diharapkan tidak menimbulkan aroma sehingga masih memiliki aroma makanan bayi pada umumnya. Hasil analisis Kruskal Wallis organoleptik aroma menunjukkan bahwa terdapat perbedaan aroma yang nyata (p<0,05) antara jenis formula MP-ASI dan formula kontrol. . Histogram uji organoleptik aroma disajikan pada Gambar 10.

3,83c 3,20ab 3,33b 2,73a 3,07a 3,07 a 3,07a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 K em u d ah an d it el an

Gambar 10 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor aroma. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Skor organoleptik aroma tertinggi diperoleh pada formula F0 (3,30) dan nilai terendah diperoleh pada formula F6 (2,17). Perbedaan aroma antara formula F0 dan formula dengan subtitusi KPTI diduga karena aroma susu yang terganti dengan aroma KPTI cakalang. Santoso et al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat substitusi menyebabkan skor aroma yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan KPI yang semakin banyak dapat menimbulkan adanya aroma asing yang dapat menggantikan aroma susu. Hasil penelitian Widiyawati (2011) juga menunjukkan semakin tinggi substitusi KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI semakin rendah nilai aroma yang dihasilkan

Nilai Rasa

Rasa adalah parameter yang melibatkan panca indera lidah serta merupakan faktor yang sangat menentukan keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Skor organoleptik tertinggi menunjukkan adanya rasa susu yang kuat, sedangkan skor terendah menunjukkan skor rasa asing yang kuat. Histogram uji organoleptik rasa disajikan pada Gambar 11.

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa substitusi KPTI cakalang ke dalam biskuit MP-ASI memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap rasa formula biskuit MP-ASI. Nilai organoleptik tertinggi diperoleh pada formula F0 (3,07) dan nilai terendah diperoleh pada formula F6 (2,10). Perlakuan F1 merupakan formula substitusi KPTI cakalang yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan lain. Hasil organoleptik menunjukkan semakin tinggi substitusi KPTI cakalang ke dalam formula biskuit MP-ASI akan memberikan nilai rasa yang rendah. Hasil penelitian Santoso et al. (2009) dan Widiyawati (2011) juga menunjukkan bahwa semakin banyak substitusi KPI nila dan KPI lele pada formula bubur MP-ASI maka semakin rendah nilai rasa yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi KPTI cakalang menimbulkan rasa asing yang menggantikan rasa susu.

3,30b 2,60a 2,47a 2,40a 2,37a 2,30a 2,17a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 F0 F1 F2 F3 F4 F5 f6 S k or ar om a

Gambar 11 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor rasa. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Kesukaan secara keseluruhan

Nilai secara keseluruhan ditentukan berdasarkan parameter organoleptik kesukaan secara keseluruhan dan menentukan kesukaan konsumen secara subyektif semakin tinggi nilai menunjukkan formula biskuit MP-ASI disukai, skor

Dokumen terkait