• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konversi lahan sawah, kesejahteraan keluarga petani dan perkembangan wilayah ( Kajian di Kabupaten Kampar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konversi lahan sawah, kesejahteraan keluarga petani dan perkembangan wilayah ( Kajian di Kabupaten Kampar)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

KONVERSI LAHAN SAWAH, KESEJAHTERAAN

KELUARGA PETANI DAN PERKEMBANGAN WILAYAH

(Kajian di Kabupaten Kampar)

ANIS FAHRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “konversi lahan sawah, kesejahteraan Petani dan perkembangan wilayah (Kajian di Kabupaten Kampar)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Juni 2014

(4)

ANIS FAHRI. Konversi Lahan Sawah, Kesejahteraan Keluarga Petani dan Perkembangan Wilayah (Kajian di Kabupaten Kampar). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING dan DEDI BUDIMAN HAKIM

Kabupaten Kampar merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi Riau dan memiliki lahan sawah seluas 10.476 ha dengan produktifitas rata-rata sebesar 4,70 ton/ha. Penurunan produksi disebakan degradasi lahan, sarana produksi yang tidak tersedia, serangan hama dan penyakit, banyaknya irigasi yang rusak, menyebabkan land rent semakin menurun. Kondisi ini mendorong petani untuk mencari solusi pengelolaan lahan memperoleh manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraannya, salah satunya adalah konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit. Fenomena konversi lahan menjadi ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan di Provinsi Riau khususnya Kabupaten Kampar. Penelitian ini bertujuan : (1) Menganalisis laju konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit, (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah. (3) Menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap kesejahteraan keluarga petani dan pengembangan wilayah

Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga Desember 2013. Penggunaan data citra landsat tahun 2002 dan 2010 untuk menganalisis laju konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit. Penggunaan rancangan survey dengan responden berjumlah 60 petani terdiri dari 30 petani padi dan 30 petani yang melakukan konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah. Penggunaan indikator kesejahteraan berdasar kriteria BPS, BKKBN dan Bank Dunia untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap kesejahteraan keluarga petani. Menurut BPS ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga sejahtera seperti 1) luas bangunan, 2) jenis lantai, 3) jenis dinding, 4) fasilitas MCK, 5) sumber air minum, 6) sumber penerangan, 7) jenis bahan bakar untuk memasak, 8) frekuensi mengkonsumsi daging, ayam dan susu selama seminggu, 9) frekuensi makan setiap hari, 10) frekuensi membeli pakaian dalam setahun, 11) Akses pusksmas/poliklinik, 12) lapangan pekerjaan,13) pendidikan kepala keluarga, 14) Kepemilikan aset/tabungan. Jika minimal 9 variabel dipenuhi maka dikategori sebagai keluarga sejahtera. Mengukur peningkatan kesejahteraan petani berdasarkan kriteria BKKBN yang diklasifikasikan ke dalam lima katogori yaitu : 1) Pra Sejahtera ; 2) Sejahtera (I) ; 3) Sejahtera (II); 4) Sejahtera (III) ; dan 5) Sejahtera (III) plus. Mengukur tingkat kesejahteraan berdasar kriteria Bank Dunia dengan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 dan US$ 2 perhari. Menganalisis perkembangan wilayah menggunakan data konversi lahan dan infrastruktur fasilitas pelayanan dengan metode skalogram.

(5)

Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah: 1) pendapatan usahatani padi sawah, 2) pendapatan usahatani kelapa sawit, 3) kendala irigasi dan 4) pengetahuan peraturan tentang larangan konversi lahan sawah.

Hasil analisis menunjukkan berdasar indikator BPS rata- rata kesejahteraan keluarga petani padi sebanyak (60,00 %) lebih rendah dari keluarga petani kelapa sawit sebanyak (86,67 %). Kemudian berdasar indikator BKKBN rata – rata kesejahteraan keluarga petani padi sebanyak 16,67 %, lebih rendah dari keluarga petani kelapa sawit sebanyak 49 %. Sementara berdasar kriteria Bank Dunia dengan tingkat pendapatan US$ 1 dan US$ 2 rata-rata kesejahteraan petani padi sebanyak (67,67 %) dan (16,67 %). Sedangkan kesejahteraan keluarga petani kelapa sawit dengan tingkat pendapatan US$ 1 sebanyak (83,33 %) kriteria sejahtera dan US$ 2 sebanyak (50,00%) kriteria sejahtera. Koversi lahan sawah berdampak positif terhadap pengembangan wilayah. Hal ini dapat dilihat hierarki perkembangan wilayah Kecamatan Tapung, Siak Hulu, Tapung Hulu yang pada tahun 2002 termasuk wilayah sedang berkembang dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi wilayah berkembang.

(6)

ANIS FAHRI. Paddy fields Conversion, Farmer Family Welfare and Regional Development (Studies in Kampar Regency). Supervised by LALA M. KOLOPAKING and DEDI BUDIMAN HAKIM.

Kampar district is a center of rice production in Riau Province and it has 10.476 hectares of rice fields. Rice productivity area reached 4.70 tonnes/ ha. Rice production decreased caused by land degradation, lack of production facilities, pests and diseases attacks, the number of damaged irrigation. It caused land rent decreased. This condition encourage farmers to seek solutions about paddy fields management in order to obtain greater benefits for welfare, one of those efforts is paddy fields conversion into palm oil plantations. The phenomenon of land conversion became a serious threat to Kampar District’s food security in Riau Province. This study aims to : ( 1 ) analyze the rate of paddy fields conversion to palm oil plantations , ( 2 ) identify the factors were influenced paddy fields conversion. ( 3 ) analyze the impact of wetland conversion to the welfare of farmer’s families and regional development

The experiment was conducted from April to December 2013. Use of Landsat image data of 2002 and 2010 to analyze the rate of paddy fields conversion to palm oil plantations . The use of draft survey respondents consisted of 60 farmers. That are 30 farmers and 30 rice farmers who undertake paddy fields conversion to palm oil plantation in order to analyze the factors that influence the paddy fields conversion. Use of indicators of well-being based on the criteria of BPS, BKKBN and the World Bank to analyze the impact of wetland conversion to the welfare of farmer’s families . According to BPS there are 14 criterias to determine a family / household welfare such as 1 ) building area, 2 ) the type of flooring , 3 ) the type of wall, 4 ) sanitary facilities , 5 ) source of drinking water , 6 ) source of light, 7 ) the type of fuel for cooking, 8 ) the frequency of consumption of meat, chicken and dairy for a week, 9 ) frequency of meals every day, 10 ) the frequency of buying clothes in a year, 11) access to health center, 12 ) employment, 13 ) education of household’s head, 14 ) Ownership savings/assets. If at least 9 variables met then it can categorized as prosperous family . Measuring improving farmers' welfare by BKKBN criteria classified into five categories , namely : 1 ) Pre-Welfare ; 2 ) Welfare ( I) ; 3 ) Welfare ( II ) ; 4 ) Prosperous ( III ) ; and 5 ) Prosperity ( III ) a plus. Measuring the level of well-being based on the World Bank criteria with per capita income of U.S. $ 1 and U.S. $ 2 a day. Analyzing regional development by using land conversion data and service fasilities with schallogram method .

(7)

wetland conversion .

The analysis showed, based on BPS indicators the average of rice famers family welfare as much as ( 60.00 % ) is lower than palm oil farmers family as much as ( 86.67 % ). Then based on BKKBN indicators the average of rice farmers family welfare as much as 16.67 % , lower than palm oil farmers family as much as 49 % . While based on the World Bank’s criteria with income level of U.S. $ 1 and U.S. $ 2 the average of rice famers family’s welfare as much as ( 67.67 % ) and ( 16.67 % ). Whereas palm oil farmers family’s welfare with income levels as much as U.S. $ 1 ( 83.33 % ) welfare criteria and as much as U.S. $ 2 ( 50.00 % ) welfare criteria. The conversion of wetland has positive impact to regional development. This can be seen in the regional development hierarchy of the District Tapung, Siak Hulu,Tapung Hulu which in 2002 included developing regions and in 2010 increased to be a developed regions .

(8)

KELUARGA PETANI DAN PERKEMBANGAN WILAYAH

(Kajian di Kabupaten Kampar)

ANIS FAHRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama : Anis Fahri NIM : H152110031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Ketua

Dr Ir Lala M Kolopaking, MS

Anggota

Dr Ir Dedi Budiman Hakim

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 16 April 2014

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Oktober 2013 ini adalah konversi lahan, dengan judul Konversi lahan sawah, kesejahteraan keluarga petani dan perkembangan wilayah (Kajian di Kabupaten Kampar).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS dan Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim , M.Ec selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku Ketua program Studi Ilmu Perencanaan Pengembangan wilayah dan Perdesaan dan Ibu Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MS selaku Sekretaris Program Studi yang telah banyak memberi motivasi dan saran. Kepada Dosen dan Staf Program Studi PWD penulis ucapkan terima kasih.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Pimpinan Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Serta kepada Bapak/Ibu Pejabat Dinas Pertanian, Bappeda dan Petugas Penyuluh Pertanian Lapang di Kabupaten Kampar yang telah membantu penelitian ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda tercinta beserta ibunda, istri tercinta Nelly Susanti serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat terutama bagi saya pribadi, bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar.

Bogor, Juni 2014

(12)

(C) Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(13)

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitan 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konversi Lahan Sawah 5

Kesejahteraan Keluarga Petani 8

Pengembangan wilayah 10

Kerangka Pemikiran 13

Hipotesis 16

3 METODE PENELITIAN

Waktu Dan Tempat Penelitian 16

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 16

Pemilihan Responden 17

Metode Analisis 18

Analsisi Laju Konversi Lahan Sawah 18

Analisis Faktor Konversi Lahan Sawah 19

Analisis Konversi Lahan Terhadap Kesejahteraan Keluarga Petani 21 Analisis Konversi Lahan Terhadap Pengembangan Wilayah 24

4 KONVERSI LAHAN DALAM KONTEKS LOKASI STUDI

Lokasi dan Luas Wilayah 25

Kependudukan 26

Ketenagakerjaan 28

Perekonomian 29

Prasarana Jalan 31

Laju Konversi Lahan 31

Ihtisar 36

5 FAKTOR – FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONVERSI LAHAN SAWAH

Karakteristik Keluarga 37

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengkonversi Lahan Sawah

40

(14)

6 DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA PETANI

Tingkat Kesejahteraan Berdasar Indikator BPS 47 Tingkat Kesejahteraan Berdasar Indikator BKKBN 49 Tingkat Kesejahteraan Berdasar Krieteria Bank Dunia 50

Ihtisar 52

7 DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP PERKEMBANGAN WILAYAH

Perkembangan Wilayah 52

Ancaman dan Strategi Pengendalian Konversi Lahan Sawah 55 Pendekatan Pengendalian Konversi Lahan Sawah 55 Strategi Dasar Pengendalian Lahan Sawah 56

Ihtisar 58

8 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Simpulan 59

Implikasi Kebijakan 59

DAFTAR PUSTAKA 60

LAMPIRAN 63

(15)

1 Luas wilayah dan jumlah penduduk Kabupaten Kampar menurut Kecamatan Tahun 2010

27

2 Pertumbuhan Penduduk dari Tahun 2002 – 2010 27 3 Struktur penduduk menurut kelompok umur tahun 2010 27 4 Jumlah sarana pendidikan di Kabupaten Kampar Tahun 2011 28 5 Komposisi keluarga di Kabupaten Kampar berdasar tingkat

kesejahteraan Tahun 2006 dan 2010

28

6 Jumlah kesempatan kerja, angkatan kerja, tenaga kerja dan pengangguran terbuka tahun 2007 - 2010

29

7 Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha Tahun 2007-2010

29

8 Nilai dan kontribusi sektor dalam PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kabupaten Kampar Tahun 2006 – 2010 (jutaan rupiah)

30

9 Panjang jalan nasional, provinsi dan kabupaten di Kabupaten Kampar Tahun 2006 – 2010 (km)

31

10 Perubahan luas penggunaan lahan di Kabupaten Kampar tahun 2002 – 2010

32

11 Produksi padi yang hilang akibat terjadinya konversi lahan sawah di Kabupaten Kampar tahun 2002 – 2010 (ton).

34

12 Luas tanam dan produksi komoditas perkebunan Kabupaten Kampar tahun 2007 – 2011

35

13 Luas tanam dan produksi kelapa sawit menurut Kecamatan Tahun 2010. 36 14 Sebaran responden berdasar karakteristik rumah tangga petani 39 15 Hasil estimasi faktor – faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah 41 16 Rata – rata penerimaan, biaya dan land rent usahatani padi 42 17 Perbandingan nilai Land rent usahatani padi dan kelapa sawit 43 18 Sebaran responden berdasar indikator kesejahteraan BPS 48 19 Sebaran kesejahteraan responden (%) berdasar indikator BPS 48 20 Sebaran responden berdasar kriteria kesejahteraan BKKBN 49 21 Sebaran responden (%) berdasar tingkat kesejahteraan Indikator

BKKBN

50

22 Sebaran responden berdasar tingkat kesejahteraan Kriteria Bank Dunia 51

23 Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani 51

(16)

1 Kurva Land rent dan zona perumahan, kelapa sawit dan lahan sawah 12 2 Kerangka pemikiran konversi lahan sawah, kesejahteraan keluarga

petani, pengembangan wilayah di Kabupaten Kampar

14

3 Teknik sampling dalam pengambilan data primer 17

4 Peta Administrasi Kabupaten Kampar 25

5 Kondisi saluran irigasi tersier dan bangunan penjaga pintu air 44

6 Peta Perkembangan Wilayah Kabupaten Kampar 54

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tujuan penelitian, metode analisis, sumber data dan output penelitian 63 2 Peta penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2002. 64 3 Penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2002. 65 4 Peta penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2010 66 5 Penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2010. 67 6 Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit tahun ke-1 sampai

tahun ke-25

68

7 Analisis Land rent dan PVNR-land rent usahatani padi sawah dengan pola tanam Padi - Padi (r = 10% dan t = 25 tahun)

69

8 Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman pada kelas berbagai kelas kesesuaian lahan.

70

9 Analisis Land rent dan PVNR-land rent usahatani kelapa sawit (r = 10% dan t = 25 tahun).

71

10 Variabel yang mempengaruhi keputusan petani terhadap konversi lahan sawah di Kabupaten Kampar 2013.

72

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan memiliki peran dan fungsi strategis bagi masyarakat Indonesia, karena sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidup di sektor pertanian. Permasalahan utama pembangunan sektor pertanian di Indonesia adalah a) semakin berkurangnya lahan pertanian produktif, b) penurunan kualitas sumberdaya lahan akibat pengelolaan yang kurang baik, dan c) kompetensi penggunaan dan fragmentasi lahan. Kompetensi penggunaan lahan terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan sarana infrastruktur, sedangkan fragmentasi lahan terjadi karena kondisi sosial ekonomi petani. Kemiskinan memaksa petani melepas sebagian kepemilikan lahannya dan adanya sistem pewarisan yang berdampak pada skala kepemilikan lahan sawah yang semakin kecil (Hidayat 2009).

Beban sektor pertanian semakin bertambah, seiring dengan menurunnya rumah tangga petani dan penguasaan lahan pertanian. Berdasar data statistik rumah tangga usaha pertanian pada tahun 2013 mengalami penurunan sebanyak 5,10 juta rumah tangga dari 31,23 juta rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 26,14 juta pada tahun 2013, yang berarti terjadi penurunan sebesar 1,77 persen per tahun. Jumlah rumah tangga petani gurem (rumah tangga yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 ha) di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga. Komposisi terbanyak berada di Pulau Jawa sebanyak 10,8 juta rumah tangga, kemudian disusul Pulau Sumatera sebanyak 1,81 juta rumah tangga, diikuti Pulau Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 0,90 juta rumah tangga.

Sementara komposisi rumah tangga petani gurem terkecil berada di Pulau Kalimantan sebanyak 0,28 juta rumah tangga. Dibandingkan dengan kondisi tahun 2003, jumlah rumah tangga petani gurem mengalami penurunan. Pada tahun 2003 petani gurem di Indonesia sebanyak 19,02 juta rumah tanggga, pada tahun 2013 berkurang menjadi 14,25 juta rumah tangga atau turun sebesar 25,07 %. Ditinjau secara persentase penurunan rumah tangga petani gurem, Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang mengalami penurunan terbesar yakni 45,33 %. Rata – rata penguasaan lahan pertanian terbesar tahun 2013 adalah Provinsi Kalimantan Tengah seluas 3,10 ha, diikuti Provinsi Riau seluas 2,16 ha. sedangkan penguasaan paling sedikit di Provinsi DKI Jakarta seluas 0,17 ha. Sementara itu Provisni Riau merupakan provinsi dengan rata–rata penguasaan lahan sawah terkecil yakni seluas 0,07 ha dan terbesar Provinsi Kalimantan Selatan seluas 0,43 ha.1

.

Konversi lahan pertanian khususnya dari lahan sawah menjadi peruntukan lain baik untuk pertanian di luar tanaman pangan seperti perkebunan sawit, dan diluar pertanian seperti untuk kawasan pemukiman dan lainnya. Hasil sensus pertanian tahun 2003 melaporkan bahwa selama tahun 2002-2003 bahwa luas lahan sawah yang dikonversi ke penggunaan non pertanian (perumahan, industri

1

(18)

dan sarana publik dan lain-lain) rata – rata seluas 187.7 ribu hektar per tahun. Sedangkan luas percetakan sawah baru jauh lebih kecil yaitu hanya 46,4 ribu hektar, sehingga lahan sawah rata-rata berkurang 141,3 ribu hektar per tahun (Irawan, 2008).

Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi konversi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak hasilnya disebabkan karena: (a) kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah; (b) peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan. Menurut Simatupang dan Irawan (2002) Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah yang langka lahan, (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi lebih rendah pada sektor tanaman pangan dari permintaan di luar tanaman pangan,

Kondisi ini menjadi tidak aman, dimana dalam satu dasawarsa terakhir di Provinsi Riau terjadi konversi lahan sawah seluas 20.069 ha yang tersebar di Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir Kecenderungan lahan sawah berubah menjadi lahan perkebunan sawit, pemukiman dan non pertanian lainnya (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau, 2010). Selama periode 2002-2010 Kabupaten Kampar mengalami penyusutan luas areal sawah yang signifikan yaitu 20,35% dari 13.152 ha menjadi 10.476 ha, (BPS Kabupaten Kampar, 2002; 2010).

Konversi lahan sawah harus dicegah karena sifatnya yang irreversible dan permanen, artinya ketika lahan sawah telah berubah fungsi kapanpun sulit untuk dapat berubah kembali ke fungsi persawahan. Konversi lahan persawahan berdampak negatif terhadap ketahanan pangan, mengakibatkan berkurangnya kapasitas produksi pangan. Akibatnya impor produk-produk pangan untuk memenuhi konsumsi suatu wilayah meningkat.

Sebagai contoh terjadi di Provinsi Riau khususnya Kabupaten Kampar, penurunan poduksi pangan telah memunculkan kerisauan terhadap kerawanan pangan pada masa yang akan datang. Dalam periode 2002-2010 terjadi defisit kebutuhan beras di Kabupaten Kampar rata-rata sekitar 39,7 ribu ton, produksi beras hanya dapat memenuhi 29,65% kebutuhan penduduk Kampar, sisanya 70,35% diimpor dari daerah lain (BPS Provinsi Riau, 2010).

(19)

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini berupaya tentang “Konversi lahan sawah, kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah” (Kajian dilakukan di Kabupaten Kampar).

Perumusan Masalah

Laju konversi lahan sawah khusus di Kabupaten Kampar menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan penggunaaan non pertanian lainnya dapat terlihat secara jelas. Dari tahun ke tahun telah terjadi penurunan luas sawah dan peningkatan luas kebun kelapa sawit.

Konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit terjadi akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan. Konversi lahan sawah juga menyebabkan meningkatnya pendapatan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah. Disisi lain meningkatnya pertumbuhan ekonomi membutuhkan jumlah lahan yang lebih luas untuk pembangunan sarana produksi dan infrastruktur selaras dengan pertumbuhan penduduk. Konversi lahan sawah menjadi ancaman tehadap ketahanan pangan, yakni semakin meningkatnya defisit pemenuhan kebutuhan beras di Kabupaten Kampar.

Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada (Ilham et.al. (2005), lebih lanjut Witjaksono (2006), menyatakan alasan ekonomi senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian antara lain : a) nilai land rent yang diperoleh dari usaha pertanian senantiasa lebih rendah dibanding nilai land rent untuk sektor non pertanian (perumahan, jasa, industri, infrastrukur jalan), b) kesejahteraan petani yang masih tertinggal, c) kepentingan pemerintah daerah di era otonomi daerah khususnya terkait penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor pertanian tidak memberikan keuntungan yang signifikan, dan d) lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.

Beberapa hasil kajian empiris menunjukkan surplus lahan (land rent) untuk sawah di pulau Jawa adalah 1/500 dibandingkan dengan pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi 1990), 1/622 dibandingkan perumahan (Riyani 1992), 1/14 terhadap pariwisata (Kartika 1990) dan 1/2,6 untuk hutan produksi (Lubis 1991). Hasil penelitian Asni (2005) di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara menunjukkan bahwa pendapatan dari usahatani padi Rp 1.387.577/hektar lebih rendah dari pada pendapatan usahatani kelapa sawit yaitu Rp 5.735.203/hektar. Artinya pendapatan dari usahatani kelapa sawit 3,70 kali lebih besar dari pada padi sawah.

Penilaian yang demikian menyebabkan proses konversi lahan sawah ke penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang sudah berkembang.

(20)

perkembangan wilayah di Kabupaten Kampar. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Seberapa besar laju konversi lahan sawah ke perkebunan?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan ? 3. Bagaimana dampak konversi lahan sawah terhadap kesejahteraan keluarga

petani?

4. Bagaimana dampak konversi lahan terhadap perkembangan wilayah?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini berangkat dari data citra landsat penggunaan lahan Kabupaten Kampar tahun 2002 dan 2010.

Adapun tujuan yang diingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisis laju konversi lahan sawah ke perkebunan.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah. 3. Menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap kesejahteraan petani . 4. Menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap perkembangan wilayah

Kabupaten Kampar

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat antara lain :

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pengembangan wilayah bagi pihak Pemerintah Daerah dan mendukung swasembada pangan di Riau dan terutama di Kabupaten Kampar.

2. Bermanfaat bagi masyarakat dalam pengembangan wilayah dan mendukung swasembada pangan berkelanjutan di Kampar

3. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan pengkajian lebih lanjut dalam pengembangan pertanian.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian difokuskan untuk menganalisis laju konversi lahan sawah, faktor- faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah serta dampaknya terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah.

Penelitian ini melingkupi dua tingkatan yaitu, 1) tingkat mikro (rumah tangga) menggunakan data primer hasil survey wawancara kepada petani responden. 2) tingkat makro menggunakan data sekunder dengan unit analisis adalah wilayah kecamatan.

(21)

Konversi lahan sawah menjadi kelapa sawit dipengaruhi oleh faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.

Pengukuran kesejahteraan keluarga petani dianalisis menggunakan indikator kesejahteraan BPS, BKKBN dan indikator Bank Dunia. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan kesejahteraan keluarga petani padi dan keluarga petani yang melakukan konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit.

Dampak konversi terhadap perkembangan wilayah dianalisis menggunakan metode skalogram. Data yang dikumpulkan banyak sumberdaya lahan, sumberdaya manusia (jumlah penduduk), sumber daya ekonomi (infrastruktur pemasaran hasil pertanian dan koperasi/perbankan) dan sumberdaya buatan (infrastruktur pelayanan pendidikan dan kesehatan) serta jarak atau lokasi wilayah dengan ibu kota kabupaten dan ibu kota provinsi.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konversi Lahan Sawah

Konversi lahan adalah berubahnya penggunaan suatu lahan ke penggunaan lainnya. Sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan banyak terkait kepada kebijakan tata guna tanah. Dalam ekonomi lahan, perubahan penggunaan lahan terkait erat dengan surplus lahan (land rent) yang dapat diartikan nilai keuntungan bersih (surplus) dari aktifitas pemanfaatan lahan persatuan luas dalam waktu tertentu (Suparmoko 1989). Penggunaan lahan merupakan gambaran ekspresi keinginan masyarakat setempat terhadap lahannya. Penggunaan lahan (land use) suatu wilayah merupakan gambaran kondisi permintaan lahan di wilayah tersebut.

Maraknya fenomena alih fungsi lahan sawah harus menjadi perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA 2005) menunjukkan, bahwa sekitar 187.720 hektar lahan sawah beralih fungsi kepenggunaan lain setiap tahunnya..

(22)

Semakin besar lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan non sawah serta akibat pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita yang didorong oleh kenaikan pendapatan rumah tangga maka kebutuhan beras mengalami peningkatan. Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan tersebut produksi beras nasional harus meningkat secara signifikan dalam rangka memenuhi kecukupan pangan.

Namun berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini justru mengalami pelandaian ( Irawan et al. 2003). Perlambatan laju pertumbuhan produksi beras terutama disebabkan banyaknya konversi lahan sawah dan perlambatan produktivitas padi akibat belum adanya terobosan teknologi yang mampu meningkatkan produktifitas padi secara signifikan. Hal ini semakin berat usaha dalam memenuhi kebutuhan selanjutnya mengancam ketahanan pangan.

Pemanfaatan ekonomi lahan sawah berdasar manfaat penggunaan (use values) dapat dibedakan atas manfaat langsung, manfaat tidak langsung dan manfaat bawaannya (intrinsic values) yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan dan sosial budaya (Irawanet al. 2000). Manfaat langsung lahan sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur yaitu : (1) penghasil bahan pangan, (2) penyedia kesempatan kerja sawah, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diberikan, (6) sebagai sarana tumbuhnya kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya rasa kebersamaan atau gotong royong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat, (9) sebagai sarana refreshing, dan (10) sebagai sarana parawisata. Sedangkan manfaat tidak langsung mencakup fungsi – fungsi pelestarian lingkungan ( Nasution dan Winoto, 1996) yang terdiri manfaat (1) mengurangi peluang terjadinya banjir (2) mengurangi peluang erosi, (3) mengurangi peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan sirkulasi air terutama di musim kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan (6) mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk organik pada lahan sawah. Sedangkan manfaat bawaan terdiri dari dua manfaat, yakni sebagai sarana pendidikan, dan sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.

Penggunaan lahan di pengaruhi oleh beberapa faktor. Saefulhakim et al. (2003) menyebutkan faktor - faktor yang menentukan perubahan penggunaan lahan adalah: (1) tipe penggunaan lahan sebelumnya, (2) status kawasan dalam kebijaksanaan tata ruang, (3) status perizinan penguasaan lahan, (4) karakteristik lahan, karakteristik sosial ekonomi wilayah dan karakteristik interaksi spasial, (5) aktivitas sosial ekonomi internal dan eksternal wilayah. Sedangkan Hamdan (2005) menyatakan faktor- faktor menentukan perubahan penggunaan lahan (1) ketersediaan air irigasi, (2) resiko kegagalan usahatani padi (3) tenaga kerja keluarga, dan (4) harga tanda buah sawit.

(23)

memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi.

Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang diperoleh dari usaha tani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem pengelolahan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun kebiasaan petani.

Secara empiris lahan sawah merupakan lahan yang paling rentan terhadap alih fungsi. Hal tersebut disebabkan oleh; Pertama pembangunan kegiatan non pertanian lebih mudah dilakukan pada lahan sawah yang relatif datar dibanding lahan kering, Kedua infrastruktur ekonomi lebih memadai, dan Ketiga lahan persawahan lebih dekat kedaerah konsumen atau daerah kota yang lebih padat penduduknya (Nasoetion 2003).

Selanjutnya Irawan (2005) menyatakan alih fungsi lahan disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.

Menurut Manuwoto (1992) bahwa, secara umum konversi lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya: a) faktor sosial atau kependudukan yang berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman, b) Kegiatan ekonomi dan pembangunan, c) perkembangan teknologi. Faktor ini dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan lahan sehingga mempercepat proses konversi lahan, dan d) kebijakan pembangunan makro.

Harini (2003) dalam penelitiannya menyatakan faktor yang mempengaruhi perubahan usahatani padi adalah tingkat pendidikan dan luas kepemilikan lahan, umur, dan kesempatan menabung. Perubahan penggunaan lahan terjadi akibat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan hidup yang terus meningkat. Kondisi ini akan mendorong pemilik lahan untuk mengalokasikan milikinya pada usaha yang lebih efisien dengan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Perubahan penggunaan lahan dapat menjadi (a) perubahan dari jenis pertanian yang satu ke jenis pertanian lainnya, (b) perubahan penggunaan lahan pertanian ke lahan bukan pertanian, (c) perubahan penggunaan non pertanian menjadi lahan pertanian.

(24)

Kesejahteraan Keluarga Petani

Tingkat kesejahteraan (welfare) merupakan konsep untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Menurut Sawidak dalam Munir (2008), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima. Namun tingkatan dari kesejahteraan relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Secara sederhana keluarga petani dikatakan sejahtera jika dapat memenuhi kebutuhan dasar anggotanya. Namun jika merujuk Undang – Undang No. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan kesejahteraan, keluarga sejahtera dimaknai adalah “keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup material dan spritual yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakrat dan lingkungan”.

Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Mengingat data yang akurat sulit diperoleh, maka pendekatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga.

Beragamnya latar belakang para ahli, baik dari disiplin ilmu maupun kepentingan sektoral, maka defenisi dan konsep kesejahteraan pun menjadi beragam. Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh : 1) faktor ekonomi : Rendahnya pendapatan yang dialami oleh keluarga akan menghambat upaya peningkatan pengembangan sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga, yang pada gilirannya menghambat upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi, 2) faktor pendidikan : Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh tingkat pendidikan keluarga, semakin tinggi pendidkan keluarga, maka upaya peningkatan sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga tersebut semakin besar yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan, 3) faktor teknologi : Peningkatan kesejahteraan keluarga juga harus didukung oleh pengembangan teknologi. Keberadaan teknologi dalam proses produksi diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi. Penguasaan teknologi berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pemilikan modal, 4) faktor kepastian hukum : Peningkatan kesejahteraan keluarga juga menuntut adanya jaminan atau kepastian hukum. Sebagai contoh: suatu keluarga akan mampu mengusahakan lahannya dengan baik, kalau kepastian akan hak milik lahan tersebut terjamin.

(25)

Menurut Syarief dan Hartoyo (1993) pada hakekatnya kesejahteraan mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material dan spritual. Pengukuran kesejahteraan material relatif lebih mudah dan akan menyangkut pemenuhan kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan materi, baik pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan lainnya yang dapat diukur dengan materi. Secara umum, pengukuran kesejahteraan material dapat dilakukan dengan mengukur tingkat pendapatan keluarga

Cara pengukuran kesejahteraan dapat dilihat dari dua pendekatan (Suandi 2007 yakni :

1. Kesejahteraan diukur dari pendekatan objektif. Pendekatan dengan indikator objketif melihat bahwa kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata – rata dengan patokan tertentu, baik ukuran ekonomi sosial maupun ukuruan lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku, contohnya ukuran kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN).

2. Kesejahteraan yang diukur dengan pendekatan subjektif atau istilah dengan kesejahteraan subjektif. Miligan et al. (2006) mengatakan kesejahteraan dengan pendekatan subjektive diukur dari tingkat kebahagian dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan orang lain.

Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan, yaitu yang dilakukan oleh BPS dan BKKBN. Menurut BPS ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga sejahtera seperti 1) luas bangunan, 2) jenis lantai, 3) jenis dinding, 4) fasilitas MCK, 5) sumber air minum, 6) sumber penerangan, 7) jenis bahan bakar untuk memasak, 8) frekuensi mengkonsumsi daging, ayam dan susu selama seminggu, 9) frekuensi makan setiap hari, 10) frekuensi membeli pakaian dalam setahun, 11) Akses puseksmas/poliklinik, 12) lapangan pekerjaan,13) pendidikan kepala keluarga, 14) Kepemilikan aset tabungan. Jika minimal 9 variabel dipenuhi maka dikategori keluarga tidak sejahtera (Hendrik, 2011).

Sedangkan BKKBN mengambil keluarga inti sebagai unit pengertian. BKKBN membagi kesejahteraan keluarga dalam tiga kebutuhan yakni :

1. Kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiridari variabel pangan, sandang, papan dan kesehatan.

2. Kebutuhan sosial dan psikologis (social psysichological needs) yang terdiri dari variabel pendidikan, rekreasi, transportasi, intraksi sosial internal dan eksternal.

3. Kebutuhan pengembangan (development needs) yang terdiri dari variabel tabungan, pendidikan khusus, akses terhadap informasi.

(26)

tingkat kesejahteraan lebih baik adalah keluarga Sejahtera (KS) II, III dan KS-III Plus (Andriani 2009).

Mengukur tingkat kesejahteraan keluarga Petani berdasar Kriteria Bank Dunia adalah membandingkan rata – rata pendapatan/kapita/hari dari hasil usahatani (on-farm) maupun di luar usahatani (off- farm) dengan standar pendapatan perkapita 1 US $ dan 2 US $ perhari.

Pengembangan Wilayah

Terjadinya konversi lahan terkait erat dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan salah satu kosekuensi dari perkembangan wilayah. Dengan demikian fenomena konversi lahan akan banyak terkait dengan toeri – teori perkembangan wilayah. Istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis, secara lebih jelasnya, Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Dengan demikian wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponennya memiliki arti didalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah), sehingga istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Menurut Anwar (2005) dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah yaitu: (1) Wilayah maju, (2) Wilayah sedang berkembang, (3) Wilayah belum berkembang, dan (4) Wilayah tidak berkembang.

Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju, juga dicirikan oleh potensi sumberdaya alam yang tinggi, pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Sedangkan wilayah yang belum berkembang tingkat pertumbuhannya masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan, tingkat kepadatan penduduk masih rendah, pendapatan dan pendidikan juga relatif rendah.

(27)

sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah lain.

Seiring bertambahnya jumlah penduduk dengan laju yang tinggi serta akibat berkembangnya kegiatan perekonomian membawa konsekwensi tekanan terhadap permintaan lahan untuk berbagai keperluan seperti untuk perluasan lahan pertanian, perkebunan, kehutanan, pemukiman dan perumahan, maupun untuk lokasi kegiatan perdagangan dan industri serta keperluan pembangunan infrastrukturjalan, irigasi dan prasarana publik lainnya.

Ketimpangan antara permintaan dan penawaran sumberdaya lahan merupakan suatu indikasi bahwa lahan dapat dikategorikansebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan (scarcity). Kelangkaan sumberdaya tersebut bukan hanya disebabkan oleh terbatasnya persediaan secara fisik, tetapi juga karena kendala – kendala kelembagaan (institutional) seperti kepemilikan dalam kaitannya dengan hak-hak akses (property right ) atas lahan, menjadi kendala dalam pemanfaatannya.

Dilihat dari dinamika produksi pertanian dalam penggunaan lahan , mekanisme alokasinya ditentukan melalui asas- asas economic rent. Economic rent sebidang lahan atau ruang dapat dibedakan atas : (1) nilai instrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan, seperti kesuburan dan topografinya sehingga mempunyai keunggulan produktifitas lahan (ricardiant rent) dan (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasional (locational rent), dimana nilai tersebut dipengaruhi oleh jarak, dengan asumsi menurut teori von Thunen isotropic plain (tanah homogen).

Ricardian rent adalah rent (rente) atau surplus yang timbul sebagai akibat dari kualitas dan daya dukung fisik (faktor intrinsik) lahan. Nilai tanah adalah nilai sekarang sebagai nilai diskonto dari total rente tanah (land rent) yang diharapkan diperoleh dimasa yang akan datang (Rustiadi, 2011). Artinya nilai tanah berkaitan erat dengan akumulasi rente tanah dalam dalam suatu periode waktu tertentu. Konsep ini didasarkan atas pengertian land rent yakni merupakan surplus ekonomi suatu lahan yang dapat dibedakan atas (i) surplus tetap, maksudnya imbalan bagi pemilik tanah tanpa berusaha (windfall return), yang diperoleh akibat pemilikan lahan, dan (ii) surplus sebagai hasil dari investasi (rent as return on investment), dalam pengertian ini lahan dipandang sebagai faktor produksi. Kebanyakan investor, pemilik dan penggarap menggunakan pengertian kedua ini.

(28)

pada bidang lahan tersebut. Pendapatan bersih atau benefit ini berasal dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya produksi yang dikeluarkan.

Berdasarkan teori lokasi Von Thunnen (1842) dalamRustiadi (2011), nilai land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburan lahan (Ricardiant rent) atau iklim tetapi merupakan fungsi dari lokasinya (location rent), dimana perbedaan rent ini lebih ditentukan oleh biaya-biaya transfernya. Rustiadi (2011) menggambarkan hubungan antara land rent dan alokasi sumberdaya tanah diantara berbagai kompetisi penggunaan, sektor komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi sebaliknya sektor-sektor yang mempunyai nilaki kurang komersial nilai land rent-nya semakin kecil.

Pada organisasi spasial produksi atau pewilayahan (zonasi) produksi pertanian, sistem besarnya tingkat keuntungan yang diperoleh produsen dapat dipahami dengan konsep jarak. Apabila digambarkan secara grafis, maka dalam sistem ekonomi modren di perkotaan dan sekitarnya, sektor – sektor dengan location rent yang lebih tinggi fungsinya lebih curam, sebaliknya sektor land rent -nya rendah fungsi-nya lebih landai.

Rustiadi (2011) menyebutkan dalam mekanisme pasar, kegiatan-kegiatan yang mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi mampu menggeser kegiatan-kegiatan yang mempunyai land rent yang lebih rendah, hal ini karena land rent yang lebih tinggi posisi tawarnya cendrung lebih tinggi, sehingga menimbulkan suatu land rent gradient. Meningkatnya land rent secara relatif dari pertumbuhan industri, pemukiman dan perkebunan kelapa sawit akan menggeser kurva land rent lahan sawah ( Gambar 1).

Gambar 1 Kurva land rent dan zona perumahan, kelapa sawit dan lahan sawah

Didalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent lebih rendah ke aktivitas land rent lebih tinggi. Alih fungsi lahan merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Oleh karenanya alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai bagian dari pergeseran-pergeseran dianamika alokasi dan

pasar

Jarak ke pasar (mil) 200

150

100

50

60 80 100 120 Perumahan

Kelapa sawit

(29)

distribusi sumberdaya menuju keseimbangan baru yang lebih produktif. Umumnya konversi lahan berlangsung searah dan bersifat irreversible (tidak dapat balik), seperti lahan hutan yang sudah dikonversi menjadi lahan pertanian umumnya sulit untuk dihutankan kembali, demikian juga sawah yang terkonversi menjadi perkebunan sawit atau kawasan terbangun lainnya hampir tidak mungkin kembali menjadi sawah.

Secara operasional wilayah mempunyai hierarki yang spesipik yang ditentukan oleh infrastruktur atau kapaitas pelayanannya. Kapasitas pelayanan yang dimaksud adalah kapasitas sumberdaya suatu wilayah, yang mencakup kapasitas sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya buatan. Disamping itu kapasitas pelayanan suatu wilayah dicerminkan pula oleh besaran aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang ada di suatu wilayah. Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam perhitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat – pusat wilayah).

Sedangkan besaran aktivitas sosial-ekonomi secara operasonal dapat diukur dari jumlah penduduk, perputaran uang, aktivitas-aktivitas ekonomi, PDRB, jumlah jenis atau lembaga formal maupun nonformal. Semakin banyak jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan, semakin tinggi aktivitas sosial ekonomi mencerminkan hierarki pusat yang tinggi. Selain itu, jumlah jenis dan sarana pelayanan yang ada pada suatu wilayah pada umumnya berkorelasi erat dengan jumlah penduduk. Dengan demikian, pada pusat berorde tinggi seringkali mempunyai kepadatan penduduk lebih tinggi.

Secara praktikal perkembangan wilayah dapat ditentukan dengan metode skalogram. Dalam metode skalogram seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki setiap unit wilayah didata dan disusun dalam suatu tabel. Modifikasi penting dalam analisis skalogram adalah penggunaan data sumberdaya dan infrastruktur secara kuantitas dan bukan ada atau tidaknya sumberdaya dan infrastruktur. Mengikut sertakan invers jarak menuju pusat infrastruktur pasilitas pelayanan sebagai variabel penentu indeks serta proses pembakuan nilai. Data yang dikumpulkan banyak sumberdaya lahan, sumberdaya manusia (jumlah penduduk), sumber daya ekonomi (infrastruktur pemasaran hasil pertanian dan koperasi/perbankan) dan sumberdaya buatan (infrastruktur pelayanan pendidikan dan kesehatan) serta jarak atau lokasi wilayah dengan ibu kota kabupaten dan ibu kota provinsi.

Kerangka Pemikiran

(30)

pangan perlu pemahaman lebih jauh, ditambah lagi fungsi-fungsi manfaat yang lebih besar dari lahan sawah, seperti produksi padi, penyedia lapangan kerja, jasa lingkungan, dan lainnya (Gambar 2).

Gambar 2 Kerangka pemikiran konversi lahan sawah, kesejahteraan keluarga petani dan pengembangan wilayah di Kabupaten Kampar.

Pemikiran ini berawal dari semakin maraknya kasus konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Kampar. Menurut beberapa sumber kasus ini terjadi karena kendala irigasi yang kurang mencukupi karena jaringan irigasi yang rusak akibat kurangya perhatian dan pemeliharaan dari pemerintah dan masyarakat petani pengguna irigasi.

Petani akan selalu berusaha untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dari kegiatan usahataninya, salah satu usaha yang dilakukan dengan mengganti komoditas yang dikembangkan, seperti dari tanaman padi menjadi kelapa sawit.

Pertumbuhan penduduk, perkembangan sosial ekonomi dan pembangunan infrastruktur

Permintaan lahan meningkat

Perkebunan lainnya Pemukiman

Perubahan penggunaan lahan

sawah

Faktor yang mempengaruhi

konversi lahan

Peningkatan Kesejahteraan Petani

Ketahanan Pangan

Perkembangan wilayah Laju konversi

lahan

Strategi Pengendalaian konversi Lahan sawah Analisis

Spasial

Analisis Sosial ekonomi

(31)

Secara ekonomi kondisi ini dapat diterima, karena keuntungan yang diperoleh lebih besar, namun untuk status ketahanan pangan perlu pemahaman lebih jauh, ditambah lagi fungsi dan manfaat yang lebih besar dari lahan sawah, seperti penyedia lapangan kerja, jasa lingkungan, dan lainnya. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian agar diketahui luasan lahan sawah yang dikonversi, nilai manfaat dari usahatani padi sawah dan kelapa sawit, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani melakukan konversi lahan sawah serta dampaknya terhadap kesejahteraan dan pengembangan wilayah. Penjelasan di atas dapat dirangkai menjadi sebuah kerangka pemikiran yang mengangkat tema mengenai dampak konversi lahan sawah terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta dampak dari konversi lahan tersebut terhadap kesejahteraan keluarga petani dan pengembangan wilayah.

Pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan pembangunan infrastruktur mempengaruhi permintaan lahan. Dengan kata lain peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan konsumsi lahan untuk pemukiman. Ketika permintaan terhadap lahan mengalami peningkatan padahal ketersediaan lahan semakin terbatas, sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut maka yang mungkin dilakukan masyarakat adalah melakukan perubahan penggunaan lahan ke penggunaan lainnya. Perubahan penggunaan lahan bersifat dinamis, bahkan cendrung mengarah kepenggunaan lahan yang memberikan land rent (surplus lahan yang lebih tinggi). Sebagai contoh terkonversinya lahan sawah menjadi lahan non-sawah akibat kecilnya land rent lahan sawah dibanding dengan lend rent perumahan, industri dan perkebunan sawit. Karena penggunaan lahan cendrung berubah kepada penggunaan lahan yang memberikan surplus paling tinggi, maka sebenarnya dengan berubahnya penggunaan lahan, meningkat pula produktifitas lahan tersebut. Sebenarnya mungkin perubahan tersebut secara agregat akan meningkatkan pendapatan (output) wilayah Kabupaten Kampar dalam jangka pendek.

Konversi lahan sawah secara sosial berdampak terhadap peningkatan kesejahtreraan keluarga petani. Pengukuran kriteria kesejahteraan berdasar indikator BPS, BKKBN dan kriteria Bank Dunia. Pendapatan usahatani dihitung berdasar nilai manfaat (land rent) untuk usahatani padi sawah dan dibandingankan dengan nilai manfaat untuk usahatani kelapa sawit pada lahan sawah yang dikonversi. Untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit, dilakukan wawancara mendalam terhadap responden di lapangan. Hasil identifikasi ini kemudian secara kualitatif dan kuantitatif dalam sistem tabulasi, kemudian dilakukan analisis.

(32)

Hipotesis

Untuk menentukan arah penelitian, maka dari masalah yang telah diuraikan diatas dapat ditarik hipotesis sebagai berikut :

1. Pertumbuhan penduduk, perkembangan infrasrtruktur dan perekonomian, diduga akan berpengaruh positif terhadap terjadinya konversi lahan.

2. Konversi lahan sawah ke perkebunan sawit secara ekonomi diduga akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani 3. Konversi lahan sawah ke perkebunan sawit diduga dipengaruhi oleh :

a. Pendapatan usahatani padi yang lebih rendah dibandingkan pendapatan usaha kelapa sawit yang berdampak positif terhadap peningkatan konversi lahan sawah.

b. Jumlah tanggungan keluarga, semakin banyak jumlah tanggungan keluarga berdampak positif terhadap konversi lahan.

c. Tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan petani, diduga berdampak negatif terhadap konversi lahan.

d. Kendala irigasi, prasarana produksi dan resiko kegagalan usahatani diduga berdampak positif terhadap konversi lahan sawah.

e. Pengetahuan peraturan konversi lahan berdampak positif terhadap konversi lahan.

4. Konversi lahan diduga berdampak positif terhadap perkembangan wilayah di Kabupaten Kampar.

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Desember 2013, yang berlokasi di Kabupaten Kampar. Pemilihan Kabupaten Kampar sebagai lokasi penelitian, dengan pertimbangan merupakan salah satu sentra produksi pertanian di Provinsi Riau dan terjadi konversi lahan pertanian.Selanjutnya fokus penelitian dipilih pada kecamatan Kampar dan Kecamatan Tambang sebagai unit analisis, karena daerah inimemiliki luas lahan sawah paling luas dan dalam sepuluh tahun belakangan ini mengalami penurunan luas lahan akibat alih fungsi lahan sawah menjadi kelapa sawit dan non pertanian lainnya.

Jenis dan cara Pengumpulan Data

(33)

survey wawancara dengan petani dan observasi ke lapangan, terutama dalam pembuatan peta penggunaan lahan tahun 2002 dan tahun 2010. Hubungan antara tujuan penelitian, metode analisis, sumber data dan output yang diharapkan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pemilihan Responden

Jumlah kecamatan di Kabupaten Kampar ada 20 kecamatan. Dari 20 kecamatan tersebut ditentukan sebanyak 2 kecamatan sebagai primary sampling unit . Total desa di kedua kecamatan ada 35 desa (Kampar 18 desa, Tambang 17 desa). Sedangkan yang dijadikan responden adalah rumah tangga petani yang sebagian atau seluruh lahan sawahnya mengalami konversi lahan dalam kurun waktu tahun 2002 - 2010. Jumlah responden ditentukan secara sengaja (purposive)sebanyak 60 responden. Pemilihan sampel menggunakan teknik cluster sampling (Juanda, 2009).

Sejumlah desa di kedua kecamatan dibagi dalam dua kluster. Kecamatan dibagi dua kluster yaitu, desa yang lahan sawahnya terjadi konversi dan desa yang lahan sawahnya tidak terjadi konversi lahan sawah. Penggunaan kluster ini dengan pertimbangan untuk memudahkan melakukan pengumpulan data. Jumlah desa ditentukan secara purposif sebanyak 6 desa, terdiri dari 3 desa di Kecamatan Kampar dan 3 desa di Kecamatan Tambang. Dari masing – masing desa diambil secara sengaja masing – masing 10 responden, sehingga didapat total 60 rumah tangga petani. Teknik sampling dapat diilustrasikan seperti pada gambar 3.

\

Gambar 3 Teknik sampling pengambilan data primer Puposive 2 Kecamatani

Kecamatan Kampar Kecamatan Tambang

Desa sampel, purposive 6 desa, 3 desa Kecamatan Kampar 3 desa Kecamatan Tambang

Kecamatan Kampar : 3 desa  Rumbio

 Padang Mutung  Ranah Baru

Kecamatan Tambang : 3 desa  Gobah

 Aursati  Padang Luas

(34)

Metode Analisis

Analisis Laju Konversi Lahan Sawah

Laju konversi lahan yang dianalisis dalam kurun waktu tahun 2002 sampai tahun 2010 di Kabupaten Kampar. Sumber data yang digunakan adalah peta penggunaan lahan Provinsi Riau tahun 2002 dan tahun 2010 hasil interpretasi citra landsat.

Tahapan penyusunan peta sebagai berikut:

1. Pengunduhan citra landsat tahun 2002 dan 2010 dari website glovis.usgs.gov, peta rupa bumi skala 1:2500, peta penggunaan lahan dari Bappeda Kabupaten Kampar. Peta penggunaan lahan Provinsi Riau tahun 2010.

2. Melakukan koreksi geometri terhadap citra landsat tahun 2002 dan 2010 dengan bidang proyeksi UTM zone 47 .

3. Menentukan optimum index faktor (OIF), dengan tujuan mencari band yang sesuai dengan karakteristik objek lahan, kemudian dilakukan komposit warna.

4. Melakukan klasifikasi dengan metode terbimbing (supervise) melalui training area ( objek yang sudah diketahui antara penampakan pada citra dengan kondisi dilapang). Hasil pada tahapan ini yaitu kelas penggunaan lahan tahun 2002 dan tahun 2010, kemudian dilakukan validasi dengan survey lapang. Hasil dalam proses ini masih dalam bentuk raster (format berbasis piksel).

5. Melakukan konversi dari bentuk raster yang dihasilkan pada tahapan ke 4 kemudian ke dalam bentuk vektor dengan memakai program Arc Gis. 6. Melakukan editing terhadap masing – masing peta tersebut, untuk

menghilangkan kesalahan yang terjadi pada saat konversi (poligon yang tumpang tindih, overshot ,undershoot)

7. Melakukan over lay masing – masing peta yang sudah dalam bentuk vektor dengan batas administrasi kecamatan.

8. Mengukur luasan masing–masing penggunaan lahan tahun 2002 dan 2010.

Untuk mengetahui laju konversi lahan sawah dari tahun 2002 – 2010 dilakukan dengan cara menghitung laju konversi lahan secara parsial. Laju konversi lahan dapat dijelaskan sebagai berikut :

K = X 100 % ... 1

Dimana :

K= Laju konversi lahan sawah (%) Lt = Luas lahan tahun ke- t (ha)

Lt – 1 = Luas lahan tahun sebelumnya (ha)

(35)

Analisis Faktor Konversi Lahan Sawah

Untuk mengetahui faktor – faktor utama yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah adalah menggunakan analisis regresi linear berganda (multiple regression model) yang memiliki asumsi bahwa peubah tak bebas (respon) Y merupakan fungsi linear dari beberapa peubah bebas X1,X2,..,Xk, dan

komponen sisaan ε (error). Secara umum (model populasi) model regresi linear bergandadapat dispesifikan sebagai berikut ( Juanda, 2009):

Yi = β1X1i + β2X2i + β3X3i +...+ βkXki +εi... 2

Subskrip i menunjukan nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi, atau sampai n untuk data contoh. X

ki merupakan pengamatan ke-i untuk peubah bebas X

k. Koefisien β1 dapat merupakan intersep model regresi, jika semua pengamatan X1i bernilai 1 sehingga sehingga model (2) menjadi:

Yi = β1 + β2X2i + β3X3i +...+ βkXki + εi... 3

Keterangan:

Y =Laju konversi lahan sawah (persen)

β1 = Intersep

β2….. βk= Koefisien regresi

X2i....Xki= Variabel - variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap konversi lahan sawah

εi = Sisaan atau penyimpangan

Ada beberapa variabel (Xi) yang diduga mempengaruhi petani melakukan konversi lahan sawah ke pengunaan lainnya di lokasi penelitian.

1) Jumlah tanggungan keluarga (orang)

2) Dummy tingkat pendidikan (1 = SL ; 0 = SD). 3) Pendapatan usahatani padi (Rp/MT/ha) 4) Pendapatan usahatani kelapa sawit (Rp/th/ha)

5) Dummy jaringan irigasi (1= tidak ada kendala;0 = ada kendala) 6) Dummy sarana produksi ( 1 = tidak ada kendala; 0 = ada kendala) 7) Dummy resiko kegagalan usahatani (1 = tinggi ; 0 = rendah )

8) Dummy pengetahuan peraturan pemerintah tentang konversi lahan (1 = tidak tahu ; 0 = tahu)

Selanjutnya untuk mengetahui apakah model tersebut dapat menjelaskan permasalahan konversi lahan maka akan dilakukan beberapa uji sebagai berikut:

1. Uji Gejala Multikolinearitas

(36)

masalah adalah dengan mengkaji simpangan baku koefisiennya. Jika beberapa koefisien mempunyai simpangan baku yang tinggi, dan kemudian setelah mengeluarkan satu atau lebih peubah bebas dari model menyebabkan simpangan bakunya rendah, maka umumnya telah terjadi multikolinearitas.

2. Uji Gejala Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (εt)

sama atau homogen. Dengan pengertian lain Var (εt) = E(εt) = σ2 untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi ini disebut homoskedastisitas (homoscedasticity). Heteroskedastisitas terjadi bila

ragam sisaan tidak sama (Var (εt) ≠ E(εt) ≠ σ2) untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Ada beberapa cara mengatasi masalah heteroskedastisitas, salah satunya dengan uji White dengan pengujian hipotesis sebagai berikut: H

0 : σi 2

= σ2 (tidak terdapat gejala heteroskedastisitas) H 1 : σi

2

= σ2

(terdapat gejala heteroskedastisitas). Jika nilai R2 lebih besar dari nilai ϒ2 pada tingkat signifikansi tertentu, maka H

0 ditolak. Atau dengan menggunakan probability value kriteria tidak menerima H

0 jika probability value < nilai α. 3. Uji Gejala Autokorelasi

salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial antara antara sisaan (ε

t). Dengan pengertian lain,

sisaan menyebar bebas atau Cov (εi, εj) = E (εi, εj) = 0 untuk semua i≠j. Masalah autokorelasi terjadi jika antar sisaan tidak bebas atau E (εi, εj) ≠ 0 untuk i≠j, dan

sering terjadi pada data time series. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson dengan kisaran nilai 0 sampai 4.

Daerah keputusan H0 dan H1 untuk uji Durbin-Watson adalah:

Nilai DW Keputusan

Tolak Ho ; ada korelasi negatif Tidak tentu, coba uji yang lain Terima Ho

Tidak tentu, coba uji yang lain Tolak Ho ; ada korelasi positif

4. Uji – F (uji Simultan)

Uji-F digunakan untuk menguji pengaruh dari variabel independen secara simultan terhadap variable dependent dengan hipotesis statistik sebagai berikut: H

0 : αn = 0 H1 : setidaknya satu αn ≠ 0 Untuk menguji kedua hipotesis tersebut, dilakukan dengan membndingkan nilai F

hitung dan Ftabel. Jika nilai Fhitung > Ftabel maka tolak H

(37)

5. Uji –T (uji parsial)

Uji-t dilakukan untuk mengetahui signifikansi setiap variable independen dalam mempengaruhi variable dependen dengan uji satu arah. Hipotesis yang akan diuji adalah: H

0 : αn ≤ 0, setiap variabel independen tidak signifikan mempengaruhi variable dependen H1 : αn > 0, setiap variabel independen signifikan mempengaruhi variabel dependen Dengan membandingkan nilai t

hitung dari persamaan regresi dengan nilai kritis dari t

tabel pada taraf kepercayaan tertentu. Jika thitung > ttabel maka tolak H0. atau dapat pula menggunakan probability value dengan kriteria tolak H

0. 6. Koefisien Determinan (R2)

Koefisien ini digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Nilai R2 berada antara 0 dan 1 (0<R2<1). Jika nilai R2 yang semakin mendekati 1 berarti model regresi tersebut mampu menjelaskan hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.

Analisis Konversi Lahan Terhadap Kesejahteraan Keluarga Petani.

Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan masing – masing peubah yang mempengaruhi kesejahteraan petani. Tujuan utamanya adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan fenomena yang diteliti secara objektif. Pengukuran tingkat kesejahteraan melalui pendekatan objektive. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku. Contohnya ukuran kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) dan Kriteria Bank Dunia.

Menurut BPS ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga sejahtera seperti 1) luas bangunan, 2) jenis lantai, 3) jenis dinding, 4) fasilitas MCK, 5) sumber air minum, 6) sumber penerangan, 7) jenis bahan bakar untuk memasak, 8) frekuensi mengkonsumsi daging, susu dan ayam selama seminggu, 9) frekuensi makan setiap hari, 10) frekuensi membeli pakaian dalam setahun, 11) Akses puseksmas/poliklinik, 12) lapangan pekerjaan,13) pendidikan kepala keluarga, 14) Kepemilikan aset tabungan. Jika minimal 9 variabel dipenuhi maka dikategori keluarga tidak sejahtera.

Pengukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan indikator BKKBN yaitu mengukur kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal seperti kebutuhan agama, pangan, sandang, papan, kesehatan dan keluarga berencana.

Menurut defenisi yang dibuat BKKBN, masing- masing tahapan keluarga sejahtera berturut – turut adalah sebagai berikut:

1) Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) adalah keluarga adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan agama, pangan, sandang, papan, kesehatan dan Keluarga Berencana. Atau keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu indikator Keluarga Sejahtera I, yaitu : Alasan Ekonomi

Gambar

Gambar 2  Kerangka pemikiran konversi lahan sawah, kesejahteraan  keluarga
Gambar  3  Teknik sampling pengambilan data primer
Gambar  4  Peta Administrasi Kabupaten Kampar
Tabel 1 Luas wilayah dan jumlah penduduk Kabupaten Kampar menurut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persentase Sikap Responden tentang Pernyataan Orang yang Belum Mengalami Gangguan Pendengaran Perlu Mengurangi Volume Ketika Mendengarkan Musik Menggunakan Piranti Dengar

fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja,.. baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Skripsi / Tugas Akhir yang berjudul “ Korelasi Koefisien Permeabilitas dari Uji Constant Head dan Hasil Permeabiltas dari Uji

kebutuhan biaya investasi yang tidak terlalu tinggi, usaha pengolahan limbah kulit kakao menjadi pektin menjadi reasonable untuk dilakukan oleh petani. Tingkat

Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku, Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Penetapan Nilai Jual Objek Reklame Dan Nilai Strategis

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) implementasi Sekolah Siaga Bencana (SSB) di SMPN 2 Cangkringan, 2) faktor pendukung dan penghambat, 3) resiliensi sekolah,

1) Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dilakukan kepada mahasiswa UNSRAT, bahwa sebagian mahasiswa.. UNSRAT belum mengenal semua lokasi di UNSRAT yaitu 79,8% dan

Orang yang mengajar harus sudah belajar lebih dahulu untuk menjadi murid Yesus (dalam arti mengetahui dan menaati ajaran Yesus).. Carson, “Matthew” dalam Expositor’s Bible