• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Wilayah

Pada dasarnya kerangka analisis yang dibangun adalah masyarakat mempunyai kecenderungan untuk bergerombol pada lokasi yang memiliki kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik bagi komunitasnya. Daerah dengan fasilitas umum terlengkap merupakan pusat bagi daerah sekitarnya. Berbagai fasilitas yang tersedia dengan kemampuannya akan menunjukkan berkembang atau tidaknya suatu wilayah dengan berbagai pertimbangan karakteristik wilayah tersebut.

Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan konsumsi lahan untuk pemukiman, juga meningkatkan permintaan akan barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan. Hasil perhitungan analisis dengan metode skalogram di Kabupaten Kampar memperlihatkan konversi lahan yang terjadi berdampak positif terhadap perkembangan wilayah. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan indeks perkembangan wilayah (IPW) pada tahun 2002 sebesar 222,53 mengalami kenaikan sebesar 163,02 (42,28%) menjadi 385,55 pada tahun 2010. Setiap wilayah mengalami kenaikan indeks perkembangan rata – rata sebesar 3,84 % (Tabel 26).

Pengelompokkan perkembangan wilayah dibagi atas 3 kelompok yaitu 1)

Kelompok pertama, yang disebut “wilayah berkembang” simbol W1, 2) Kelompok kedua disebut “wilayah sedang berkembang” simbol W2, 3) Kelompok ketiga disebut

“wilayah kurang berkembang” simbol W3. Wilayah yang telah berkembang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial.

Tabel 24 Hasil skalogram hierarki Kabupaten Kampar Tahun 2002 dan 2010. No Kecamatan 2002 2010 % IPW Hierarki Wilayah IPW Hierarki Wilayah 1 Tapung 26,71 W2 42,96 W1 37,83 2 Siak Hulu 22,64 W2 35,11 W1 35,52 3 Tapung Hulu 4,82 W3 32,90 W1 85,35 4 Bangkinang 51,00 W1 31,44 W1 (62,21) 5 Tapung Hilir 12,29 W3 26,99 W2 54,46

6 XIII Koto Kampar 14,71 W3 23,59 W2 37,64

7 Tambang 16,90 W3 23,18 W2 27,09

8 Kampar 36,01 W1 19,07 W3 (88,83)

9 Kampar Kiri 17,08 W3 16,31 W3 (4,72)

10 Bangkinang Barat 11,86 W3 14,96 W3 20,72

11 Kampar Kiri Hilir 5,30 W3 10,50 W3 49,52

12 Kampar Kiri Hulu 3,20 W3 8,97 W3 64,33

13 Bangkinang Seberang - - 21,04 W2 -

14 Kampar Timur - - 15,58 W3 -

15 Kampar Kiri Tengah - - 12,08 W3 -

16 Salo - - 11,27 W3 - 17 Rumbio Jaya - - 10,53 W3 - 18 Perhentian Raja - - 10,47 W3 - 19 Gunung Sahilan - - 10,27 W3 - 20 Kampar Utara - - 8,32 W3 - Jumlah 222,53 385,55 42,28 Rata – rata 18,54 19,28 3,84 Sdev 13,96 10,097

Sumber : Kampar Dalam Angka Tahun 2002 dan 2010 (data diolah).

Kecamatan Tapung, Kecamatan Tapung Hulu dan Kecamatan Siak Hulu pada tahun 2002 merupakan kelompok wilayah sedang berkembang (W2)dan pada tahun 2010 wilayah ini meningkat menjadi wilayah berkembang (W1).Hal ini disebabkan wilayah tersebut mempunyai sumberdaya alam dan pendapatan yang lebih tinggi, seperti luas wilayah, jumlah penduduk dan luas perkebunan kelapa sawit yang lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Kondisi ini meyebabkan perkembangan wilayah dikecamatan ini lebih cepat dibanding wilayah lainnya dan juga wilayah ini mempunyai aksesibilitas yang lebih baik. Kecamatan Bangkinang juga termasuk wilayah berkembang, karena merupakan ibukota dari Kabupaten Kampar, dimana wilayah ini terdapat pemusatan pemukiman penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pusat pemasaran .

Kecamatan Kampar pada tahun 2002 adalah kelompok wilayah berkembang (W1), dan mengalami penurunan menjadi kelompok wilayah kurang berkembang (W3) pada tahun 2010. Hal ini disebabkan terjadinya pendistribusian pusat pertumbuhan di Kecamatan Kampar pada wilayah baru yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Kampar. Dimana pada tahun 2010 Kecamatan Kampar sudah mekar menjadi 4 Kecamatan yakni Kecamatan Kampar Timur, Kecamatan Kampar Utara dan Kecamatan Rumbio Jaya. Sehingga Kecamatan Kampar mengalami penyusutan luas

wilayah dan jumlah penduduk, yang berakibat juga terhadap penyusutan sumberdaya lahan dan infrastruktur sarana pelayanan.

Fenomena konversi lahan yang terjadi dilokasi penelitiani dari penggunaan lahan dengan land rent yang lebih rendah kepenggunaan dengan land rent yang lebih tinggi. Diketahui dari Tabel 19 land rent padi sawah sebesar Rp. 9.834.727/ha/th, lebih rendah dibanding land rent kelapa sawit kelapa sebesar Rp. 16.255.090/ha/th. Land rent kelapa sawit yang lebih tinggi akan mendorong terjadinya perkembangan wilayah yang lebih cepat.

Kecamatan hasil pemekaran lainnya seperti Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Kecamatan Bangkinang Seberang, Kecamatan Salo, Kecamatan Perhentian Raja, dan Kecamatan Gunung Sahilan termasuk kelompok wilayah kurang berkembang (W3). Hal ini disebabkan Kecamatan ini baru berdiri, sehingga jumlah sarana pelayanan masih rendah, tingkat pertumbuhannya masih rendah, tingkat kepadatan penduduk masih rendah, pendapatan dan pendidikan juga relatif rendah. Namun wilayah memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan,sehingga memiliki peluang untuk berkembang. Konversi lahan merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari perkembangan land rent di suatu lokasi. Oeh karenanya alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai bagian dari pergeseran-pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan baru yang lebih produktif. Peta perkembangan wilayah Kabupaten Kampar tahun 2010 tersaji pada Gambar 6.

Ancaman dan Strategi Pengendalian Konvesi Lahan Sawah

Konversi lahan sawah merupakan ancaman kepada kondisi ketahanan pangan pada suatu wilayah. Ketahanan pangan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Konversi lahan sawah akan berdampak langsung terhadap penurunan produksi padi dan ketahanan pangan.Hal ini mengakibatkan hilangnya produksi akan berbanding lurus dengan luas lahan yang dikonversi.

Konsekuensi logis dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi, maka terjadi perubahan alokasi sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan akibat tidak diperhatikannya skala prioritas alokasi penggunaan sumberdaya lahan, maka terjadi pula konflik alokasi sumberdaya lahan untuk penyediaan sumber pangan dan pembangunan perkebunan dan prsarana pemukiman.

Irawan dan Friyatno (2005) menyatakan bahwa terjadinya konversi lahan sawah sangat dipengaruhi permintaan terhadap lahan menurut sektor perekonomian yaitu penggunaan untuk non pertanian dan pertanian. Konversi lahan ke penggunaan pertanian menunjukkan jumlah yang lebih kecil di banding ke penggunaan non pertanian lainnya, seperti untuk pemukiman/ perumahan, zona industri, sarana dan prasarana lainnya. Sementara untuk pertanian masih terbatas untuk penggunaan sektor perternakan, perkebunan, tanaman pangan dan perikanan.

Pendekatan Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Diketahui bahwa dalam dua dasawarsa terakhir sebagai akibat pertumbuhan perekonomian (subsektor perkebunan dan industri) yang cepat telah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang cukup besar. Oleh karena itu pemerintah dipandang perlu untuk mengeluarkan peraturan penata-gunaan lahan baik luasan maupun perubahannya.

Irawan dan Friyatno (2005) menyebutkan sebenarnya pengendalian konversi lahan pertanian, khusunya sawah ke penggunaan lainnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:

a. pengendalian melalui kelembagaan dan pengaturan tentang pengalihan dan penatagunaan lahan sawah (regulation).

b. pengendalian melalui instrumen ekonomi, seperti mekanisme kompensasi, kebijakan penerapan pajak progresif dan bank tanah.

Kondisi ketahanan pangan Kabupaten Kampar yang diprediksi dari data pertumbuhan penduduk, kebutuhan beras perkapita pertahun dan produksi padi, maka Kabupaten Kampar dalam kurun waktu tahun 2002 sampai 2010 memenuhi kriteria defisit karena tidak mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Juga terdapat tren penurunan produksi yang terjadi pada tahun terakhir dan sebaliknya terjadi penambahan jumlah penduduk yang berdampak pada semakin naiknya defisit beras Kabupaten Kampar.

Undang – undang No.18/2012 tentang Pangan, mengamanatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan sampai tingkat perseorangan. Hal tersebut dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,

bergizi, merata dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Dari hasil observasi lapang, diketahui bahwa bagi masyarakat Kampar penurunan produksi beras merupakan suatu ancaman bagi ketersediaan pangan mereka, dan selama ini kekurangan (defisit) beras diimpor dari Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Secara nasional penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Kampar juga merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan bagi Negara Indonesia.

Strategi Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Diketahui, permasalahan konversi lahan pertanian merupakan hal yang rumit dan kompleks, serta terbentuk dari berbagai sebab baik langsung dan tidak langsung yang terakumulasi dalam waku yang cukup lama. Sehingga dalam pengendaliannya tidak dapat dilakukan secara parsial, instan namun harus terkonsep secara sistematis, komfrehensif, holistik dan berkelanjutan. Berdasar kondisi konversi lahan di Kabupaten Kampar, maka strategi dasar dalam pengendalian konversi lahan sawah sebagai berikut :

a. Sosialisasi Terhadap Nilai Lahan

Sampai saat ini cara pandang terhadap lahan diukur dari nilai ekonomi (land rent) yang dihasilkan dari lahan tersebut, padahal lahan sesungguhnya membawa manfaat bawaan (instristic values) seperti menyediakan lahan pangan, menyediakan lapangan pekerjaan, menjaga kelestarian lingkungan, keaneka ragaman hayati dan lain-lain. Masyarakat menilai bahwa nilai yang dihasilkan dari lahan sawah lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan untuk usaha kelapa sawit maupun usaha perkebunan lainnya. Padahal perhitungan demikian tidak sepenuhnya benar, mengingat lahan sawah dapat diusahakan 2 atau 3 kali dalam setahun. Hasil analisis diketahui jika lahan sawah diusahakan 2 kali dalam setahun maka didapat land rent padi sebesar 0,83 % dari kelapa sawit. Disamping itu dengan peningkatan produktifitas usahatani padi sebesar 20 persen dari yang ada sekarang melalui inovasi teknologi dan pola tanam 2 kali dalam setahun akan menghasilkan land rent padi lebih besar dari kelapa sawit. Oleh sebab itu, sebagai langkah awal dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah, diperlukan sosialisasi dalam upaya penyadaran terhadap semua lapisan masyarakat dan stakeholder dalam cara pandang menilai lahan pertanian.

b. Pendataan dan Pemetaan Lahan

Diketahui bahwa akurasi dan kecukupan data yang kita miliki merupakan kendala besar dalam upaya penerapan pengendalian lahan pertanian. Hal ini disebabkan lemahnya konsistensi data lahan yang diterbitkan oleh berbagai instansi, karena perbedaan sudut pandang dan kepentingan. Jadi dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian diharapkan adanya langkah – langkah serius berupa tahapan pemetaan lahan pertanian dan melembagakan pemantauan dan pencatatannya sepeti yang diamanatkan oleh Undang-UndangNo 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

c. Pendekatan Hukum

Melalui pendekatan hukum/ regulasi, Pemerintah Daerah diharapkan menetapkan aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada, berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial. Walaupun isntrumen hukum (regulasi) telah lama dipergunakan dalam mencegah alih fungsi lahan pertanian, namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian konversi lahan yang selama ini telah diputuskan ternyata belum efektif. Secara empiris instrumen kebijakan selama ini menjadi andalan pengendalian konversi lahan sawah adalah Peraturan Daerah yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun sangat disayangkan bahwa proses penyusunan RTRW yang pada umumnya sangat alot ternyata juga belum menghasilkan petunjuk teknis yang benar – benar operasional.

Sementara itu partisipasi lembaga terkait dalam sosialisasi tentang pentingnya pengendalian konversi lahan juga belum memadai. Berdasarkan hal diatas serta dalam rangka menindaklanjuti UU NO.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, maka diperlukan penetapan Peraturan Daerah (PERDA) untuk tingkat Provinsi dan operasional tingkat Kabupaten. Selain itu, implementasi instrumen kebijakan tersebut disertai oleh penegakan hukum dan peningkatan advokasi publik yang cukup kuat dan konsisten.

d. Pendekatan Ekonomi

Instrumen Ekonomi dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan berperan dalam menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan fungsi lahan sawahnya sebagai lahan usahatani, menciptakan kondisi disinsentif bagi pihak – pihak yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah ke penggunaan lain, sert kombinasi antara kedua hal tersebut diatas. Subsidi yang diberikan dapat berupa subsidi input dan subsidi output. Subsidi input yaitu denganmemberi subsidi pada harga saprodi seperti benih, pupuk dan obat – obatan. Sedangkan subsidi output adalah dengan membeli harga gabah dengan harga dasar gabah yang layak ditingkat petani. Apalagi pada saat panen raya, biasanya harga gabah anjlok, untuk itu diperlukan peran pemerintah dalam menjaga harga ditingkat petani, jangan sampai petani merugi.

e. Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Pertanian

Rehabilitasi atau penyempurnaan sarana dan prasarana mencakup irigasi, jalan usahatani, ketersediaan alat pengolahan tanah mekanis dan pompa air irigasi, akses petani terhadap lembaga permodalan, dan kinerja pemasaran input dan output diaplikasikan sesuai dengan kondisi masing – masing wilayah.

Kondisi jaringan irigasi sebagian besar dalam keadaan rusak dan bahkan tidak berfungsi merupakan salah satu faktor pendorong bagi petani untuk meninggalkan usahatani padi. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan untuk merehabilitasi jaringan irigasi atau pembangunan irigasi baru, perlu mendapat perhatian Pemerintah Daerah, karena keberadaan infrastruktur pengairan yang memadai akan menghambat upaya konversi lahan sawah oleh petani, dan kemungkinan akan meningkatkan luas areal lahan sawah beberapa tahun kedepan.

Ihtisar

Konversi lahan pertanian di Kabupaten Kampar berdampak posisitf terhadap perkembangan wilayah dan berdampak negatif terhadap ketahanan pangan terutama ketersediaan beras. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kampar dalam dasawarsa terakhir menunjukkan trend positif, dimana sebagian besar wilayahnya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat pertumbuhan perekonomian dan prasarana pelayanan masyarakat yang cendrung meningkat. Seperti prasarana perumahan, jalan, pelayanan pendidikan, kesehatan, peribadatan, pasar dan keuangan. Wilayah yang berkembang tersebut adalah Kecamatan Bangkinang, Tapung, Tapung Hulu dan Siak Hulu. Sektor pertanian terutama dari subsektor perkebunan memberi kontribusi terbesar terhadap perkembangan wilayah tersebut, hal ini dapat dilihat dari besarnya kontribusi subsektor perkebunan terhadap PDRB. Disamping itu konversi lahan sawah merupakan ancaman terhadap produksi pangan dan ketahanan pangan di Kabupaten Kampar. Selama kurun waktu 2002 – 2010 terjadi konversi lahan sawah seluas 6.839 hektar, diperkirakan secara akumulasi telah menyebabkan hilangnya sekitar 32.553 ton gabah. Bila dihitung setara beras, maka kehilangan produksi tersebut adalah sebesar 29.796 ton beras. Jumlah kehilangan produksi beras tersebut hampir sebanding dengan jumlah defisit kebutuhan beras yang diimpor. Artinya, apabila konversi lahan sawah dapat ditekan maka hal itu akan memberikan dampak positif bagi pengadaan beras di Kabupaten Kampar. Untuk itu perlu dibuat kebijakan yang secara operasional dapat mengendalikan laju konversi lahan sawah dan tidak mengurangi perkembangan lahan perkebunan kelapa sawit.

8 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Simpulan

Berdasarkan uraian di bab-bab sebelumnya, maka disimpulkan beberapa hasil penelitian ini.

1. Analisis data hasil interpretasi citra landsat tahun 2002 dan 2010 menggambarkan bahwa dalam kurun waktu (2002 – 2010) terjadi konversi lahan sawah seluas 1.955,79 hektar atau (21,77%). Kondisi ini menyebabkan kehilangan sebanyak 32.553 ton gabah, atau setara 20.425 ton beras.

2. Faktor yang signifikan terhadap keputusan petani melakukan konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah pendapatan usahatani padi yang rendah dibandingkan pendapatan dari usahatani kelapa sawit. Setelah itu kendala pengairan atau irigasi, dan ketidaktahuan petani tentang peraturan pemerintah mengenai larangan mengkonversi lahan sawah.

3. Berdasar Indikator BPS, Indikator BKKBN dan Kriteria Bank Dunia, diperoleh tingkat kesejahteraan keluarga petani kelapa sawit lebih tinggi dibanding tingkat kesejahteraan keluarga petani padi.

4. Konversi lahan mengakibatkan terjadi peningkatan perkembangan wilayah di Kecamatan Tapung, Kecamatan Tapung Hulu dan Kecamatan Siak Hulu dari wilayah sedang berkembang pada tahun 2002 menjadi wilayah berkembang pada tahun 2010.

Implikasi Kebijakan

Upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah perlu adanya kebijakan pemerintah melalui pemberian fasilitas pembiayaan, kompensasi kegagalan panen, pemasaran hasil gabah dan jaminan harga gabah yang menguntungkan, pemberian insentif berupa pengembangan infrastruktur pertanian antara lain jaringan irigasi dan sarana produksi, kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi, serta keringan pajak.

Pemerintah daerah perlu segera mengeluarkan Peraturan Daerah terkait dengan pengendalian konversi lahan sawah serta meningkatkan sosialisasi peraturan-peraturan yang melarang alih fungsi lahan sawah dan melaksanakan law enforcement seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Dokumen terkait